17 Juni hingga 20 Juni 2013 lalu saya berada di Eropa, tujuan utama adalah kota Paris, kami masuk melalui Amsterdam, dalam rangka meliput gelaran PARIS AIR SHOW 2013, pameran dirgantara yang konon terbesar di benua biru Eropa. Pameran berlangsung di Le Bourget, Paris, dan tahun ini adalah kali ke-50 PARIS AIR SHOW (Salon International de L’Aeronautique et de I’Espace) digelar. Sebagai wong ndeso, banyak yang ingin saya tumpahkan melalui blog iseng saya ini. Kesimpulan saya sederhana, surga di bumi itu adalah Indonesia!
Memasuki kamar sendirian di lantai enam Hotel Pullman, yang lokasinya tidak jauh dari Eiffel Tower bukan ide yang bagus. Saya tidak tahu tarif hotel ini, tetapi pastinya mahal mengingat lokasinya. Entah bintang berapa, tetapi melihat bahwa hotel ini ada dalam group ACCOR HOTELS & RESORT, sudah semestinya bukan hotel sembarangan. Saya mungkinjurnalis dengan tentengan paling banyak dan berat. Sesampai di kamar semuany atiba-tiba menjadi berserakan. Saya bongkar semuanya untuk memilah mana yang paling penting untuk saya bawa esok hari. Mata sudah semakin panas. Jika dihitung-hitung, sudah hampir empat puluh jam berlalu sejak saya meninggalkan Jakarta. Melintasi beragam zona waktu yang berbeda, dan hanya tidur kurang lebih enam jam di antara rentang waktu tersebut. Semua gadget saya hidupkan, berharap sinyal kuat gratisan dari wifi yang disediakan hotel. Pesan yang masuk bukannya membuat tenang hati malah memperkeruhnya. Tantangan orang bekerja di ‘rantau’ ternyata bukanlah orang-orang baru yang kita hadapi di jalan, melainkan orang terdekat kita yang menganggap semuanya lancar. Dan jika kita missed menjadi seperti biasanya, maka berarti kita menyembunyikan sesuatu?
listrik yang tidak cocok dengan beberapa kabel yang saya bawa menjadi halangan tersendiri dalam mengisi semu abaterai gadget, dan baterai untuk suting. Jadi harus di cas bergiliran karena sekali nge-cas saya hanya bisa memanfaatkan tiga colokan yang bisa diajak kompromi dengan kabel-kabel saya. Biasanya hal seperti ini tidak terjadi, tetapi entah kenapa kali ini saya seperti menjadi orang yang baru sekali bepergian jauh. Mungkin karena saat di Jakarta tidak bisa konsentrasi penuh mempersiapkan semuanya. Ada dua botol minuman gratis di meja sebelah tempat tidur. Satu botol air mineral (still water) 600 ml, langsung saya tenggak habis setengah, sisanya saya masak di water jar untuk membuat kopi. Salahnya saya, seharusnya saya menyelipkan barang sepuluh bungkus kopi susu kesukaan saya di dalam tas bagasi. Kopi yang ada adalah kopi merk tertentu yang memang familiar ada di setiap hotel di belahan bumi manapun. Saya tidak bisa dengan kopi tersebut karena berdasarkan pengalaman saya selalu sakit perut setelahnya. Oleh karena itu saya memilih teh Lipton yang ada, sambil menyesali diri kenapa tidak membawa kopi sachet seperti biasanya kalau bepergian. Ketakutan kopi akan digeledah di bea cukai yang memaksa saya tidak membawanya ke kota mode dunia ini. Sisa air mineral yang ada adalah satu botol sparkling water, air mineral tetapi seperti ada sodanya. Saya kurang cocok dengan air mineral ini, aneh di mulut. Sehingga saya menenggaknya sedikit saja saat hendak tidur. Sekedar sugesti supaya tubuh tidak kekurangan cairan. Padahal jelas-jelas memang sangat haus. Di mini bar memang ada air mineral still water lainnya, tetapi harganya tidak masuk akal bagi saya. Satu botol still water 600 ml harganya 6 euro!!! Setara dengan dua karton air mineral 600 ml di Indonesia! Gosh!
