Jejak Petualang Wild Fishing: Mencoba Menyatukan Kearifan Lokal Perairan Tawar, Wild/Extreme Fishing, dan Kuliner Tradisional Masyarakat (Bagian 2)
To understand the program please watch DI ANTARA KABUT SUNGAI ROKAN. Thank you.
Dunia sportfishing di Indonesia saat ini terasa sangat
meriah. Komunitas pehobi mancing (baca: klub) tumbuh di berbagai penjuru negeri
dalam jumlah yang masif. Anggota komunitas pehobi mancing ini dari hari ke hari
juga terus bertambah. Uniknya mancing dapat menyatukan beragam orang dari berbagai
strata, profesi, gender dan latar belakang lain yang berbeda. Semua dilebur
hilang menjadi satu ‘nafas’ baru yakni mancing. Jadi tak heran jika ada yang
menyebut mancing adalah hobi paling egaliter. Mau Anda pengusaha dengan
perusahaan mulinasional selusin, pekerja kantoran biasa, pedagang di pasar,
kuli bangunan, jika sudah bertemu di komunitas dan ataupun tempat mancing yang
dibicarakan hanya dua, mancing dan mancing. Pembicaraan lain yang berkaitan
dengan sesuatu yang bukan tentang mancing biasanya akan sengaja ditinggalkan dengan sadar. Praktis suasana komunitas mancing, trip mancing, kumpul-kumpul
pemancing dan lain sebagainya biasanya selalu meriah, penuh gelak tawa, penuh
canda, dan no heart feeling. Kita yang orang biasa saja, bisa saling ejek
misalnya dengan orang-orang dengan jabatan tinggi di pemerintahan ataupun
militer misalnya. Orang biasa saja malah bisa jadi ‘guru’ mancing bagi
orang-orang yang tergolong big boss misalnya. Semuanya karena mancing. Dan
sepengetahuan saya hanya mancing yang bisa membuat para pehobinya menjadi
sangat egaliter seperti ini.
Tumbuhnya komunitas mancing di Indonesia praktis membuat
eksplorasi terhadap wilayah perairan menjadi meningkat. Baik itu perairan tawar
ataupun laut. Mulai dari perairan tawar di belakang rumah, hingga ke spot
mancing laut lepas dengan jarak ratusan mil laut. Untuk perairan tawar, dari
kolam harian di RT sebelah, hingga ke sungai danau di pegunungan tak terjamah
manusia. Tak dapat disangkal giatnya para pehobi mancing berkeliling negeri dan
melakukan penjelajahan, membuat kita semakin membuka mata bahwa potensi
perairan tawar kita sebenarnya sungguh luar biasa. Selama ini eksplorasi pada
wilayah terpencil dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dengan dukungan dana yang
kuat, kebanyakan adalah untuk kepentingan korporasi. Tetapi yang dilakukan
pemancing harus diakui berbeda dengan yang lainnya. Pecinta mancing air tawar
di alam liar (wild fishing), rela melakukan pengarungan sungai ke hulu terjauh
hanya demi mengetahui spesies tertentu (ikan mahseer/sapan misalnya). Yang
cinta mancing laut, rela berlayar ke pulau-pulau terluar Indonesia demi
mengejar ikan giant trevally monster, ikan marlin dan spesies lainnya. Pada
akhirnya eksplorasi yang masif ke lokasi-lokasi tak terduga, membawa banyak
informasi baru tentang potensi yang kita miliki selama ini. Memang ini bisa
saja kemudian akan membuka pada eksplorasi lain yang mungkin saja tidak kita
harapkan. Spot-spot pulau terluar dengan terumbu karang yang indah, bisa
‘diserbu’ para pencari ikan yang menggunakan cara-cara tidak arif lingkungan.
Begitu juga dengan lokasi-lokasi terpencil di alam liar. Sebagai contoh misalnya,
ada kabar bahkan negeri tetangga kita suka blusukan ke pedalaman Kalimantan
‘membeli’ ikan sapan/mahseer kita untuk dibawa dan di breeding di negara
mereka. Tetapi kita harus melihat sisi positifnya. Terbukanya potensi terkini
perairan kita, dapat digunakan sebagai referensi terbaru untuk pemanfaatan
ataupun perlindungan yang lebih baik lagi. Tentunya ini tergantung dengan niat
baik pihak-pihak yang berkepentingan. Bagaimana kita dapat melindungi ‘rumah’
kita jika kita sendiri tidak mengenal dengan baik kondisinya?
