Program Jaga Mata Air Malang
Selatan tetiba ‘hinggap’ di kepala usai melihat semakin banyaknya mata air
di pegunungan karts ini yang menghilang ketika musim kemarau meraa seperti
sekarang. Seorang sahabat di sebuah desa belum lama ini bahkan mengatakan banyak
warga yang mulai membeli air untuk sekedar memasak dan minum?! Hal menyedihkan
yang tidak pernah terjadi sebelumnya, setidaknya ketika saya masih menjalani
kehidupan sebagai bocah desa lugu hingga usia 14an tahun di sebuah desa di wilayah
ini. Rusaknya daya dukung ekologis pegunungan karts di kampung halaman saya ini
terasa makin nyata di depan mata. Sebab pasca dibukanya jalur selatan semakin
banyak mata ambisius melirik antara lain investor pabrik semen. Konklusi
penelitian sebuah kelompok pemerhati lingkungan pada tahun 2013 juga menyatakan
bahwa pegunungan karts Malang Selatan semakin tandus! Tidak mengada-ada, ketika
saya berkeliling ke dua kampung saya saja misalnya, Purworejo dan Sumberoto, Kecamatan
Donomulyo banyak mata air yang dulu begitu berkelimpahan air kini beberapa
hanyalah ceruk kecil yang tidak berarti. Sebagian bahkan sudah ‘mati’!
Pertanyaannya bagaimana dengan mata air delapan desa lain di kecamatan ini?
Bagaimana dengan mata air di
kecamatan-kecamatan lainnya? Konservasi mata air di Malang Selatan
menurut saya penting untuk dilakukan sebelum semua berubah menjadi air mata.
Lama tak kembali ke kampung halaman, terakhir hampir setahun
lalu, membuat saya sedikit gagap ketika melangkahkan kaki menuju pintu keluar
dari Bandara Abdurahman Saleh di Tumpang. Gagap yang entah karena raga yang
menyeru meminta istirahat atau bisa jadi saking banyaknya pertanyaan lalu-lalang
di kepala tentang banyak hal, di masa transisi hidup yang terkadang mengundang
gelisah. Beberapa sahabat Wild Water Indonesia Region Malang sudah menunggu
saya dekat pintu keluar bandara, berikutnya kami kemudian melanjutkan
perjalanan ke dalam kota. Kota Malang di sore hari kerja (weekdays) adalah kebisingan yang kurang bersahabat dengan telinga
dan mata saya yang terbiasa di pedalaman. Pit
stop pertama saya adalah sebuah rumah di daerah Blimbing, Malang yang
selama ini menjadi tempat berkumpulnya para relawan WWI Region Malang. Ada
kehangatan yang tidak terduga ketika berada disana ditambah kehadiran banyak
sekali sahabat WWI Region Malang yang menyempatkan ‘menyambut’ kepulangan saya
kembali ke kota ini. Tidak banyak cakap yang bisa kami lakukan karena selama
ini kami sudah begitu intensif melakukan diskusi melalui jaringan seluler.
Meski demikian saya merasa perlu menuliskan bahwa ada rasa bangga bahwa di kota
ini begitu banyak terdapat relawan Wild Water Indonesia. Padahal WWI Region
Malang baru berdiri pada April 2017 lalu ketika jaringan ini melangsungkan 1st
Anniversary tepatnya pada tanggal 30 April.