Saya membuka tirai jendela kamar. Di luar gelap gulita. Tidak ada ayam berkokok. Tidak ada bunyi kendaraan semisal motor yang meraung seperti di Indonesia. Sepi! Kopi hitam dan sebatang rokok akan membuat pagi hening ini sempurna, tetapi tidak bisa terjadi disini karena seluruh ruangan hotel dimanapun itu tidak boleh ada asap rokok. Sehingga semua ritual pagi saya pun berantakan. Tidak bisa disangkal perjalanan sangat panjang selama dua hari kemarin memang merusak metabolisme tubuh saya. ‘Batu’ yang ada di perut saya pun tidak mau keluar barang secuilpun! Saya sendiri yang salah karena selama ini saya membuat ‘rule’ tertentu. Di Indonesia, jika mau mengeluarkan ‘batu’ dari dalam perut, akan saya awali dengan kopi hitam dan sebatang rokok kretek terlebih dahulu, ketika perut mulai bereaksi, barulah saya akan langsung ngacir ke kamar mandi. Saking susahnya ritual buang ‘batu’ ini, saya mandi terlebih dahulu dan kemudian menyeduh sachet kopi dari sebuah merk yang saya tidak suka itu, dan kemudian dengan segelas kopi di tangan saya kabur ke bawah ke samping kiri pintu hotel. Di sana ada taman kecil yang cukup untuk berdiri dua puluhan orang, ada tong sampah satu di sana, disitulah areal yang diperbolehkan ada asap rokok. Mungkin seumur hotel Pullman Paris berdiri, saya satu-satunya yang kabur ke bawah pukul enam pagi (masih gelap gulita!) dengan gelas kopi di tangan dan berdiri linglung sambil ngopi di taman jelek itu. Saya bilang taman jelek karena memang bener-bener taman kecil yang biasa banget. Bagus taman-taman hotel di Indonesia, hotel-hotelnya memiliki taman yang sangat luas dan bagus. Tetapi inilah Paris, mereka memiliki Eiffel Tower yang dikenal oleh alien. Lha kita? Pohon kelapa doang yang di semua negara tropis juga ada. Jadi hikmah pagi itu adalah, saya ngopi di taman jelek sambil merokok, sembari melihat Eiffel Tower yang diam di depan mata saya. Andai Eiffel Tower tahu saya memandangnya bukan karena terkagum-kagum, tetapi dengan doa supaya ada rasa ingin buang ‘batu’ yang muncul di dalam perut saya! Hahaha!
Tidak ada nasi ketika sarapan di lantai 10 yang ruangannya dari kaca, dan kita bisa memandang Eiffel Tower itu. Tetapi ketakutan akan harga-harga mahal di lokasi pameran, dan menu yang tidak cocok, nanti siang membuat mulut begitu bersemangat mengunyah berbagai makanan yang ada. Menu breakfastnya cukup cocok di lidah, mungkin karena hotel ini menjadi favorit berbagai tamu lintas negara sehingga menu yang disajikan juga cocok untuk lidah Indonesia. Gerimis turun di luar membuat pandangan ke Eiffel Tower terhalang. Ada satu waiters berasal dari pulau xxxx di Indonesia yang sangat terkenal pariwisatanya, tetapi saya lupa nama waiters ini. Saya tidak tertarik membuat obrolan panjang dengan waiters tersebut karena dia tidak mengatakan bahwa dia juga berasal dari Indonesia. Dia bertanya “Bapak dari Indonesia ya?” Lalu saya bertanya apakah dia orang Indonesia? “Saya orang xxxx pak”. Kenapa harus ada kebanggaan setinggi itu, bukankah kita satu negara? Kalau saya menjawab,”Bukan saya orang Jawa”, bolehlah dia menjawab begitu. Saya pun kembali konsentrasi makan, minum, makan dan minum lagi. Saya ingat-ingat, saya belum pernah sarapan serakus ini seumur hidup saya!
Le Bourget, tempat PARIS AIR SHOW 2013 berlangsung, ada di pinggiran kota Paris, dapat ditempuh dalam waktu tiga puluh menit dengan menggunakan van yang mengangkut kami. Van yang bagus dari produsen mobil ternama Jerman, plat nomor mobilnya ada gambar bendera Euro, huruf F (yang menyatakan itu mobil negara Perancis) dan deretan nomor kendaraan. Ada dua huruf bersebelahan yang jika itu disebutkan di Indonesia itu adalah inisial salah satu konglomerat paling kaya, yang berhasil membangun bisnis dalam berbagai bidang dengan keahliannya yang luar biasa. Semoga saya ketularan berkah menjadi seperti beliau. Amin. Saya meski dengan menenteng kamera video (sudah HD) kecil, tetap tegak kepala saat diperiksa petugas security. Bagaimana tidak, kartu pass kami adalah undangan khusus dari Airbus (Perancis) dan juga undangan VIP dari Bombardier (perusahaan pesawat asal Kanada). “Welcome sir,” kata petugas security. “Merci boucoup,” jawab saya dalam logat Perancis - Jawa. Gaya banget, padahal bahasa Perancis yang saya tahu ya cuma itu selain au revoir, viola, dan olala. Ngakak!