Pertumbuhan masif komunitas mancing tak dapat dilepaskan
dari hadirnya tayangan memancing di televisi kita sejak tahun 1996. Adalah
seorang pemancing senior Indonesia yang menggagas tayangan ini, namanya (Mas)
Dudit Widodo. Berkat tayangan mancing yang juga ditayangkan di Trans|7
tersebut, pehobi mancing selain semakin banyak, kini olahraga mancing juga
menjadi semakin ‘keren’. Tayangan bertajuk MANCING MANIA tersebut semakin
menegaskan bahwa olahraga memancing, termasuk juga pemancingnya, merupakan
olahraga yang tidak seperti stereotype yang sebelumnya pernah dilekatkan kepada
para pemancing. Dahulu, ada pandangan yang cenderung seragam tentang pemancing
dan aktifitas memancing bahwa kegiatan ini hanya dilakukan untuk menghabiskan
waktu, hanya dilakukan oleh pemalas, atau sengaja dilakukan untuk
bermalas-malasan, atau dilakukan oleh seseorang saat ingin ‘melarikan’ diri
dari urusan tertentu. Kini berkat tayangan MANCING MANIA seluruh mata dan
pikiran masyarakat terbuka. Betapa pemancing jauh lebih hebat dan lebih baik dari
itu semua. Ada pemancing yang berkeliling negeri melakukan ekspolrasi
wilayah-wilayah terluar Indonesia, yang mana ini ikut serta membangun kesadaran
akan potensi bahari dan batas wilayah kita. Ada kelompok pemancing yang rajin melakukan
konservasi terhadap spesies air tawar tertentu yang mulai punah. Ada kelompok
pemancing yang melakukan kegiatan tertentu untuk memperkuat masyarakat pesisir,
dan lain sebagainya. Kegiatan dan tayangan memancing di televisi juga ikut
serta membangun kesadaran tentang kondisi terkini perairan Indonesia misalnya
saja kondisi terumbu karang di perairan tertentu, musim ikan di daerah
tertentu, potensi ikan di daerah tertentu, dan lain sebagainya. Dan masih
banyak lagi efek positif yang secara sadar atau tidak disebarkan oleh para
pemancing dan tayangan memancing di negeri kita selama ini. Memancing kini bahkan
telah dianggap sebagai salah satu kegiatan yang dapat dijadikan sebagai sarana
mengenalkan potensi pariwisata di berbagai daerah ke dunia luar dan mampu
memutar perekonomian masyarakat.
Dimana posisi masyarakat setempat di hingar-bingarnya olahraga
mancing di Indonesia saat ini? Saya berharap pandangan saya salah. Akan tetapi
setelah berkeliling ke berbagai wilayah Indonesia, dari Aceh di barat hingga
Papua di ujung timur, dari Rote di selatan hingga ujung utara di Pulau Natuna
saya melihat berbagai hal yang patut untuk kembali direnungkan tentang
masyarakat kita berkaitan dengan olahraga memancing, dan lebih luas lagi
berkaitan dengan perairan publik kita baik laut maupun perairan tawar. Ini
pendapat pribadi saya, dan saya terbuka untuk diskusi lebih lanjut tentang hal
ini. Saya melihat bahwa masyarakat, baik pesisir maupun di pedalaman masih
menjadi penonton dan penggembira saja di hiruk-pikuknya olahraga memancing dan
tayangan memancing di negeri kita. Mereka sebagian besar hanya diperlukan ketika
pihak-pihak tertentu baik itu pribadi, kelompok, maupun korporasi sedang butuh
informasi lokasi-lokasi terbaik. Mereka diperlukan hanya sebatas sebagai
penyedia informasi, dan sarana ataupun hal-hal lain yang dibutuhkan oleh
pihak-pihak tersebut. Ya saya setuju, bahwa semua maraknya dunia memancing di
Indonesia itu telah mampu memutar perekonomian mereka ke dalam tingkatan
tertentu yang lebih baik. Akan tetapi ketika ‘perhelatan’ dilakukan, mereka
hanyalah penonton dan penggembira saja. Pada akhirnya ketika potensi maupun
tayangan yang sedang dibuat kemudian tersebar luas ke seluruh dunia, peran
serta masyarakat setempat begitu tersamar, sebab baik pribadi, kelompok, maupun
korporasi hanya menonjolkan diri mereka sendiri dan apa yang mereka dilakukan
disitu. Apa yang dilakukan masyarakat untuk mereka, apa yang dilakukan
masyarakat setempat untuk perairan tawar mereka, dan ragam kisah lain yang unik
berkaitan interaksi mereka dengan perairan publik tidak mendapatkan ‘lapak’
yang sepadan. Ini terjadi baik di halaman media sosial milik kita, di website
kita, di halaman surat kabar atau majalah kita, di durasi tayangan televisi,
dan bahkan di kisah yang kita tuturkan ke sahabat-sahabat kita secara langsung.
