Pikiran saya berkecamuk ketika pada tanggal 15 Juni saya keluar dari sebuah money changer di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Uang rupiah tidak seberapa banyak (uang pribadi pula) yang saya bawa tadi sebelum masuk money changer berubah menjadi empat lembaran euro saja. Jumlah digitnya dari yang semula tujuh digit, kini hanya menjadi tiga digit saja. Betapa kecil nilai mata uang rupiah kita dibandingkan mata uang euro? Dulu jaman penjelajahan samudera ketika bangsa-bangsa Eropa datang ke Indonesia mencari dagangan rempah-rempah, mereka hanyalah bangsa yang tidak seberapa maju sampai harus mencari hasil alam ke belahan dunia lain untuk diperdagangkan. Kini? Mereka melesat ke ‘langit’ dalam berbagai bidang dan kita jalan ditempat karena berbagai hal, Indonesia makin ‘nyungsep’ terutama karena korupsi dan penghamburan uang yang tidak pernah surut dari jaman kuno yang dilakukan orang-orang di atas sana.
Bersama rombongan kecil media-media di Jakarta yang diundang oleh sebuah maskapai pelat merah di Indonesia (saya yakin Anda tahu maksud saya), kami kemudian berangkat ke Amsterdam pada tanggal 16 pukul 19:35 wib malam hari, transit di Abu Dhabi tujuh jam kemudian, dan setelah sempat menghisap dua batang rokok di Bandara Abu Dhabi, pesawat kami kembali terbang menuju Amsterdam. Enam jam tiga puluh menit kemudian kami mendarat di Schipol Airport, Amsterdam pada tanggal 17 Juni pada pukul 09.30 waktu setempat. Perjalanan panjang yang ternyata tidak membuat pantat ‘ngebul’ seperti saya bayangkan sebelumnya. Mungkin karena makanan di pesawat Garuda Indonesia yang saya tumpangi terus tersaji dalam waktu yang selalu tepat, dan juga enak-enak pula. Maklum anak kos!
Mendarat di Schiphol Airport, ada nyaman yang kuat terasa. Bandara ini didesain layaknya sebuah mall maha luas, tidak ada kekakuan ataupun suasana perjalanan layaknya sebuah bandara biasa. Orang yang lalu-lalang menurut saya lebih terlihat seperti orang yang hilir mudik di sebuah pusat perbelanjaan dibandingkan di sebuah airport. Bandara ini memang didesain khusus dan menyatu dengan Schiphol Plaza, sebuah konsep gabungan antara mall besar dan bandara. Ada banner besar yang mempromosikan Indonesia di salah satu dinding hall kedatangan, ada kebanggaan saat melihatnya. Ketika penumpang lain melintas, saat saya menjepret banner itu dengan kamera ponsel, saya menunjuk banner dan berkata “My country, Indonesia”. Mereka tersenyum biasa saja dan cepat berlalu.
Petugas imigrasi dan bea cukai di Schiphol Airport menurut saya tidak ribet, tidak ada pertanyaan berarti dari petugas imigrasi, hanya menanyakan mau kemana dan dalam rangka apa, setelahnya paspor langsung dicap dan diberikan. Begitu juga petugas bea cukai bandara, malah mengacuhkan kita, padahal jelas-jelas membawa begitu banyak tas besar. Saya pernah melihat petugas bea cukai di Sukarno Hatta meneriaki serombongan turis yang sudah jauh berlalu dari posisi pemeriksaan bea cukai, kalau mau memeriksa mereka kenapa tidak pas mereka tadi memasukkan tas-tas mereka di x-ray bea cukai? Singkat kata, satu slop rokok saya pun tersenyum di dalam tas. Pun kalaupun diperiksa, seorang kawan di Amsterdam mengatakan rokok tetap bisa melenggang di Schiphol.
