Bulan November 2017, sekitar 15 hari setelah saya
menyelesaikan Ekspedisi Mata Air Sungai Mahakam (Oktober 2017), tepatnya
tanggal 9 November 2017 untuk pertama kalinya saya memposting salah satu foto
ikan mahseer yang saya dapatkan dalam
ekspedisi tersebut di akun Instagram (IG) pribadi saya dan mungkin itu
satu-satunya foto saya di IG yang mendapatkan respon terbanyak sepanjang
sejarah (596 likes). Jeda yang cukup lama usai digelarnya ekspedisi dan foto
ikan yang kemudian saya publikasi. Saya memang pemancing, dan jujur berbahagia
ketika sebuah perjalanan saya juga mendapatkan hasil yang baik (ikan yang
besar-besar, sahabat baru yang baik, dan lain-lain). Tetapi selalu dan buru-buru
memposting tentang ikan bukanlah passion
saya. Banyak hal lain yang juga menarik dalam setiap perjalanan. Misalnya
terkait Ekspedisi Mata Air Sungai Mahakam (Oktober 2017) saya malah
lebih dahulu mempublikasi tentang upacara adat masyarakat Dayak Bahau yang
dinamakan Hudoq Pekayang. Momen ini lebih epik dibandingkan foto-foto ikan
sehingga saya lebih tertarik untuk mempublikasinya lebih dahulu. Termasuk juga
mempublikasi teaser-teaser tentang
ekspedisi ini karena perjalanan ini akan ditayangkan di sebuah program
petualangan memancing di MNC TV, program televisi yang bernama Mancing Liar.
Meski saya bukanlah bagian dari program tersebut, hanyalah relawan keliling
untuk Wild Water Indonesia, saya juga tidak boleh melupakan untuk melakukan
segala daya upaya mempromosikan perjalanan dan tayangannya suatu hari nanti. Bukan
untuk membuat diri dikenal publik, tetapi untuk menyebarkan pesan yang juga diemban
oleh ekspedisi tersebut. Saya juga tidak terburu-buru mempublikasi hasil sebuah
perjalanan ke lokasi-lokasi terpencil di pedalaman karena banyak sekali
“mata-mata” baik di IG dan FB yang menjadikan semangat saya menjelajah sebagai
sarana riset gratisan mereka, sehingga saya harus berfikir keras bagaimana agar
orang/kelompok/dan program tertentu yang semakin banyak yang ‘aneh’ di negeri
ini tidak begitu saja “terima bersih” dan untung pula?!
Saya, sebagai manusia ciptaan Tuhan yang memiliki hobi
memancing, sedari dulu selalu memegang sebuah prinsip untuk selalu menyebarkan
pesan tentang pentingnya merawat perairan Indonesia sebisa mungkin melalui
berbagai cara, melalui berbagai saluran (kanal) media apapun itu bentuknya.
Meski hal tersebut kadang tidak mudah karena kepedulian kita seringkali malah
mendapatkan tentangan dan cibiran/nyinyiran dari ‘orang-orang pintar dan hebat’
di dunia modern yang aneh ini. Padahal justru di jaman modern ini, manusia
harus lebih aware dan berani
mengemban tanggung jawab lingkungan melalui berbagai cara meskipun sederhana,
karena de facto, lingkungan kita jauh
berubah dari sebelumnya karena berbagai faktor. Bagi para pembaca catatan saya
ini, yang mungkin belum mengenal saya, ada baiknya juga membuka website www.wildwaterindonesia.org,
jaringan relawan peduli perairan itu saya deklarasikan sejak April 2016 dan kini
telah memiliki ribuan relawan di seluruh penjuru Indonesia yang bergerak dalam
satu visi misi yang sama dalam melakukan pelestarian ekosistem perairan.
Sehari kemudian tanggal 10 November 2017 saya mendapati
sebuah akun IG @funpesca me-repost foto saya tersebut dan kemudian terwujudlan
4754 likes. Banyak sekali komentar di akun tersebut yang sebagian besar tidak
saya mengerti bahasanya karena dilakukan dalam bahasa Spanyol atau mungkin
Portugis? Sebuah akun IG di negeri sendiri bernama @save.borneo kemudian
mengikutinya tak lama berselang dan mewujudlah 7,281 likes. Dan bahkan hingga
Januari 2018 akun IG ini juga memposting foto yang berbeda, yang mereka minta
melalui pesan pribadi dan mewujudlah kemudian total 5,061 likes di @save.borneo
dan 924 likes di @save.borneo.id. Saya
bukan bermaksud membanggakan tentang “likes”, NO, bagi saya hal-hal seperti itu
tidaklah terlalu penting. Bagi saya sekali lagi yang penting adalah pesan yang
disampaikan oleh postingan-postingan tersebut. Dan kenyataan banyaknya likes
tersebut menunjukkan betapa begitu besarnya rasa keingintahuan masyarakat umum
dan juga pemancing sekalipun terhadap spesies ikan ini. Meski memang ukuran
ikan yang kita posting mempengaruhi hal ini, karena kebetulan yang saya posting
pertama kali (dan kemudian terus di-repost
oleh akun lain tersebut) adalah ikan mahseer yang besar.
Foto ikan yang banyak di-repost
oleh akun-akun IG tersebut adalah ikan green
mahseer. Dalam bahasa Dayak Aoheng di Mahakam Ulu disebut ikan “kaka”.
