Menengok Kembali Kemegahan Dander dan Nikmatnya Sengatan Pedas Olahan Panjo Cabe Ijo di Pantai Wediombo
Saya selalu menikmati saat-saat di Pantai Wediombo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Itulah kenapa usai kesan pertama ke pantai ini bertahun-tahun silam, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011 an, selalu ada keinginan untuk kembali lagi. Masyarakatnya sangat ramah, pantainya juga sangat indah dan bersih. Bagi saya Pantai Wediombo adalah wajah tercantik dari seluruh pesisir selatan di daerah Istrimewa Yogyakarta. Jauh lebih cantik dibandingkan dengan Pantai Parangtritis. Saya sebenarnya tidak menyukai bermain di pantai, maksud saya bermain pasir dan air di pantai, padahal Wediombo menawarkan hal ini terutama ketika air sedang tinggi (belum surut), yang saya sukai ketika berada di pantai adalah menikmati nyanyian ombaknya sembari ditemani secangkir kopi hitam. Ada banyak inspirasi yang bisa saya dapatkan ketika ‘tenggelam’ dalam nyanyian ombak yang meraja tersebut. Hal-hal yang mungkin selama ini begitu sesak dan tersembunyi di kepala seperti terurai satu demi satu. Segala sesuatu yang bergejolak di dada pun mereda dan kita dihadapkan pada banyak pilihan untuk lebih legawa. Tidak ada salahnya seorang manusia melewatkan waktunya sejenak untuk sekedar terbebas dari begitu banyak tarikan-tarikan hidup keduniawian. Salah satunya bisa saya rasakan di Pantai Wediombo, setelah Pantai Ngliyep di kampung halaman saya sendiri di Malang Selatan.
Menurut saya ada perubahan yang sangat
signifikan di Pantai Wediombo. Pantai ini telah bersolek sedemikian
rupa dan siap menerima kehadiran para wisatawan. Semakin banyak warung makanan
yang buka ketika weekend ataupun hari libur tiba, dan bahkan beberapa warung
aksesoris pun bisa kita jumpai. Sebuah pantai yang dahulu relatif sunyi kini
telah menjelma menjadi pemutar perekonomian masyarakat setempat, yang
sebenarnya bercorak agraris. Tetapi saya tidak hadir kembali di Wediombo untuk
sekedar melewatkan menghabiskan kopi sembari mendengarkan ombak. Ataupun hanya
untuk mendengarkan kisah Pak Muji, seorang porter bersahaja yang selalu begitu
semangat menceritakan hasil-hasil pancingan dari rekan-rekan pemancing
(kebanyakan dari Yogyakarta) yang dia temani ketika menyambangi pantai ini.Wediombo,
dan juga berpuluh titik di seluruh pesisir selayan Yogyakarta dewasa ini
merupakan destinasi mancing yang begitu diminati oleh komunitas mancing yang
ada di Yogyakarta dan sekitarnya. Terutama untuk menerapkan teknik karangan dan pasiran. Istilah kerennya rock
fishing dan surf fishing, yang
kemudian juga semakin meriah dengan kehadiran pemancing yang menerapkan teknik
lainnya semisal rock casting (ada
yang lebih suka menyebutnya dengan rock popping)
dan surf casting. Bahkan kini juga
semakin menjamur diterapkannya teknik jigging
di pantai selatan Yogyakarta ini. Salam nggih kagem rencang-rencang mancing sadayanipun di Yogyakarta. Mas Apri Gt Holic dan lain sebagainya. Kapan kulo dijak niki?