Schipol Airport Part 1: Menunggu Thalys
Kelar urusan bagasi kami sudah ngumpet di sebuah kafe kecil di sebelah kiri pintu keluar bandara. Dinding kaca kafe yang bening memungkinkan kami menikmati pemandangan di luar kafe yang merupakan halamannya bandara. Ada ‘tugu’ tulisan besar I AMSTERDAM (Baca: I AM AMSTERDAM), ada Hotel Sheraton tidak jauh dari halaman, dan ada sekelompok kuli yang sedang memperbaiki taman. Teman saya nyeletuk, kuli-kuli tersebut kalau datang ke Indonesia bisa menikahi artis saking perlentenya. Bukannya sudah terjadi selama ini? Jawab saya.
Halaman setelah pintu keluar Schiphol Airport tidak terlalu luas, menurut saya malah biasa saja, padahal ini adalah salah satu bandara tersibuk di Eropa. Matahari bersinar terang tetapi suhu udara sekitar 10 derajat selsius. Ditambah angin yang bertiup, berdiri di halaman bandara akan terasa dingin. Namun uniknya, tidak ada penumpukan ataupun konsentrasi penumpang sedikitpun di halaman bandara ini. Ada taksi yang berbaris rapi di jalan, tetapi tidak ada kemacetan. Menurut pengamatan saya taksi kurang diminati karena mahal. Budaya antar-jemput dengan jumlah pengantar dan penjemput satu RT seperti di Indonesia tampaknya juga tidak berlaku di Eropa. Di halaman Schiphol memang ada banyak penumpang dari beragam kewarganegaraan yang duduk-duduk, merokok (ini yang paling saya suka) dan foto-foto (termasuk kami) tetapi itupun tidak membuat suasana semrawut. Kebanyakan yang difoto adalah tulisan besar SCHIPHOL pada dinding kaca bandara, dan ‘tugu’ I AMSTERDAM. Hampir semuanya untuk update status Facebook, Twitter, dan jejaring sosial lainnya. Eksis narsis memang berlaku global! Hehehe.
Faktor kedua tidak adanya kesemrawutan di halaman Schiphol Airport disebabkan terintegrasinya angkutan publik di pintu keluar ini. Penumpang transit yang hendak bermalam di Amsterdam, dapat langsung naik bus bandara (gratis!) ke beberapa hotel transit di seputaran airport. Ada Ibis, Ibis Budget, dan Novotel (budget?, saya tulis budget karena saat tanggal 19 Juni kami menginap disini, kami bahkan tidak mendapatkan satu botol air mineral pun!). Penumpang yang hendak bepergian ke berbagai negara lain di Eropa dan atau kota-kota lain di Netherlands melalui darat akan langsung menuju ke stasiun bawah tanah di basement Schiphol untuk naik kereta api cepat dan atau kereta api Thalys. Hebatnya, untuk kereta api Thalys (kereta lintas negara) akan berangkat dalam interval yang tidak terlalu lama. Tidak sampai satu jam, Thalys akan tersedia di stasiun bawah tanah yang rapi, bersih, luas, bebas pedagang, dan bebas sampah tersebut. Namun stasiun ini juga bebas asap rokok, kurang cocok buat orang-orang seperti saya. Kuncinya, kalau mau naik Thalys dari Schiphol, turunlah ke bawah sekitar sepuluhan menit sebelum kereta yang akan mengangkut kita datang di stasiun (hanya perlu waktu 3 menit saja dari halaman bandara), jadi waktu menunggu dapat dioptimalkan di halaman Schiphol sambil berbaur dengan warga Eropa lainnya.