Tantangan meliput acara sebesar PARIS AIR SHOW 2013 adalah luasnya areal pameran, dan kedua adalah akses yang terbatas. Akses tidak terbatas kita adalah melihat segala jenis pesawat yang dipajang di lapangan. Kalau untuk ini kita mau mengambil gambar sampai kamera pecah juga dipersilahkan. Tetapi semua pesawat itu tersebar di areal yang sangat luas dan juga panas! Suhu udara sekitar 33 derajat selsius, musim panas yang gila di Perancis! Meski panasnya udara Le Bourget ini lebih banyak dipengaruhi karena kita berada di atas lapangan udara. Perpindahan dari satu titik ke titik lainnya adalah ‘PR’ tersendiri untuk jurnalis yang menenteng peralatan yang cukup berat. Memang ada mobil-mobil kecil seperti di lapangan golf yang bisa mengangkut kita, tetapi itu tergantung siapa kita. Misalnya mobil kecil itu (namanya apa ya mobil seperti di tempat golf ini?) ditempeli stiker Boeing, jika kita hendak menumpang, sopirnya akan bertanya, mana kartu undangan dari Boeing-nya. Jika kita tidak bisa menunjukkan, maka dia akan langsung kabur dan tidak peduli apapun yang kita ucapkan. Rata-rata sopir mobil tersebut, adalah orang berkulit hitam. Sepertinya para imigran Afrika. Begitu juga petugas bersih-bersih dan juga ‘seksi sibuk’ di lapangan terbang lainnya berkulit gelap semuanya.
Kesulitan kedua adalah mengambil gambar di chalet/booth milih maskapai ataupun produsen pesawat. Chalet/booth tersebut didesain seperti sebuah bangunan mall kecil yang bagus. Pengamanannya ketat. Security di depan chalet tersebut tidak mengenal kompromi. Apalagi jika booth/chalet tersebut adalah chalet/booth yang diproyeksikan untuk deal bisnis. Booth/chalet yang diperuntukkan untuk display produk mereka saja, jika kita tidak memiliki kartu yang dikeluarkan oleh perusahaan mereka, kita tidak bisa masuk. Invitation only! Mau kita bule perlente, artis sexy, orang berseragam militer, jurnalis yang dikirim alien sekalipun tidak akan diijinkan masuk apapun alasannya. Jadi semisal saya, hanya memiliki dua kartu akses dari Airbus dan Bombardier, hanya boleh masuk ke dua ruang pamer dari dua pabrik pesawat tersebut. Itupun hanya di ruang pamernya saja, kita tidak bisa masuk ke booth lain yang mereka proyeksikan untuk menampung undangan khusus mereka (padahal masih dalam satu bangunan yang sama). Di ruang pamer tersebut hanya ada miniatur pesawat, tumpukan merchandise, katalog-katalog, dan yang dominan lainnya adalah kerumunan orang berjas entah dari belahan bumi mana saja.
Namun sebagai jurnalis kita tidak boleh patah arang. Kita harus berpikir cepat dan memprioritaskan apa yang mungkin daripada kita menghabiskan waktu untuk yang tidak mungkin. Jadi fokus saya kemudian pada lapangan terbang saja yang memiliki banyak pesawat yang dijejer disana, meski itupun kita juga tidak bisa masuk ke dalam pesawat tersebut. Kita hany abisa mengambil gambar pesawatnya dari luar saja. Jika ingin naik ataupun masuk kabin pesawat-pesawat tersebut, lagi-lagi kita harus menunjukkan kartu akses yang dikeluarkan oleh mereka. Misalnya mau mengabadikan bagian dalam helikopter Black Hawk, maka kita harus menunjukkan kartu undangan kecil yang menyatakan Sikorsy Visiteur seukuran kartu atm ke petugas mereka. Jika tidak bisa, mereka akan mengusir kita dan mempersilahkan mengambil gambar dari luar pagar.