Saya selalu malu ketika tiba di suatu
tempat dalam keadaan terlambat dari waktu yang telah disepakati. Tetapi entah
kenapa, mungkin usai dari perjalanan jauh dai Salatiga malam sebelumnya, kami
sulit sekali terbangun pagi buta ketika menginap di Wonosari. Lebih tepatnya
tidak semua anggota tim saya bisa bangun secepat itu sehingga kemudian membuat
kehadiran kami di parkiran Pantai Wediombo terlambat sekitar satu setengah jam
lamanya. Tetapi Pak Muji, seorang petani yang sering nyambi menjadi porter
mancing, dan juga seorang rekan lama di dunia mancing, Londo Edan tetap tidak
menekuk wajahnya. Mungkin mereka telah terbiasa menunggu, entahlah. Hehehe!
Yang pasti tidak lupa saya sampaikan permohonan maaf selayaknya manusia.Cuaca
sangat cerah hari itu, baru pukul delapanan pagi tetapi sinar matahari terasa
demikian menyengatnya.Langit biru, sembari menikmati kopi di parkiran dan
membicarakan strategi dokumentasi hari itu, kami sesekali melempar pandangan ke
kejauhan ke arah selatan. Dander terlihat samar, beberapa pemancing yang pulang
pagi itu dan kami sapa di parkiran mengatakan bahwa ombak pada hari ini akan
sangat besar, yang imbasnya adalah kita akan kesulitan mendapatkan sambaran,
selain tentunya juga berbahaya. Pun kalaupun ada waktu yang dianggap relatif
aman, setidaknya hanya sampai tengah hari saja. Lebih dari itu sebaiknya kami
telah meninggalkan Dander.Resikonya terlalu besar karena hari ini angin sangat
kencang, dan berdasarkan pengalaman-pengalaman masyarakat selama ini, dengan
ditambah tanda-tanda alam lainnya di Wediombo, kondisi Dander sebenarnya sedang
tidak bersahabat.
Karena air masih sangat tinggi, yang
artinya sangat sulit jika kita menyisir tepian pantai untuk menuju ke
Dander.Karena selain kembloh (basah)
juga resiko dihantam ombak, kami menuju ke Dander melalu jalanan setapak yang
ada di belakang Pantai Wediombo.Dari jalanan ini, karena posisinya lumayan
tinggi, kita bisa melihat ke arah pantai dengan foreground kebun dan beberapa rumah dan warung milik masyarakat.Ketika
kemudian kami tiba di tanjung di belakang Dander, posisi tanjung ini persis di
belakang di atasnya spot Dander, waktu menunjukkan sekitar pukul Sembilan pagi.
Lumayan lama karena kami juga sembari melakukan pendokumentasian selama
perjalanan ke tanjung ini, ombak memang terlihat begitu besar terus menghajar
Dander diringi bunyi gemuruhnya yang laksana bunyi mesin jet.Betapa tiba-tiba
terasa dengan kuatnya kemegahan dan keliaran alam yang ada, dan beberapa
manusia yang ada di Dander saat itu bukanlah siapa-siapa.Kita memang ciptaan
Tuhan paling mulia, tetapi justru dalam kemuliaan-Nya inilah, ketika berada di
Dander, kita harus ingat ada saatnya seorang manusia menundukkan kepala dan
merendahkan hatinya. Melawan kuatnya gemuruh suara ombak Dander saja kita tidak
mampu kog, apalagi ingin melawan
kekuatan hantamannya. Yang menggembirakan bagi saya adalah, persis di tanjung
di belakang Dander saat ini, ada sebuah warung kecil nan sederhana yang
menyediakan kopi dan indomie. Konon katanya dikelola oleh istri salah satu
porter di Wediombo dan hanya buka ketika hari-hari dimana banyak pemancing
menyambangi Dander. Sabtu, Minggu dan hari-hari libur lainnya.