Tayangan WILD FISHING diharapkan dapat mengangkat masyarakat
secara lebih luas lagi, sehingga banyak inspirasi dapat ‘dipetik’ oleh berbagai
pihak dari kearifan lokal yang telah dicontohkan oleh masyarakat lokal di
berbagai daerah. Menurut saya akan lebih masuk akal jika dimulai dari perairan
tawar. Keberagaman yang ada di perairan tawar kita tergolong luar biasa
sehingga banyak kisah akan bisa dihadirkan kembali. Akses ke perairan tawar di
negeri kita juga sangat terbuka, perairan laut kita juga sangat terbuka
(sampai-sampai kapal-kapal asing mengeruk hasilnya dengan santainya) akan
tetapi menurut saya jika melakukan eksplorasi laut cenderung hanya dapat
dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang bermodal kuat. Ini akan mengurangi
kekuatan inspirasi program jika kita memulainya atau melakukannya dari laut. Kita
harus melakukannya dari ‘belakang’ rumah kita. Perairan tawar lebih masuk akal
untuk dihadirkan kembali kisahnya secara berbeda. Selain akses ke perairan
tawar relatif terbuka (yang mana ini akan dapat diikuti oleh pihak-pihak lain
yang berkepentingan), keberagaman potensi yang dimiliki praktis memiliki cerita
yang berbeda-beda. Interaksi antara masyarakat dengan perairan tawar di sekitar
mereka juga cenderung lebih kuat dan masing-masing memiliki keunikan tersendiri.
Apalagi jika kita sampai mampu menembus ‘batas-batas’ wilayah dengan
melakukannya hingga ke wilayah-wilayah pedalaman yang paling terpencil. Ini
berbeda dengan laut yang mana bentuk interaksi masyarakat tidak seberagam seperti
terjadi di perairan tawar.
Satu contoh populer berkaitan dengan perairan tawar dan
kearifan lokal yang dilakukan oleh masyarakat misalnya saja dapat kita lihat di
ranah Minang, Sumatera Barat. Konsep lubuk
larangan di Sumatera Barat tidak banyak yang menyadari bahwa sebenarnya hal
tersebut adalah konservasi tradisional yang disepakati oleh masyarakat. Konsep
ini sangat kuat sebab didukung oleh lembaga adat yang mana tetua ataupun tokoh
masyarakatnya memiliki pengaruh kuat. Yang
dihasilkan dari konsep lubuk larangan
ini adalah areal perairan tawar yang lestari, akan tetapi dapat dipetik
bersama-sama pada masanya. Hasilnya pun untuk dinikmati bersama-sama.
Penyimpangan perilaku masyarakat tidak luput dari perhatian, oleh karenanya
dihidupkan semacam peraturan yang menurut saya begitu ‘kuat’ dan hampir tidak
lekang oleh jaman. Setiap individu yang tidak menaati konsep lubuk larangan ini, misalnya saja
mengambil ikannya secara diam-diam tidak pada masanya, ataupun melakukan
aktifitas lain yang tidak tepat di lokasi lubuk larangan, maka akan mendapatkan
‘hukuman’. Bentuk hukuman ini bisa bermacam-macam, bisa pengucilan dari
masyarakat, dan bisa juga bentuk lain yang terkadang sangat sulit dijelaskan
oleh akal (tiba-tiba sakit, tiba-tiba meninggal, didatangi oleh makhluk halus
agar mengembalikan ikannya, dan lain sebagainya). Keadaan ini terus terjadi
meski di jaman modern saat ini sekalipun. Menurut saya ini cara konservasi yang
sangat cerdas dan akan dapat terus berlangsung selamanya, hasilnya jelas,
perairan tawar dapat terjaga dan masyarakat berbeda generasi di Sumatera Barat
dapat terus menikmati hasilnya turun temurun.