Hampir lupa, jika pacar ataupun keluarga Anda di rumah mewajibkan kita berkirim kabar saat sudah sampai di Schiphol Airport, saran saya jangan gunakan wifi gratisan yang disediakan oleh pengelola bandara karena lemot kebanyakan pengakses, lebih baik kita membeli voucher internet di kafe-kafe di bandara ini (mereka biasanya juga menyediakan beberapa PC untuk digunakan di depan kafe). Hanya saja harganya untuk saya kurang cocok karena untuk lima belas menit akses internet, saya harus membayar 3 euro. Dengan kurs rupiah saat ini, itu setidaknya setara dengan tiga puluh sembilah ribu rupiah. Di Indonesia dengan harga segitu, kita bisa mengakses internet dari gadget kita selama minimal satu minggu! Bukan masalah uangnya, tetapi lima belas menitnya! Tetapi segala sesuatu tidak boleh terlalu dipikirkan terlalu serius, apalagi jika kita mendapatkan sangkaan dan tantangan unik dalam menjalin komunikasi dengan orang-orang tercinta di rumah, karena kita akan sakit hati sendiri jika memikirkan 3 euro untuk 15 menit tersebut. Percayalah, uang tiga euro tersebut bisa menyelamatkan hidup kita saat kembali ke Indonesia nanti. Hehehe.
Perjalanan Thalys dari Schiphol ke Paris Garde du Nord
Kami bergegas menuju stasiun di bawah Schiphol setelah pengelola kafe di sebelah kiri pintu keluar bandara menunjukkan kerisihannya karena kami terlalu lama menguasai beberapa meja mereka. Padahal kami berani bertaruh, kami lah yang berbelanja paling banyak pagi itu di sana dibandingkan semua pengunjung Eropa lainnya. Thalys yang akan membawa kami ke Paris tidak berapa lama datang. Kami kemudian melaju menuju tenggara tepat pada pukul sebelas tigapuluh empat siang waktu setempat. Perbedaan waktu yang sangat panjang antara Jakarta dengan Amsterdam mungkin sebenarnya membuat tubuh kami kacau, terutama mata kami yang seharusnya berada di waktu malam jika sedang berada di Jakarta, tetapi kali ini malah siang hari bolong! Namun saya menolak jetlag karena ingin menikmati perjalanan langka ini dengan mata terbuka. Thalys cukup penuh tetapi tetap teratur. Petugas pemeriksa karcis yang bertubuh tinggi besar berdarah Belanda juga cukup ramah. Karcis Thalys seharga 129 euro itupun di scan dan kami dipersilahkan menikmati perjalanan.
Pertanyaan saya sambil melihat pemandangan kiri kanan rel yang indah adalah, mungkinkah transportasi publik senyaman kereta api Thalys ini akan hadir di , Indonesia. Tepat waktu, bagus, bersih, dan penumpang yang diangkut pun tidak pernah melebihi kursi yang ada. Aturan tentang tiket dan larangan merokok tidak bisa ditawar. Dengan kecepatan maksimal hingga 300 km/jam jarak Amsterdam – Paris yang jauhnya sekitar 510 kilometer dapat ditempuh dengan nyaman dalam waktu tiga jam dengan empat pemberhentian (Rotterdam Centraal, Antwerpen Centraal, Brussel-Zuid, dan terakhir Paris Nord). Selain adanya jaringan wifi di kereta, saya tidak sudi lagi membeli voucher wifi ini karena mahal (lebih dari 30 euro untuk sepanjang perjalanan), saya terkesan dengan gerbong restorasi keretanya. Disebut “Thalys welcome Bar”. Seperti sebuah ruangan kafe di tempat nongkrong berkelas di negara kita. Namun memang harga makanan dan minumannya tidak cocok untuk anak kos seperti saya, satu botol stillwater (air mineral biasa) merk entah apa saya lupa, harganya 2,50 euro. Dengan flat rate 13.000 rupiah per 1 euro, ini setara 32.500 rupiah. Di Indonesia dapat minuman mineral 600 ml setengah karton!? Tetapi apa daya haus sudah di ujung tenggorokan, dengan berat hati stillwater entah merk apa itu pun saya beli sambil meringis.
