Untuk Amak dan keluarga di pesisir selatan Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Terimakasih.
Ada masa, saya bertanya-tanya apakah saya masih bisa
memancing? Sementara pekerjaan saya begitu padat dan seringnya hanya berada di
sekitar dan mengacak-acak dapur saja? Bukan dapur sendiri pula, melainkan
seluruh dapur di berbagai penjuru Indonesia yang merupakan tempat produksi
olahan-olahan unik/khas daerah bersangkutan. Kegelisahan saya tidak terbukti,
setidaknya setelah melewati beberapa bulan hanya berkawan dengan asap saja
setiap hari. Ada masa memang, dimana sehari tidak memancing membuat pikiran
berantakan. Kuncinya adalah “nerimo”. Semua harus dikembalikan ke tempatnya
masing-masing, barulah kita dapat belajar dan mewujudkan semua hal dalam
harmoni. Jika memang saatnya bekerja, bekerjalah sebaik mungkin, sekeras
mungkin. Beri arti pada kepercayaan yang diberikan, beri orang-orang yang
percaya kepada kita bahwa “Ya, kita pantas dipercaya” berkaitan dengan pekerjaan
yang kita emban. Jadilah inspirasi orang-orang di sekitar, jadilah panutan
sebisa mungkin. Jadilah rekan kerja yang bisa menjadi bagian tim dengan baik.
Beri kontribusi. Jangan jadi “benalu” atas apapun namanya itu.
Tuhan saja konon libur saat menciptakan dunia. Jadi omong
kosong jika ada manusia yang hanya (atau dipaksa) bekerja terus setiap waktu.
Seberat apapun, sepadat apapun waktu kita mencari hidup, pasti ada saatnya jeda
sejenak. Itu yang harus kita nikmati sebaik mungkin. Jika waktu luang bagi kita
berarti adalah keluarga, luangkanlah waktu itu sebaik mungkin bersama mereka.
Jika waktu luang bagi kita adalah teman-teman, bermainlah bersama mereka. Jika
waktu luang adalah pacar, jangan kecewakan mereka yang telah merindukan anda.
Jika waktu luang adalah waktu untuk mencari tambahan rezeki, semangatlah. Jika
waktu luang adalah memancing, jadilah pemancing yang baik. Jangan bilang ke
orang terdekat pergi memancing, tetapi “nyangkut”-nya di tempat lain.
Waktu luang bagi saya adalah melewatkan waktu bersama orang
tercinta, dan atau memancing. Terkadang semuanya bisa terjadi bersamaan, namun
seringnya silih berganti. Jika bulan ini saya memancing, berarti waktu luang
bulan depan berarti menemani orang tercinta, atau sebaliknya. Saya bersyukur, bahwa
meski saya tidak bisa melakukan trip memancing ke lokasi-lokasi yang dahsyat
seperti di televisi, saya masih diberi banyak kesempatan untuk bertatap muka
dengan ikan-ikan GT besar yang saya harapkan. Terkadang sebulan sekali bisa
memancing ikan GT dengan teknik popping yang saya sukai. Terkadang belum tentu
tiga bulan sekali bisa melemparkan popper menggoda predator karang yang
merupakan keluarga ikan Carangidae tersebut. Saya hanya yakin, ikan-ikan GT
tersebut akan menunggu saya, jadi saya tidak pernah khawatir kapan saya bisa
memancing mereka. Hehehe.
Suatu hari yang panas di bulan Januari, hari yang aneh
karena Januari harusnya Januari cenderung hujan, saya telah berada di sebuah
gubuk kecil milik seorang nelayan di daerah pesisir Selatan Pulau Lombok. Nelayan
yang tidak saya kenal sama sekali, karena saya hanya mengandalkan insting saja.
Saya dan driver memilih gubuk tersebut karena letaknya terisolasi dari
keramaian dan jauh dari perkampungan utama, dan juga memiliki halaman luas
untuk parkir (baca: pantai). Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang.
