Menimbang Kembali Mitos Ikan Lele Truno: Fenomena Alam, Muatan Supranatural dan Konservasi Tradisional di Pulau Jawa (Part 1)
Catatan ini dipublikasi pertama kali untuk jaringan kepedulian perairan www.wildwaterindonesia.org. Pagi yang cukup
sepi di sudut kota Malang, Jawa Timur meminta segera diarahkan kepada nikmatnya
‘kopi panas’. Usai malam panjang hingga pagi bersama salah satu relawan Wild
Water Indonesia, Derry Setiawan (relawan WWI Kalimantan Timur), membahas
drama, tantangan, tentangan, nyinyiran dan lain sebagainya yang datang
menyapa perjalanan jaringan Wild Water Indonesia. Kebetulan saya belum lama
tiba di kota Malang usai melakukan Ekspedisi Mata Air Sungai Mahakam 2017. Jalan
terjal yang mewarnai perjalanan para relawan jaringan ini ternyata dihamparkan
oleh mereka-mereka yang juga menyatakan dirinya pecinta perairan, lebih
tepatnya pecinta kesenangan semata di perairan. Pagi yang sepi ini rasanya
badan sedikit melayang, pusing ringan, mual, nyut-nyutan seperti kepatil
ikan lele lokal (Clarias batrachus). Mungkin saya terlalu mengada-ada
menghubungkan kurang tidur dan ikan lele lokal ini. Hehe! Setidaknya pagi ini
mencipta inspirasi untuk membuat catatan sepele ini. Apalagi ikan lele lokal
ini, setahu saya di Pulau Jawa semakin mendekati kepunahannya. Bukan hanya
karena perairan umum yang terus menerus didera kegiatan tidak ramah lingkungan
berupa setrum dan racun ikan, akan tetapi juga semakin masifnya pencemaran dan
serbuan ikan-ikan Spesies Asing Invasif (SAI) yang ditebarkan ke perairan umum
oleh orang-orang yang tidak memahami konservasi ikan dengan benar. Budidaya pun
juga tidak ada yang berpihak kepada lele lokal karena hampir 90 % kolam
budidaya ikan lele yang ada di negeri ini membudidayakan ikan lele dumbo (Clarias
gariepinus) yang berasal dari Afrika. Lele lokal Indonesia terdesak
ke pinggiran. Terasingkan dari hiruk pikuk pemikiran manusia, konservasi,
budidaya, dari program pemerintah, dan perhatian lain dari manusia-manusia yang
begitu menyukai mengatakan mencintai negerinya ini. Dan tentu saja saya juga
yakin sebagian besar manusia di Pulau Jawa ini yang mengaku pecinta perairan,
juga tidak mengetahui apa itu truno, pemimpin ikan lele lokal Pulau Jawa.
Seorang relawan WWI Region
Malang Selatan semakin menguatkan inspirasi untuk menulis catatan ini ketika di
pagi hari yang ngelangut di kota Malang ini dia menyapa saya dan
mengatakan dirinya sedang menuju spot mancing mencari ikan lele lokal untuk
dibudidayakan. Catatan ini bukan bermaksud membuat catatan ilmiah, seperti
banyak tersebar di internet, tetapi sialnya semuanya 80% lebih adalah hasil copy
paste, bukan! Saya ingin menambah pemahaman saya sendiri mengenai kaitan
antara mitos dan konservasi tradisional. Saya mulai dari mitos tentang ikan
lele lokal yang pernah saya dengar langsung, meski belum pernah melihatnya,
yang diceritakan oleh orang-orang tua di kampung saya di pedesaan Malang
Selatan ketika saya masih kecil. Meski daerah kami ini merupakan pegunungan
karst, kami memiliki sungai-sungai yang cukup banyak. Debit air ketika musim
hujan tentunya selalu banjir besar, akan tetapi ketika musim kemarau selalu
hampir kerontang. Juga terdapat cukup banyak mata air (sumber/mbelik)
yang sayangnya akhir-akhir ini debit airnya semakin mengkhawatirkan (relawan WWI Region Malang Selatan merancang konservasi mata
airnya dan telah memasuki titik ke-15). Jenis ikan yang di
masa kecil saya masih sangat mudah dijumpai salah satunya ya ikan lele
lokal ini. Kami cukup menyebutnya saja ikan lele, karena memang di kampung kami
tidak ada spesies ikan introduksi pada masa itu. Yang begitu membekas di
ingatan membicarakan ikan lele lokal ini bagi saya pribadi adalah sakitnya
sengatan patilnya. Saya sering mencari ikan ini di sungai-sungai dengan seser
kecil yang terbuat dari anyaman bambu ketika debit air kecil. Hasil tidak
seberapa namanya juga anak kecil yang mencoba belajar mencari lauk-pauk. Tetapi
selalu ada hasil. Ikan lele sangat licin sehingga terkadang kita harus berjuang
keras untuk sekedar memegangnya. Pada momen inilah jika kita kurang hati-hati
