Ini adalah tulisan iseng bagian ketiga dari perjalanan
singkat saya ke Paris & Amsterdam pada tanggal 16-21 Juni lalu. Dalam waktu
yang singkat itu saya mengambl kesimpulan bahwa heaven on earth is Indonesia.
Tetapi ada yang sedikit saya sesali yakni keterbatasan waktu untuk melihat
dengan tenang ragam pesona kota Paris & Amsterdam. Terutama tentang kota
Paris. Mimpi sederhana untuk mengabadikan coat of arm kota Paris yang ada
tulisan Latin-nya “fluctuat nec mergitur” pun harus penuh perjuangan dan
kecepatan saking sedikitnya waktu. Ada doa lirih, semoga Tuhan mengijinkan saya
kembali ke sana untuk membuat dokumentasi yang lebih lengkap tentang coat of
arm kota Paris ini.
Saya mengenal coat of arm (lambang) kota Paris ini pada
jaman kuliah di Bandung antara 1999-2004. Jadi kalau dihitung sudah empat belas
tahun saya mengenalnya, melebihi saya mengenal lambang kota atau kabupaten saya
dilahirkan di Malang. Bukan karena saya ingin sok keren atau apa. Bermula dari
keisengan mengamati kata-kata latin pada logo klub-klub sepakbola di Eropa,
saya menemukan sesuatu yang menarik pada logo klub Olympique Marseille, klub
yang ketika Drogba bermain disana pernah juara Liga Champion. Ada tulisan
“droit au but” pada logo klub tersebut, yang artinya “straight to the goal”.
Dan kemudian ada link yang terhubung dengan gambar coat of arm kota Paris ini
di page yang saya buka di komputer saya. Saya menganggap motto yang terdapat
pada lambang kota Paris sangat menginspirasi hidup saya dan memberi semangat
untuk terus bertahan, seperti layaknya kota Paris yang tegar menghadapi jaman
sejak tahun 1896. Uniknya gambarnya boleh dibuat sesuka hati oleh seluruh warga
Paris. Sehingga tak heran ada banyak sekali gambar coat of arm kota Paris ini
dimana-mana. Intinya pada lambang tersebut ada gambar kapal yang sedang terkena
badai, aslinya selalu ada tulisan Latin-nya yang berbunyi “fluctuat nec
mergitur”, (She, merujuk pada kapalnya yang dalam bahasa Inggris dianggap kata
yang jamak) tossed by the wave but does not sink. Tetapi seringnya artinya disingkat menjadi
“tossed by the wave but does not sink”. Artinya saya yakin Anda semua dapat
memahaminya sendiri.
Pada mulanya lambang tersebut adalah lambang perkumpulan
para pelaut (asosiasi kapal dagang?) di Sungai Seine pada masa keemasan Romawi,
yang berjaya di Eropa pada 27 sebelum Masehi – 476 Masehi, yang mana juga
kekaisaran ini ‘menyerbu ke Timur dari tahun 330-1453. Asosiasi dagang para
pelaut di Sungai Seine tersebut memiliki lambang dan aturannya sendiri, semacam
sebuah komunitas kecil yang sangat mandiri. Baru pada tanggal 24 November 1853
lambang ini dijadikan lambang kota Paris. Yang berjasa dalam hal ini adalah
Baron Haussman, salah satu tokoh kota Paris yang mendesain ulang kota Paris
pada tahun 1860 atas perintah Napoleon III. Tata ulang kota Paris yang banyak
dikritik tersebut ‘menghancurkan’ 60 persen kota Paris saat itu. Tetapi hasil
karya-nya menjadi tonggak penting kota Paris hingga seperti sekarang ini. Ciri
khas desain kota yang dia buat adalah jalan lurus besar yang kemudian berujung
pada monument atau tugu besar tertentu, atau jalan-jalan yang lebih kecil dan
kemudian berpusat pada taman besar seperti alun-alun. Contohnya misalnya adalah
desain jalan yang berujung pada Arc de Triomphe
de l'Étoile (Tomb of Unknown Soldier) di barat Champs Elysees. Monumen untuk
mengenang semua orang yang gugur pada masa Revolusi Perancis, perang pada masa
Napoleon, dan juga para prajurit yang gugur pada masa Perang Dunia ke-1.