Dalam bahasa Dayak Bahau disebut ikan “sapan”. Nama “sapan” cukup popular
digunakan di berbagai daerah di Kalimantan. Di Kalimantan Utara, masyarakat
Dayak Punan juga menyebutnya demikian selain dengan sebutan umum lainnya, ikan pelian. Di wilayah Kalimantan Timur pada
2009 saya pernah menjelajah jauh ke pedalaman hulunya Sungai Kelai dan
mendapati masih banyak populasi ikan ini tetapi saya mendapati keterangan
adanya ancaman yang mengkhawatirkan. Yakni adanya cukong-cukong dari Malaysia
yang “ajaibnya” sampai rela naik helikopter dan turun di titik-titik tertentu
di pedalaman hutan Kalimantan demi kemudian membeli semua ikan-ikan ini dari
masyarakat untuk kemudian diperjualbelikan di negara mereka dan sebagian lagi
dibudidayakan! Harga ikan ini dalam keadaan hidup di Negara seperti Malaysia
dan juga Singapura memang fantastis, per kilogram tahun 2018 ini bisa mencapai
3 juta. Saya pernah menulisnya di blog pribadi saya waktu itu dan yang menarik
adalah banyaknya ‘serangan’ ke saya dari pengguna internet di Malaysia kepada
saya yang berani membuka ‘aib’ ini. Ya saya menyebutnya aib karena cara
berdagangnya tidak baik. Kalau memang niat memperjualbelikan spesies prestisius
ini kenapa tidak dengan jalur resmi? Kerjasama bilateral mungkin secara formal
antar lembaga-lembaga terkait. Pun jika kemudian inginnya hanya mengambil dari
masyarakat di pedalaman Kalimantan, kenapa tidak juga terang-terangan, terdata,
resmi, beretika? Dan bukannya dengan cara, yang sering saya dengar adalah dengan
istilahnya ngijon dahulu, para cukong mengirimkan sekian puluh juta
rupiah dan dalam termin tertentu kemudian masyarakat harus menyetor ke
titik-titik tertentu di pedalaman yang menjadi tempat pendaratan dalam bentuk
ikan mahseer ukuran tertentu yang besar-besar. Hingga tahun 2018 saya masih
mendengar kisah menyebalkan ini karena ketika saya berpetualang ke pedalaman
Kalimantan Utara lainnya di hulu Sungai Sembakung saya juga mendapati informasi
yang sama. Tidak hanya ikan saja malahan kata masyarakat, tetapi juga kayu
gelondongan besar-besar diangkut (untuk ini lebih tepatnya dijarah) dengan
helikopter. Catatan lama tersebut sepertinya masih ada di blog saya dengan
judul Hanya Dengan 400 Ribu Kita Rela Menghancurkan Diri? Waktu itu,
tahun 2009, harga per kilogram ikan mahseer hidup dibeli oleh cukong-cukong
Malaysia di pedalaman dekat perbatasan dengan harga 400 ribu rupiah! Di
Malaysia menjadi sekitar 2-3 juta?! Betul, ikan mahseer di dunia modern memang
menjelma menjadi ikan konsumsi termahal di dunia. Di pedalaman Kalimantan ikan
mahseer dapat dinikmati secara gratis dan akan terus gratis asalkan masyarakat
terus menjaga kelestariannya.
Kembali ke bahasan tentang ikan mahseer Borneo. Jauh sebelum banyak akun IG kemudian merasa perlu
mempublikasi foto tersebut, di dalam postingan pertama terkait green mahseer monster yang saya dapatkan
pada akhir Oktober 2017 tersebut saya menulis; Karena hulu itu (maksud saya adalah hulunya Sungai Mahakam) adalah
salah satu alur air terpanjang di dunia, marilah kita menjaga mata airnya.
Karena hulu juga tempat berlindung untuk memijahnya begitu banyak spesies ikan
air tawar (fish sanctuary), yang juga manfaat keberadaannya untuk manusia,
marilah kita rawat bersama keberlanjutannya. Karena hulu yang sehat itu bisa
menghidupi berjuta kepala hingga ke hilirnya, marilah kita mencintai semestinya
manusia yang berani mewariskan mata air, bukan air mata. Dan jikalau kita
hanyalah sekedar pemancing saja (angler), marilah menjadi pemancing yang
menikmati alam dengan bijaksana. Maksud
saya dengan keterangan foto (caption) tersebut, saya ingin menggugah kepedulain
semua pihak utamanya masyarakat asli Kalimantan agar memikirkan masa depan
keberlangsungan Borneo mahseer fish
ini. Dan tentunya juga spesies-spesies ikan lainnya di sungai-sungai pegunungan
di Pulau Kalimantan, agar jangan sampai punah karena berbagai faktor. Apakah
saya hanya peduli dengan berteriak-teriak di media sosial, sekali lagi,
silahkan berkunjung ke www.wildwaterindonesia.org.
Bahkan
ketika di Mahakam Ulu saat menggelar ekspedisi tersebut Oktober lalu, saya juga
menyebarkan banner-banner larangan setrum dan racun ikan, berbicara berulang
kali (pidato) kepada puluhan kepala adat kampung dan masyarakat pentingnya
menjaga keberlanjutan potensi perairan. Meski ada sedih karena beberapa sahabat
yang saya anggap saudara bukannya membantu menyampaikan hal ini, malahan asyik terbuai
oleh “nikmatnya” minuman beralkohol tradisional?!
Jika kita amati judul catatan ini sebenarnya memiliki ambigu
yang kental karena nyatanya kata “borneo” itu secara geografis sangat luas
mencakup Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Tetapi yang saya maksudkan dalam
catatan ini adalah kata “borneo” yang secara administratif termasuk ke dalam wilayah
Negara Republik Indonesia, tanah air kita. Jadi kata “borneo” yang secara
aministratif berada di wilayah lima provinsi besar; Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Utara.