akan terkena sengatan patilnya yang rasanya aduhai nikmatnya. Obatnya pada masa
itu sangat sederhana, dikencingi atau diludahi saja. Memang seperti tidak elok
dituliskan disini, tetapi itulah nyatanya yang kami lakukan. Jika ingin
mendapatkan ikan lele lokal berukuran besar, saya biasanya akan melakukan gogo
atau teknik hand fishing bahasa Inggris-nya. Kita periksa lubang-lubang di
sepanjang tepian sungai dengan tangan kosong. Teknik gogo adalah teknik
mencari ikan yang sangat kuno (primitive). Dan satu lagi juga sangat
tinggi resikonya. Karena yang kita dapatkan bisa beragam jenis biota air yang
belum tentu yang menjadi target kita. Terkadang kita terkejut sendiri karena
dicapit oleh kepiting besar, lari tunggang langgang karena ternyata ada ular
air di dalamnya, nyengir karena dapatnya udang-udang, dan lain-lain. Oh
ya hampir lupa, kenapa terkadang kita mendapatkan ular air. Posisi ikan lele
lokal ketika bersembunyi di dalam lubang-lubang kecil di tepian sungai adalah
dengan meletakkan kepalanya ke dalam lubang, bahkan terkadang menggantungkan
kepalanya ke dalam lubang. Artinya ketika kita meraba-raba ke dalam lubang
ataupun langit-langit sarang di tepian sungai yang akan terasa antara lele
lokal dan ular sama saja, halus dan licin. Tetapi pada masa itu, hampir 40
tahun lalu, mendapatkan ikan lele lokal berukuran besar dengan teknik gogo
(kadang diucapkan gogoh juga) ini sangatlah mudah! Begitu juga
begitu mudahnya kita mendapatkan kado istimewa berupa sengatan patil-nya yang
rasanya begitu ‘nikmat’ itu.
Terkait bisa atau racun dalam
patil ikan lele lokal ini sebenarnya ada ‘ilmu’ ndeso-nya. Begini, kita
harus pahami bahwa spesies ikan lele lokal adalah spesies yang dominan nocturnal.
Kita dapat kenali dari matanya yang kecil dan juga sungutnya yang berguna untuk
navigasi. Yang artinya dia dominan aktif ketika malam hari. Siang hari
jikalaupun dia jalan-jalan berarti adalah ketika air sedang keruh. Nah racun
patil ikan ini kalau kita terkena pada malam hari rasanya tidak sesakit kalau
siang hari (siang hari kalau terkena badan kita jika orang tersebut tidak biasa,
ada yang pingsan). Mungkin, sekali lagi ini hanya mungkin, penjelelasannya
adalah namanya juga ikan lele ditugaskan oleh Yang Kuasa untuk aktif malam
hari, artinya manusia ya seharusnya lebih mengertilah, jangan
menangkapnya ketika di luar ‘jam kerja’-nya ikan tersebut. Dan satu lagi yang
mungkin bisa memperluas wawasan kita adalah, bisa jadi itulah cara Tuhan
melalui alam menitipkan agar kegiatan penangkapan ikan dilakukan dengan memberi
ruang dan waktu agar spesies tersebut memiliki kesempatan untuk hidup dengan
wajar, termasuk untuk kawin misalnya. Siapa tahu ternyata momen kawin mereka
adalah siang hari? Artinya jika manusia bijaksana, dan kemudian hanya mencari
ikan ini pada jam kerjanya ikan lele lokal pada malam hari saja, bayangkan hal
ini, sekuat dan selama apa manusia mampu berbasah-basahan malam hari untuk
gogoh dan atau menjaring? Artinya ketika kegiatan itu dilakukan, karena
misalnya manusia itu memilih momen yang tepat itu agar jika terkena patilnya
tidak terlalu sakit, berarti tekanan terhadap lingkungan perairan itu sendiri
pun akan menjadi rendah. Belum faktor sulitnya berada di sungai pada malam dan
lain sebagainya. Belum jika kemudian berjumpa hantu?! Bukankah ini, jika semua
makhluk saling menghargai, manusia terhadap ikan lele lokal saja misalnya,
seharusnya populasinya tidak seperti sekarang ini yang hampir punah? Pada titik
ini saya merasa memiliki dosa karena pernah gogo atau gogoh pada siang
hari. Meski demikian masih teringat dengan jelas, bag limit ala cah
ndeso dengan satu dua ekor ikan sudah cukup untuk membawa langkah kaki
menuju rumah untuk kemudian menggoreng ikan tersebut dijadikan lauk. Kehidupan
yang sederhana namun kini telah hilang. Begitulah kurang lebih keterkaitan masa
kecil saya dengan sungai-sungai di sekitar kampung saya. Pada masa dimana
ekosistem sungai begitu sehat. Ikan melimpah, begitu juga kebahagiaan manusia
di sekitarnya. Kini, bahkan ikan cethul pun sulit untuk kita jumpai.
