Gebyuk Desa Laban: Perburuan Ikan di Perairan Peralihan Sekaligus Menjaga Ekosistem dan Ikatan Sosial Masyarakat
The greatest threat to our planet is belief that someone else will save it.(Robert Swan). Untuk Masbro Vic Liebert yang untuk pertama kalinya merasakan sensasi liputan the “real” wild fishing yang selalu melelahkan ini. Semoga traumanya sudah sembuh ya bro! Hehehe! Untuk masyarakat Desa Laban. Terutama Mas Heri van Houtten. Pak Muhammad Ulil Amri, Lurah Laban. Pak Wiwid Bekti Nugraha, teman yang selalu repot setiap kali saya dolan ke Kendal. Mas Nanang Husni Faruk (HIPMI)yang kini konon menahkodaiKNPI Kendal. Dan lain sebagainya. Semoga Kendal dan Laban terus membangun dengan tetap menjaga tradisi-tradisi ‘hijau’-nya! Matur suwun!
Sebenarnya saya mendapatkan informasi tentang
adanya cara tangkap ikan sangat ramah lingkungan di pesisir utara Pulau Jawa
ini bertahun lalu, mungkin sekitar tahun 2012-an, ketika saat itu masih hilir
mudik Pantura menemui ibu-ibu penuh semangat yang menekuni usaha kuliner khas
skala kecil. Tetapi karena memang pada masa itu tidak mungkin membuat sesuatu
tayangan terkait perburuan yang bernama gebyuk
ini, informasi tersebut terpaksa diendapkan beberapa tahun lamanya menunggu
saat yang tepatuntuk ditampilkan kepada khalayak yang lebih luas. Kenapa harus
ditampilkan kepada khalayak yang lebih luas? Begini gambarannya. Saya sendiri
sebagai pemancing yang telah hilir mudik Pantura untuk casting misalnya di beberapa karang dangkal antara Tegal hingga
Korowelang (Kendal) misalnya merasa kaget bahwa ternyata di sebuah desa di
Kendal masih memiliki kearifan lokal perburuan ikan yang dilakukan secara
massal seperti ini. Apalagi bagi masyarakat lainnya yang sama sekali ‘jauh’
dari urusan ikan? Artinya kegiatan yang bahkan telah menjadi tradisi sekaligus identitas
kelokalan Desa Laban di Kendal ini memiliki news
value yang tinggi. Dari sisi lainnya, jelas kearifan lokal seperti ini bagi
saya memang harus dipublikasi seluas mungkin. Karena dalam sebuah kegiatan
kearifan lokal, banyak terkandung komitmen pemanfaatan lingkungan yang
berkelanjutan (sustainable),
keteladanan sekaligus inspirasi positif yang layak untuk diteladani oleh
masyarakat lainnya.
Saya meyakini dahulu banyak sekali kearifan
lokal dalam perburuan perairan yang
dilakukan oleh masyarakat Pantura. Karena di kawasan pesisir utara Jawa ini
banyak sekali sungai-sungai besar (besar untuk skala Jawa maksud saya). Jadi
sangat mungkin baik di perairan tawarnya, payau hingga pesisirnya banyak sekali
cara tangkap yang ramah lingkungan. Duluuuuuu tapi. Beberapa sebenarnya masih
terlihat ‘sisa-sisanya’. Misalnya kita masih bisa menjumpai orang yang nyeser cari benih bandeng (nener) di pantai-pantai, gogoh (tangkap ikan tangan kosong), hancau (ini bahasa Kalimantan
sebenarnya, semacam jaring yang dinaik turunkan dari tepian sungai), menebarkan
jala, dan lain-lain. Tetapi semua cara tangkap tradisional itu, termasuk gebyuk ada di Desa Laban ibarat kesunyian yang semakin tersudut di tengah
arus maha kuat cara tangkap dengan menggunakan peralatan modern dengan target
volume tangkap sebanyak-banyaknya. Terlalu banyak teknik dan peralatan yang
harus disebutkan untuk kategori ini. Hasilnya jelas terlihat setiap subuh di