Berikutnya, dan hal ini yang hari ini baru saya rasakan ada
kesalahan yang tidak saya sadari, saya kemudian melanjutkan perjalanan menuju
sebuah rumah mungil di daerah Sukun yang merupakan kediaman adik saya yang
paling kecil. Saya sudah mendengar dari beberapa relawan bahwa akan ada banyak
sahabat WWI Region Malang berkumpul di rumah itu. Benar adanya. Ketika tiba di
rumah, sudah banyak sekali relawan dari berbagai penjuru kota Malang dan bahkan
ada yang dari Sumbermanjing Kulon dan Tumpang yang berkumpul berdesakan di
dalam rumah yang tidak seberapa luas itu. Sebagian besar memakai t-shirt Wild
Water Indonesia dan sebagian lainnya tidak, sepertinya baru bergabung. Tetapi
respek saya kepada mereka semuanya sama. Saya dan mereka setara tidak ada beda,
sama-sama orang yang sedang mencoba melakukan kepedulian perairan melalui
hal-hal sederhana yang kami bisa untuk masa depan perairan yang lebih baik di
negeri ini. Adik saya tampak begitu sibuk mempersiapkan penganan dan berbagai
hidangan. Malam itu rupanya mereka menggelar semacam syukuran kecil, meski saya
merasa hal tersebut berlebihan. Semoga sykuran karena akhirnya hampir seluruh
sahabat di region ini bisa berkumpul, bukan karena saya pulang kampung. Satu di
antara berkat makanan yang ada di ruangan kecil itu adalah tumpeng yang
dimaksudkan sebagai wujud syukur atas online-nya www.wildwaterindonesia.org yang
baru kami persembahkan untuk Ibu Pertiwi pada tanggal 17 Agustus 2017. Website
jaringan yang hosting dan domainnya dibeli dengan dana saweran dari seluruh relawan Wild Water Indonesia di seluruh
penjuru negeri. Website yang dibangun oleh para relawan lainnya, salah satunya
adalah relawan dari Benua Biru, Eropa.
Jujur saya tidak menyangka bahwa WWI Region Malang memiliki
begitu banyak sahabat. Malam itu tidak kurang dari 40 sahabat berdesakan dalam
riuh rendah percakapan tentang berbagai hal. Kabarnya jumlah sebanyak ini belum
semuanya karena masih ada lagi yang tidak bisa hadir, terutama para relawan
yang tinggal di pesisir selatan Kabupaten Malang seperti misalnya di Kecamatan
Donomulyo. Yang paling mengejutkan dalam pertemuan malam itu adalah hadirnya
beberapa keluarga yang berasal dari Kecamatan Sumbermanjing Kulon, sekitar 2,5
jam ke arah selatan kota menggunakan kendaraan roda dua. Semuanya lengkap hadir
dengan membawa anak-anaknya yang beberapa di antaranya menurut saya tergolong
kecil untuk menjalani perjalanan jauh malam hari. Saya memikirkan bagaimana
rasanya mereka akan kembali nanti ke rumah mereka yang cukup jauh malam hari
dan merasa bersalah. Andai saya tahu ada keluarga relawan yang berasal dari
daerah yang jauh dengan anak kecil seperti ini, saya akan memilih menyambangi
mereka dibandingkan mereka yang datang untuk menjumpai saya yang bukan
siapa-siapa ini. Bahkan juga ada relawan dari daerah Dampit, Kabupaten Malang,
sekitar dua jam perjalanan dengan kendaraan roda dua jauhnya untuk menuju ke
pusat kota Malang.
Tak dapat saya pungkiri, malam itu adalah malam yang begitu
ramai di sebuah rumah kecil. Usai syukuran memotong tumpeng larutlah kami semua
dalam lahap dan cakap tentang banyak hal. Mulai dari diskusi “kurang fokus”
tentang visi misi Wild Water
Indonesia, yang saya yakin begitu berat dimengerti oleh sebagian besar yang
hadir, hingga ke perbincangan tentang betapa dinginnya kota Malang di bulan
Agustus. Konsern utama region ini secara tidak terduga sepengetahuan saya hingga
saat itu hanyalah tentang kampanye larangan membuang sampah sembarangan. Diwujudkan antara lain dengan
melakukan kampanye keteladanan kepedulian berupa kegiatan clean the beach di Pantai Ngliyep dan Pantai Modangan. Berbeda
dengan konsern-konsern utama region lainnya yang kebanyakan fokus pada larangan
illegal fishing dan juga konservasi ikan lokal (native fish). Diskusi berangsur semakin sepi seiring pamitnya para
sahabat yang rumahnya terlalu jauh dari kota ini. Ketika mereka hendak beranjak
pulang ke kampung di wilayah selatan Kabupaten Malang ini, pesan saya hanyalah
hati-hati dan berjanji bahwa saya akan ganti menyambangi mereka di desa. Tak
lupa saya menyampaikan permohonan maaf karena mereka membawa bocah-bocah
imutnya yang saya tahu pastinya melelahkan menjalani hari yang seperti ini.
Beberapa hari berlalu di kota Malang dalam suasana sunyi,
sebab keluarga besar saya kemudian berangkat ke Yogyakarta untuk suatu urusan.
