Kembali datang ke Kepulauan Riau mengingatkan perjalanan saya ke kepulauan ini pada akhir 2005. Dulu selama hampir tiga bulan saya berkeliling menjelajah kepulauan ini bersama sebuah tim kecil yang menamakan diri sebagai Tim Ulin (Tim Main) yang terdiri dari pemanjat tebing, pembuat film dokumenter, offroader, orang LSM, dan saya sendiri seorang yang sedang "jetlag" usai sidang sarjana. Hah! Kali ini, empat tahun setelah saat itu, kondisinya telah berubah, saya datang ke Kepulauan Riau dalam rangka sesuatu yang jelas, dalam rangka pekerjaan, memang nuansa main-mainnya masih kuat karena pekerjaan saya adalah meliput kegiatan memancing. Pekerjaan yang lebih terlihat sedang main dibanding sedang bekerja.
Destinasi saya kali ini adalah Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau. Sebuah fishing festival digelar di sana oleh pemerintah daerah setempat. Saya datang dengan serombongan jurnalis dari Jakarta yang berangkat pada hari Jum'at pagi tanggal 24 April. kami semua datang ke Lingga atas undangan dari Pemda Kab. Lingga. Saya tidak mengira bahwa festival ke-3 yang digelar tersebut berlangsung begitu meriah. Ratusan pemancing dari berbagai wilayah di Kepulauan Riau datang meramaikan festival ini. Pulau kecil berdiameter 1 km bernama Pulau Pena’ah yang menjadi base festival tiba-tiba berubah menjadi ‘metropolitan’ terpencil yang dikelilingi oleh lautan.
Beberapa jurnalis Jakarta juga diundang. Namun hanya saya seorang jurnalis media online dan media cetak saat itu. Lainnya adalah dari televisi; Trans 7, ANTV, dan Trans TV. Yang paling cs dengan saya tentunya adalah crew Mancing Mania Trans 7 karena dengan mereka saya telah beberapa kali jalan bareng meliput fishing trip ke beberapa daerah. Yang ada di foto ini adalah tim kedua program Mancing Mania Trans 7; Bayu, Gilang dan Abra. Merekalah yang turun ke lapangan kalau tim pertama yakni Denis dan Mas Dudit sedang break dari laut atau tidak bisa turun karena sedang meliput di daerah lain.
Pemukiman di Desa Pancur dibangun di atas tepian laut. Saya merasa kerasan di desa kecil ini karena tidak mendengar bising kendaraan karena memang tidak ada mobil atau motor di desa ini. Kalaupun ada bunyi mesin bermotor itu adalah bunyi speedboat, perahu nelayan atau bunyi generator listrik. Namun desa ini sangat panas, benar-benar panas! Pancur adalah desa kecil yang merupakan titik pemberhentian kapal penumpang cepat yang melayani trayek Lingga-Tanjung Pinang.
Solar cell di Pulau Pena'ah. Pulau kecil berdiameter 1 km yang merupakan base fishing festival saat itu. Pulau yang indah namun padat. Sama panasnya dengan Desa Pancur yang berjarak 1 jam dengan speedboat dari Desa Pancur. Saya sangat nyaman di sini karena rumah-rumah penduduk di pulau ini begitu rapi dibangun di atas laut. Saat malam kita bisa bersantai di papan-papan belakang rumah sambil melihat bintang gemintang sementara air laut di bawah papan berkecipak menghantam tiang-tiang penyangga rumah. 99% penduduk Pulau Pena'ah adalah nelayan.
Tepian Pulau Pena'ah saat air laut surut. Seperti semua pulau lain di Kabupaten Lingga tepian pantai begitu dangkal sehingga saat air laut surut kapal-kapal ataupun pompong (kapal nelayan kecil dari kayu) tidak bisa bersandar terlalu dekat dengan garis pantai. Secara umum perairan di Kabupaten Lingga sangat dangkal, 65 feet saja kedalaman maksimumnya. Sangat sulit mendapatkan game fish berukuran besar di perairan ini karena air yang dangkal itu dan apalagi struktur dasarnya banyak yang terdiri dari pasir. Memang ada beberapa dasar yang terdiri dari karang yang dihuni ikan-ikan dasar, namun untuk mendapatkan spesies macam GT, dogtooth tuna, dan lain-lain sangat sulit. Spesies berukuran besar yang sering berkelebat di perairan ini adalah hiu dan pari yang tidak termasuk dalam daftar game fish.
Hotel Winner di Desa Pancur tempat saya dan tim Mancing Mania Trans 7 sempat transit dua hari semalam. Ada yang lucu di hotel ini. Secara fisik dan fasilitas hotel ini bagus sekali. Namun saat kami menginap ya hanya kami berempat yang menginap di sana. Sudah gitu listrik dari generator naik turun bak gelombang air laut. Jadi kalau kita melihat lampu di kamar dia bisa bersinar seperti seharusnya tetapi di detik berikutnya dia akan turun meredup sebelum kemudian terang lagi. Namun ada yang menakjubkan saat menginap di hotel ini yakni kita bisa menatap Gunung Daik di Pulau Lingga yang berada persis di depan mata. Sunset dan sunrise pun sangat indah dinikmati dari atap hotel ini.
Masih kurang rasanya seminggu berada di sini, besok pagi saya akan kembali ke Jakarta namun saya berharap bisa kembali lagi tahun depan ke Kabupaten Lingga karena begitu banyak pesona yang ditawarkan olehnya. Kemarin waktu dan dana yang tersedia begitu sedikit sehingga saya tidak puas mereguk pengalaman di kabupaten baru yang begitu giat mempromosikan pariwisatanya tersebut. Masih banyak yang harus saya 'makan' dari kabupaten baru ini sehingga saya begitu ingin kembali lagi. Dari cumi kering goreng hingga menemui suku laut. Namun yang pasti saya berharap semoga Lingga Fishing Festival 2010 nanti berlangsung lebih meriah dan lebih baik lagi pelaksanaannya sehingga kabupaten dengan motto Bertingkap Alam Berpintu Ilahi ini semakin terkenal di kalangan para pemancing dan pelancong baik dalam maupun luar negeri. Semoga!