Wilayah pegunungan di Pulau Kalimantan setidaknya yang merupakan bagian dari
Pegunungan Muller dan sekitarnya memiliki beribu upper river (sungai pegunungan) berarus deras yang tak terhitung
jumlahnya. Sungai-sungai tersebut merupakan habitat dari beragam spesies ikan
yang salah satunya dan begitu prestisius di kalangan sportfisherman adalah
spesies mahseer fish yang begitu
‘cantik’ dan juga penuh tenaga. Tak heran ikan mahseer di dunia menjadi idola
banyak sekali pemancing sport baik di negeri ini dan bahkan negeri-negeri yang
tidak memiliki spesies mahseer fish.
Banyak sekali sportfisherman
di dunia menjadikan mahseer fish ke dalam daftar ikan yang harus mereka pancing
karena perlawanan (fighting ability)
ikan ini yang begitu tangguh ketika tersangkut di ujung pancing kita. Menguras
adrenalin dan juga memerlukan skill ataupun kecakapan fight agar ikan jenis ini
berhasil kita dapatkan. Meski ikan jenis mahseer telah hooked up di lures kita, untuk menaikkan ikan ini ke darat ataupun
ke perahu bukanlah perkara mudah karena tenaga ikan ini sungguh luar biasa. Di
dunia ikan ini bahkan dijuluki dengan raja arus deras karena habitatnya yang
memang ada di sungai pegunungan berarus deras dan atau berjeram-jeram (upper river). Untungnya banyak
sportfisherman di dunia, juga sebagian di Indonesia dan Asia Tenggara lainnya
banyak yang telah menyadari dan menerapkan sustainability
sportfishing sehingga meski jumlah pemancing sport di dunia ini semakin
banyak jumlahnya, mereka kebanyakan selalu melakukan catch and release (tangkap dan lepas kembali ke habitatnya) serta
menerapkan bag limit (pembatasan
jumlah tangkapan) terkait spesies ikan mahseer ini. Apapun jenis dari ikan
mahseer tersebut! Indonesia, setidaknya di Pulau Sumatra, Jawa dan Kalimantan
(pulau-pulau di Baratnya Garis Wallace) sekedar mengingatkan merupakan sebaran
beberapa jenis ikan mahseer antara lain jenis Tor soro (Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatra Utara, Aceh dan
Kalimantan), Tor tambroides (daerah
Bengkulu dan Kalimantan), Tor douronensis
(Sumatra Barat, Sumatra Selatan Jambi, Bengkulu) dan Tor tambra (Pulau Jawa).
Bagaimana sebenarnya
populasi ikan mahseer di Pulau Kalimantan kini? Keterangan yang tergolong umum mungkin
bisa terwakili dengan catatan yang ada di laman Wikipedia yang menyatakan bahwa
“Populasi sangat terancam akibat penangkapan berlebihan. Indikasi yang terlihat
semakin jarang terlihat, ukuran tangkapan semakin kecil, dan distribusi semakin
menurun”. Di Pulau Jawa sendiri populasi ikan ini di perairan umum (alam
liar) sudah begitu memprihatinkan, saya pernah membuat catatan kecil tentang
ini dengan judul Sang Raja Arus Deras Yang Terancam: Populasi Ikan Green Mahseer di Pulau Jawa dan Upaya Melawan Kepunahannya, juga di blog ini. Di Pulau
Jawa, hanya di sumber-sumber air yang dikeramatkan saja masih bisa kita jumpai
spesies ikan mahseer dengan mudah. Dijaga dengan konsep konservasi tradisional
sehingga tidak ada yang berani mengganggunya.
Kita kembali lagi ke Pulau Kalimantan dan saya mencoba untuk
menghadirkan kembali kondisi populasi dan habitat ikan mahseer ini, dan jikalau
ada termasuk faktor-faktor yang mengancam populasi ikan ini di pulau ini
berdasarkan pengalaman saya sendiri. Berdasarkan apa yang saya lihat dan dengar
di lapangan dalam kurun waktu 2009 – 2017 (tahun 2018 saya baru akan menjejak
kembali ke Kalimantan pada bulan April 2018 sehingga tidak saya sertakan dalam
catatan ini). Tentu apa yang saya lihat dan dengar ini ibaratnya hanyalah
‘selembar’ kertas dari sebuah buku yang sangat tebal, jadi jika para sahabat
memiliki informasi tambahan saya akan sangat senang hati untuk di kemudian hari
menyertakannya di catatan ini. Tahun 2009 ketika saya naik ke hulu Sungai Kelai
bersama para sahabat pemancing di Berau, Kalimantan Timur, waktu itu saya masih
menjadi bagian dari program Mancing Mania Trans7, saya mendapati
sebuah habitat ikan mahseer yang begitu sehat. Memancing beberapa jam saja kita
sudah mendapatkan puluhan strike banyaknya. Saya salut dengan masyarakat
setempat yang begitu ketat dalam menjaga kelestarian alam di hulu sungai ini
karena mereka dengan keras melarang apapun aktifitas merusak seperti setrum
ikan, racun ikan, penangkapan ikan secara berlebihan (over fishing) dan juga termasuk melarang dilakukannya penambangan
emas dengan alat modern di wilayah hulu sungai. Wilayah hulu sungai ini memang begitu
kaya akan emas dan mereka mengambilnya dengan cara yang tradisional, mendulang.