Kembali ke perjuangan saya
sendiri untuk mengabadikan lambang kota Paris tersebut. Pada tanggal 17 sore
hari, seusai bekerja meliput Paris Air Show 2013 di Le Bourget saya sedikit
pesimis dapat mengambil gambar lambang kota paris tersebut, karena tidak tahu
harus kemana dan bertanya kepada siapa dimana yang kira-kira ada lambang
tersebut. Satu-satunya lokasi yang saya tahu adalah Carnavalet Musee yang ada
di 23 rue de Sevigne. Saya beberapa kali bertanya ke sopir lokasi ini tetapi
dijawab dengan tidak tahu dimana itu dan tidak tahu museum apa itu, tidak
penting dan terkenal di sini. Saya sedikit patah arang, dan apalagi di dalam
rombongan juga tidak ada yang tertarik dengan hal-hal yang berbau sejarah
seperti itu. Semuanya kebanyakan berisik membicarakan lokasi-lokasi populer
seperti Luvre, Eiffel, dan berbelanja. Namun malam hari ketika hendak berangkat
makan malam saya mendekati seorang petugas hotel Pullman untuk menunjukkan
dimana lokasi museum tersebut, dengan sogokan dua batang rokok kretek yang saya
bawa dari Jakarta. Berhasil, berbekal petunjuk tersebut saya meminta ke sopir
untuk mampir kesana meski hanya lima menit sekalipun! Dan meski tidak begitu
didukung oleh rekan-rekan yang lain, usai makan malam yang terlambat, sudah jam
23.00 kami pun tiba di Carnavalet Musee yang berpagar tinggi seperti benteng
dan juga gelap itu.
Lambang yang sudah cukup tua itu
ada di gerbang kiri museum. Sialnya ternyata gerbangnya sangat tinggi dan
gelap. Sehingga sangat sulit difoto. Memakai flash pun terlihat samar. Namun
tetap saya memotretnya dengan kamera ponsel, dan beberapa rekan lain kemudian
ikut memotret dengan SLR yang mereka bawa. Hasil jepretan saya jauh dari
harapan, tetapi beberapa jepretan rekan jurnalis lain cukup terang. Penting
sudah tercapai niat saya, saya sudah bersyukur. Beberapa muda-mudi Paris yang
lewat terheran-heran dengan kami yang sibuk memotret pagar, saya yakin sebagian
dari mereka tidak tahu apa arti lambang di pagar tersebut. Sepanjang perjalanan
pulang kami akhirnya banyak membahas lambang ini. Saya berharap menjadi
inspirasi bagi mereka. Sesampai di hotel saya langsung berkemas, supaya
esok pagi tidak terburu-buru. Esok kereta dari Paris – Amsterdam pukul 17.00
sore, terbersit niat untuk kembali ke Carnavalet Musee pagi harinya, tetapi
kantong tidak mengijinkan karena setidaknya akan habis 50 euro bolak-balik.
Hampir 650.000 rupiah.
Pukul sepuluh pagi tanggal 18 Juni, kami sudah chek out dari
Pullman Hotel dan merangkai aktivitas ‘turis’ kami hari itu; makan siang, dan
berbelanja souvenir. Mungkin sudah jalan-Nya, saat menunggu antrian makan siang
di sebuah restoran Cina di dekat sebuah perempatan, saya melihat-lihat suasana
jalan di perempatan, hari terakhir mata
harus dipuaskan karena belum tentu akan kembali ke kota ini. Ternyata di sebuah
tugu reklame yang disebut “Spetacles”, di atasnya ada lambang kota Paris!!!
Tentunya dengan desain yang berbeda. Ada sebuah kapal berwarna coklat, laut
yang juga coklat, pada sebuah bidang melingkat di atas “Spetacles”. Tuhan
memang maha mendengar, tanpa pikir panjang saya pun memotretnya beberapa kali.