tempat pendaratan ikan di seluruh Pantura! Segala jenis dan ukuran ikan dapat
kita temukan disana setiap pagi yang sering disebut dalam bahasa kerennya demi
untuk memenuhi permintaan pasar, tetapi sebenarnya adalah untuk memenuhi mulut
dan perut manusia yang semakin banyak saja jumlahnya. Tidak ada yang salah
dengan memenuhi kebutuhan manusia dengan memetik hasil laut ini, apalagi
dilakukan dengan cara-cara yang tidak merusak, tetapi tetap saja saya gelisah,
karena manusia tidak pernah cukup. Satu kampung telah terpenuhi kebutuhan
nutrisi dari ikannya, maka pencari ikan akan meningkatkan targetnya untuk
dijual ke kampung lainnya, begitu seterusnya hingga akhirnya kalau bisa
diekspor ke Negara lain. Meskipun harganya sangat murah yang penting keren
karena bisa ekspor! Negara-negara lain di dunia menjaga populasi ikan lautnya
dengan memanfaatkan secukupnya, that’s why harga ikan apalagi yang segar di
luar negeri sangat mahal, karena dengan menjaga tingkat harga yang mahal
inilah, eksploitasi bisa di-rem
dengan cara yang sangat halus.
Ekosistem terjaga tetapi di sisi lain perekonomian semua pihak baik nelayan dan
lainnya terangkat secara maksimal.Tidak perlu mengekspor ikan ke negara lain
karena dengan tingkat harga domestik yang mahal hasil laut telah mampu
mencukupi kebutuhan negara dan masyarakatnya. Itung-itungane wes masuk lah istilah e!
Kita kembali ke Desa Laban yang
masyarakatnya tidak perlu harus memikirkan mencari ikan agar bisa melakukan
ekspor. Laban sendiri sepenglihatan saya lebih bercorak agraris dibandingkan
bahari. Tidak ada pelabuhan nelayan di desa ini, hanya ada beberapa perahu
kecil yang itupun mencari ikan di dekat muara. Saya merasakan sendiri tidak
mudah mencari perahu untuk kebutuhan dokumentasi menyusuri sungai di daerah
ini. Kanan kiri sungai adalah ladang jagung maha luas yang begitu subur saking
banyaknya lumpur dari pegunungan yang mengendap di kawasan ini berabad-abad
lamanya. Jadi kalau kita ke Laban, terus kemudian suasana kampong terasa sepi,
artinya masyarakat ada di ladang dan bukannya pergi melaut layaknya desa-desa
Pantura lainnya. Semoga saya tidak salah ‘menerjemahkan’ tentang hal ini.
Beberapa malam sebelumnya diskusi telah terjalin antara saya dengan beberapa
pemuda Desa Laban yang siap membantu menggerakkan masyarakat untuk melakukan gebyuk ini. Permintaan saya tidak
muluk-muluk pada awalnya, karena saya paham saya dan juga program tidak mampu
memberi sesuatu yang sangat berarti untuk masyarakat selain sebuah tayangan di
televisi. Memang ada kompensasi dari program (Jejak Petualang Wild Fishing Trans|7)
tetapi nilainya tidak seberapa dibandingkan efforts
yang akan dilakukan masyarakat melakukan gebyuk.
Gebyuk bukanlah kegiatan yang ringan bahkan bagi orang dewasa sekalipun, karena
orang akan berendam di sungai hingga 4-5 jam lamanya sembari terus berjalan dan
berenang menuju ke muara. Itulah sebabnya sejak semula saya hanya meminta kepada
para pemuda (Mas Heri cs) untuk menyiapkan beberapa orang gebyuk saja.Sangat menyenangkan mempersiapkan sesuatu bersama para
pemuda yang penuh semangat seperti mereka.Saya yakin figur-figur pemuda seperti
ini akan menjadi figur penting dan bermanfaat untuk daerah dan masyarakatnya.