Akan tetapi ada godaan yang begitu besar, seperti pernah saya tuliskan pada
tahun 2009, yaitu masuknya para tengkulak ikan yang turun dengan “burung besi”
di pedalaman di waktu-waktu tertentu. Mereka datang dengan segunung uang untuk
membeli ikan-ikan mahseer hidup dari masyarakat di musim kemarau (ketika
helikopter dengan mudah mendarat di tengah-tengah sungai lebar yang menyusut
debit airnya). Kenyataan ini sedikit banyak juga memicu sebagian masyarakat
untuk menembus belantara Kalimantan membawa ikan-ikan mahseer hidup untuk dijual di negara tetangga karena harganya yang
sangat tinggi. Saya tidak kembali lagi ke daerah ini karena kabar yang beredar
adalah bahwa potensi emas di hulu sungai ini di kemudian hari memicu konflik
yang cukup rumit, sehingga meski beberapa kali saya menyatakan niat untuk
kembali lagi menemui mahseer fish di hulu sungai ini, saya tidak pernah
berhasil untuk melihat kembali potensi ikan mahseer di hulu Sungai Kelai.
Harapan saya, meskipun ada tantangan berat dari “tetangga” semoga potensi ikan
mahseernya tetap terjaga. Karena tidak dapat disangkal, ikan ini juga merupakan
sumber makanan yang sangat penting bagi masyarakat itu sendiri! Jika kita tidak
menjaganya agar tetap lestari bagaimana anak cucu nantinya?
Tercipta keterputusan yang sangat lama dengan upper river pegunungan di Pulau
Kalimantan karena rentang waktu 2010-2014 saya sibuk di laut dan juga sibuk
membuat kue (2012-2014 saya menjadi bagian program Jejak Si Gundul Trans7).
Bulan Mei 2015 saya memberanikan diri kembali ke Kalimantan ke sebuah sungai
yang merupakan ulayat masyarakat Dayak Berusu dan Punan. Tak perlu saya
tuliskan kembali dengan detail tentang perjalanan ini, saya sendiri juga kecewa
dengan beberapa sahabat pemancing di negeri ini, karena setelah mengetahui
bahwa ada sebuah spot yang hebat, mereka kemudian ramai-ramai menggempurnya
diam-diam!!! Enak ya, asyik stalking
media sosial dan kemudian sekali mendapatkan jalur menuju “pabrik kue” tersebut
kemudian dilahap beramai-ramai dengan tertawa-tawa tanpa tanggung jawab sustainability sportfishing sedikitpun?!
Saya tahu siapa saja kalian. Bahkan saya juga mengetahui salah satu dari
kelompok kalian pernah dihentikan oleh adat karena masuk tanpa sopan santun!
Sungai ini, sebut saja Sungai X merupakan habitat yang sangat unik. Karena di
lower rivernya memiliki potensi spesies prestisius Lutjanus goldiei (Black bass/Black snapper). Kemudian jika kita
naik sedikit ke hulu bisa mendapati spesies green mahseer dan juga ikan
hampala. Populasi ikan di sungai ini masih sangat menjanjikan apalagi jika kita
memancing saat visibility air sedang
bagus. Saya membuktikannya sendiri dan ini sangat aneh, ikan Black bass terbesar saya malah saya dapatkan
di sungai berjeram-jeram ini dan bukannya di perairan payau (estuary) di Halmahera dan atau Papua
misalnya. Tantangan besar populasi ikan di Sungai X ini adalah deforestasi yang
mewujud pada alih fungsi lahan di bagian hulu menjadi kebun sawit. Berikutnya
adalah over fishing dan destruktif fishing berupa setrum ikan. Hutan tropis
adalah rumah tak terhitung tanaman, spesies binatang dan juga merupakan daerah
resapan air yang penting. Hilangnya hutan tropis sama dengan hilangnya
penghuninya. Rumus yang sangat sederhana tetapi sulit dimengerti oleh banyak
orang terutama oleh mereka yang gelap mata oleh uang. Di wilayah ini kemudian
yang berimbas pada populasi ikan air tawar adalah rusaknya kualitas air. Air
yang ibaratnya biasanya selalu bersih di segala musim kini seringnya adalah
keruh bagaikan air susu coklat. Kita tentu memahami bahwa kualitas air
mempengaruhi spesies karena ketersediaan oksigen yang berubah dan juga sumber
makanan. Pepohonan buah tertentu di tepian sungai yang biasanya menjadi sumber makanan
ikan juga banyak yang hilang, bagaimana ikan melangsungkan kehidupan dengan
sehat? Regenerasi spesies pun menjadi terganggu. Yang terjadi kemudian eksodus
ke wilayah lain yang masih sehat dan bersahabat. Itulah kenapa kemudian sebuah
habitat tetiba menjadi sepi. Di wilayah ini saya juga melihat dengan nyata over
fishing dan destruktif fishing. Pada masa ini saya sudah mencoba untuk
menghimbau masyarakat melalui kepala adat agar lebih ramah lingkungan dalam
mencari ikan. Hasil kampanye kecil-kecilan ini tentu ibarat memberi tetesan air
tawar di lautan luas, tetapi setidaknya saya mencoba melakukan sesuatu untuk
membuat perbedaan positif di masa berikutnya.
Bulan April – Mei 2016 kebetulan saya berada di Kalimantan
Barat, blusukan bersama sekelompok masyarakat
yang hidup di pedalaman hutan tropis di daerah Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang.
Saya tertarik menjelajahi wilayah ini karena mendapati bahwa masyarakat Dayak
Beginci dan Dayak Kayoung rupanya memiliki ‘pasukan patroli hutan’ swakarsa.