Setelah mendapatkan meja di restoran kecil yang ramai tersebut, kami pun masuk
dan memesan makanan. Lha ternyata, di dinding restoran itu juga ada hiasan
dinding yang ada lambang kota Paris-nya! Terbuat semacam dari kuningan tipis
yang dipigura. Samar karena warna yang seragam, masih terbaca tulisannya
“fluctuat nec mergitur”. Saya langsung minta ijin mencopotnya dan meminta
seorang rekan memotretnya. Makan siang itu semakin nikmat karena ada nasi, cap
cay, dan dan dua foto baru lambang kota Paris. Usai makan siang kami merokok di
bawah pohon depan restoran. Entah darimana datang truk sampah yang hendak
mengambil sampah di depan restoran, truknya bagus, dan di box-nya meski kecil
ada gambar kapal kecil. Itu juga coat of arm kota Paris! Tepatnya coat of arm
yang resmi dijadikan lambang Marie De Paris (pemerintah kota Paris?).
Usai makan siang kami kemudian bergeser ke pusat souvenir.
Saya mencari souvenir standar dengan cepat (untuk dibagikan ke siapapun nanti
di Jakarta) dan mulai lagi mencari lambang kota Paris di toko oleh-oleh
tersebut. Tidak mudah. Sebagian besar toko yang saya masuki tidak memilikinya.
Sampai akhirnya saya bertemu Hamid, penjaga toko yang saya lupa
namanya.”Indonesia?” “Yes” jawab saya. “Assalamualaikum, I’m Hamid from
Aljazair” “Walaikumsallam, I’m Mike from Indonesia”. Saya langsung nyerocos
bahwa saya mencari kaos atau apapun itu yang ada gambar “ini-nya”, saya
menunjukkan foto di ponsel saya. Dan viola! Hamid langsung membongkar tumpukan
kaos dan sweater. Puluhan kaos dan sweater dengan lambang kota Paris ada di
sana. Sialnya ukurannya XXL semuanya! Hanya ada satu yang L, dan itupun
sebenarnya bukan yang saya inginkan karena tidak terlalu mencolok logonya.
Tetapi karena kapan lagi, saya pun menawarnya. Di tulisan di rak, 30 euro. Dan
berdasarkan pengalaman di toko-toko souvenir lain saat membeli souvenir
lainnya, tidak ada tawar menawar. Tetapi entah kenapa saya bilang, 15 euro! Hamid
kaget dan teriak-teriak “You Indonesian bla bla bla dan lain sebagainya”,
tetapi saya tidak tahu artinya. Tetapi kemudian dia memberi saya harga 17 euro.
Dan saya bilang “Terimakasih Hamid my
friend”, dia jawab “Sama-sama”. Tidak
hanya sweater, di toko yang dijaga Hamid juga ada emblem dan juga pin kecil
lambang kota Paris yang keren. Entah apa saya yang merasa beruntung, tetapi
semuanya lebih rendah separonya dari harga yang ditulis di rak-nya. Padahal di
toko souvenir lainnya saat membeli barang lain, benar-benar tidak bisa ditawar.
Sweater biasa di toko lain setidaknya 25 euro.
Saya kembali bergabung dengan rombongan sambil nyengir karena merasa puas. Beberapa rekan lain yang termasuk gila belanja dan cukup “bos” posisinya, minta saya mengantar ke toko yang dijaga Hamid. Dan ketika sampai, saya berteriak “Hamid!”, sambil memberi isyarat teman-teman saya yang lain juga mau berbelanja. Di dalam kaca Hamid memegang kepala kemudian menunjuk-nunjuk saya tetapi dengan tawa yang meledak.”You Indonesian can not keep secret!”. Saya ngacir memilih merokok di trotoar. Bos Hamid(orang Perancis) sempat melintas di dekat saya, dan bilang Hamid baru saja naik haji. Ketika pulang saya pamitan dalam bahasa Indonesia,”Terimakasih Pak Haji!”. Kini giliran bos Hamid yang ngakak. Pukul 16.00 waktu Paris, kami pun bergeser ke Gare du Nord untuk menunggu Thalys yang akan membawa kami kembali ke Amsterdam. (Bersambung).
* Foto mungkin tidak berurutan, sengaja supaya tidak mengulang apa yang sudah diceritakan pada paragraf bersangkutan. Foto lambang kota Paris di pintu Carnavalet Musee (close up) diabadikan oleh Arief S/Jakarta Post. Semua foto diabadikan antara tanggal 16-21 Juni 2013, antara Abu Dhabi, Amsterdam, Paris. No watermark in the pictures, but please don’t use or reproduce, (especially for commercial purposes) without my permission. Please don’t only make money from my pics without respect!!!
Comments