Amin!
Jalanan menuju Desa Laban adalah jalan
beton yang tidak seberapa luas. Sangat mungkin beton digunakan untuk konstruksi
jalan karena struktur tanah yang labil. Ketika berpapasan dengan mobil ataupun
motor kita harus ekstra konsentrasi karena jika tergelincir repot sekali
urusannya (rata-rata ada selokan ataupun tanah lunak yang mengapit jalan ini). Beberapa
ruas jalan adalah aspal, utamanya yang berada di atas tanah keras. Ketika ladang-ladang
berada di sekitar Sungai Sibulan di ‘belakang’ Desa Laban, areal persawahan
menghampar di kiri kanan jalan di bagian ‘halaman’ desa ini. Banyak masyarakat
menjemur sesuatu di jalanan beton ini mulai dari padi dan terutama jagung. Dan
dengan semangat kami pun melindas jagung-jagung itu karena memang
dipersilahkan. Hehehe! Penjemuran jagung memang memerlukan lahan yang luas, dan
di Laban sepertinya semua lahan adalah areal persawahan dan juga ladang.
Sehingga proses pengeringan hasil panen selalu dilakukan di halaman dan atau di
jalanan beton tersebut. Kesan awal memasuki Desa Laban saya merasakan atmosfer
yang berbeda dengan kultur masyarakat Pantura lainnya. Laban lebih “dingin”!
Ketika mobil kami akhirnya tiba di ‘parkiran’ di ujung jalan Desa Laban, sebenarnya
adalah sebuah warung tepi Sungai Sibulan dengan dua pohon murbei besar di
halamannya. Pertanyaan pertama adalah dimana masyarakat yang telah berjanji
untuk turun gebyuk hari ini? Karena
waktu telah sesuai dengan kesepakatan kami kemarin malam dengan para pemuda. Hanya
para pemuda yang kemarin diskusi dengan kami di kota yang telah merapat dan
menawarkan kami kopi. Ada gelisah akankah saya dan tim ‘kehilangan’ kegiatan
hari ini karena masyarakat sibuk di ladang semuanya?! Tenang sajabang sebentar
lagi mereka akan berkumpul, jawab Mas Heri.
Segelas kopi saya belum habis, ketika satu
dua tiga empat dan hingga akhirnya berpuluh masyarakat akhirnya berkumpul
bersama di bawah pohon murbei itu dengan segala canda dan keriuhannya. Begitu
juga dengan bapak-bapak polisi dari Polsek Kangkung, Kendal. Saya masih
merinding hingga hari ini saat menulis catatan ini berbulan kemudian, fenomena
yang saya lihat di Desa Laban hari itu menurut saya begitu luar biasa. Ini
Pantura! Kawasan pesisir dimana modernisasi telah mulai ‘menerkam’ kearifan
lokal masyarakatnya. Ketika laju roda pembangunan telah membuat rapuh tradisi dan menyisakan debu dari padatnya lalu lintas jalanannya?! Tahun
2016! Tetapi masih ada semangat melakukan perburuan ikan dengan kearifan lokal
yang diikuti oleh begini banyak orang?! Demi apa?! Demi apa?! Sontak ada
gelisah dalam hati karena bagaimana saya bisa menangani demand orang sebanyak
ini terkait kompensasinya. Tetapi para pemuda meyakinkan saya, semua akan
baik-baik saja, seadanya saja Mas. Kami selalu begini, demi melestarikan tradisi
warisan nenek moyang kami, demi kami dan generasi penerus kami sendiri. Saya
sangat menikmati momen bersama masyarakat di bawah pohon murbei itu. Rupanya
ketika mobil kami memasuki desa tadi adalah tanda yang dianggap ‘final’ bahwa gebyuk akan segera dimulai. Tak salah
jika tadi kami beberap akali menyalakan klakson, padahal sebenarnya untuk
permisi, tetapi bagi masyarakat itulah dijadikan tanda bahwa ‘tamu’-ne sudah
datang. Hehehehe!