Di warung inilah kemudian, tanpa
direncanakan sebelumnya, dan bisa jadi kemudian sedikit mengagetkan sang
empunya warung, menjadi pusat operasi kerja dokumentasi yang kami lakukan. Kru
drone dan kru lainnya bertahan di warung ini, sembari fokus pada gambar-gambar wide, sementara tim utama yang memang
harus turun ke Dander kemudian melanjutkan kegiatan berikutnya di atas spot
Dander. Menyeberang ke Dander sendiri harus dilakukan dengan penuh
perhitungan.Hanya masyarakat yang menurut saya mengetahuinya.Intinya kita harus
menghitung dahulu ombak yang datang. Ada interval tertentu dimana ombak
terbesar akan menghantam ‘jembatan’ batu antara tanjung dan spot Dander. Nah di
jeda dua ombak terbesar inilah kita harus menyeberang dengan berlari kecil
penuh perhitungan agar tidak terpeleset, menuju ke gundukan karang tertinggi
yang ada di Dander.Wajah Dander sendiri memang unik.Sebenarnya adalah bagian
dari tanjungan besar yang ada di belakangnya, tetapi seperti terputus dengan
kanal besar di antaranya. Dander memiliki dua areal yang berbeda, yang paling
luas adalah batuan karang yang datar layaknya halaman, dan di belakang halaman ini
adalah bebatuan karang yang cukup tinggi. Di bebatuan tinggi inilah manusia
akan menaruh barang-barangnya untuk kemudian memancing di halaman yang berada
di bibir samudera itu. Di bebatuan tinggi juga itulah manusia akan berlindung
ketika ombak sedang usil ataupun nakal! Satu hal yang harus selalu diingat
ketika berada di Dander adalah, ekstra waspada! Buka mata dan telinga
baik-baik. Selalu hiraukan ketika masyarakat ataupun porter berteriak menyuruh
kita naik ke bebatuan dan selalu konsentrasi. Jangan melamunkan yang tidak-tidak
karena di Dander itu tidak ada gunanya untuk keselamatan kita.
Dander adalah spot mancing yang ekstrim! Dan
lagi-lagi pada hari itu saya membawa tim ke lokasi ini untuk kembali mengais
keberuntungan memancing ikan-ikan panjo (garfish) atau ikan cendro!Gusti!
Hehehe! Oalah mancing panjo saja kog
direwangi toh nyowo (bertaruh nyawa)!
Saya pernaah beberapa kali memancing di Dander dan bukan karena ikannya
sebenarnya saya selalu rindu kembali lagi ke Dander. Karena kalau sekedar
memancing ikan panjo saja banyak lokasi bersahabat lainnya. Sebut saj amisalnya
di Korowelang dekat Semarang misalnya, dan masih banyak lagi spot karang
dangkal di sekitar Pantura. Ikan garfish di beri nama panjo oleh masyarakat
Wediombo konon katanya karena bentuknya panjang dan ijo, dan memang demikian
adanya. Jujur kalau saya sedang casting ikan tenggiri dan atau talang-talang
(Queenfish), ikan ini adalah yang menduduki peringkat pertama untuk saya
hindari. Besarnya tidak seberapa, sensasi tarikannya hampir tidak ada, tetapi
paling sering membuat kita kehilangan umpan karena karakter menyambarnya di
bagian kepala umpan artificial kita.
Gerakan berontaknya yang tidak sedap dilihat dan dirasakan itu memang begitu
liar, moncongnya yang panjang dan bergerigi macam gergaji inilah kemudian yang
akan memutuskan tali pandu (leader) kita. Hilanglah kemudian umpan-umpan dengan
harga up 70K dan bahkan kadang 150K gara-gara ikan ini.
