Mengunjungi Halmahera selama 20 hari (16 Maret-04 April) adalah kenyataan yang tak pernah terbayang akan terjadi. Dulu sekali saat saya masih suka sekali membaca, Halmahera saya pahami dari sebuah novel berjudul Burung-burung Rantau karya YB Mangunwijaya tentang pertikaian antar suku di Halmahera, negeri yang bernuansa mistik. Pada abad XVI seorang misionaris yang masuk ke Halmahera yakni Fransiskus Xaverius juga menuliskan hal yang sama "Tinggalkan segera jika kamu bertemu dengan pulau bernama Halmahera," pesannya kepada para penjelajah Eropa pada saat itu. Dan pada PD II dua kekuatan besar berhadapan juga di sini. Jepang dengan armada besarnya di Teluk Kao dan Sekutu dengan armada tak kalah besarnya di Pulau Morotai. Dan pada 1999-2000 Halmahera pun juga digulung oleh pertikaian sipil (dan sektarian) mengerikan. Halmahera, induk pertikaian. Itulah arti nama Halmahera dalam Cala Ibi yang ditulis oleh Nukila Amal.
Untungnya saya datang bukan untuk menelusuri misteri pertikaian (meski sebenarnya sangat ingin) di pulau itu. Saya datang untuk mancing. Bertemu dengan ikan-ikan, lautan yang luas dan langit yang biru. Potensi gamefish di perairan di Halmahera sebenarnya saat ini tidak terlalu bagus. Terumbu karangnya banyak yang rusak dihantam bom ikan rakitan. Bom-bom ikan itu dirakit sendiri oleh penduduk dengan memanfaatkan bubuk mesiu warisan Jepang dan Sekutu. Reef-reef tempat ikan di sini menjadi seperti lapangan bola. Rata. Hancur.
Pada tahun-tahun antara 1990-1997 dua orang pemancing kakak beradik dari Surabaya bernama Wahyu Tamaela dan Rudy Hadikesuma menjelajahi perairan di sini dan mendapatkan strike yang luar biasa banyaknya. Mulai dari billfish hingga demersal fishes. Ukurannya pun besar-besar. Tetapi saat kemarin datang aktivitas memancing adalah sebuah pekerjaan yang banyak "makan hati" daripada menyenangkan. Ya itu tadi, ikan sudah pergi karena terumbu karang rusak. Tetapi meski begitu beberapa anggota rombongan kami mendapatkan hiburan yang cukup lumayan. GT 38 kg berhasil kami pancing di sekitar Pulau Doi di Kepulauan Loloda Utara. Pulau paling utara di Halmahera. Pulau ini bersebelahan dengan Laut Filipina. Pulau Yiew yang berada di 35 mil di timur Halmahera Timur yang sudah mendekati perbatasan dengan Filipina pun tak luput dari kerusakan parah. "Ikan-ikan itu di bom oleh orang-orang Buton," kata Kepala Desa Pulau Sayafi, 20 mil di selatan Pulau Yiew.
Memang kami menangkap banyak tarusi (tenggiri), poparo (barakuda), bobara (GT), singaro (kakap batu), ofo (dogtooth tuna), dan lain-lain. Tetapi jumlah ikan-ikan di sana tak lagi membuat pemancing kelelahan bertarung dengan ikan. Dengan pengecualian Pulau Doi dan sekitarnya di Halmahera Utara dan Tanjung Wayamli di Sosolat, Halmahera Timur. Di kedua tempat ini ikan masih mampu membuat lelah pemancing karena bertarung dengan ikan-ikan yang banyak. Kalau di spot di luar kedua tempat itu pemancing lelah dihajar popper ataupun jig alias seberapapun lama dan hebatnya memainkan umpan sambaran itu sangat jarang dan kalaupun ada kecil-kecil ukurannya.
My complete report will be publish at Majalah Mancing Arpil-Mei 2008. Don't miss it!
* Keterangan foto: Ikan terbesar saat survay yang berhasil dipancing oleh Titi yakni GT 38 kg. (Photo oleh Marcus Widhi Nugroho)
Untungnya saya datang bukan untuk menelusuri misteri pertikaian (meski sebenarnya sangat ingin) di pulau itu. Saya datang untuk mancing. Bertemu dengan ikan-ikan, lautan yang luas dan langit yang biru. Potensi gamefish di perairan di Halmahera sebenarnya saat ini tidak terlalu bagus. Terumbu karangnya banyak yang rusak dihantam bom ikan rakitan. Bom-bom ikan itu dirakit sendiri oleh penduduk dengan memanfaatkan bubuk mesiu warisan Jepang dan Sekutu. Reef-reef tempat ikan di sini menjadi seperti lapangan bola. Rata. Hancur.
Pada tahun-tahun antara 1990-1997 dua orang pemancing kakak beradik dari Surabaya bernama Wahyu Tamaela dan Rudy Hadikesuma menjelajahi perairan di sini dan mendapatkan strike yang luar biasa banyaknya. Mulai dari billfish hingga demersal fishes. Ukurannya pun besar-besar. Tetapi saat kemarin datang aktivitas memancing adalah sebuah pekerjaan yang banyak "makan hati" daripada menyenangkan. Ya itu tadi, ikan sudah pergi karena terumbu karang rusak. Tetapi meski begitu beberapa anggota rombongan kami mendapatkan hiburan yang cukup lumayan. GT 38 kg berhasil kami pancing di sekitar Pulau Doi di Kepulauan Loloda Utara. Pulau paling utara di Halmahera. Pulau ini bersebelahan dengan Laut Filipina. Pulau Yiew yang berada di 35 mil di timur Halmahera Timur yang sudah mendekati perbatasan dengan Filipina pun tak luput dari kerusakan parah. "Ikan-ikan itu di bom oleh orang-orang Buton," kata Kepala Desa Pulau Sayafi, 20 mil di selatan Pulau Yiew.
Memang kami menangkap banyak tarusi (tenggiri), poparo (barakuda), bobara (GT), singaro (kakap batu), ofo (dogtooth tuna), dan lain-lain. Tetapi jumlah ikan-ikan di sana tak lagi membuat pemancing kelelahan bertarung dengan ikan. Dengan pengecualian Pulau Doi dan sekitarnya di Halmahera Utara dan Tanjung Wayamli di Sosolat, Halmahera Timur. Di kedua tempat ini ikan masih mampu membuat lelah pemancing karena bertarung dengan ikan-ikan yang banyak. Kalau di spot di luar kedua tempat itu pemancing lelah dihajar popper ataupun jig alias seberapapun lama dan hebatnya memainkan umpan sambaran itu sangat jarang dan kalaupun ada kecil-kecil ukurannya.
My complete report will be publish at Majalah Mancing Arpil-Mei 2008. Don't miss it!
* Keterangan foto: Ikan terbesar saat survay yang berhasil dipancing oleh Titi yakni GT 38 kg. (Photo oleh Marcus Widhi Nugroho)
Comments