Nama sungai dan kampung Dayak Punan di dalam postingan ini sengaja tidak saya informasikan secara jelas karena jujur saja saya tidak mau sungai indah ini didatangi oleh pemancing yang berkarakter PAKUSU, “Pasukan Kuras Sungai” yang selalu bertindak rakus dengan menguras semua isi sungai untuk memuaskan nafsu mereka! Go to hell PAKUSU! Tulisan sederhana ini sekaligus saya maksudkan sebagai ucapan terima kasih dan hormat kepada kawan-kawan pemancing dari Tanjung Redeb, Berau yakni Bos Husin, Bos Eet, Welie, Asikin, Teguh, Awe, Utay, Adi, Jo, Dian, Darwis, dan Mbah. Dan pastinya tulisan ini dimaksudkan sebagai salah satu bentuk mengabadikan kenangan selama bekerja di lapangan bersama Bayu Noer dan Gilang Gumilang.
---
Kawan-kawan saya langsung berhamburan dari posisinya masing-masing usai saya berteriak ke arah mereka. Teguh yang paling sigap. Dia langsung menghidupkan kamera SLR-nya dan kemudian menyetelnya di mode video untuk merekam aksi saya. Asikin membantu saya dengan nasehat-nasehatnya agar sapan ini berhasil dinaikkan. Kamera handycam yang ada di perahu telah habis baterainya karena tergempur hawa dingin sehingga tidak mungkin lagi merekam aksi ini dengan handycam. Kamera video utama yang besar tidak ada di perahu kami melainkan di perahu berbeda yang masih drifting jauh di belakang kami. Sehingga daripada tidak ada dokumentasinya lebih baik direkam dulu siapa tahu berguna. Welie menjadi cheerleader yang bersemangat dengan meneriaki saya terus menerus saking gembiranya.
Karena memakai reel kelas 3000 yang dipasangi tali PE2 (PE2=20 lbs atau setara 9 kg lebih sedikit), saya harus berhati-hati. Saya sengaja tidak memasang drag pada posisi berat karena saya tidak mau ikan terlalu kesakitan yang akan membuatnya semakin memberontak dan berlari kencang yang mungkin saja malah akan membuat mulutnya sobek. Siapa tahu pancing hanya menancap tipis di mulut ikan bukan? Dengan gerakan yang berbeda-beda saya berusaha membuat ikan lemas secepat mungkin. Meski tidak berkarakter sembunyi di dasar sungai, ikan sapan memiliki kemungkinan lepas dengan memanfaatkan arus air dan tonggak-tonggak kayu yang tersembunyi di bawah permukaan air. Saya tidak mau itu terjadi sehingga saya berusaha membuat ikan ini menyerah secepat mungkin. Dengan tali PE2 saya yakin tidak akan putus, tetapi belum tentu kalau tali tergesek batu atau tonggak-tonggak kayu.
Meski berlangsung singkat, mungkin duel saat itu hanya berlangsung 4-5 menit saja, saya sangat menikmati pertarungan ini. Dan memang prediksi saya benar, saat ikan mulai muncul ke permukaan air sebentuk ikan berwarna kuning keemasan matang menggelepar di ujung tali saya. Sapan! Kawan-kawan saya yang heboh! Saya tentu saja tertawa dan tersenyum karena bagi saya ini adalah berkah. Bisa menangkap ikan sapan meski hanya memiliki waktu singkat di Sungai X ini. Dengan cepat saya berpose dengan ikan ini untuk difoto oleh Teguh dan Welie dan ikan segera kami lepaskan ke sungai agar lestari. Semoga tidak didatangi PAKUSU sampai nanti dan dapat berkembang biak selama dan sebanyak mungkin!