Kelompok ini bertugas berkeliling hutan melakukan patrol agar tidak ada
pembalakan liar dan perusakan hutan lainnya termasuk melakukan pengawasan
jangan sampai ada perburuan terhadap satwa dilindungi seperti orang utan dan
beberapa jenis burung. Saya sangat respek dengan komitmen mereka terhadap kelestarian
hutan tropis ini karena mereka memiliki komitmen tinggi untuk menjaga
kelestariannya. Seingat saya inisiatif pembentukan ‘pasukan patroli hutan’ ini
atas dorongan sebuah perusahaan besar dengan konsern lingkungan yang tinggi
yang baiknya tidak perlu saya sebutkan namanya. Yang tidak saya duga adalah
bahwa masyarakat masih melakukan tuba adat dalam mencari ikan di musim kemarau.
Yang lebih parah lagi, mereka pernah menyedot emas di bagian hulu sungai dengan
alat mesin sedot emas yang hasilnya saat itu begitu nyata; kontur sungai
berubah dan banyaknya senyawa berbahaya di dalam air. Aktifitas pencarian emas
dengan mesin modern sudah tidak dilakukan lagi karena tetiba mereka menyadari
dampak negatifnya, belum terlalu terlambat bagi mereka. Akan tetapi tentang
tuba adat mereka telah melakukannya, setidaknya di sebuah desa bernama Lubuk K,
selama berpuluh tahun lamanya. Permasalannya desa ini ada di bagian paling
ujung hulu sungai. Hal yang sama kabarnya juga dilakukan di desa-desa lain di
bawahnya (arah hilir). Hasilnya? Penyusutan populasi ikan mahseer secara luar
biasa drastis. Mewakili anak cucu semua orang, saya kemudian mengundang puluhan
warga termasuk tokoh-tokoh masyarakat untuk mendiskusikan kemungkinan penghentian
tuba adat ini. Karib saya bernama Wijayadi begitu vocal dalam menyampaikan hal
ini dan saya berbahagia pernah mengenalnya meski kini terpisah begitu jauh dia
ada di Kalimantan Barat sana. Hasil diskusi dan kisah lainnya dalam perjalanan
ini pernah saya tuangkan dalam tajuk Wild Water Indonesia Stop Setrum, Racun, BomIkan; Langkah kecil Untuk Ikut Peduli Masa Depan Perairan Indonesia.
Beberapa hari sebelumnya tanggal 30 April saya dan Wijayadi berdiri di atas
Jembatan Tayan dengan t-shirt Wild Water Indonesia yang mana kini dampak
positifnya adalah berkumpulnya ribuan relawan, puluhan region relawan peduli
perairan di seluruh penjuru Bumi Pertiwi yang bergerak bersama dalam satu visi
misi pelestarian demi perairan Indonesia yang lestari.
Kembali ke Kalimantan Utara, pada bulan Agustus 2017 saya
mendapati dua habitat mahseer fish
yang lebih mengenaskan lagi kondisinya karena telah banyak diracun ikan
demikian massif berulang kali entah sudah berapa tahun lamanya di hulu Sungai
Sembakung dan Sungai Sulon ! Populasi ikan jauh menurun dan malah dapat
dikatakan sangat sulit untuk mencai ikan apapun jenisnya padahal saat itu
kondisi sungai juga sedang jernih (artinya tidak banjir dan visibility juga
sangat bagus). Waktu itu kemudian saya mencoba mendekat masyarakat termasuk
kepala adat dengan berbagai cara agar berikutnya tidak lagi dilakukan cara
tangkap ikan yang merusak tersebut. Mereka mengiyakan tidak akan lagi melakukan
tuba adat (meracun ikan di sungai beramai-ramai) dan tugas berat kemudian
terbentang di depan karena artinya mereka harus mensosialisasikannya kepada
seluruh masyarakat. Untuk mengabadikan komitmen ini, beberapa bulan kemudian,
saya mengirimkan t-shirt Wild Water
Indonesia seri Dayak Okolod kepada para kepala adat tersebut. Agar menjadi
pengingat kecil bahwa kita semua pernah berjanji untuk lebih ramah lagi dalam
memanfaatkan sebuah potensi perairan agar dapat diwariskan dengan layak kepada
generasi penerus. Bagi para sahabat yang ingin membaca catatan tentang ini ada
di KenanganEmpat Hari Di Labang; jalur Tikus dan Tantangan Kehidupan Masyarakat DayakOkolod di wilayah perbatasan Indonesia – Malaysia.
Sebuah paradoks dibandingkan dengan yang saya lihat di
Sungai Sulon dan Sembakung, saya mendapati kenyataan yang mengundang respek dalam
kehidupan masyarakat Dayak Kenyah Oma Lung yang tinggal di Desa Setulang.