Saya ingin keluar tidak tahu rumitnya jalanan kota, akan tetapi di rumah saja
memicu gelisah. Untungnya beberapa sahabat WWI Region Malang begitu rajin menemani
saya menjalani hari baru di kota ini. Saya berencana menjalani kehidupan baru
saya di kota ini, usai keputusan saya meninggalkan profesi sebagai kuli
keliling di sebuah perusahaan media nasional di Jakarta karena tekad kepedulian
saya kepada perairan dan sesama yang rupanya banyak dijadikan ‘bensin’ trik
intrik oleh seseorang yang memaksa saya harus memilih untuk menepi memilih
jalan sebagai manusia yang baik, bukan menjadi pekerja yang baik (baca:
penjilat). Ketika tiba waktunya kemudian saya bisa berkeliling ke beberapa desa
di Malang Selatan, saya kembali terkejut, bahwa ternyata begitu banyak sahabat
Wild Water Indonesia di daerah ini. Berpuluh orang! Entah saya yang tidak dapat
mengingat dengan baik, ataukah memang tidak ada update dari para sahabat di WWI Region Malang (yang tinggal di
perkotaan), tetap saja jumlah yang begitu banyak di Malang Selatan mengaggetkan
saya. Setidaknya ketika suatu malam mereka dolan
ke rumah saya di kampung (Desa Purworejo), ada setidaknya dua puluhan
orang. Dan jumlah ini ternyata belumlah seluruhnya karena ketika kemudian saya
bisa dolan, ada beberapa orang
lainnya di daerah Sumbermanjing Kulon, Desa Kedungsalam (Kec. Donomulyo), Desa
Purworejo sendiri, dan bahkan di Desa Sumberoto. Desa terakhir ini adalah
tempat kelahiran saya hampir 40 tahun lalu! Kaget? Iya. Bangga? Pasti! Siapa
sangka jaringan kepedulian perairan Indonesia juga memiliki relawan sebanyak
ini di kampung halaman saya sendiri? Karena sebelumnya, di daerah ini yang
boleh dikatakan sebagai Wild Water Indonesia hanyalah keluarga saya dan dua
orang lagi yang tinggal di Donomulyo (Mas Yoga dan istri).
Hari-hari berikutnya adalah hari yang super sibuk dalam
kehidupan saya ketika pulang kampung saking banyaknya sahabat yang silaturahmi
ke rumah dan mengajak jalan-jalan melihat Malang Selatan terkini. Saya berusaha
adil, semua desa yang ada relawannya saya sambangi dengan hasil adalah
pencerahan dan juga permintaan maaf. Pencerahan yang saya maksud adalah bahwa
ternyata semangat kepedulian terhadap lingkungan ini bisa kita jumpai dan
dilakukan oleh siapa saja dimanapun mereka berada. Konsern lingkungan ini
adalah sesuatu yang bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk para sahabat yang
ada di Malang Selatan ini, melalui cara-cara sederhana yang mereka bisa lakukan.
Permintaan maaf saya sampaikan karena ada banyak yang curhat bahwa semangat kepedulian perairan dari daerah ndeso ini sebelumnya agak terkekang dan
seperti tidak mendapatkan perhatian dari orang-orang tertentu. Terbukti
banyaknya ide-ide aksi kepedulian lingkungan inspiratif yang dimentahkan begitu
saja, keinginan sosialisasi yang seperti dihalangi, penyeragaman konsern, dan
lain sebagainya. Permintaan maaf saya juga terucap karena saya kebingungan
menjawab pertanyaan tentang apakah visi
misi Wild Water Indonesia hanyalah masalah kampanye sampah?! Ada sedih
karena sejak awal mula konsern jaringan ini begitu luasnya demi menampung
semangat orang-orang yang peduli merawat lingkungan sekitar mereka! Praktis
saya kemudian menjadi sangat memahami keinginan para relawan di ndeso ini untuk bergerak sesuai visi
misi Wild Water Indonesia tetapi dalam suasana yang demokratis dan tidak
diarahkan dan apalagi dikekang oleh oknum tertentu. Dan tentu saja saya
mendukungnya! Tidak ada dalam prinsip jaringan ini ketika seseorang ingin
merawat lingkungan sekitar rumah mereka, asalkan masih dalam koridor yang benar
(visi misi), harus mendapatkan ijin dari
oknum Wild Water Indonesia tertentu yang telah terbiasa hidup dalam hirarki.