Momen Wingit
Migrasi Ikan Lele Melalui Daratan
Kita kembali ke niat awal
menulis tentang mitos terkait ikan lele lokal ini. Masyarakat Pulau Jawa memang
erat sekali dengan yang namanya mitos hingga hari ini. Bahkan terkait ikan lele
pun banyak sekali mitosnya. Salah satunya yang sangat popular adalah mitos
migrasi besar-besaran ikan lele lokal yang dipimpin oleh raja lele (disebut truno)
dari satu sumber air ke sumber air lainnya. Tampilan truno ini oleh
orang yang pernah melihatnya digambarkan sebagai ikan lele tetapi tidak
memiliki daging, jadi hanya kepala dan tulang serta duri saja. Tetapi hidup!
Kalau orang Malang Selatan menyebut fenomena ini dengan istilah pudungan.
Baiknya kita pahami sebentar terkait definisi kata mitos itu sendiri. Mitos
berasal dari bahasa Yunani “mythos”. Yang artinya adalah cerita atau prosa
rakyat yang awalnya dituturkan secara dari mulut ke mulut berlatar belakang
masa lampau dengan beragam penafsiran tentang alam semesta dan makhluk hidup di
dalamnya, dianggap benar-benar terjadi oleh masyarakat yang menganutnya. Mitos
di berbagai penjuru bumi digunakan untuk menjelaskan bebagai hal yang rumit
dipahami akal sehat dan terkadang fenomenal yang aneh, langka, gaib, dan lain
sebagainya. Salah satu contoh misalnya, ada gempa bumi, kalau masyarakat jaman
dahulu, saya masih ingat, mereka akan berkata “naganya ngeloget”, ular
naganya menggeliat. Singkat kata, mitos diciptakan oleh manusia. Dan salah satu
fungsinya adalah untuk menyampaikan dan bisa juga dibaca dengan untuk
mengajarkan tentang sesuatu! Dalam konteks inilah saya mencoba menuliskan
tentang migrasi besar-besaran ikan lele lokal yang disebut dengan istilah pudungan
tersebut. Kenapa saya sedari awal sudah menyebut pudungan sebagai
mitos? Bukan bermaksud untuk menutup kemungkinan bahwa hal tersebut adalah
fenomena alam dan bukanlah pengalaman spiritual dari sumber cerita, melainkan
karena saat ini de facto (secara kenyataan) sumber ataupun
satu-satunya pegangan saya hanyalah data verbal saja, kisah, cerita, katanya.
Bukan berarti juga saya bermaksud tidak mempercayai bahwa apa yang diceritakan
itu bukanlah kebenaran, tetapi kita harus memahami tanpa adanya bukti otentik
berupa gambar visual, tentu berat bagi saya untuk mengatakan bahwa 100 % pudungan
adalah sebuah kenyataan yang pernah terjadi, sebagai fenomena alam dan bukannya
pengalaman spiritual orang tersebut. Tentu pendapat saya ini akan saya uji
ketika nanti bisa berjumpa dengan orang-orang yang pernah melihat secara
langsung fenomena pudungan tersebut. Semoga saya masih bisa
bertemu dengan orang-orang yang pernah melihat langsung kejadian tersebut
sehingga catatan ini tidak menyisakan tanda tanya terlalu besar.