Jujur gambar yang bisa saya ambil menurut saya adalah gambar biasa saja. hanya kumpulan aneka ragam model pesawat yang parkir di lapangan terbang, tetapi dikerumuni banyak orang. Tetapi semua tetap harus disyukuri, momen seperti ini toh tidak setiap kali ada, meski saya ragu akan 'laku' atau tidak nantinya di Indonesia. Tantangan terakhir adalah tentang kebutuhan primer berbenturan dengan kemampuan kantong. Haus tidak bisa ditahan sama sekali. Memang ada minuman dan makanan gratis di booth/chalet yang mengundang kita (Airbus & Bombardier) tetapi lokasinya jauh dari lapangan tempat pesawat-pesawat diparkir. Kios minuman dan makanan kecil ada di beberapa titik di lapangan, tetapi kembali, harganya sungguh tidak masuk akal. Satu kaleng minuman dingin harganya 6.80 euro!!! Saya ingat dengan jelas hari itu saya baru membeli minuman pukul tiga sore hari, dan makan siang pada pukul empat sore setelah mendapatkan panggilan dari pihak pengundang kami untuk berkumpul di sebuah ‘warung tenda’ di dekat Boeing 747 milik AIR FRANCE yangtelah dimuseumkan. Jambon A La Broche nama ‘warung tenda’ super besar itu. Pengelolanya orang Perancis, tetapi pelayan-pelayannya orang Aljazair. Dua pemiliknya begitu ramah menyapa kami kami, tetapi para pelayannya yang pria-pria perlente itu begitu sombong. Tetapi anehnya ketika ada rombongan orang berseragam militer Aljazair masuk, mereka ramah seperti sedang bertemu calon mertua! Sudah pingin nimpuk pakai tripod saja saya rasanya. Menu conrad confit (bebek goreng) seharga 19.80 euro yang pantasnya dimakan Obelix itupun saya makan dengan hati geram. Geram karena harganya yang setara dengan IDR 260.000 (meskipun bukan saya yang membayarnya), dan geram karena mereka menyepelekan kami.
Kesan lain tentang PARIS AIR SHOW 2013 adalah gagahnya sang tuan rumah perancis. Mereka memang cerdik, menjadikan ajang PARIS AIR SHOW 2013 ini sebagai ajang show of force akan kemampuan mereka dalam memproduksi pesawat penumpang berukuran super jumbo. Pesawat Airbus A350 dan A380 yang mampu mengangkut 850 penumpang mereka perkenalkan dalam ajang ini. First maiden (penerbangan pertama sebuah pesawat secara resmi) dari A350 dilakukan di tempat ini. Sayangnya kami tidak mendapatkan gambarnya karena hal tersebut terjadi pada tanggal 17 Juni, sementara kami baru nongol di Le Bourget pada tanggal 18 Juni. Ada insiden kecil saat A380 baru keluar dari hanggar pada hari pertama, sayap kananya menghantam bangunan dan sedikit rontok, tentunya segera diperbaiki dan kembali seperti semula. Tetapi untungnya kami masih mendapatkan momen terbangnya A380, pesawat paling menyita perhatian selama pameran. Sudah sejak lama pesawat ini dibahas karena kapasitasnya yang super jumbo. Double deck pula. Dan konon beberapa maskapai yang sudah mengoperasikannya malah ada yang membuat play room untuk anak-anak kecil di deck atasnya. Saat A380 yang sudah di cat British Airways berputar-putar di udara, melenggak lenggok layaknya sebuah burung raksasa, ada kagum yang tidak bisa saya sangkal. Biasanya pesawat capung yang melakukan gerakan-gerakan tersebut, eh ini pesawat super jumbo! Tetapi secara pribadi saya lebih suka dengan Antonov 70 buatan Russia. Pesawat kargo militer produksi tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh empat ini tidak tertandingi sebagai pesawat angkut militer. Kapasitas kargo hingga 47.000 ton dengan daya jelajah 6.600 km! Pesawat angkut militer Airbus A400 yang baru dikeluarkan tahun 2008 bahkan hanya mampu mengangkut 37.000 ton.
Pukul 17.00 sore hari, yang mana panasnya masih seperti pukul 14.00 wib, kami sudah berada dalam antrian panjang semua mobil yang mengarah ke pintu keluar untuk pulang. Macet tak dapat dihindari. Yang unik, ini sungguh-sungguh baru bagi saya, tidak ada bunyi klakson sekalipun saya dengar! Tidak juga di jalanan kota Paris, tidak sekalipun saya mendengar klakson kendaraan. Kalaupun ada bunyi kendaraan yang pernah saya dengar (bukan bunyi mesinnya lho ya) adalah bunyi sirene mobil polisi dan sirene mobil pemadam kebakaran saja. Hari itu kami sampai di Hotel Pullman pukul 23.30 waktu setempat, setelah sempat berkeliling kota sebentar mencari tempat makan yang ada nasi-nya (meski kemudian juga tidak ketemu). Namun bagi saya ada penghiburan tak ternilai harganya, saya berhasil memaksa rombongan untuk pergi sebentar ke 23 rue de Sevigne, lokasi Carnavalet Musee, dimana pada gerbangnya ada COAT OF ARM kota Paris. Pada coat of arm kota Paris tersebut ada tulisan Latin yang sudah saya idam-idamkan untuk saya potret selama 15 belas atau 20 tahun terakhir ini. FLUCTUAT NEC MERGITUR! Meski memotret tidak bisa maksimal karena sudah malam dan posisi coat of arm yang tinggi di atas pagar (foto disamping diambil oleh rekan saya Arief S/Jakarta Post yang memiliki kamera lebih mumpuni). But still I said THANKS GOD for priceless moment! (Bersambung).