Destinasi saya kali ini adalah Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau. Sebuah fishing festival digelar di sana oleh pemerintah daerah setempat. Saya datang dengan serombongan jurnalis dari Jakarta yang berangkat pada hari Jum'at pagi tanggal 24 April. kami semua datang ke Lingga atas undangan dari Pemda Kab. Lingga. Saya tidak mengira bahwa festival ke-3 yang digelar tersebut berlangsung begitu meriah. Ratusan pemancing dari berbagai wilayah di Kepulauan Riau datang meramaikan festival ini. Pulau kecil berdiameter 1 km bernama Pulau Pena’ah yang menjadi base festival tiba-tiba berubah menjadi ‘metropolitan’ terpencil yang dikelilingi oleh lautan.
Beberapa jurnalis Jakarta juga diundang. Namun hanya saya seorang jurnalis media online dan media cetak saat itu. Lainnya adalah dari televisi; Trans 7, ANTV, dan Trans TV. Yang paling cs dengan saya tentunya adalah crew Mancing Mania Trans 7 karena dengan mereka saya telah beberapa kali jalan bareng meliput fishing trip ke beberapa daerah. Yang ada di foto ini adalah tim kedua program Mancing Mania Trans 7; Bayu, Gilang dan Abra. Merekalah yang turun ke lapangan kalau tim pertama yakni Denis dan Mas Dudit sedang break dari laut atau tidak bisa turun karena sedang meliput di daerah lain.
Pemukiman di Desa Pancur dibangun di atas tepian laut. Saya merasa kerasan di desa kecil ini karena tidak mendengar bising kendaraan karena memang tidak ada mobil atau motor di desa ini. Kalaupun ada bunyi mesin bermotor itu adalah bunyi speedboat, perahu nelayan atau bunyi generator listrik. Namun desa ini sangat panas, benar-benar panas! Pancur adalah desa kecil yang merupakan titik pemberhentian kapal penumpang cepat yang melayani trayek Lingga-Tanjung Pinang.
Solar cell di Pulau Pena'ah. Pulau kecil berdiameter 1 km yang merupakan base fishing festival saat itu. Pulau yang indah namun padat. Sama panasnya dengan Desa Pancur yang berjarak 1 jam dengan speedboat dari Desa Pancur. Saya sangat nyaman di sini karena rumah-rumah penduduk di pulau ini begitu rapi dibangun di atas laut. Saat malam kita bisa bersantai di papan-papan belakang rumah sambil melihat bintang gemintang sementara air laut di bawah papan berkecipak menghantam tiang-tiang penyangga rumah. 99% penduduk Pulau Pena'ah adalah nelayan.
Tepian Pulau Pena'ah saat air laut surut. Seperti semua pulau lain di Kabupaten Lingga tepian pantai begitu dangkal sehingga saat air laut surut kapal-kapal ataupun pompong (kapal nelayan kecil dari kayu) tidak bisa bersandar terlalu dekat dengan garis pantai. Secara umum perairan di Kabupaten Lingga sangat dangkal, 65 feet saja kedalaman maksimumnya. Sangat sulit mendapatkan game fish berukuran besar di perairan ini karena air yang dangkal itu dan apalagi struktur dasarnya banyak yang terdiri dari pasir. Memang ada beberapa dasar yang terdiri dari karang yang dihuni ikan-ikan dasar, namun untuk mendapatkan spesies macam GT, dogtooth tuna, dan lain-lain sangat sulit. Spesies berukuran besar yang sering berkelebat di perairan ini adalah hiu dan pari yang tidak termasuk dalam daftar game fish.
Hotel Winner di Desa Pancur tempat saya dan tim Mancing Mania Trans 7 sempat transit dua hari semalam. Ada yang lucu di hotel ini. Secara fisik dan fasilitas hotel ini bagus sekali. Namun saat kami menginap ya hanya kami berempat yang menginap di sana. Sudah gitu listrik dari generator naik turun bak gelombang air laut. Jadi kalau kita melihat lampu di kamar dia bisa bersinar seperti seharusnya tetapi di detik berikutnya dia akan turun meredup sebelum kemudian terang lagi. Namun ada yang menakjubkan saat menginap di hotel ini yakni kita bisa menatap Gunung Daik di Pulau Lingga yang berada persis di depan mata. Sunset dan sunrise pun sangat indah dinikmati dari atap hotel ini.
Masih kurang rasanya seminggu berada di sini, besok pagi saya akan kembali ke Jakarta namun saya berharap bisa kembali lagi tahun depan ke Kabupaten Lingga karena begitu banyak pesona yang ditawarkan olehnya. Kemarin waktu dan dana yang tersedia begitu sedikit sehingga saya tidak puas mereguk pengalaman di kabupaten baru yang begitu giat mempromosikan pariwisatanya tersebut. Masih banyak yang harus saya 'makan' dari kabupaten baru ini sehingga saya begitu ingin kembali lagi. Dari cumi kering goreng hingga menemui suku laut. Namun yang pasti saya berharap semoga Lingga Fishing Festival 2010 nanti berlangsung lebih meriah dan lebih baik lagi pelaksanaannya sehingga kabupaten dengan motto Bertingkap Alam Berpintu Ilahi ini semakin terkenal di kalangan para pemancing dan pelancong baik dalam maupun luar negeri. Semoga!
Comments