Dalam migrasi secara
besar-besaran yang disebut dengan pudungan ini, ribuan dan bisa jadi
lebih dari sekedar ribuan ikan lele lokal akan berbaris rapi mengikuti yang
namanya truno sang pemimpin menuju ke sumber air yang lainnya melalui
daratan!
Bayangkan! Ketika itu karena saya masih kecil, yang menjadi fokus perhatian
saya, namanya juga masih anak-anak, adalah isi ceritanya sendiri. Seru dan
sekaligus menakutkan! Akan tetapi kini yang lebih menarik bagi saya adalah
apakah ada sesuatu dibalik mitos tersebut. Saya tergugah sekedar menyelidiknya
siapa tahu memang ada sesuatu yang terlepas dari pengamatan banyak orang
dibalik kisah itu. Ada sesuatu yang diselipkan oleh nenek moyang kita untuk
kita temukan hikmahnya? Yang pasti momen pudungan seperti ini tidak akan
dijumpai oleh sembarang orang melainkan hanya orang-orang tertentu saja yang
akan melihatnya. Mereka adalah orang-orang yang sering menyepi di tempat-tempat
angker, bersemedi, berpuasa, dan lain-lain terkait spiritualisme dan ‘dunia
lain’. Mereka mengatakan kepada saya bahwa ketika migrasi besar-besaran
tersebut ribuan ikan lele lokal ini layaknya berbaris bergerak ke satu arah
yang sama dan terjadi selalu pada malam hari. Sebenarnya banyak versi terkait
titik pindah ini. Di Malang Selatan perpindahan terjadi antar dua titik sumber
atau mata air yang berbeda. Akan tetapi di daerah lain saya mendapati ada yang
menuju ke hulu ataupun hilir sungai dan bahkan ada pudungan yang
melewati daerah persawahan. Jumlahnya sejujurnya tidak bisa dihitung dan tidak
pernah ada yang menghitungnya. Momen yang wingit, momen yang sakral,
momen yang menakutkan. Sehingga kebanyakan orang yang melihatnya, meski
memiliki keberanian hidup yang mumpuni sekalipun, akan selalu menghargai momen
seperti ini dengan hanya diam, memperhatikan. Rombongan migrasi ikan lele lokal
ini selain dipimpin oleh raja lele lokal yang disebut truna tadi
itu, ada versi yang mengatakan kepada saya terkadang dipimpin oleh ular weling
(Bungarus candidus) yang berwarna hitam kuning keputihan belang-belang.
Terkait pemimpin pudungan yang dipimpin oleh ular weling saya
dapatkan dari cerita para sahabat di Jawa Tengah. Weling, sendiri
merupakan salah satu ular paling berbisa yang hidup di Pulau Jawa. Ketika
terjadi pudungan rata-rata orang yang melihatnya tidak ada yang berani
mengambil ikan lele tersebut karena dipercaya akan terkena petaka. Didatangi
makhluk halus agar mengembalikan ikannya, jika tidak dikembalikan akan terkena
penyakit, dan lain-lain. Jadi siapapun kemudian lebih memilih untuk membiarkan
saja migrasi besar-besaran ini karena satu-satunya chance aman hanyalah
kalau kita mengambil dan tidak didatangi mahkluk halusnya. Akan tetapi
rata-rata orang dan masyarakat memilih yang aman saja, tidak mengambil ikannya,
daripada membuka kemungkinan yang tidak baik sehingga migrasi besar-besaran
lele lokal relatif akan berjalan tanpa gangguan manusia.
Tentang larangan mengambil ikan
lele lokal ketika sedang migrasi besar-besaran ini sekarang saya pahami sebagai
bentuk kearifan tradisional, bentuk konservasi tradisional, yang diterapkan
oleh leluhur kita di Pulau Jawa ini. Kenapa demikian, tanpa saya bermaksud
menolak tentang kepercayaan animisme dan adanya roh-roh yang akan mendatangi
orang yang mengambil ikan lele migrasi ini, bayangkan jika tiada ‘benteng’
konservasi seperti itu, apa jadinya ketika spesies ikan lele lokal yang sedang
migrasi besar-besaran ini diperbolehkan diambil begitu saja tanpa ada respek
sedikitpun dari manusia yang melihatnya ataupun dari masyarakat? Apa tidak akan
punah dalam sekejap mata? Karena semua generasi ikan lele yang ada di sumber
air itu itu bisa jadi akan habis dalam hitungan jam misalnya?! Belum lagi kita
memahami sebuah konteks geografi, karena kisah pudungan ini kenyataannya
tersebar begitu luas di Pulau Jawa ini, hanya beda-beda saja istilahnya. Bagi
saya ini adalah kisah paling epic tentang spesies ikan native fish yang
pernah ada di Pulau Jawa.