Orang-orang seperti itu bahkan dapat saya katakan sedari sekarang harus minggir
dari jaringan ini dan kembali belajar ke sekolah tentang apa itu relawan, apa
itu ikhlas, apa itu setara, apa itu tidak ikut politik praktis, apa itu tidak
ada kultus individu, dan lain sebagainya. Termasuk harus belajar itu apa makna Satu WWI yang pernah dibahas kembali secara
nasional untuk memperingati 1st Anniversary WWI, dan juga cara
menjalankan konsern melalui “small things
make a big difference”.
WWI Malang Selatan dan Proyeksi Konsern Kepedulian
Secara tidak terduga para sahabat yang tinggal di pedesaan
ini ternyata memiliki beragam ide konservasi “tingkat desa” yang mengagumkan. Beberapa
hari sebelumnya saya bahkan melihat semangat luar biasa para relawan melakukan
kampanye di sebuah karnaval Agustusan yang mengundang haru! Sebuah pertemuan
dadakan yang kami lakukan di sebuah ruangan SMK di Kecamatan Donomulyo, terimakasih
kepada pihak pengelola sekolah membeti kami tempat berteduh, yang dihadiri para
sahabat yang berasal dari daerah Sumbermanjing Kulon dan paling banyak dari berbagai
desa dari wilayah Kecamatan Donomulyo, membuka mata saya betapa tingginya
semangat kepedulin para sahabat yang ada di daerah ini. Memang ide-ide
kepedulian untuk ‘rumah, mereka sendiri ini masih harus diasah lebih tajam
sehingga lebih memiliki muatan konsern lingkungan yang ‘teba’, efek massif dan
juga dapat berumur panjang. Padahal awalnya pertemuan semacam kopi darat dadakan ini lebih
direncanakan untuk mensosialisasikan visi misi Wild Water Indonesia. Bagi saya
mensosialisasikan visi misi WWI dan juga “apakah” itu sebenarnya komunitas
relawan ini sangat penting. Selain menegaskan apa konsern yang menjadi perhatian kami, hal tersebut
sangat penting untuk memberi pemahaman bahwa menjadi WWI artinya harus siap
menjadi relawan. Ini penting dilakukan di masa-masa awal keberadaan sebuah
region baru, karena banyak sekali, apalagi di masa ini, banyak orang bergabung
dalam sebuah komunitas dengan agenda-agenda terselubung yang melenceng. Jadi kedepannya tidak ada
lagi excuse tidak mengetahui visi
misi, konsern yang bisa dan bagaimana melakukannya. Satu kata yang dipahami
saat itu bagi saya cukup penting utamanya kata RELAWAN. Bahwa menjadi relawan
artinya adalah menjalankan kepedulian perairan dengan sukarela, karena kemauan
sendiri, tidak ada paksaan dan tidak mengharapkan imbalan!!!
Beberapa ide program yang dilontarkan oleh para sahabat WWI
Region Malang Selatan usai pembahasan visi misi WWI cukup beragam dan saya
melihat adanya pemahaman kuat terhadap karakter geografis sebuah pegunungan
karts, kultur masyarakat dan juga kondisi-kondisi terkini terkait lingkungan di
wilayah ini. Doa saya semoga mereka melontarkan ide-ide ini karena memang
ikhlas peduli, dan bukan karena mengharapkan sesuatu yang lain. Pertama adalah untuk menjalankan
program merawat mata air di wilayah Malang Selatan. Memang untuk hal ini saya
yang awalnya memberi clue usai saya
melihat banyaknya mata air yang menghilang ketika musim kemarau. Dan saya sangat
paham ini bukan semata karena musim kemarau (saya pernah tinggal di Malang
Selatan hingga lulus SMP) karena dahulu meskipun kemarau panjang banyak
sekalipun rata-rata mata air tetap mengalirkan airnya dengan deras dan juga
sungai-sungai di pegunungan karts ini pun masih memiliki debit air yang cukup.
Memang tidak seperti musim penghujan tentu saja tetapi misalnya sebuah sungai
ya masih ‘berwajah’ layaknya sungai dengan air yang cukup dalam. Kini? Begitu
banyak sungai hilang ketika musim kemarau berlangsung. Kedua adalah akan memulai langkah kecil merelokasi ikan-ikan lokal
dari DAS Brantas untuk mengembalikan keberadaan spesies yang telah punah di
Malang Selatan. Daftarnya saya kira terlalu banyak untuk hal ini. Spesies ikan tawes (Barbonymus gonionotus) misalnya, yang mana ketika masa kecil saya
begitu melimpah di perairan umum (dam dan sungai), kini tidak lagi saya jumpai.