Rasanya ingin segera kembali melewatkan
momengebyuk bersama-sama lagi. Sangat
menyenangkan melihat mereka semua bercanda, sembari duduk di atas alat tangkap
masing-masing (yang disebut susuk)
Ada yang sambil ngopi, ada yang
sembari memeriksa sekali lagi alat tangkapnya. Semua setara. Semuanya sama!
Berkumpul semata demi agar bisa melakukan gebyuk
bersama!Gebyuk memang tradisi yang sudah mendarah daging begitu kuatnya sebagai
sarana memperkuat ikatan sosial dan kerukunan masyarakat di Desa Laban. Usai
berdoa bersama di sebuah ujung jalan setapak di tepian Sibulan, seluruh
rombongan kemudian terjun ke air, menjalani tradisi perburuan kuno paling
‘sakral’ dan paling meriah di Desa Laban, gebyuk!
Sakral bukan karena sarat nuansa magis, tetapi memang sesuatu yang terus dijaga
dan tidak dirubah dari dahulunya. Tak heran gebyuk
ini sekarang menjadi salah satu atraksi wisata lokal andalan Kendal terkait
kearifan lokal masyarakat. Di momen tertentu akan dilombakan untuk memeriahkan
perayaan-perayaan penting di Kendal. Yang menarik, dari begitu banyak pesisir
di Kendal dengan muara sungainya, hanya Desa Laban yang memiliki tradisi gebyuk. Ada sesuatu yang sulit saya
deskripsikan untuk menjelaskan betapa kuatnya ikatan masyarakat dengan kegiatan
gebyuk. Ketika turun tadi di dekat
jembatan, rombongan kami mungkin jumlahnya sekitar 25-an orang. Ditambah kru
kami ada sekitar 35-an orang. Sekitar 10-an orang saja yang tidak turun ke air
karena sibuk melakukan kerja dokumentasi, termasuk saya. Walau pada akhirnya
setelah tiga jam kami pun ikut turun dan njeblos
juga di lumpur Sungai Sibulan yang aduhai mesra memeluk kaki-kaki kami itu
dengan bau lumpurnya yang sangat harum itu.Tetapi ketika rombongan telah
berendam dan terus bergerak menuju ke muara, selalu ada tambahan orang yang
nyusul di tengah jalan setapak di tepian sungai. Jadi ternyata, setiap ada gebyuk siapapun yang longgar pasti akan
ikut terjun. Tidak perlu diajak apalagi diperintah (ini malah tidak ada). Cukup
ada informasi awal, besok gebyuk! Jadi
gebyuk benar-benar sebuah peneguhan
ikatan social yang luar biasa. Jadi semacam kalau tidak ikut gebyuk, seperti terkesan menjauhi
kelompok masyarakatnya. Saya sempat bertanya, jadi kalau saya lagi iseng nih
misalnya, tidak ada pekerjaan di rumah, kemudian saya tiba-tiba gebyuk sendirian di sungai, ada juga
yang akan menyusul kah? Pastiiii! Ada ketidakrelaan dari seluruh anggota
masyarakat kalau ada yang gebyuk
terus dibiarkan sendirian. Ini menarik! Memang jika ditelisik sebenarnya sebisa
mungkin gebyuk selalu dilakukan
beramai-ramai karena tingkat resikonya cukup tinggi. Jadi kalau ada yang gebyuk, dan apalagi sendirian, pasti
akan langsung ditemani oleh orang lain yang longgar. Penemuan saya lainnya
kenapa pasti selalu beramai-ramai adalah, kapan lagi coba berendam bersama,
bermain bersama para sahabat di desa sejak jaman bayi?! Nilainya melebihi apapun?!
Jadi bagi para orang dewasa di Laban adalah ada nuansa klangenan yang kuat juga terkait gebyuk ini.