Praktis saat itu saya tidak terfikir untuk menimbang berapa berat ikan dan lain sebagainya. Tetapi setiba di Tanjung Redeb, Berau dan foto-foto telah ditransfer dari kamera foto baru kelihatan ternyata ini ikan sapan yang cukup besar. Dan saya bersyukur kepada Tuhan karena telah diberi kesempatan menjajal sensasi bertarung dengan “ATUK ONG” ini. Usai saya mendapatkan ikan ini, tim mancing di perahu kami sepakat untuk langsung turun menuju kampung LX. Alasannya adalah karena waktu telah menunjuk angka 5 dan awan gelap kembali menggantung di langit yang tadi pagi hingga siang masih berwarna biru! Cuaca yang tidak bisa diprediksi. Kami khawatir hujan deras kembali datang dan banjir yang tiba-tiba menerjang sungai ini. Jangan sampai kami terjebak banjir. Problemnya bukan pada apakah kami bisa lewat atau tidak, tetapi prosentase keselamatan yang semakin menipis karena besar jeram dan tenaga hisap pusaran air bisa berlipat dua kalinya. Kesulitan mengarungi sungai semakin tinggi karena akan banyak batang-batang kayu besar hanyut di sungai. Dan jika sampai terkena perahu kami yang kecil maka yang ada hanya satu hal. Perahu kami pasti akan terbalik!
Kami lalu meluncur secepat mungkin menuruni sungai yang masih tetap berjeram ganas itu. Namun kali ini pengarungan lebih mudah karena kami mengikuti arus sungai. Kami hanay sempat turun dua kali di titik-titik tertentu dimana jeram terlalu besar. Selebihnya kami ngebut dengan kecepatan penuh. Ternyata tiga perahu lain yang seharian drifiting di belakang kami juga menyusul dalam kecepatan tinggi di belakang kami. Kami berkonvoi menuruni Sungai X dalam barisan yang teratur. Saya mencoba mengintip muka-muka kawan-kawan yang berada di perahu lain. Lewat bahasa tangan saya bertanya berapa hasil strike yang mereka dapatkan? Kawan saya Bayu Noer menjawab 10 strike yang terangkat. Saya membalasnya dengan 8 strike yang terangkat. Dan kami pun sama-sama tertawa puas! Bukan tangkapan yang banyak, karena pemancing lain konon pernah mendapatkan 40 strike dalam sehari di pedalaman Kaltim ini. Tetapi yang kami dapatkan ini sudah cukup luar biasa mengingat, meski kami berada di pedalaman ini selama 5 hari, kami hanya sempat memancing selama 3 jam saja!!! Sisanya habis untuk mobilitas dan untuk menunggu banjir surut! Damn!
Malam harinya kami terjaga dalam riang di kampung LX. Selalu, usai trip mancing semua akan beradu cerita. Kebersamaan yang tidak ada duanya. Kami menjadi malas untuk tidur karena masih ingin mengenangkan pengalaman tadi siang sebaik mungkin di dalam sanubari kami masing-masing. Namun tiada terasa hari baru telah menjelang. Kami kembali bersiap untuk kembali ke Tanjung Redeb, Berau. Dan 12 jam setelah kami terbangun di kampung LX pagi hari, kami pun menapak kota Tanjung Redeb yang mulai bersiap menuju peraduan. Hujan masih mengguyur kota. Tubuh kami mulai menggigil kedinginan karena hujan namun sanubari kami tetap terasa hangat karena kenangan mancing di Sungai X bersamayam manis di ruang-ruang hati kami yang terbaik. Entah kapan kami akan kembali. Doa kami hanya satu, semoga ‘surga’ mancing air tawar ini terus terjaga sampai nanti. Sampai saat tiba anak cucu kami menggantikan kami menjalani hidup di dunia yang fana ini.(Tamat/The End).
* Me and fish pictures taken by Welie, my friends from Tanjung Redeb, Berau. The other pictures taken by Me. Please don't use or distribute without permission. Thanks.