Hanya di Dander, ikan ini menduduki
peringkat pertama untuk didapatkan! Baik itu oleh tim kami dan juga oleh
masyarakat lainnya. Hahaha! Di sinilah kemudian kita mempelajari sesuatu yang
lain, bahwa kita tidak semestinya mengeneralisasi segala sesuatu di urusan
mancing memancing dan manfaatnya. Ikan yang bagi kita mungkin kita pandang
sebelah mata, bagi orang lainnya adalah ikan yang paling diburu dengan segala
resikonya. Disinilah kita dituntut untuk lebih luas memandang segala sesuatu
terkait dunia memancing ini. Jadi sebagai pemancing, jika yang kita pahami
hanyalah dunia memancing yang itu-itu saja yang kita lakukan, jangan berbicara
terlalu keras terkait hal yang sama dengan masyarakat lainnya karena bisa jadi
itu sesuatu yang bagi mereka sangat berharga. Jangan hanya sayangi diri Anda
dan dunia Anda, sayangi juga manusia lainnya. Kenapa ikan panjo bagi masyarakat
Wediombo begitu penting?Saya tidak mengatakan paling penting ya, karena
nyatanya ada juga beberapa perahu di pantai ini yang terkadang juga mencari
ikan-ikan lainnya ke tengah laut. Ikan panjo adalah ikan yang paling mungkin
didapatkan dengan memancing dengan peralatan yang seadanya dari tepian. Apalagi
sekali lagi menurut saya masyarakat Wediombo adalah masyarakat agraris dan
bukannya bahari. Sebenarnya di kawasan pesisir ini banyak terdapat ikan-ikan
besar lainnya. Di grup-grup mancing kawan-kawan Yogyakarta kita bisa melihatnya. Tetapi
selain medan yang sangat sulit, untuk menaikkan ikan-ikan besar diperlukan tenaga,
biaya mahal dan juga peralatan yang memiliki performance asal. Bolehlah dibaca
ini sebagai mahal. Bagi masyarakat hal-hal seperti ini tidak masuk hitungan, karena bagi
mereka mencari ikan tidak ada urusannya dengan kebanggaan-kebanggaan dan
puja-puji, ikan panjo bagi mereka sudah cukup karena yang mereka lakukan adalah
pencarian sumber pangan. Dan bukan pencarian simbol-simbol pencapaian seorang yang
memburu ikan.
Akan tetapi, dan ini yang bagi saya
mengagumkan, di spot Dander inilah kemudian sebuah perburuan bahan pangan
memiliki nilai yang lebih bermakna. Pertama karena tingkat resikonya yang luar
biasa besar. Entah sudah berapa banyak insiden terjadi di spot ini akibat
kecerobohan manusia ataupun memang saking terlalu perkasanya alam. Jadi
perburuan ikan panjo di Dander adalah perburuan dimana batas antara hidup dan
mati begitu tipisnya. Hidup yang kemudian mewujud dari masyarakat yang sering
memancing di spot ini, dan juga bisa jadi dapat kita lihat di kawan-kawan
pemancing lainnya yang sering memancing di spot ini, pada akhirnya adalah
sebuah hidup yang menurut saya lebih bernilai. Haiyaaah saya menulis apakah
ini?! Intinya singkat kisah, pada hari itu kami melewatkan waktu selama dua jam
lamanya ‘bercinta’ dengan keliaran spot Dander dan kemudian jelang tengah hari
kemudian undur diri untuk memasak beberapa ekor ikan panjo yang kami dapatkan. Lebih tepatnya adalah yang didapatkan oleh masyarakat. Saya boncos karena memang sibuk melakukan kerja dokumentasi, dan pemancing kami saat itu Masbro Vic Liebert juga amsyong! Di spot Dander kawan saya Londo Edan sempat memberi surprise dengan membentangkan spanduk konsern jaringan yang saat
ini sedang begitu bersemangat mencoba merawat harapan untuk masa depan perairan
yang lebih baik di negeri ini. Suwun lek!