Dengan tetap memberi kemungkinan revisi pemahaman bahwa pudungan
adalah fenomena alam dan bukannya pengalaman spiritual, mari kita
pikirkan sejenak, siapa yang mengawali kisah ini dahulu kala? Untuk apa dia
atau mereka membuat kisah ini? Jawabannya ada dalam kebijaksanaan kita
masing-masing untuk mencoba memahaminya. Jadi bukan pada kita kemudian menjadi syirik,
tetapi mencoba mencari titik yang baik dibalik kisah pudungan
ini.
Kita lanjutkan kembali. Saya
mendapati kisah unik terkait truno ini ketika masih menjadi
tukang keliling sebuah program televisi dan sering hilir mudik pesisir utara
Pulau Jawa di seputaran Jawa Tengah. Pemimpinnya migrasi besar-besaran ikan
lele yang disebut truna ini konon terkait dengan seorang
penyiar agama Islam kondang di Pulau Jawa bernama Sunan Kalijaga (terlahir
dengan nama Joko Said sekitar tahun 1450 Masehi). Nama “kalijaga” konon
disematkan pada masa itu karena beliau senang sekali mandi berendam di sungai (kungkum)
menikmati keindahan dan kesegaran air sungai. Sesekali beliau juga akan kungkum
untuk bertapa. Sekedar informasi tambahan, Sunan Kalijaga adalah anak Arya
Wilatikta, Adipati Tuban. Sunan Kalijaga terusir dari ‘istana’ karena
mengkritik ayahnya yang tega membiarkan rakyatnya kelaparan dengan membongkar lumbung
padi Kadipaten Tuban dan kemudian membagi-bagikannya kepada rakyatnya yang
kelaparan. Arya Wilatikta sendiri adalah keturunan dari pemberontak kesohor
kerajaan Majapahit bernama Ronggolawe. Karena faktor ‘kesalahan’ leluhur dalam
politik inilah Arya Wilatikta saat itu begitu tunduk terhadap Majapahit.
Singkat kisah setelah terusir dari istana Joko said kemudian berpetualang,
menjadi perampok budiman (bergelar Lokajaya, yang membagi-bagikan hasil
rampokannya dari orang-orang kaya kepada rakyat miskin). Joko Said kemudian
bertobat setelah bertemu dengan Sunan Bonang (Syekh Maulana Makhdum Ibrahim)
dan menjadi muridnya. Suatu hari terkisah beliau lapar dan kemudian menangkap
seekor ikan lele, dibakar, kemudian dimakan. Akan tetapi konon tidak sampai dihabiskannya
dan kemudian dilepaskan kembali ke sungai. Ikan tersebut kembali hidup dan
jadilah dia raja ikan lele yang dinamakan truno itu. Tentu kita
tidak mengerti kebenaran kisah yang menyebar di daerah Tuban dan sekitarnya ini
karena nyatanya keberadaan truno sendiri dapat kita jumpai di daerah
lain di Pulau Jawa yang tidak ada kaitannya dengan Tuban di masa lampau.
Meski demikian saya tertarik
untuk memberi penekanan ketika Sunan Kalijaga “tidak menghabiskannya” yang
artinya makan secukupnya saja. Sekali lagi ini hanya pandangan pribadi saya
mencoba ‘menikmati’ kisah ini dari sudut yang lain. Bisa jadi yang beliau
lepaskan kembali ke sungai adalah ikan-ikan lainnya yang tidak jadi dibakar dan
dimakan. Karena kalau yang sudah dibakar dan dimakan terus kemudian dilepaskan
kembali hidup rasanya sulit kita pahami. Saya tertarik tentang kemungkinan
kedua, bahwa beliau melepaskan kembali ikan-ikan yang tidak jadi dimakan dan
kemudian jadilah truna atau para raja lele lokal itu.