Waktu yang sangat aneh untuk memulai sebuah trip memancing. Karena seharusnya
(dan biasanya) saya sudah berada di laut pada pukul enam pagi, yang artinya
perahu atau kapal yang saya sewa sudah berangkat sejak pukul lima pagi hari.
Saya berbicara ke anak yang ada di gubuk tersebut, dimana ayahmu. Dia menjawab
sambil menunjuk, itu di laut. Saya melihat di tengah teluk sebuah sampan kecil
sedang entah apa. Kalau bisa ditelpon, tolong bilang ayahmu, ada menteri
datang, suruh menepi. Anak kecil tersebut menelpon ayahnya dan berbicara dalam
bahasa Sasak, saya tidak tahu artinya. Yang pasti setengah jam kemudian ayahnya
sudah memamerkan gigi ompongnya kepada saya di baruga pinggir pantai miliknya.
Baruga yang juga sangat ala kadarnya. Saya bilang ke ayahnya, menteri sudah
pulang duluan karena kelamaan, oleh karenanya saya saja yang tinggal menanti
bapak. Di tertawa. Pagi hari di daerah Pao tersebut memang ada menteri
berkunjung, saya mendengar dari rekan jurnalis lokal Lombok. Tidak ada
hubungannya dengan saya, saya hanya bercanda dengan nelayan yang ingin saya
temui tersebut.
Sebelumnya driver yang menemani saya menyarankan bertanya ke
resort-resort yang memiliki kapal mancing bagus. Kapten atau abk mereka pasti
tahu lokasi-lokasi popping. Saya jawab, tidak. Kapal-kapal mancing bagus di
resort-resort mewah tersebut bukan untuk saya yang “kere” kata saya. Untuk
orang-orang kaya dan bule-bule yang membawa segunung uang. Selain itu, mereka
saya yakin tidak tahu lokasi ikan besar, sehebat nelayan setempat yang
merupakan penduduk asli daerah ini. Memang nelayan yang kami temui hanya
memiliki sampan kecil kapasitas dua orang, tetapi mereka mengetahui lokasi
ikan-ikan besar, baik di pinggir atau di tengah lautan sana. Masalah kapal,
kita bisa meminta bantuan mereka mengusahakannya, mereka khan orang asli sini,
hubungannya pasti luas. Kuncinya cuma satu kata saya, mari kita bertanya mereka
dan dengarkan mereka berbicara. Jika kita tidak diterima, boleh kita cari
tempat lain lagi. Meski saya meragukan kita akan ditolak oleh orang-orang
“kampung” bersahaja seperti nelayan tersebut.
Kami pun mengawali pembicaraan kami dengan apa kabar. Adakah
hasil tangkapan hari ini bagus dan lain sebagainya. Jawaban nelayan yang
dipanggil Amak ini pun langsung ramai bergemuruh seperti “tsunami”. Musim ikan
sedang berlangsung memang, tetapi karena angin Baratan sedang meledak, dia
tidak bisa melaut terlalu ke tengah dengan sampan kecilnya yang besarnya hanya
seukuran pohon pisang tersebut. Hanya ikan-ikan kecil yang dia dapatkan, cukup
untuk hari ini. Saya melihat di samping baruga anaknya membawa ikan trevally
ukuran satu kiloan satu, dan ikan bandeng laki dua ekor. Total kira-kira tiga
kilogram saja. Taruhlah harganya jika dijual per kilogram 10 ribu, berarti
pendapatan hari ini Amak hanya tiga puluh ribu rupiah saja. Sedang asyik kami
berbicara, istri Amak sudah menyajikan kopi. Inilah yang selalu luar biasa saat
bersama orang-orang biasa seperti mereka, ramah dan tidak dibuat-buat. Bandingkan
jika kita menggali informasi ke orang-orang, atau pihak-pihak yang merasa diri
sebagai bagian dari “the have”. Bisa-bisa kita ditanya untuk apa
bertanya-tanya, ada maksud apa, ada kepentingan apa, dan lain sebagainya yang
malah membuat kita tersinggung karena merasa direndahkan dan tidak diterima.