Perlu contoh? Jika suatu hari di berbagai daerah di
Indonesia ikan yang disebut gariang
(Padang), sapan (Kalimantan Timur), kelai (Berau), tambra (Jawa), kelah
(Malaysia), mahsheer (Inggris), ataupun semah
(Sumatera Utara) misalnya punah (ikan
ini nama latinnya Tor sp), datanglah
ke Sumatera Barat karena ribuan kampung disana memiliki ikan ini di lubuk larangan-nya masing-masing. Memang
konsep ini tidak diberlakukan di seluruh perairan tawar disana. Tetapi bagaimana
jika ini ternyata suatu hari dapat dilakukan di seluruh perairan tawar di
Sumatera Barat? Proses punahnya spesies ikan tertentu di Indonesia sedang dan
terus berlangsung. Di Pulau Jawa, ikan semah
ini disebut dengan ikan kantjra, dulu
pernah ada dan melimpah (ini jika saya mengacu pada sebuah foto di sebuah situs
internet yang menjual postcard tentang ikan kantjra/java
salmon dari sungai Cimanuk, Garut, Jawa Barat yang fotonya dibuat pada
jaman kolonial Belanda di www.postcardman.net).
Tetapi kini jika kita hendak memancing ikan ini ibarat mencari jarum di gunung
jerami. Ikan kantjra di Pulau Jawa
saking langkanya sekarang dijaga oleh masyarakat yang masih peduli dengan cara ‘disakralkan’
di tempat-tempat tertentu yang kebanyakan adalah tempat wisata yang sering
dijadikan lokasi ziarah masyarakat. Hilangnya ikan kantjra dari perairan tawar di Pulau Jawa tidak perlu kita ulangi
lagi oleh generasi sekarang, tentunya dengan beragam tindakan yang dapat
mengurangi tekanan pada perairan tawar yang masih tersisa sekarang ini.
Saya tidak bisa menyebutkan contoh-contoh lainnya karena
menjadi tidak menarik lagi jika semuanya saya bahas disini. Jika penasaran Anda
dapat melakukannya sendiri dengan ‘blusukan’ ke pedalaman untuk melihat ataupun
menemukannya secara langsung. Memang diperlukan daya jelajah tinggi dan tekad
keras serta interaksi yang kuat dengan masyarakat untuk ‘membedah’ interaksi
mereka dengan perairan tawar di lingkungan mereka masing-masing. Tetapi
percayalah, Anda akan terkejut dan terinspirasi oleh meraka di yang di jaman
modern ini terkadang terlupakan. Terlupakan oleh pemerintah dan terkadang
terlupakan oleh kita sendiri yang sibuk dengan urusan ‘mencari makan’. Saya
tidak menyalahkan urusan ‘mencari makan’, karena saya juga melakukannya. Akan
tetapi sebagai individu yang mencintai olahraga memancing, tak salah kiranya
kita mulai memikirkan mereka di daerah dan di pedalaman dengan cara yang kita
bisa lakukan. Tidak harus dengan sesuatu yang besar, tetapi justru dengan
langkah-langkah kecil yang menginspirasi, niat untuk ‘menjaga’ dan
mengembalikan kejayaan perairan tawar kita dapat dilakukan lintas generasi.