Semestinya yang dilepaskan kembali ke sungai jumlahnya cukup banyak, karena
informasi tentang raja lele ini kemudian dapat kita jumpai dimana-mana di Tanah
Jawa ini. Terkait konservasi perairan saat ini yang dijalani oleh para relawan
Wild Water Indonesia, mengambil dan atau memakan secukupnya ikan-ikan yang ada
di sebuah perairan termasuk dalam tindakan “bag limit” dan melepaskan kembali
ke perairan umum kita mengenalnya dengan “catch and relase”. Bag limit
adalah istilah dari negeri bule yang artinya adalah membatasi jumlah
tangkapan, secukupnya saja, agar populasi ikan tidak over fishing dan
keberadaannya tetap lestari. Sehingga kapanpun manusia, generasi manusia yang
manapun, masih akan dapat terus menikmatinya. Catch and release juga
istilah dari negeri bule yang artinya tangkap dan lepas kembali. Kenapa
ada etika seperti ini, popular di kalangan pemancing sportfishing, karena ingin
melindungi keberlanjutan ikan-ikan langka, ikan-ikan yang tergolong induk di
sebuah ekosistem perairan, dan atau ikan-ikan yang pertumbuhannya lambat. Dengan
laku catch and release ini diharapkan orang lain ataupun pemancing lain
dapat menikmati sensasi tarikannya kembali. Akan tetapi di satu sisi jelas
keberadaan populasi dan pertumbuhan ikannya tidak terganggu sama sekali. Catch
and release juga popular di kalangan peneliti perikanan ketika sedang
mengambil sampel data di perairan liar. Ekonomi lokal dan manfaat baik perairan
terus berputar dan mendatangkan kebaikan untuk manusia, akan tetapi alam terus
sehat tanpa gangguan berarti.
Kearifan lokal lain terkait ikan
lele lokal adalah kepercayaan bahwa racun dari patil ikan ini dapat menyuburkan
tanaman buah dan sayur-sayuran. Jika kita tancapkan ke sayur-sayuran daunnya
akan hijau, segar, dan tidak mudah rontok. Jika ke tanaman buah akan berbuah
dengan lebat. Kepercayaan yang sangat sulit saya temukan jawaban atas
pertanyaan “kenapa bisa demikian?” ini disampaikan oleh Mbah Ndoyo, salah satu
relawan WWI Region Malang Selatan kepada saya. Dan masih dipercaya hingga detik
ini di daerah Malang Selatan meskipun masyarakat juga tidak mengerti kenapa
bisa demikian. Yang pasti sayuran dan tanaman sayur yang sifatnya berbuah
menjadi sehat! Tentu ini menarik untuk direnungkan karena ternyata, alam yang
dikaruniakan kepada manusia ini sebenarnya memiliki begitu banyak hal yang bisa
kita manfaatkan, untuk kebaikan kehidupan kita semuanya sekaligus untuk
keberlanjutan alam itu sendiri. Permasalahannya sekarang adalah sayuran dan
tanaman sayur buah selalu ‘diperkosa’ dengan pestisida agar tumbuh subur dan
atau berbuah banyak? Yang bahkan lebih sialnya lagi adalah, pestisida-nya juga
terkadang digunakan manusia untuk menghancurkan ekosistem perairan dengan
meracun ikan-ikan yang ada?! Yang mana negara sudah mencoba menangkal laku
destruktif ini dengan menerbitkan undang-undang (UU No. 31/2004 jo UU.
No 45/2009 Tentang Perikanan) agar cara tangkap ikan yang dipraktekan oleh
warga negaranya adalah yang juga berpihak kepada alam itu sendiri, dan bukan
dengan menghancurkannya! Akan tetapi di Indonesia ini sekali lagi, terlalu
banyak manusia yang begitu pintar berkelit dan mencari pembenaran. Sebuah
undang-undang yang diciptakan untuk menjaga keberlanjutan potensi alam pun
masih bisa disanggah oleh warga negaranya sendiri! Diberi kearifan lokal agar
sayuran dan palawija lain subur, tidak dilakukan dan dilupakan. Diberi
kemudahan jaman modern, disalahgunakan. Diberi peraturan agar lebih mudah
dipahami dan diterima dengan akal sehat seluruh rakyat, sebuah peraturan yang
juga dipikirkan matang-matang oleh negara dengan dukungan ahli science
dan pemangku kebijakan, eh disanggah?! Ampun bukan?!