Bahkan ikan wader (Rasbora agryotaenia) sekalipun juga
semakin sulit dijumpai meskipun belum dapat saya katakan punah. Ah tidak usah
menyebutkan spesies yang berukuran besar-besar ini, ikan kecil yang kita sebut
dengan cethul saja pun semakin
berkurang jauh populasinya! Pagi hari sebelum melakukan kopi darat dengan WWI Region Malang Selatan, saya sengaja mendorong
semangat para relawan dengan merelokasi ikan betutu/beloso (Oxyeleotris marmorata) yang saya bawa
sehari sebelumnya dari DAS Brantas.
Mencoba mengembalikan ekosistem sungai dan perairan umum
lainnya dilontarkan beberapa sahabat yang berasal dari Desa Purworejo. Bahkan
yang tidak saya sangka sama sekali mereka sudah mulai melakukan sosialisasi
terkait hal ini dengan perangkat desa, yang ternyata menyambut baik dan akan
mendukung semangat generasi muda mereka dengan segera menyusun perdes ‘hijau’.
Perdes Desa Purworejo ini menurut seorang perangkat desa yang kemudian saya
temui malam hari setelah acara kopi
darat, mengatakan bahwa akan memuat banyak pasal-pasal lingkungan. Tentu
saja ini membahagiakan! Dan saya jujur saja bangga ada sahabat WWI ndeso yang telah bergerak jauh penuh
semangat demi lingkungan hidup di sekitar mereka. Meskipun mereka tinggal di ndeso! Yang juga mengagetkan adalah
banyaknya relawan perempuan yang merupakan ibu-ibu rumah tangga berusia muda.
Mereka-mereka ini lebih tertarik untuk bergerak ke sekolah-sekolah dasar dan
juga TK untuk ikut mendidik generasi penerus dengan cara yang mereka bisa
lakukan, membantu para pendidik yang memang bertanggung jawab terhadap
anak-anak mereka di sekolah. Dan banyak lagi rencana program lainnya seperti
program keren satu jembatan satu banner larangan illegal fishing dan nyampah sembarangan.
Program Jaga Mata Air Malang Selatan 2017-2018
Sebagian besar yang pernah tinggal di wilayah pedesaan,
tidak hanya di Malang Selatan tetapi di Pulau Jawa ini saya yakin sedikit
banyak mengenal apa yang namanya nyadran.
Yaitu semacam selamatan di tempat-tempat yang dianggap ‘keramat’ untuk
memanjatkan pesan dan harapan pribadi kepada Yang Kuasa. Bisa di mata air, bisa
di bawah pohon besar, dan lain-lain. Memang ada siknretisme kepercayaan yang
kompleks dalam ritual nyadran ini.
Tetapi yang banyak dilupakan dan kemudian luput dari pemahaman banyak orang,
karena malahan banyak yang fokus pada kata “keramat” dan tempatnya danyang atau yang mbahurekso kampung yang angker, adalah bawa nyadran sangat kuat mengandung pesan menghormati lingkungan hidup.
Baik itu mata air dan juga pohon-pohon besar yang notabene menjaga mata air
tersebut. Satu lagi kemudian adalah tentang bersih
desa, atau kegiatan selamatan massal di mata air terbesar di suatu desa
yang dianggap merupakan cikal-bakal ataupun titik vital utama di masa lampau
ketika sebuah desa mulai dirintis oleh para pendahulu. Istilahnya ketika babad alas pertama kali dilakukan oleh
nenek moyang kita. Kehidupan tak dapat dilepaskan dari kebutuhan akan air.