Ditengah ‘gempuran’ masif berbagai produk makanan dari
negara lain, menurut saya patut direnungkan kembali tentang potensi kuliner
kita. Berkaitan ikan maupun hasil lain dari perairan tawar saja, kita memiliki
beragam olahan yang sangat khas. Di Kalimantan misalnya masyarakat Dayak
memiliki olahan yang disebut wadi dan
pekasam. Belum cara mengolah ikan
yang lain semisal dimasak dengan cara yang disebut suman (dimasukkan bambu kemudian dibakar). Jika berkaitan dengan
bumbu maupun bahan tambahan yang lain, masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah
sering menggunakan daun mengkudu misalnya. Daun yang dipandang banyak
masyarakat dengan daun yang bau, praktis tidak ada yang mau mengolahnya, akan
tetapi di Kalimantan Tengah malah digunakan masyarakat untuk menghasilkan
olahan pais ikan dengan rasa yang
luar biasa. Belum lagi cara mengolah ikan yang disandingkan dengan batang bakung dan lain sebagainya. Cara membakar
ikan saja tiap spesiesnya bisa berbeda perlakuannya. Ada cara membakar dengan
tambahan bumbu khas tertentu, tidak terkena api, dan lain sebagainya. Di daerah
Pantura, Pulau Jawa, misalnya ada cara membakar ikan air tawar dengan dibalut
lumpur. Mereka percaya rasa dan kandungan daging ikan akan tetap terjaga dan
malah menjadi lebih nikmat. Beberapa hal tersebut hanyalah ‘titik-titik’ kecil
dari potensi kuliner yang dimiliki oleh masyarakat kita. Ini belum termasuk
cara masyarakat Pulau Sumatera, dan juga masyarakat Papua dalam memperlakukan
ikan air tawar saat diolah. Berbeda keluarga, bisa jadi berbeda pula cara
mengolah ikannya. Apalagi berbeda desa, berbeda kecamatan, kabupaten, apalagi
sampai berbeda pulau! Mengingat hal tersebut, pandangan bahwa potensi kuliner
ikan yang dimiliki masyarakat kita adalah olahan yang berasal dari ikan asin adalah pandangan datar yang
sepatutnya direvisi dengan perasaan malu.
Jika ide WILD FISHING ini nantinya kemudian dapat mewujud
dalam sebuah bentuk yang lebih nyata, sebuah program televisi misalnya, atau
mungkin aksi berkelanjutan dari pemerintah daerah, kelompok ataupun klub mancing
di daerah tertentu misalnya, menurut saya hal itu adalah sebuah langkah besar
sehingga semua pihak dapat ‘menampilkan’ sumbangan masing-masing pihak secara
maksimal pada perairan tawar di negeri kita. Akan tetapi jika tidak, maka catatan
ini hanyalah pengingat, bahwa sebenarnya, masih banyak hal yang seharusnya
dapat kita lakukan berkaitan dengan perairan tawar kita dan masyarakat. Salam!
* Foto 1. Dua warga Garut, Jawa Barat memikul ikan kancra (semah, kelai, gariang, kelah, tambra, sapan) di Sungai Cimanuk. Foto tidak berangka tahun akan tetapi kemungkinan terbesar diabadikan pada masa Hindia Belanda. Photo copyright Www.postcardman.net.
* Foto 2. Warga Batikap memegang ikan sapan seberat 20 kg di Sungai Batikap, di kawasan Pegunungan Muller, Kalimantan Tengah. Photo diambil dari Jurnal Iktiologi Indonesia Volume 4, Nomor 2, Desember 2004. Foto terdapat dalam makalah penelitian yang dilakukan oleh Bapak Haryono (Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor) berjudul "Komunitas Ikan Suku Cyprinidae Di Perairan Sekitar Bukit Batikap Kawasan Pegunungan Muller Kalimantan Tengah".
* Foto 1. Dua warga Garut, Jawa Barat memikul ikan kancra (semah, kelai, gariang, kelah, tambra, sapan) di Sungai Cimanuk. Foto tidak berangka tahun akan tetapi kemungkinan terbesar diabadikan pada masa Hindia Belanda. Photo copyright Www.postcardman.net.
* Foto 2. Warga Batikap memegang ikan sapan seberat 20 kg di Sungai Batikap, di kawasan Pegunungan Muller, Kalimantan Tengah. Photo diambil dari Jurnal Iktiologi Indonesia Volume 4, Nomor 2, Desember 2004. Foto terdapat dalam makalah penelitian yang dilakukan oleh Bapak Haryono (Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor) berjudul "Komunitas Ikan Suku Cyprinidae Di Perairan Sekitar Bukit Batikap Kawasan Pegunungan Muller Kalimantan Tengah".
Comments