Saya percaya masyarakat di
daerah lain juga memiliki kepercayaanya masing-masing terkait ikan lele ini
maupun jenis ikan catfish lainnya. Salah satu contoh paling mengejutkan
yang pernah saya dengar adalah penuturan masyarakat Dayak Long Glaat (sub Dayak
Bahau) di Kalimantan Timur yang mengatakan bahwa ikan Giant catfish yang
bernama ilmiah Bagarius yarelli merupakan penjelmaan roh nenek moyang
mereka (boq). Namun karena catatan kecil ini hanyalah tentang
mitos-mitos yang ‘menempel’ pada spesies Clarias batrachus di Pulau Jawa
yang saya ketahui saya tidak menyertakan catatan tentang Bagarius yarelli tersebut.
Di Lamongan misalnya masih ada masyarakat yang pantang memakan ikan lele lokal
karena takut kuwalat. Sebab di jaman kuno kumpulan ikan lele lokal
pernah berjasa menyelamatkan nenek moyang mereka yang bernama Bayapati.
Bayapati di jaman kuno itu berucap sumpah bahwa dia dan keturunannya tidak akan
memakan ikan lele (tentunya lele lokal) yang ada di Lamongan. Memang kini
kepercayaan ini telah banyak luntur tetapi masih saja ada yang mengikutinya
terutama yang memiliki darah asli Lamongan. Yang darahnya telah
tercampur-campur tidak akan terkena kutukan jika memakan ikan lele di daerah
ini. Kutukan yang diterima oleh orang yang melanggar adalah perubahan pada
kulit manusia pemakan lele itu menjadi licin dan berbercak persis seperti kulit
ikan lele. Secara ekosistem perairan, mitos ini pada jaman dahulu tentu memberi
sumbangsih penting pada melimpahnya populasi ikan lele di Lamongan, lha jarang
sekali dikonsumsi oleh masyarakat? Tetapi kemudian saya merasa gagal
menjelaskan keterbaruan kehidupan masyarakat Lamongan terkait mitos lele dan
masyarakat Lamongan di masa kini karena kita mendapati bahwa banyak sekali
orang Lamongan yang mencari hidup dan sukses dengan berdagang pecel lele.
Apakah mitos ini sebenarnya tercipta untuk mendorong semangat wirausaha di
bidang budidaya dan usaha kuliner ikan lele?! Mungkin kawan-kawan dari Lamongan
nantinya bisa memberi saya keterangan yang lebih mendalam. Halo sahabat-sahabat
dari Lamongan?
Akan menjadi melebar kemana-mana
jika saya teruskan dengan mitos-mitos terkait ikan lele lainnya. Tetapi sebagai
clue para pembaca dapat menelusuri beberapa mitos lainnya misalnya saja
tentang Danau Ranjeng di Brebes dan tentang asal muasal keberadaan Kali Taun di
sekitar Gunung Slamet. Keduanya di Jawa Tengah. Di Danau Ranjeng (2000 mdpl)
ikan lele dianggap sebagai peliharaan Mbah ranjeng yang merupakan penjaga
desa-desa di sekitar danau ini. Tentunya kemudian masyarakat tidak diijinkan
untuk menangkap dan membawanya pulang untuk dikonsumsi. Ditambah lagi ada kisah
keberadaan ikan monster di danau ini. Sekarang Danau Ranjeng adalah tempat
tempat wisata alam yang ramai karena “mitos” ternyata menarik perhatian
masyarakat sehingga tergelitik untuk melihat, seperti apa sih Danau Ranjeng
itu. Ditambah memang Danau Ranjeng juga memiliki pemandangan yang cantik khas
pegunungan. Saya pernah ke Danau Ranjeng ini dan ditolak oleh pengelola
untuk sekedar memancing ikan-ikan di danau ini untuk kemudian saya foto. Mereka
marah-marah dan berkata saya akan mendatangkan bala ke desa dan
masyarakat. Padahal saya hanya memiliki semangat sederhana agar publik
mengetahui seperti apa sih sebenarnya ikan lele yang ada di Danau Ranjeng itu?
Sehingga potensi alam dan populasi ikan yang ada di danau ini, yang demikian
gempita dikisahkan dimana-mana, memang memiliki wujudnya secara nyata,
setidaknya meski satu foto. Sehingga publik tidak ‘tergelincir’ jatuh kepada syirik,
menikmati dan mencintai alam di Danau Ranjeng karena memang seperti itulah
sepatutnya manusia hidup di dunia ini. Bukan karena takut dengan makhluk astral
penunggu danau! Berikutnya di Kali Taun di sekitar Gunung Slamet sisi
lainnya saya juga mendapati ada kisah tentang pudungan dan
keberadaan truno, sang pemimpin migrasi besar-besaran ikan
lele lokal Pulau Jawa ini.