Saya berterimakasih ke istri Amak, dan menyeruput kopi hitam panas yang begitu
nikmat.
Setelah saya tunjukkan foto-foto di ponsel saya, akhirnya
Amak setuju mengantarkan mancing. Tetapi karena dia tidak memiliki kapal besar,
dia harus meminta kenalannya yang punya kapal besar yang mengantar. Amak hanya
akan menemani dan menunjukkan lokasi-lokasinya saja. Deal kata saya! Dia tidak
menyebut tarif apapun, hanya untuk kapal dia menyebutkan ongkos sewanya. Dan ongkos
itu memang ongkos real yang dikenakan pemilik kapal ke siapapun yang menyewa
kapalnya. Artinya, Amak rela mengantar saya tanpa meminta imbalan apapun. Hanya
karena ingin mengantarkan saja karena saya adalah tamunya hari itu yang rela
datang mewakili menteri hari itu, datang ke gubuknya di Pao. Dia mengatakan ini
dengan becanda, karena dia juga tahu saya bukan bagian dari rombongan menteri
yang datang berkunjung hari itu ke Pao entah untuk apa. Hanya untuk meyakinkan
dirinya, saya pegang pundak Amak, tenang Amak, semua saya urus, termasuk Amak
hari ini saya urus. Cukup antar saya ke lokasi ikan besar yang mungkin Amak
tahu. Dia tertawa dan menjawab, kenapa baru datang siang begini kalau mau
memancing?! Saya banyak pekerjaan Amak, baru bisa berangkat dari Mataram tadi
pukul sebelas siang jawab saya.
Singkat cerita, pukul tiga sore, kapal kami sudah berada di
sebuah tanjung yang bergelora karena pertemuan arus dan ombak yang cukup besar.
Melihat lokasi baru yang berarus besar, membuat saya bersemangat. Setiap
memancing saya selalu berkata dalam hati, memancing bukan untuk mencari ikan.
Apapun hasilnya, kita harus bersyukur karena “masih untung kita bisa pergi
memancing”. Saya memasang popper Batanta pink 100 gram yang saya bawa. Ini
adalah jenis popper paling klasik buatan saya tahun 2011 yang sekarang
dipasarkan oleh Batanta Popper. Rod kebetulan saya sedang ingin memakai rod
triple XH dari sebuah merk rod terkenal Jepang. Reel kebetulan yang saya punya
hanya reel biasa-biasa saja, keluaran Amerika. Yang jelas di reel sudah
terpasang tali PE 6 dan juga leader 130 lbs. Lebih dari cukup untuk popping di
lokasi yang belum saya kenal karakternya, paling-paling kalau disambar “kapal
selam” tinggal terima nasib.
Popper saya lemparkan sejauh mungkin mendekati posisi drop
off, tepat di kepala arus. Dua sentakan dan langsung “BOOOOM!”. Reel saya
menjerit keras dan joran triple HX saya melengkung. Di haluan kapal saya pun gedubrakan
sendirian. Lebih tepatnya menderita sendirian untuk waktu setengah jam ke
depan. Driver saya mabuk laut saat berada di kapal, praktis tidak bisa membantu
saya. Memotret saya pun setelah saya teriaki berkali-kali, bukan karena saya
marah ataupun keras ke dia, tetapi karena saya ingin difoto saja saat sedang
fight dengan ikan. Amak di belakang menemani kapten mengarahkan kapal agar
bergerak ke lokasi yang tidak berombak besar. Praktis saya menderita sendirian.
Memakai joran triple XH seharusnya lebih mudah menaikkan ikan, apalagi jika
ukuran ikan juga tidak monster. Namun jika arah lari ikan dan arah pergerakan
kapal tidak sesuai, hasilnya sakit pinggang saya semakin menjadi. Namun saya
pantang menyerah, justru inilah yang dicari, strike ikan besar. Jadi meski
pinggang sakit luar biasa, juga dengkul agak gemeteran karena tenaga terkuras
akibat lamanya fight, saya terus meladeni ikan hingga berhasil di naikkan.