Begitu juga terciptanya unit-unit sosial di masa lampau, selalu tidak akan
pernah jauh dari keberadaan mata air. Saya beruntung masih mengalami dengan
jelas apa itu nyadran dan juga bersih desa, yang mana ketika saya
kenangkan kini terasa sangat indah. Nah di lokasi mata air yang dijadikan untuk
acara bersih desa, saya ingat dengan
jelas lokasi tersebut selalu dikeramatkan. Tidak boleh berbuat tidak pada
tempatnya di lokasi tersebut. Termasuk juga tidak boleh mengambil dan membunuh
binatang yang ada terutama ikan-ikan dan juga gateng (sidat). Siapapun yang melanggar akan mendapatkan hukuman
berupa bala (kesialan) baik itu
penyakit maupun kejadian-kejadian yang tidak diharapkan lainnya yang
dikarenakan “penunggu” mata air tersebut marah. Hari ini, berpuluh tahun
kemudian saya bisa menjelaskan bahwa ternyata, tibaknya, ini adalah salah satu cara konservasi tradisional yang
diterapkan oleh nenek moyang kita. Dahulu ketika saya masih kecil tidak
memahaminya dan tentu saja takut mendengar kisah-kisah seperti ini dari
orang-orang tua. Sayangnya, kini, siapa peduli dengan masalah keramatnya sebuah
mata air di wilayah ini? Karena yang dominan terlihat adalah semakin menurunnya
kualitas mata air dan bahkan banyak sekali yang sudah mati!
Saya meyakini bahwa selalu ada harapan ketika manusia
mau berusaha. Terkait dengan mata air di wilayah Malang Selatan harapan itu
akan saya semai bersama para sahabat WWI Region Malang Selatan, dengan dibantu
oleh binatang bernama sidat/gateng (Anguilla sp.). Saya tidak akan menghadirkan pembahasan tentang cara budidaya sidat/gateng ini yang kini banyak
dilakukan karena nilai ekonominya yang begitu menggiurkan di pasar
internasional. Ataupun juga menghadirkan tentang beragam manfaat baik sidat/gateng bagi kesehatan manusia. Saya
kira kedua hal tersebut telah sesak berceceran di internet. Akan tetapi saya
hanya akan memfokuskan catatan ini pada peran ekologis sidat terhadap sebuah mata
air. Sidat atau yang oleh orang Malang Selatan disebut dengan nama gateng adalah jenis ikan tidak bersisik.
Bentuknya mirip dengan belut akan tetapi sidat lebih pipih bersirip dan memiliki
kemampuan untuk tumbuh besar dengan panjang hingga 3 meter dengan mobilitas di
sistem hidrologi bawah tanah
mengaggumkan. Pola migrasi sidat adalah katadromus,
yang artinya sebagian besar hidupnya dihabiskan di perairan tawar namun ketika
akan memijah akan melakukannya di laut dalam tropis. Usai memijah sidat dewasa
akan mati (semelparity). Ikan sidat endemik Indonesia adalah
jenis ikan sidat Anguilla bicolor, A. marmorata, A. borneensis, A.
celebesensis, dan A. nebulosa. Lima dari dari 15 spesies sidat yang ada di bumi. Saya
akan melanjutkan menuliskan apa yang saya lihat sendiri terkait peran sidat
menjaga mata air ini, dan bukannya apa yang dituliskan orang lain. Semata demi
memberi pernyataan berdasarkan pengalaman saya sendiri.