Sambil masih belum bisa memahami perbandingan antara satu botol air mineral dengan setengah karton air mineral di negeri sendiri, Thalys tiba di Paris Garde du Nord. Stasiun terakhir Thalys di kota Paris yang seringnya disingkat dengan Paris Nord. Semua wajah penumpang tampak cerah karena matahari di Paris lebih hangat. Berjalan dari gerbong ke 18 paling belakang menuju pintu keluar stasiun dengan beban peralatan yang berat memang tidak menyenangkan. Jauhnya ada sekitar seratusan meter. Lagi berat-beratnya menenteng barang bawaan yang isinya hanya baju dan peralatan liputan, tiga polisi Perancis yang berjaga di Paris Nord sudah berteriak. “You!”, sambil menunjuk dan menggerakkan tangan memberi isyarat untuk minggir dari aliran penumpang. Paspor dan serangkaian pertanyaan standar. Tetapi yang tidak terasa nyaman di telinga adalah nada bicara para polisi ini yang tinggi dan congkak. Berkali-kali saya bilang bahwa saya datang untuk meliput PARIS AIR SHOW 2013 di Le Bourget tetapi mereka tetap terus mengepung. Saya datang dalam rombongan besar atas undangan Airbus dan bla bla bla. Mereka seperti tidak mengerti yang saya ucapkan, dan kembali mencecar.
Saya menjadi kebingungan karena bahasa Inggris mereka lebih hancur dari bahasa Inggris saya. Tetapi semua kembali normal setelah saya menjawab pertanyaan terakhir, bahwa saya tidak mengenal seorang yang sudah mereka tahan di sudut stasiun (terlihat seorang pemuda tanggung skin head yang seperti anak-anak skin head Jerman). Saya kemudian melenggang sambil kembali memanggul peralatan saya bergabung dengan rombongan yang telah lolos jauh di depan. Ini adalah pelajaran pertama saya bahwa orang Perancis memang sombong dan tidak bersahabat. Polisi di Amsterdam menurut saya malah menampakkan wajah senyum daripada seram. Tetapi kenapa begitu banyak yang mengidolakan orang Perancis? Apakah karena bicaranya yang sengau itu? Konon katanya saking banyaknya imigran dari Afrika yang membuat banyak masalah di Paris, sehingga mereka akan waspada dengan yang gelap-gelap, dan saya sialnya memang tidak cukup terang warna kulitnya sebagai orang Indonesia.
Dua sopir yang menjemput kami bukanlah orang Perancis. Satu orang Indonesia, sudah sejak umur du atahun tinggal di paris, dan satunya adalah orang Kamboja. Umurnya semuanya masih tiga puluhan tahun. Sepanjang jalan menuju hotel Pullman di dekat Eiffel Tower, Rama (nama sopir di mobil saya) membagi beberapa informasi penting. Yang paling ditekankan adalah saat berada di tempat-tempat wisata atau keramaian di Paris, yaitu supaya kami berhati-hati dengan orang-orang dari Afrika. Mereka terkenal ‘berbahaya’ dan sering menjadi pembuat onar. Kalau tidak perlu sekali sebaiknya hindari komunikasi apapun atau dekat-dekat dengan mereka. Jalanan kota Paris adalah jalanan yang padat meski memang tidak ada kemacetan. Yang membuat saya kagum adalah jalur untuk sepeda di seluruh penjuru kota! Sungguh mengagumkan, pesepeda memiliki privelege yang begitu luar biasa di kota kelas dunia ini. Jadi tak heran saat mata melihat para pesepeda di jalu mereka, selalu terlihat wajah riang dan tenang karena hampir dipastikan 99 % mereka tidak akan tersenggol kendaraan roda empat.