Konsentrasi saya terpecah karena harus mengarahkan kapal, meneriaki driver saya
untuk memotret, dan juga memandu Amak membantu saya menaikkan ikan. Belum
ditambah dengan ombak besar akibat pertemuan arus, saya harus tetap
berkonsentrasi menjaga keseimbangan. Saya seharusnya tidak terlalu repot
menaikkan ikan GT dengan teknik popping, namun bersama kapten yang tidak pernah
popping, bersama Amak yang juga tidak pernah popping, dan bersama driver yang
mabuk laut, ceritanya menjadi lain. Untungya ikan berhasil landed setengah jam
kemudian. Lumayan, good size GT meskipun bukan monster. Saya mengucapkan
terimakasih ke Amak, ke driver saya dan juga ke kapten kapal. Saya tidak
bermaksud membanggakan hasil popping sekali lempar ini, namun saya memang
gembira, pemancing biasa saja seperti saya ini pantas bergembira. Karena masih
bisa strike meski dengan segala keterbatasan yang saya punya baik waktu, dana,
dan lokasi. Beberapa lemparan berikutnya, saya berhasil mendapatkan ikan
bluefin trevally kecil yang nekat menyambar popper 100 gram yang saya pakai.
Ikan yang sangat cantik di senja yang telah mengintip.
Mungkin jika di total sejak perjalanan berangkat, hari itu saya ada dua setengah jam berada di laut. Efektif melemparkan popper sekitar satu jam. Lumayan, untuk hasil mancing ala kadarnya di spot dekat kampung pula. Pukul setengah enam sore kami sudah berada di gubuk Amak lagi. Di baruga saya melihat ikan bakar sudah tersaji, berikut sambal, nasi dan sayur bening khas Lombok. Siapa menyangka? Keluarga kecil yang hidup sangat sederhana ini akan menjamu saya seperti ini? Tetapi inilah berkat. Siapapun bisa memberi berkat ke orang lain, meski dalam kondisi yang sangat terbatas dengan segala keberadaannya. Saya mengucapkan terimakasih kepada mereka atas sambutan luar biasa tersebut. Apalagi yang bisa saya berikan? Sesaat sebelum pulang kembali ke Mataram, saya menyalami Amak dengan beberapa lembar lima puluhan ribu. Cukup untuk menyokong hidup keluarganya selama seminggu kemudian. Semoga Tuhan selalu memberi kesehatan dan hasil ikan yang cukup untuk Amak menghidupi keluarganya. Amin.
Mungkin jika di total sejak perjalanan berangkat, hari itu saya ada dua setengah jam berada di laut. Efektif melemparkan popper sekitar satu jam. Lumayan, untuk hasil mancing ala kadarnya di spot dekat kampung pula. Pukul setengah enam sore kami sudah berada di gubuk Amak lagi. Di baruga saya melihat ikan bakar sudah tersaji, berikut sambal, nasi dan sayur bening khas Lombok. Siapa menyangka? Keluarga kecil yang hidup sangat sederhana ini akan menjamu saya seperti ini? Tetapi inilah berkat. Siapapun bisa memberi berkat ke orang lain, meski dalam kondisi yang sangat terbatas dengan segala keberadaannya. Saya mengucapkan terimakasih kepada mereka atas sambutan luar biasa tersebut. Apalagi yang bisa saya berikan? Sesaat sebelum pulang kembali ke Mataram, saya menyalami Amak dengan beberapa lembar lima puluhan ribu. Cukup untuk menyokong hidup keluarganya selama seminggu kemudian. Semoga Tuhan selalu memberi kesehatan dan hasil ikan yang cukup untuk Amak menghidupi keluarganya. Amin.
* Pictures taken by M Nasir. No watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with my pictures without respect!!!
Comments
Mungkin bisa memancing bersama dilain masa.