* Foto tidak berurutan, sengaja supaya tidak mengulang apa yang sudah diceritakan pada paragraf bersangkutan. Semua foto diabadikan antara tanggal 16-21 Juni 2013, antara Abu Dhabi, Amsterdam, Paris. No watermark in the pictures, but please don’t use or reproduce, (especially for commercial purposes) without my permission. Please don’t only make money from my pics without respect!!!
Memasuki kamar sendirian di lantai enam Hotel Pullman, yang lokasinya tidak jauh dari Eiffel Tower bukan ide yang bagus. Saya tidak tahu tarif hotel ini, tetapi pastinya mahal mengingat lokasinya. Entah bintang berapa, tetapi melihat bahwa hotel ini ada dalam group ACCOR HOTELS & RESORT, sudah semestinya bukan hotel sembarangan. Saya mungkinjurnalis dengan tentengan paling banyak dan berat. Sesampai di kamar semuany atiba-tiba menjadi berserakan. Saya bongkar semuanya untuk memilah mana yang paling penting untuk saya bawa esok hari. Mata sudah semakin panas. Jika dihitung-hitung, sudah hampir empat puluh jam berlalu sejak saya meninggalkan Jakarta. Melintasi beragam zona waktu yang berbeda, dan hanya tidur kurang lebih enam jam di antara rentang waktu tersebut. Semua gadget saya hidupkan, berharap sinyal kuat gratisan dari wifi yang disediakan hotel. Pesan yang masuk bukannya membuat tenang hati malah memperkeruhnya. Tantangan orang bekerja di ‘rantau’ ternyata bukanlah orang-orang baru yang kita hadapi di jalan, melainkan orang terdekat kita yang menganggap semuanya lancar. Dan jika kita missed menjadi seperti biasanya, maka berarti kita menyembunyikan sesuatu?
listrik yang tidak cocok dengan beberapa kabel yang saya bawa menjadi halangan tersendiri dalam mengisi semu abaterai gadget, dan baterai untuk suting. Jadi harus di cas bergiliran karena sekali nge-cas saya hanya bisa memanfaatkan tiga colokan yang bisa diajak kompromi dengan kabel-kabel saya. Biasanya hal seperti ini tidak terjadi, tetapi entah kenapa kali ini saya seperti menjadi orang yang baru sekali bepergian jauh. Mungkin karena saat di Jakarta tidak bisa konsentrasi penuh mempersiapkan semuanya. Ada dua botol minuman gratis di meja sebelah tempat tidur. Satu botol air mineral (still water) 600 ml, langsung saya tenggak habis setengah, sisanya saya masak di water jar untuk membuat kopi. Salahnya saya, seharusnya saya menyelipkan barang sepuluh bungkus kopi susu kesukaan saya di dalam tas bagasi. Kopi yang ada adalah kopi merk tertentu yang memang familiar ada di setiap hotel di belahan bumi manapun. Saya tidak bisa dengan kopi tersebut karena berdasarkan pengalaman saya selalu sakit perut setelahnya. Oleh karena itu saya memilih teh Lipton yang ada, sambil menyesali diri kenapa tidak membawa kopi sachet seperti biasanya kalau bepergian. Ketakutan kopi akan digeledah di bea cukai yang memaksa saya tidak membawanya ke kota mode dunia ini. Sisa air mineral yang ada adalah satu botol sparkling water, air mineral tetapi seperti ada sodanya. Saya kurang cocok dengan air mineral ini, aneh di mulut. Sehingga saya menenggaknya sedikit saja saat hendak tidur. Sekedar sugesti supaya tubuh tidak kekurangan cairan. Padahal jelas-jelas memang sangat haus. Di mini bar memang ada air mineral still water lainnya, tetapi harganya tidak masuk akal bagi saya. Satu botol still water 600 ml harganya 6 euro!!! Setara dengan dua karton air mineral 600 ml di Indonesia! Gosh!