Masyarakat yang bermigrasi dari Long Saan pada tahun 1970an ini memiliki hutan
larangan, mereka menyebutnya Tane Olen, dimana bukan hanya hutan tropis ribuan
hektar yang dijaga ketat tidak boleh ditebang termasuk potensi di dalam
sungainya tidak boleh diambil. Mereka ibarat memiliki sebuah ‘lumbung’ pangan
raksasa di hulu Sungai Setulang hingga detik ini. Ikan-ikan memijah dengan aman
dan sebagian turun ke wilayah yang boleh diambil oleh masyarakat. Binatang
buruan juga berbiak dengan aman di alam liar dan sebagian dapat dimanfaatkan di
kawasan perburuan yang disepakai oleh masyarakat. Dan lain sebagainya. Memang
tidak mudah mewujudkan Tane Olen dan menjaganya di jaman modern ini. Telah begitu
banyak perusahaan kayu berniat membeli kawasan Tane Olen ini tetapi selalu
ditolak oleh masyarakat. Saya belum membuat catatan untuk hal ini karena
berbagai hal. Konsep konservasi tradisional Dayak Kenyah ini begitu luar biasa
dan telah berlangsung ratusan tahun lamanya. Tidak hanya diterapkan oleh
masyarakat Dayak Kenyah Oma Lung di Setulang saja karena saya mendapati hal
yang sama dalam kehidupan masyarakat Dayak Kenyah Uma Lasan di hulu Sungai
Pujungan. Apa yang dilakukan masyarakat Dayak Kenyah menunjukkan bahwa kita
sebenarnya bisa memperlakukan alam ini dengan arif. Bahwa manusia sebenarnya
mampu melakukannya. Pertanyaannya, tantangannya, apakah kita mau? Apakah kita
berani mengemban tanggung jawab yang baik, meskipun itu seringkali berat, untuk
generasi berikutnya?!
Berikutnya kita menuju ke Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan
Timur. Dalam kurun waktu 2016-2017 saya telah tiga kali berpetualang ke wilayah
ini. Pada bulan Maret 2016 dan Februari 2017 bersama kawan-kawan seperjuangan
di program Jejak Petualang Wild Fishing Trans|7, sebuah program petualangan
memancing dan kearifan lokal perairan yang saya juga ikut membidani
kelahirannya tetapi kemudian oleh sesuatu hal menjadi tersingkir. Dan pada
Oktober 2017 ketika bersama kawan-kawan seperjuangan lainnya di jaringan
relawan peduli perairan Wild Water Indonesia menggelar Ekspedisi Mata Air
Sungai Mahakam yang waktu itu juga diliput oleh program Mancing Liar MNC TV.
Jika saya tidak salah ingat begitu banyak catatan perjalanan terkait perjalanan
yang pertama tersebut, waktu itu yang kami datangi adalah Sungai Tepai yang
merupakan sungai ulayat milik masyarakat Long Glaat (Dayak Bahau) silahkan
gunakan keywords “Mahakam Ulu Michael
Risdianto” pasti akan keluar di Google. Perjalanan kedua, yang juga ke wilayah
ulayat masyarakat Long Glaat tetapi berbeda sungai belum pernah saya tuliskan
kecuali mungkin di akun IG saya. Jadi mohon bersabar, mungkin nanti. Saya takut
buru-buru menuliskannya karena sungai tersebut begitu megahnya, takut diendus
oleh manusia-manusia rakus yang berbaju pemancing dan operator memancing,
tetapi kemudian berpetualang dan terkadang ‘menjualnya’ tanpa dibalut dengan
konsern lingkungan sama sekali. Pasukan kuras sungai saya menyebutnya (pakusu).
Perjalanan yang terbaru, semoga bukan yang terakhir adalah ke hulunya Sungai
Mahakam ke wilayah ulayat masyarakat Dayak Aoheng, sudah dekat dengan daerah
perbatasan dengan Negara Malaysia. Dan perjalanan ini juga kemudian menguak
betapa masih hebatnya potensi perairan yang ada di hulunya Sungai Mahakam
tersebut.
Masyarakat Long Glaat (Dayak Bahau) menurut saya memiliki
konsep konservasi tradisional yang luar biasa mengaggumkan terkait pemanfaatan
potensi alam. Konsep tana’ pera’ masih
diterapkan hingga hari ini yang antara lain mewujud pada bentuk-bentuk
pemanfaatan potensi alam yang diperbolehkan dan tidak. Terkait perairan mereka
dengan keras melarang digunakannya setrum dan racun ikan (tuba adat). Seorang
sahabat mengatakan waktu itu bahwa kali terakhir dilakukannya tuba adat adalah
pada tahun 1980-an, saat itu tetua adat memutuskan bahwa cara penangkapan ikan
tersebut harus dihentikan agar potensi perairan di wilayah ulayat mereka masih
dapat dinikmati generasi berikutnya. Jauh sebelumnya di masa lalu, tetua adat
Long Glaat malahan memasang pintu gerbang di mulut muara Sungai Tepai, sehingga
siapapun yang akan masuk diperiksa secara ketat apa yang dibawa dan untuk apa
alat-alat itu. Jika ada peralatan yang mencurigakan dan atau memiliki potensi
digunakan untuk mencari ikan dengan cara yang merusak, orang tersebut akan
diusir. Hingga di masa modern ini masyarakat Long Glaat juga masih menerapkan
hukum-hukum adat yang ketat. Pelaku setrum dan racun ikan jelas akan ditangkap
dan kemudian didenda oleh adat. Bahkan saya pernah melihat sendiri saat itu
Februari 2017, pelaku penangkapan ikan yang masuk ke Sungai Tepai tanpa ijin
dari desa lainnya dan kemudian menangkap ikan mahseer dalam jumlah berlebih pun kemudian ditangkap dan di denda
oleh adat. Masyarakat Long Glaat bahkan juga memiliki sebuah ‘sungai larangan’
yang hanya dalam kondisi tertentu dan urgent saja masyarakat diinjinkan
mengambil dalam jumlah banyak, sungai itu berinisial Sungai N. Ke sungai inilah
waktu itu bulan Februari 2017 saya masuk atas ijin adat demi melihat hasil dari
keteguhan mereka menerapkan konsep konservasi tradisional tana’ pera’. Dan Sungai N memang surganya perairan tawar! Puluhan
strike big mahseer fish dalam sehari
begitu mudah kita dapatkan. Saya belum pernah melihat sebuah sungai pegunungan
sehebat itu! Yang membahagiakan, konsep konservasi tradisional masyarakat Long
Glaat juga diamini oleh sebuah perusahaan HPH besar yang beroperasi di wilayah
ini. Mereka juga memiliki konsern pelestarian yang patut diacungi jempol, salah
satunya dibuktikan dengan memfasilitasi perjalanan kami sehingga kami dengan
mudah dapat mengakses wilayah yang sulit melalui jalur menggunakan armada
mereka. Di wilayah ulayat Dayak Aoheng, lebih jauuuuh lagi di pegunungan lagi,
saya juga mendapati kenyataan yang sama. Mereka masih memiliki beberapa sungai
yang juga merupakan surganya ikan mahseer berukuran besar yang ensasi
memancingnya terasa begitu menggetarkan. Saya sengaja tidak akan menyinggung
terlalu banyak terkait perjalanan ke wilayah ulayat Dayak Aoheng ini karena
rencananya akan saya tuliskan sebagai bagian dari catatan Ekspedisi Mata Air Sungai Mahakam
(Oktober 2017).