Ada yang menyebut ikan
panjo/cendro/garfish/ceracas ini adakah ikan berdarah biru. Ikan ini memang
tidak memiliki darah berwarna layaknya ikan lainnya di lautan. Yang ada hanyalah
warna biru yang sebenarnya terdapat pada bagian tulang dan duri-durinya. Itulah
sebabnya ikan ini kemudian mendapat julukan ikan berdarah biru. Ikan panjo,
meski saya kurang menyukainya sebagai target pancingan, saya sangat menyukainya
ketika sudah diolah, karena rasa dagingnya sangat enak! Mungkin karena darah birunya
ini?! Bisa jadi tetapi memang nyatanya ikan panjo memiliki pola diet yang
menarik dengan hanya menyasar ikan-ikan super kecil untuk dimangsa, kebanyakan
ikan teri. Itulah sebabnya para pemancing seringnya menggunakan umpan teri yang
diikat sedemikian rupa di dekat benang laso di ujung tali pancingnya. Memancing
ikan ini paling efektif memang tidak dengan menggunakan mata kail, melainkan
dengan semacam laso dari benang. Jadi ketika sang panjo mencoba memakan umpan
kita, maka kemudian akan terjerat di benang tersebut. Teknik yang sama juga
digunakan oleh para nelayan Pantura, tetapi mereka menambahkan teknik lainnya
biasanya dengan menggunakan layang-layang untuk ‘meletakan’ umpannya agar
berada di permukaan di atas reef dangkal, kemudian dimainkan agar menyerupai
ikan kecil yang meloncat-loncat dekat permukaan air. Di Dander masyarakat
menghanyutkan umpan agar mengikuti arus dengan ditambahkan pelampung kecil
kebanyakan dari styrofoam. Ikan panjo
memang berkarakter pelagis dan
karenanyaakan menyambar umpan (ataupun juga mangsanya) ketika berada di dekat
permukaan air (surface).
Terkait proses masak ikan panjo ala Pantai
Wediombo ini sepertinya saya tidak akan membahas panjang lebar. Meski jujur ada
keterbaruan yang baru saya lihat terkait mengolah ikan ini yang ditunjukan oleh
masyarakat. Istri Pak Muji mengatakan bahwa cara terbaik mengolah ikan panjo
adalah dengan tambahan cabe hijau yang banyak. Dimasak santan sebenarnya tetapi
dengan tambahan cabe hijau yang banyak. Dan satu lagi, adalah dengan lalapan
daun papaya?! Baru mendengar penjelasan Pak Muji dan istrinya waktu itu saya
sudah langsung lapar! Ikan panjo akan dipotong-potong kemudian dicuci dengan
air laut, hal lumrah dalam cara olah ikan segar yang dilakukan oleh masyarakat
pesisir. Tetapi kemudian ikan-ikan ini akan dibakar dahulu sebentar sampai
matang. Selama proses pembakaran ikan tersebut, daun papaya dan bumbu-bumbu
akan dipersiapkan. Yang menarik adalah ketika tiba pada proses mengolah daun
pepayanya. Untuk menghilangkan rasa pahit, digunakan tanah lempung kuning yang direbus berbarengan dengan daun pepayanya
dengan tambahan sedikit garam. Cara reduksi rasa pahit daun papaya yang baru
pertama kali saya lihat. Karena selama ini yang saya pahami untuk membuang rasa
pahitnya adalah dengan memeras sedikit daun papaya yang baru diangkat usai
direbus, sehingga getah pahit pada daunnya akan larut bersama air perasannya. Begitulah
pada proses akhir kemudian semua bahan akan dimasukkan ke dalam santan dan
dimasak sampai mendidih! Tidak sampai setengah jam proses memasak ini selesai.
Dan kemudian tidak sampai setengah jam pula seluruh olahan ikan panjo cabe
hijau khas Wediombo ini pun tandas entah kemana!!! Pak Muji dan istrinya hanya
bisa mesam-mesem. Saya dan tim pun
pura-pura tidak melihatnya sambil menahan sendawa?! Hehehe! Semoga sampeyan dan keluarga sehat
selalu Pak?! Salam petualang!!!
* Pictures captured at Desa Laban, Kendal, Central Java,
October 2016. Behind the scenes of Jejak Petualang Wild Fishing Trans|7.
Drone by Smart Media (Semarang). Please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without
my permission. Don't make money with our pictures without respect!!!
Comments