Pagi hari datang lebih cepat dari kecepatan kereta api Thalys. Ketakutan akan terlambat bergabung dengan rombongan, memaksa saya memasang alarm pukul lima pagi hari, padahal kita janjian di lobby pukul tujuh pagi. Dan ketika saya bangun posisi saya sangat aneh. Bukan karena ada setan Eiffel yang memindahkan saya, tetapi ternyata saya hanya rebahan separo badan saja di atas kasur, dengan kedua kaki masih berkasut ada di lantai. Saya ingat-ingat, malam hari kemarin memang saya hanya berniat meluruskan punggung sebentar, tetapi ternyata saya langsung KO tanpa sadar. Untungnya tubuh saya merespon alarm dari ponsel yang waktunya telah saya cocokkan dengan waktu di kota Paris. Aman, lebih baik bangun lebih awal daripada mepet dan terburu-buru nantinya, dalam hati saya bergumam. Kita ini para pekerja lapangan bukannya telah terbiasa tidur sekejap saja? Ini masih sangat nyaman, kita berada di hotel yang bagus. Di Indonesia dalam berbagai tugas lapangan kita terpaksa menginap di tempat seadanya dengan jam kerja yang seringnya lebih pagi dari ini karena harus mengejar momen di tempat yang jauh, yang mana mau tak mau kita harus berangkat dari hotel pukul empat atau lima pagi.
Tidak ada nasi ketika sarapan di lantai 10 yang ruangannya dari kaca, dan kita bisa memandang Eiffel Tower itu. Tetapi ketakutan akan harga-harga mahal di lokasi pameran, dan menu yang tidak cocok, nanti siang membuat mulut begitu bersemangat mengunyah berbagai makanan yang ada. Menu breakfastnya cukup cocok di lidah, mungkin karena hotel ini menjadi favorit berbagai tamu lintas negara sehingga menu yang disajikan juga cocok untuk lidah Indonesia. Gerimis turun di luar membuat pandangan ke Eiffel Tower terhalang. Ada satu waiters berasal dari pulau xxxx di Indonesia yang sangat terkenal pariwisatanya, tetapi saya lupa nama waiters ini. Saya tidak tertarik membuat obrolan panjang dengan waiters tersebut karena dia tidak mengatakan bahwa dia juga berasal dari Indonesia. Dia bertanya “Bapak dari Indonesia ya?” Lalu saya bertanya apakah dia orang Indonesia? “Saya orang xxxx pak”. Kenapa harus ada kebanggaan setinggi itu, bukankah kita satu negara? Kalau saya menjawab,”Bukan saya orang Jawa”, bolehlah dia menjawab begitu. Saya pun kembali konsentrasi makan, minum, makan dan minum lagi. Saya ingat-ingat, saya belum pernah sarapan serakus ini seumur hidup saya!
Le Bourget, tempat PARIS AIR SHOW 2013 berlangsung, ada di pinggiran kota Paris, dapat ditempuh dalam waktu tiga puluh menit dengan menggunakan van yang mengangkut kami. Van yang bagus dari produsen mobil ternama Jerman, plat nomor mobilnya ada gambar bendera Euro, huruf F (yang menyatakan itu mobil negara Perancis) dan deretan nomor kendaraan. Ada dua huruf bersebelahan yang jika itu disebutkan di Indonesia itu adalah inisial salah satu konglomerat paling kaya, yang berhasil membangun bisnis dalam berbagai bidang dengan keahliannya yang luar biasa. Semoga saya ketularan berkah menjadi seperti beliau. Amin. Saya meski dengan menenteng kamera video (sudah HD) kecil, tetap tegak kepala saat diperiksa petugas security. Bagaimana tidak, kartu pass kami adalah undangan khusus dari Airbus (Perancis) dan juga undangan VIP dari Bombardier (perusahaan pesawat asal Kanada). “Welcome sir,” kata petugas security. “Merci boucoup,” jawab saya dalam logat Perancis - Jawa. Gaya banget, padahal bahasa Perancis yang saya tahu ya cuma itu selain au revoir, viola, dan olala. Ngakak!
Ketika sudah berada di dalam lapangan, yang terpikir cuma kerja, kerja dan kerja. Waktu yang ada untuk mengambil gambar bagi saya dan juga semua jurnalis Indonesia lainnya cuma satu hari itu saja (efektif tujuh jam saja). Jadi masing-masing semburat sesuai keinginan masing-masing untuk mengamankan tugas masing-masing. Saya lupa minum, lupa makan dan lupa memberi kabar ke Indonesia. Hal yang tidak saya sesali karena saya yakin orang yang saya cintai maklum akan hal ini. Saya tidak bisa membahas materi liputan saya di PARIS AIR SHOW 2013 ini, jadi untuk apa yang saya liput, Anda dapat melihatnya di layar kaca perusahaan saya bekerja, Trans 7. Satu hal yang pasti, saya sebagai orang Indonesia ikut bangga. Maskapai pelat merah kita Garuda Indonesia berhasil mendapatkan dua award kelas dunia pada ajang ini. Lembaga pemeringkat independen Skytrax (London – Inggris) menganugerahkan dua award sebagai “Best Economy Airline Seat 2013” dan yang fenomenal adalah award “Worlds Best Economy Airlines 2013” mengalahkan sepuluh maskapai kelas dunia lainnya seperi Singapore Airlines, dan Etihad sekalipun!