Beberapa resiko berbahaya ketika kita
melakukan gebyuk adalah kram perut,
kram kaki, terkena racun ikan berbahaya, menginjak duri, terjerembab lumpur,
tenggelam karena kekelahan, dan atau terseret arus sungai. Ada beberapa kasus
kecelakaan ketika orang melakukan gebyuk,
tetapi jumlahnya tidak seberapa dan itupun terjadi karena ada semacam sifat
memaksa dari pelaku tersebut terkait cuaca dan kesehatan fisik pelakunya.
Bagaimanapun perburuan ini dilakukan dengan melihat tanda-tanda alam baik itu
kondisi awan di pegunungan, deras atau tidaknya arus surut, dan lain sebagainya
termasuk hitung-hitungan Jawa lainnya. Yang paling berbahaya adalah kram perut karena
kelelahan ketika berenang (dan juga berjalan sepanjang aliran Sungai Sibulan)
itu. Kedua adalah terjebak/terhisap lumpur. Dan ketiga adalah terkena racun
dari ikan target seperti ikan smbilang yang racunnya bisa mematikan separo
badan itu. Terkait kram perut, dikarenakan jarak yang ditempuh cukup jauh,
yakni 5 kilo meteran. Jadi gebyuk benar-benar
aktifitas yang menguras banyak sekali tenaga. Semua orang yang akan turun gebyuk harus benar-benar memeriksa
kesehatan fisiknya. Orang yang malam sebelumnya banyak begadang tidak akan
berani turun gebyuk. Kalau
resiko-resiko lainnya relative sulit diantisipasi karena struktur dasar lumpur
sungai terus berubah. Begitu juga resiko dari ikan target semisal ikan
sembilang dan atau ikan pari. Hal-hal
seperti ini sulit terantisipasi. Itulah kenapa selalu
dilakukan beramai-ramai sehingga tingkat safety-nya
semakin tinggi. Selain menjadi lebih seru tentunya!
Masalah keselamatan
sebenarnya telah dipikirkan oleh pencipta teknik gebyuk ini sejak semula. Yakni dengan digunakannya alat bantu
bernama susuk yang saya sebutkan
sekilas di awal. Alat ini dibuat dari bilah-bilah bambu tertentu yang kuat, dan
terkadang dari rotan. Dan pegangan susuk adalah
kayukeras yang dihaluskan sehingga kalau terendam air malah menjadi semakin
halus dan kuat. Begitu juga dengan bilah bambu dan rotannya. Bentuk susuk ini seperti wadah nasi tetapi tinggi
dengan lubang di kedua ujungnya. Sulit mencari padanan bentuk dari susuk ini. Saya pernah melihat alat
serupa susuk ini di daerah Nagara,
Kalimantan Selatan. Bentuknya sama persis dan juag digunakan untuk perburuan
ikan di perairan yang berlumpur (rawa-rawa). Kenapa menggunakan alat bantu
seperti ini? Yakni untuk menghindari tangan kita terkena patil ataupun sirip ikan jenis tertentu yang selain tajam juga
mengandung racun. Alat ini akan digunakan sembari berjalan dengan terus menerus
ditancapkan ke dasar sungainya perlahan. Terus dan terus. Setiap kali terasa
ada gerakan yang terasa menabrak susuk
maka kita harus langsung menancapkan susuk ke dasar sungai sehingga ikan
menjadi terkurung. Yang paling menyita tenaga adalah ketika kita harus
mengambil ikannya dari dalam susuk. Karena harus kita lakukan sembari menyelam
dan meraba-raba ke dalam susuk. Sangat beresiko karena kita tidak pernah tahu
sebenarnya apakah yang menabrak susuk kita. Kita hanya menduga-duga saja. Mungkin
disinilah tantangan terbesar teknik gebyuk
itu. Bahwa untuk menguak tanya ketika terasa da hantaman yang mengenai
susuk kita, kita harus menyelam dengan segala resikonya untuk mengambil apa
yang terjebak di dalamnya.