Lantas apakah hanya ada kemegahan saja di Mahakam Ulu?
Jawabnya tidak. Perairan tawar di Mahakam Ulu juga memiliki tantangan yang luar
biasa berat dan bahkan sebagian perairan tawar di anak-anak sungai yang ada
telah lama ‘jatuh’ tenggelam dalam laku manusia yang tidak ramah lingkungan. Saya
mendengar dari para sahabat yang tinggal di Ujoh Bilang (ibukota Mahakam Ulu)
bahwa banyak sekali anak-anak Sungai Mahakam yang telah lama disetrum dan
diracun oleh para pencari ikan sehingga potensi ikannya menyusut dengan
drastis. Bahkan, jajaran aparat di Kepolisian Sektor Long Bagun sendiri saat
itu mengakui bahwa kegiatan penangkapan ikan dengan cara yang merusak memang
terjadi di beberapa wilayah namun pihaknya mengakui kesulitan melakukan razia
karena luasnya wilayah dan juga belum adanya perda (peraturan daerah) yang
mengatur tentang hal itu (setrum dan racun ikan). Terutama masalah racun ikan
dengan tuba, karena di banyak kampung di Mahakam Ulu pihaknya mendapati bahwa
tuba merupakan bagian dari budaya setempat. Ketika melakukan Ekspedisi
Mata Air Sungai Mahakam (OKtober 2017) saya dan tim bahkan sempat
berdiskusi panjang dengan jajaran Polsek Long Bagun membahas masalah penegakan
hukum terkait setrum dan racun ikan ini, hasilnya bahwa peraturan daerah tetap
belum ada. Penegakan skala luas di Mahakam Ulu menjadi sulit dilakukan.
Maraknya penangkapan ikan dengan setrum dan racun ikan, utamanya di daerah
sekitar UJoh Bilang dan juga beberap akampung di wilayah ‘hulu” Mahakam Ulu,
memberikan jawaban kepada saya kenapa kemudian sungai-sungai yang masing
potensial seperti milik masyarakat Long Glaat (Dayak Bahau) dan masyarakat
Dayak Aoheng di Long Apari semakin sering mendapatkan ‘serangan’ dari para
pencari ikan dari luar wilayah mereka. Bukan hanya masalah setrum dan racun
ikan saja yang mengancam populasi ikan mahseer di Mahakam Ulu, over fishing (penangakan ikan
berlebihan) juga mengintip di depan mata. Di Long Apari, dahuluuuu sekali
menurut tetua masyarakat, bahkan banyak orang asing menyusup melalui perbatasan
demi memborong ikan-ikan ini dalam kondisi hidup. Tetapi kini untungya sudah
tidak terjadi lagi. Berubahnya air di Sungai Mahakam karena aktifitas
penambangan emas di beberapa titik dan juga dampak pembukaan hutan untuk lahan juga
membuat kualitas air di habitat sedikit banyak berubah. Padahal nyatanya Sungai
Mahakam selama ini justru merupakan habitat utama jenis mahseer yang termasuk dalam spesies Tor soro (red mahseer/kelah/semah/tebelaq)? Berbeda dengan
anak-anak sungainya yang rata-rata merupakan habitat dari mahseer jenis green dan blue mahseer. Memang jika dirangkum dalam deskripsi pendek, potensi
ikan mahseer di Mahakam Ulu masih cukup sehat. Tetapi sekali lagi bukan tanpa
ancaman yang bisa berbahaya di masa berikutnya jika masyarakat, terutama
generasi mudanya, semakin kendor dalam menerapkan pelestarian yang saat ini
begitu gigih diperjuangkan oleh orang-orang tua mereka. Bukan begitu harin (saudara)? Dalam konteks pelestarian
itulah kemudian kenapa ketika menggelar Ekspedisi mata Air Sungai Mahakam (OKtober
2017) begitu gigih berbicara kepada masyarakat dan terutama tokoh-tokoh
adat baik saat mereka semua berkumpul di Long Apari (Dayak Aoheng) dan juga
saya mbela-mbelain memohon kepada
para pemuka adat Dayak Bahau saat digelar even akbar Hudoq pekayang 2017 agar
mengijinkan kami para relawan Wild Water
Indonesia mengkampanyekan stop setrum, racun, bom ikan, stop nyampah dan
juga (mari) menjaga mata air kita!