Kesulitan kedua adalah mengambil gambar di chalet/booth milih maskapai ataupun produsen pesawat. Chalet/booth tersebut didesain seperti sebuah bangunan mall kecil yang bagus. Pengamanannya ketat. Security di depan chalet tersebut tidak mengenal kompromi. Apalagi jika booth/chalet tersebut adalah chalet/booth yang diproyeksikan untuk deal bisnis. Booth/chalet yang diperuntukkan untuk display produk mereka saja, jika kita tidak memiliki kartu yang dikeluarkan oleh perusahaan mereka, kita tidak bisa masuk. Invitation only! Mau kita bule perlente, artis sexy, orang berseragam militer, jurnalis yang dikirim alien sekalipun tidak akan diijinkan masuk apapun alasannya. Jadi semisal saya, hanya memiliki dua kartu akses dari Airbus dan Bombardier, hanya boleh masuk ke dua ruang pamer dari dua pabrik pesawat tersebut. Itupun hanya di ruang pamernya saja, kita tidak bisa masuk ke booth lain yang mereka proyeksikan untuk menampung undangan khusus mereka (padahal masih dalam satu bangunan yang sama). Di ruang pamer tersebut hanya ada miniatur pesawat, tumpukan merchandise, katalog-katalog, dan yang dominan lainnya adalah kerumunan orang berjas entah dari belahan bumi mana saja.
Namun sebagai jurnalis kita tidak boleh patah arang. Kita harus berpikir cepat dan memprioritaskan apa yang mungkin daripada kita menghabiskan waktu untuk yang tidak mungkin. Jadi fokus saya kemudian pada lapangan terbang saja yang memiliki banyak pesawat yang dijejer disana, meski itupun kita juga tidak bisa masuk ke dalam pesawat tersebut. Kita hany abisa mengambil gambar pesawatnya dari luar saja. Jika ingin naik ataupun masuk kabin pesawat-pesawat tersebut, lagi-lagi kita harus menunjukkan kartu akses yang dikeluarkan oleh mereka. Misalnya mau mengabadikan bagian dalam helikopter Black Hawk, maka kita harus menunjukkan kartu undangan kecil yang menyatakan Sikorsy Visiteur seukuran kartu atm ke petugas mereka. Jika tidak bisa, mereka akan mengusir kita dan mempersilahkan mengambil gambar dari luar pagar.
Jujur gambar yang bisa saya ambil menurut saya adalah gambar biasa saja. hanya kumpulan aneka ragam model pesawat yang parkir di lapangan terbang, tetapi dikerumuni banyak orang. Tetapi semua tetap harus disyukuri, momen seperti ini toh tidak setiap kali ada, meski saya ragu akan 'laku' atau tidak nantinya di Indonesia. Tantangan terakhir adalah tentang kebutuhan primer berbenturan dengan kemampuan kantong. Haus tidak bisa ditahan sama sekali. Memang ada minuman dan makanan gratis di booth/chalet yang mengundang kita (Airbus & Bombardier) tetapi lokasinya jauh dari lapangan tempat pesawat-pesawat diparkir. Kios minuman dan makanan kecil ada di beberapa titik di lapangan, tetapi kembali, harganya sungguh tidak masuk akal. Satu kaleng minuman dingin harganya 6.80 euro!!! Saya ingat dengan jelas hari itu saya baru membeli minuman pukul tiga sore hari, dan makan siang pada pukul empat sore setelah mendapatkan panggilan dari pihak pengundang kami untuk berkumpul di sebuah ‘warung tenda’ di dekat Boeing 747 milik AIR FRANCE yangtelah dimuseumkan. Jambon A La Broche nama ‘warung tenda’ super besar itu. Pengelolanya orang Perancis, tetapi pelayan-pelayannya orang Aljazair. Dua pemiliknya begitu ramah menyapa kami kami, tetapi para pelayannya yang pria-pria perlente itu begitu sombong. Tetapi anehnya ketika ada rombongan orang berseragam militer Aljazair masuk, mereka ramah seperti sedang bertemu calon mertua! Sudah pingin nimpuk pakai tripod saja saya rasanya. Menu conrad confit (bebek goreng) seharga 19.80 euro yang pantasnya dimakan Obelix itupun saya makan dengan hati geram. Geram karena harganya yang setara dengan IDR 260.000 (meskipun bukan saya yang membayarnya), dan geram karena mereka menyepelekan kami.