Resiko berikutnya yang tidak boleh dianggap
enteng adalah masalah perbedaan suhu badan antara kepala dan bagian leher ke
bawah. Tentang ‘burung’ jangan ditanya karena akan mengkeret sejadi-jadinya. Tetapi perbedaan suhu kepala dan badan
inilah yang juag beresiko. That’s why ketika melakukan gebyuk masyarakat selalu membawa persediaan air minum yang cukup
banyak. Resiko dehidrasi dan overheat di bagian kepala bisa menjadi petaka jika
kita tidak berhati-hati. Penggunaan
celana dan baju yang sifatnya quick dry lebih baik dibandingkan menggunakan
pakaian berbahan cotton. Ketika sampai di muara lima jam kemudian, angina laut
biasanya akan selalu kencang berhembus kea rah daratan. Karena waktu finish
kegiatan ini biasanya telah dihitung sedemikian bertepatan dengan waktu air
pasang (masuk ke sungai). Nah dalam kondisi angina kencang inilah jika pakaian
kita quick dry, akan mudah sekali
kering, badan juga menjadi tidak drop. Berbeda jika misalnya kita menggunakan
baju cotton, dan apalagi jeans. Bukannya mengering ketika ditiup angin laut
malah kaki dan badan kita goyang dombret saking dinginnya! Saya melihat masalah
hasil gebyuk bukanlah sesuatu yang
sangat penting bagi masyarakat. Dari 45-an orang waktu itu yang ikut gebyuk, paling hanya 10an orang sajayang
mendapatkan hasil berupa ikan docang, ikan
sembilang, udang, dan bahkan ada juga ikan nila dan belanak. Ada satu ekor ikan
docang yang relatif besar waktu itu
dan ini juga pencerahan baru bagi saya karena tidak mengira masih ada ikan
docang sebesar itu di Pantura.
Sayangnya waktu itu cuaca di tepian laut
berubah drastis dengan datangnya angin kencang dan juga hujan yang entah dari
mana asalnya. Masyarakat tidak berapa lama langsung bubar ‘kabur’ pulang ke
Desa Laban melalui jalur jalan setapak di sepanjang tepian Sungai Sibulan. Saya
dan tim menggunakan perahu meski akhirnya harus rela berbasah-basahan. Sesampai
di warung dekat jembatan, cuaca kembali panas menyengat, dan kami meringis
semua sembari menikmati kopi yang telah disiapkan oleh penjaga warung. Saya memang
telah berpesan tadi pagi, siapapun peserta gebyuk
yang merapat langsung siapkan the atau kopi hangat dan gorengan. Setidaknya
perut terisi sesuatu karena usai berdingin-dingin ria berjam-jam lamanya. Yang
tidak saya sarankan ke semuanya adalah merokok karena resiko terkena paru-paru
basah sangat tinggi. Sembari mengeringkan pakaian di warung kopi rasanya masih
seperti mimpi. Karena kearifan-kearifan lokal perburuan yang ‘megah’ selama ini
yang saya tahu adanya di luar Pulau Jawa. Di Kalimantan terutama, Sulawesi dan
Papua. Tetapi ini di Pantura! Tahun 2016! Saya mendokumentasikan gebyuk ini bulan Oktober tahun 2016. Saya
salut dengan masyarakat Desa Laban yang begitu teguh menjaga tradisi dan
kearifan lokalnya ini. Semoga tradisi gebyuk
ini terus ada sampai kapanpun. Sesuatu dengan komitmen keberlanjutan yang
tinggi terhadap keberlangsungan sebuah ekosistem perairan berikut manfaatnya
untuk manusia seperti gebyuk ini
harus terus dijaga. Harus terus diwariskan! Semoga seluruh masyarakat Desa
Laban tidak lelah melakukannya kepada generasi penerus mereka sembari
menginspirasi masyarakat lainnya di negeri ini. Salam wild fishing! Salam Wild
Water Indonesia!
* Pictures captured at Desa Laban, Kendal, Central Java, October 2016. Behind the scenes Jejak Petualang Wild Fishing Trans|7. Please don't
use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission.
Don't make money with our pictures without respect!!!
Comments