Suatu hari sekitar dua tahun lalu saya berada di sebuah desa
kecil di Kepulauan Banggai Laut bernama Desa Boniton, yang berada di Pulau
Bangkurung. Masyarakat hanya memiliki satu sumber mata air yang keluar dari
tebing berbatu tetapi alirannya sangat deras. Lubang keluarnya air ini memiliki
diameter sekitar 50 sentimeter dengan air yang sangat jernih dan dingin. Di
depan Boniton sebenarnya terhampar air maha luas, lautan, yang tentunya sulit
untuk diminum dan mendukung kegiatan sehari-hari masyarakat. Mata air Desa
Boniton ini dikeramatkan oleh seluruh desa. Perbuatan yang merusak, mengotori
dan apalagi menangkap ikan dan sidat yang ada di dalam mata air ini akan
diganjar dengan denda adat yang luar biasa mahal! Mending kalau hanya didenda
adat, jika dianggap keterlaluan seseorang bisa diusir dari kampung ini karena
dianggap tidak menghormati kesepakatan seluruh masyarakat untuk menjaga mata
air ini. Sebuah desa lain di Pulau Biak di Teluk Cendrawasih yang saya lupa
nama desanya juga menerapkan hal yang sama untuk mata airnya. Pelanggar akan
dikenakan denda adat yang berat. Awalnya
mereka menakuti saya bahwa di dalam lubang mata air desa mereka penuh dengan
ular, yang ternyata setelah saya lihat rupanya adalah sidat. Di Ponggok, Gunung
Kidul masyarakat juga menerapkan aturan yang sama terkait ikan sidat ini. Tidak
boleh ditangkap dengan cara apapun dan untuk alasan apapun dengan sanksi yang
berat bagi pelanggar! Hal yang kurang lebih sama juga saya jumpai di Kepulauan
Maluku dan lain-lain. Tidak boleh ada yang melakukan perbuatan merusak mata
air, melakukan perbuatan tidak pantas lainnya, dan membunuh binatang yang ada
di mata air (kebanyakan binatang yang ada di mata air dikeramatkan ini selalu
ada populasi sidatnya). Di desa kelahiran saya Sumberoto, Kecamatan Donomulyo, sumber (mata air) yang ada juga
dikeramatkan hingga hari ini dengan larangan-larangannya sehingga airnya masih
melimpah hingga hari ini. Nama Sumberoto sendiri diambil dari nama mata air yang ada di desa ini, sumber roto (mbroto), yang artinya bahwa
mata airnya dapat mencukupi semua kebutuhan manusia yang ada di desa ini
(airnya roto atau rata terbagi ke
seluruh penduduk). Di Desa Purworejo
juga memiliki beberapa mata air yang dahulunya dikeramatkan tetapi kini
beberapa di antaranya mengalami penurunan kualitas yang luar biasa menyedihkan
salah satunya sumber mBolu dan sumber Ayu. Sayangnya mBolu sudah menyedihkan sekali
kondisinya. Dahulu banyak sekali ikan gateng di sumber ini, akan tetapi seiring
abainya masyarakat terhadap kearifan lokal yang melindungi perairan ini, gateng-gateng tersebut diambil untuk
dikonsumsi. Dahulu mBolu adalah mata
air fenomenal yang bahkan airnya dapat mencukupi kebutuhan desa lainnya. Kini mBolu kondisinya seperti hidup enggan
mati tak mau. Informasi yang sampai kepada saya penurunan kualitas mata air mBolu ini bermula sejak ikan sidat yang
ada diambil oleh masyarakat sekitar. Menyedihkan, kemajuan dan kemudahan jaman
bukannya membuat orang menjadi cerdas dan bijak, tetapi membuatnya menjadi
rakus dan bodoh! Kondisi yang lebih menyedihkan terjadi di mata air Watu Dampit yang juga berada di Desa
Purworejo.
Kenapa ikan sidat mampu menjaga ‘kesehatan’ sebuah mata air?
Kita harus kembali mengingat karakter hidup ikan sidat ini sebagai makhluk katadromus yang telah saya tuliskan di
atas. Yang artinya karena menghabiskan sebagian besar hidupnya di air tawar dan
kemudian memijah di laut, artinya semua generasi baru sidat/gateng ini akan
berjuang sekuat tenaga agar dapat sampai di tempat tinggal yang disukainya.
Dalam masa migrasi inilah sidat akan berjuang menentang arus sungai dari arah
hilir menuju ke hulu, masuk ke dalam lubang mata air termasuk ke dalam urat-urat
air. Inilah yang menyebabkan aliran air kemudian menjadi lancar. Masyarakat
tradisional memahami tentang hal ini, itulah kenapa kemudian banyak masyarakat
tradisional menerapkan aturan ketat agar jangan sampai ada perburuan terhadap
sidat dan apalagi penangkapan sidat dengan cara yang tidak ramah lingkungan.
Setahu saya, ini diterapkan untuk sidat yang ada hidup di mata air. Tetapi
tidak untuk sidat yang hidup di sungai-sungai besar. Semua ini sebenarnya juga
terjadi karena masyarakat tradisional memahami siklus hidup binatang dan efek
jangka panjangnya terhadap kehidupan manusia itu sendiri. Bayangkan jika
sidat-sidat dahulu sekali semua boleh ditangkap termasuk yang di mata air,
siapa kemudian yang akan menghasilkan generasi baru sidat yang akan melanjutkan
peran ekologisnya? Permasalahan di dunia modern ini kemudian menjadi semakin
rumit, bukan semata hilangnya pemahaman dan hormat pada kearifan lokal leluhur,
tetapi memperparahnya dengan kerakusan dan kebutaan. Bukan hanya sidat dan ikan
yang ditangkap berlebihan (over fishing), tetapi sekaligus banyak ditangkap
dengan cara yang merusak alam (setrum, racun, dan kalau di laut dengan bom
ikan). Belum lagi tekanan terhadap alam yang tercipta karena pencemaran dari
sampah dan juga limbah.