Kopi Terakhir Untuk Truno
Kenapa saya menuliskan catatan
ini? Dalam sub konsern Wild Water Indonesia nomor 12 tertulis bahwa kita, para
relawan jaringan ini juga mendukung kearifan lokal perairan yang berkelanjutan.
Hal yang sangat kurang tersentuh oleh para relawan jaringan ini. Di satu sisi
kearifan lokal di masyarakat sudah berangsur menghilang, jarang terjadi, jarang
dipraktekkan oleh masyarakat, dan juga semakin jarang dikisahkan. Sayang
sekali. Ditambah lagi di jaman ini kemudian banyak lagi bermunculan
pemikiran-pemikiran baru yang lebih ‘maju, cara dan konsep konservasi perairan
yang lebih nge-hits. Contoh misalnya ingin melakukan konservasi sungai
tetapi bagaimana caranya agar tidak basah. Sejujurnya kearifan lokal memang
sunyi, jauh dari hiruk pikuk dunia modern dan derasnya pertukaran informasi
jagat nirkabel yang dikuasai oleh politik dan gosip. Tetapi yang ingin saya
sampaikan, meski kita memiliki kemampuan belajar hingga ke planet lain,
berdiskusi dalam puluhan bahasa, membahas dan menjalankan konsern dengan
berbagai cara sesuai jaman ini, jangan lupakan, nenek moyang mungkin pernah
menyelipkan ilmu yang baik dalam cerita-cerita tradisional, mitos, dan juga
bentuk-bentuk folk lore lainnya. Yang biasanya semua ini berkelindan
‘menempel’ dalam tradisi setempat, adat sitiadat dan budaya. Tidak ada salahnya
mencoba memahami hal-hal seperti itu untuk menambah keluasan cakrawala kita.
Meski sekali lagi pesan saya janganlah kita jatuh kepada syirik. Setidaknya
kita tidak terbang di awang-awang dalam melihat kondisi ekosistem perairan yang
ada di negeri ini. Berteriak save our water and fish tetapi hanya bisa
mengadopsi konsep, teori dan cara-cara dari masyarakat dan geografis lain yang
tidak ada sangkut pautnya dengan keragaman dan keaslian negeri tercinta ini.
Ingin menggapai cita-cita mulia tetapi tidak pernah mengajak bicara dan belajar
dari orang tua?! Jika semuanya bisa digabungkan, baik ditambah baik, bukankah
itu menjadi lebih baik? Jadi catatan ini bukan karena saya merupakan fans berat
truno sang pemimpin ikan lele lokal. Meski sejujurnya saya ingin
sekali berjumpa dengan truno dan barisan ribuan lele-nya itu,
mendokumentasikannya, dan siapa tahu dengan tersebarnya dokumentasi satu truno
bisa memanggil kemunculan truno-truno yang lain beserta
pasukannya di Pulau Jawa ini? Untuk melindungi dan merawat bersama
ekosistem perairan di Pulau paling sesak di Indonesia ini? Setidaknya truno
dan pasukannya bisa mengalahkan dominasi dan kesombongan ikan lele
dumbo asli Afrika di perairan umum dan terbatas di Pulau Jawa ini misalnya? Pertanyaan
terpenting dari catatan ini kemudian mungkinkah truno dan ‘pasukannya'
menghilang dari Pulau Jawa ini karena manusia semakin hidup dengan tidak
berpihak kepada alam? Lebih spesifik lagi kepada ekosistem perairan? Jika
para pembaca ada kritik saran, revisi, atau ingin melengkapi catatan ini saya
tunggu di email website. Baik itu terkait kearifan lokal di Pulau Jawa dan atau
pulau-pulau lainnya di republik ini? Karena ikan lele lokal saja sebenarnya
juga terdapat di Pulau Sumatra dan Kalimantan dan di beberapa negara di Asia
Tenggara. Untuk masa depan perairan Indonesia yang lebih baik. Salam lestari!(Bersambung)
* Pictures captured at South Malang, East Java by various person. Please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my/our permission. Don't make money with my/our pictures without respect!!!
* Pictures captured at South Malang, East Java by various person. Please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my/our permission. Don't make money with my/our pictures without respect!!!
Comments