Kesan lain tentang PARIS AIR SHOW 2013 adalah gagahnya sang tuan rumah perancis. Mereka memang cerdik, menjadikan ajang PARIS AIR SHOW 2013 ini sebagai ajang show of force akan kemampuan mereka dalam memproduksi pesawat penumpang berukuran super jumbo. Pesawat Airbus A350 dan A380 yang mampu mengangkut 850 penumpang mereka perkenalkan dalam ajang ini. First maiden (penerbangan pertama sebuah pesawat secara resmi) dari A350 dilakukan di tempat ini. Sayangnya kami tidak mendapatkan gambarnya karena hal tersebut terjadi pada tanggal 17 Juni, sementara kami baru nongol di Le Bourget pada tanggal 18 Juni. Ada insiden kecil saat A380 baru keluar dari hanggar pada hari pertama, sayap kananya menghantam bangunan dan sedikit rontok, tentunya segera diperbaiki dan kembali seperti semula. Tetapi untungnya kami masih mendapatkan momen terbangnya A380, pesawat paling menyita perhatian selama pameran. Sudah sejak lama pesawat ini dibahas karena kapasitasnya yang super jumbo. Double deck pula. Dan konon beberapa maskapai yang sudah mengoperasikannya malah ada yang membuat play room untuk anak-anak kecil di deck atasnya. Saat A380 yang sudah di cat British Airways berputar-putar di udara, melenggak lenggok layaknya sebuah burung raksasa, ada kagum yang tidak bisa saya sangkal. Biasanya pesawat capung yang melakukan gerakan-gerakan tersebut, eh ini pesawat super jumbo! Tetapi secara pribadi saya lebih suka dengan Antonov 70 buatan Russia. Pesawat kargo militer produksi tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh empat ini tidak tertandingi sebagai pesawat angkut militer. Kapasitas kargo hingga 47.000 ton dengan daya jelajah 6.600 km! Pesawat angkut militer Airbus A400 yang baru dikeluarkan tahun 2008 bahkan hanya mampu mengangkut 37.000 ton.
Mencoba keluar dari lokasi pameran pada pukul lima sore,
adalah perjuangan tersendiri. Karena semua tutup berbarengan, baik booth/chalet
dan juga lokasi pameran pesawat di lapangan, semua kendaraan dan orang ‘mengalir’
ke arah yang sama yakni pintu keluar. Memang pintu keluar ada banyak, tetapi
tetap saja dengan kendaraan sebanyak itu, dan juga orang sebanyak itu, perlu
waktu yang tidak sebentar untuk sampai di gerbang pintu keluar. Van kami harus
berjalan pelan karena banyaknya kendaraan sore itu. Yang saya salut adalah
bagaimana orang-orang di Paris jalan kaki, dan tampaknya ini juga berlaku di
kota-kota lain di Eropa (saking bersahabatnya pedestrian untuk pejalan kaki? Saking
mahalnya taksi? Dan atau karena stasiun subway yang jaraknya tidak seberapa
jauh?) saat van kami sampai sudah di areal kira-kira dua kilometer dari Le
Bourget, kami masih menemui rombongan orang berjas rapi yang menenteng-nenteng
pernak-pernik dari pameran (mereka adalah para pekerja di booth/chalet)
maskapai tertentu. Banyak juga perempuan berpakaian rapi di antara mereka. Hal
seperti ini tidak akan ada di Indonesia, apalagi kalau untuk perempuan. Ojek,
taksi, dan atau minta dijemput dengan apapun biasanya. Itulah kenapa dari hal
sepele seperti ini (ini salah satunya saja), konsumsi bbm di negara kita
berkali lipat banyaknya dibandingkan dengan di negara maju seperti di Perancis
ini misalnya. Mungkin kita sendiri pernah melakukannya, mau belanja atau
membeli sesuatu di gang sebelah, naik motor. Mau ke suatu tempat yang kira-kira
jaraknya 3 kiloan meter, naik ojek. Atau menggunakan kendaraan pribadi
masing-masing. Di Paris, orang-orang yang kinyis-kinyis itu jalan kaki
setidaknya lima kilometer per hari!!! Apakah mereka tidak memiliki kendaraan???
Mereka melakukannya karena lebih hemat dan sehat. Untuk jarak yangs angat jauh
saja memakai bus, kereta, dan kendaraan pribadi (kendaraan pribadi hanya untuk
urusan penting dan jarak jauh saja).
* Foto tidak berurutan, sengaja supaya tidak mengulang apa yang sudah diceritakan pada paragraf bersangkutan. Semua foto diabadikan antara tanggal 16-21 Juni 2013, antara Abu Dhabi, Amsterdam, Paris. No watermark in the pictures, but please don’t use or reproduce, (especially for commercial purposes) without my permission. Please don’t only make money from my pics without respect!!!
Comments