Hal-hal Kecil Bisa Membawa Perubahan Besar
Semua yang saya tuliskan di atas tentu belum bisa membawa
perubahan apa-apa untuk memperbaiki degradasi
kualitas mata air yang saya lihat beberapa waktu lalu di Malang Selatan. Tetapi
setidaknya memberi harapan untuk ke arah yang lebih baik itu ke depannya karena
saya selalu mempercayai asalkan kita memang melakukan ini untuk kebaikan banyak
orang dan dengan keikhlasan, akan banyak doa dipanjatkan agar hal ini terwujud,
akan banyak tangan membantu, akan banyak pintu terbuka, dan lain sebagainya
yang memperbesar harapan baik itu terwujud. Saya tidak membuat catatan ini
untuk desa tempat tinggal saya dimana saya sekarang tinggal, Purworejo. Tidak
juga untuk Sumberoto, desa kelahiran saya. Tetapi untuk puluhan desa yanga da
di wilayah Malang Selatan. Saya tidak ingin muluk-muluk, tetapi untuk saat ini
saya kira cukup adil jika saya dan nantinya bersama WWI Region Malang Selatan
berhasil merevitalisasi kembali beberapa mata air yang rusak di desa-desa
dimana terdapat relawan WWI-nya terlebih dahulu. Meski tanpa malu saya akui bahwa saya dan relawan WWI Region Malang
Selatan saat ini belum memiliki apa-apa untuk mewujudkannya selain semangat dan
keikhlasan untuk berbuat kebaikan. Belum ada dana untuk membeli benih-benih
ikan sidat dan lain sebagainya. Saweran pertama antar relawan WWI Region Malang
Selatan tanggal 18 September 2017 lalu ketika melakukan kopi darat membahas visi misi WWI dua hari lalu pun hanya
menghasilkan 160 ribu rupiah dan sebanyak 99 ribu dari jumlah itu telah digunakan
untuk membayar kopi dan cemilan ketika kami melakukan diskusi dan merancang
rencana program. Waktu yang akan menjawabnya. Tuhan yang akan menjawabnya.
Setidaknya saya dan puluhan relawan WWI Region Malang Selatan telah
mengawalinya dengan tekad yang kami percaya untuk kebaikan alam, sesama, dan
juga generasi berikutnya di wilayah ini. Amin!
Kampung Halaman Itu Kini Begitu Hangat
Sekitar 1,5 tahun lalu ketika mulai menjalankan kampanye kepedulian
perairan ini saya beranggapan bahwa jalan yang akan saya lalui hanyalah sunyi
dan berliku adanya. Memang benar tidaklah mudah menjadi orang-orang dengan
kepedulian di negeri ini, akan tetapi saya salah untuk satu hal karena nyatanya
jalan kepedulian ini sekarang begitu ramai dan hangat termasuk di kampung halaman saya sendiri. Hangat karena semangat kepedulian yang dilandasi keikhlasan, semoga! Terlepas dari onak yang terkadang menghalangi perjalanan akibat begitu banyaknya
kepala yang kini bergabung dalam jaringan Wild Water Indonesia yang kini entah
berapa orang umlahnya, saya hanya bisa berjanji kepada diri sendiri untuk
berusaha selalu ikhlas dan menjadi bermanfaat untuk orang banyak melalui hal-hal kecil yang saya bisa lakukan. Program
jangka panjang Jaga Mata Air Malang
Selatan yang saya rencanakan ini sekaligus sebagai cara saya membayar ‘hutang
hidup’ saya selama ini kepada sebuah wilayah pegunungan karts yang begitu
gersang di musim kemarau, yang kini semakin banyak menunjukkan gejala berangsur
kehilangan mata airnya. Untukmu Malang Selatan. Astungkara! Salam lestari! (Michael
Risdianto)
* Pictures captured at South Malang, East Java by various person. Please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my/our permission. Don't make money with my/our pictures without respect!!!
Comments