Saya mencoba membuat epilog
untuk catatan ini dengan menengok kembali lagi ke postingan yang dibuat oleh
akun IG @save.borneo pada tanggal 21 Januari 2018. Siapapun Anda para admin
dibalik akun IG ini saya menaruh respek atas konsern lingkungan kalian. Disana
mereka menulis; Kekayaan pangan yang
dimiliki Kalimantan salah satunya adalah ikan sapan ini (green mahser), yang
merupakan ikan air tawar yang berasal dari Indo Australia. Sungai-sungai
pegunungan di Kalimantan memiliki kandungan ikan sapan yang luar biasa. Saya
membuktikannya sendiri seperti terlihat pada foto di atas. Dan ini merupakan
asset alam yang luar biasa yang harus dilestarikan oleh kita semua. Saya
melakukan catch and release (Cn’R) saat memancing ikan tersebut. Tidak ada yang
mati karena mata pancing saya dan semua ikan saya lepaskan kembali ke
habitatnya hidup-hidup dalam kondisi sehat. Banyak sekali pihak yang bisa
berbuat banyak untuk kelestarian ikan-ikan sapan ini. Pemancing, pemerintah
daerah dan pihak-pihak lain. Tentunya dengan melibatkan masyarakat. Menurut
orang Dayak, ini ikan yang rasa dagingnya palin genak dan memang demikian
adanya. Oleh karenanya mereka juga menjadikan ikan ini sebagai salah satu
spesies target buruan favorit mereka. Mereka memakan ikan ini sekedarnya saja,
untuk makan saja seperlunya. Tidak ada keinginan menguras dan apalagi menguras
apalagi merusak habitatnya. Namun memang
ada pengaruh-oengaruh uang dari negara seberang dan dari ‘dunia luar’ yang lain
yang bisa menggoyahkan keteguhan mereka sehingga ada satu dua orang yang rela
menguras ikan sapan di sungai-sungai untuk dijual ke seberang. Kita harus bisa
menghentikan ini. Membiarkan ikan sapan lestari di habitatnya lebih bermanfaat
daripada menjual ikan ini dalam bentuk ikan ke negara tetangga. Save Ikan
Sapan!” Sekali lagi saya menaruh respek atas konsern pelestarian dari para
sahabat @save.borneo, tetapi di sisi lain saya juga ingin mengingatkan,
permasalahan yang ada bukan sekedar karena “menjual dalam bentuk ikan ke negara
lain”. Ada banyak hal lain dan sebagian besar berasal dari ‘dalam rumah kita
sendiri’ yang bisa merusak kelestarian ikan sapan (mahseer ini) di Pulau
Kalimantan.
Sama seperti semua catatan perjalanan saya di negeri ini,
saya menulisnya karena saya mencintai Bumi Pertiwi. Saya tidak rela jika kekayaan
alam, keindahannya, kemegahan alam raya kita, berikut permasalahannya dan lain
sebagainya terkait negeri ini, termasuk yang ada di wilayah-wilayah terpencil
yang jarang mendapatkan lapak di
media mainstream terlupakan begitu
saja. Meski memang seringkali rasa mencintai, rasa peduli saya seringkali
dianggap keterlaluan oleh orang-orang yang menganggap bahwa apapun laku manusia
termasuk yang merusak itu hak masing-masing manusia itu sendiri dan saya,
apalagi saya ini orang luar ibaratnya, tidak punya hak untuk mencampurinya.
Kecuali saya adalah orang yang tidak hanya memiliki kepedulian, tetapi juga
memiliki uang baru mereka akan mendengarkan dan bahkan akan tunduk. Saya pernah
mendengar yang seperti ini di pedalaman dan sangat ironis memang! Seperti saya
alami baru-baru ini, saya berpetualang dengan niat mulia ke pedalaman bersama
beberapa relawan Wild Water Indonesia demi mengkampanyekan pelestarian perairan
di daerah tersebut, beberapa putra daerah yang juga merupakan keluarga
‘bangsawan’ di masyarakat itu, malah nyinyir
karena merasa tidak mendapatkan uang dari perjalanan saya. Kronis! Pun terkait menuliskan
tentang kenyataan kondisi dan masa depan spesies ikan masheer/sapan/nyaran/pelian
dan apapun nama ikan ini di Indonesia saya melakukannya karena mencintai. Bukan
semata mencintai ikannya, tetapi mencintai keberlanjutan potensi perairannya
agar bagaimana caranya dapat terus dinikmati hingga kapanpun itu keberadaan
manusia di bumi ini! Tidak ada yang sempurna, yang ideal, apalagi atas sebuah
kenyataan alam yang telah dijejaki, dimanfaatkan, dan dicampuri oleh perilaku manusia,
ribuan dan bahkan jutaan manusia. Akan tetapi maksud saya marilah kita memilih
yang baik di antara yang kurang baik atas laku kita terhadap alam. Memilih yang
terbaik di antara yang baik lainnya. Sehingga kekayaan, keindahan, kemegahan
tanah air kita suatu hari nanti tidak hanya sebuah cerita pengantar tidur
semata. Tetapi kenyataan alam yang mampu mendukung kehidupan anak cucu kita
secara layak di negeri penuh warna ini secara berkelanjutan lintas generasi. Kiranya demikian untuk saat ini yang bisa
saya tuliskan. Sudah terlalu panjang sebenarnya untuk seorang anak desa yang
nyatanya sehari-hari mengais hidup di pedesaan Malang Selatan, Jawa Timur.
Salam lestari!(Malang Selatan, 22 Februari
2018)
* Pictures captured at East Kalimantan by various person. Please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my/our permission. Don't make money with my/our pictures without respect!!!
* Pictures captured at East Kalimantan by various person. Please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my/our permission. Don't make money with my/our pictures without respect!!!
Comments