Bangunan di seluruh penjuru kota Paris memang mengagumkan. Terutama bangunan-bangunan penting berukuran besar seperti gedung-gedung pemerintahan, gereja (jangan ditanya kalau untuk yang ini), museum (Luvre salah satu contohnya), dan lain sebagainya. Semuanya didominasi oleh batu dan semuanya berhias dengan aneka ragam pahatan yang unik. Keindahan yang ada menyatu dengan kokoh dan gagahnya bangunan. Mirip benteng tetapi penuh dengan cita rasa seni yang tinggi! Rumah kecil, bangunan toko, dan apalagi bangunan bersejarah yang menjadi kebanggan kota Paris, penuh dengan pahatan indah sarat makna. Patung-patung pahlawan mereka (salah satunya adalah Napoleon Bonaparte) tersebar di seluruh penjuru kota. Yang tidak tampak adalah gedung pencakar langit, entah mata saya yang error, tetapi saya tidak melihat satu pun gedung pencakar langit di kota Paris! Jawaban untuk hal ini diutarakan oleh sopir kami, di Paris orang tidak boleh memugar bangunan kemudian menjadikannya bangunan yang sama sekali baru. Bangunan hanya boleh direnovasi tetapi tidak boleh merubah bentuk aslinya. Pantas saja, kota ini seperti sebuah kota yang dipenuhi bangunan dari abad yang lalu, hanya saja kini dilengkapi dengan segala hal yang sangat modern.
Namun Eiffel Tower tetap yang paling menyita perhatian. Apalagi kami tiba di pusat kota saat malam (akan tetapi sinar matahari masih benderang layaknya jam empat sore hari di Indonsia). Eiffel Tower begitu cantik dengan ratusan lampunya yang sudah menyala. Mengundang decak kagum siapapun yang melihatnya. Tetapi saya masih belum melihat korelasi antara cinta dengan Eiffel Tower ini. Jujur saya kagum dengan arsitektur kota Paris (tidak dengan orangnya) dan terutama dengan Eiffel Tower yang luar biasa itu, tetapi saya tidak berfikir untuk jatuh cinta lagi selain ke pacar saya sekarang. Jadi apa maksudnya beberapa film mengaitkan antara cinta dengan Eiffel Tower? Bagi saya hal tersebut adalah ‘pintarnya’ orang Paris, supaya semua yang sedang jatuh cinta di dunia ini pergi ke Paris. Strategi pariwisata yang halus dan sangat sulit untuk ditolak!
Malam hari pukul setengah sebelas malam (tetapi masih ada sinar matahari meski temaram, seperti pukul lima sore di Jakarta), setelah berkeliling sebentar melihat kota, dan mempersiapkan berbagai keperluan untuk liputan PARIS AIR SHOW 2013 esok hari, kami kembali ke hotel Pullman yang berada seratus meter di sebelah Eiffel Tower. Mata saya sudah panas sebab sejak dari Abu Dhabi hingga Amsterdam sebelumnya saya tidak bisa tidur dengan nyenyak akibat dinginnya AC pesawat. Terbersit niat memminta pramugari mengecilkan AC pesawatnya, tetapi takut ratusan penumpang lainnya ngamuk. Hehehe.
Ada sedikit rasa tidak nyaman, saat petugas lobby hotel (perempuan asal Ghana, saya lupa namanya) menyapa rombongan kami dengan hangat. “Are you guys from Mexico?” dia menyapa salah satu rekan jurnalis saya yang putih tinggi besar asal Jakarta. Tetapi ketika saya nimbrung ngobrol, dia berkata “I know where you come from”. Dikiranya saya dari Ghana juga kah?! Hati saya bertambah panas saat melihat salah satu sudut lobby hotel Pullman yang ditaruh semacam alat charger gadget (segala gadget dapat di cas disitu). Charge-nya untuk tiga puluh menit nge-cas hp disitu 3 euro! Di Indonesia kalau kita numpang nge-cas hp, sama petugas hotelnya malah disiapkan kabel roll dan terminal yang cukup untuk nge-cas hp satu RT. Gratis!!! (Bersambung).
* Foto tidak berurutan, sengaja supaya tidak mengulang apa yang sudah diceritakan pada paragraf bersangkutan. Semua foto diabadikan antara tanggal 16-21 Juni 2013, antara Abu Dhabi, Amsterdam, Paris. No watermark in the pictures, but please don’t use or reproduce, (especially for commercial purposes) without my permission. Please don’t only make money from my pics without respect!!!
Comments