---
Kawan-kawan saya langsung berhamburan dari posisinya masing-masing usai saya berteriak ke arah mereka. Teguh yang paling sigap. Dia langsung menghidupkan kamera SLR-nya dan kemudian menyetelnya di mode video untuk merekam aksi saya. Asikin membantu saya dengan nasehat-nasehatnya agar sapan ini berhasil dinaikkan. Kamera handycam yang ada di perahu telah habis baterainya karena tergempur hawa dingin sehingga tidak mungkin lagi merekam aksi ini dengan handycam. Kamera video utama yang besar tidak ada di perahu kami melainkan di perahu berbeda yang masih drifting jauh di belakang kami. Sehingga daripada tidak ada dokumentasinya lebih baik direkam dulu siapa tahu berguna. Welie menjadi cheerleader yang bersemangat dengan meneriaki saya terus menerus saking gembiranya.
Karena memakai reel kelas 3000 yang dipasangi tali PE2 (PE2=20 lbs atau setara 9 kg lebih sedikit), saya harus berhati-hati. Saya sengaja tidak memasang drag pada posisi berat karena saya tidak mau ikan terlalu kesakitan yang akan membuatnya semakin memberontak dan berlari kencang yang mungkin saja malah akan membuat mulutnya sobek. Siapa tahu pancing hanya menancap tipis di mulut ikan bukan? Dengan gerakan yang berbeda-beda saya berusaha membuat ikan lemas secepat mungkin. Meski tidak berkarakter sembunyi di dasar sungai, ikan sapan memiliki kemungkinan lepas dengan memanfaatkan arus air dan tonggak-tonggak kayu yang tersembunyi di bawah permukaan air. Saya tidak mau itu terjadi sehingga saya berusaha membuat ikan ini menyerah secepat mungkin. Dengan tali PE2 saya yakin tidak akan putus, tetapi belum tentu kalau tali tergesek batu atau tonggak-tonggak kayu.
Meski berlangsung singkat, mungkin duel saat itu hanya berlangsung 4-5 menit saja, saya sangat menikmati pertarungan ini. Dan memang prediksi saya benar, saat ikan mulai muncul ke permukaan air sebentuk ikan berwarna kuning keemasan matang menggelepar di ujung tali saya. Sapan! Kawan-kawan saya yang heboh! Saya tentu saja tertawa dan tersenyum karena bagi saya ini adalah berkah. Bisa menangkap ikan sapan meski hanya memiliki waktu singkat di Sungai X ini. Dengan cepat saya berpose dengan ikan ini untuk difoto oleh Teguh dan Welie dan ikan segera kami lepaskan ke sungai agar lestari. Semoga tidak didatangi PAKUSU sampai nanti dan dapat berkembang biak selama dan sebanyak mungkin!
Praktis saat itu saya tidak terfikir untuk menimbang berapa berat ikan dan lain sebagainya. Tetapi setiba di Tanjung Redeb, Berau dan foto-foto telah ditransfer dari kamera foto baru kelihatan ternyata ini ikan sapan yang cukup besar. Dan saya bersyukur kepada Tuhan karena telah diberi kesempatan menjajal sensasi bertarung dengan “ATUK ONG” ini. Usai saya mendapatkan ikan ini, tim mancing di perahu kami sepakat untuk langsung turun menuju kampung LX. Alasannya adalah karena waktu telah menunjuk angka 5 dan awan gelap kembali menggantung di langit yang tadi pagi hingga siang masih berwarna biru! Cuaca yang tidak bisa diprediksi. Kami khawatir hujan deras kembali datang dan banjir yang tiba-tiba menerjang sungai ini. Jangan sampai kami terjebak banjir. Problemnya bukan pada apakah kami bisa lewat atau tidak, tetapi prosentase keselamatan yang semakin menipis karena besar jeram dan tenaga hisap pusaran air bisa berlipat dua kalinya. Kesulitan mengarungi sungai semakin tinggi karena akan banyak batang-batang kayu besar hanyut di sungai. Dan jika sampai terkena perahu kami yang kecil maka yang ada hanya satu hal. Perahu kami pasti akan terbalik!
Kami lalu meluncur secepat mungkin menuruni sungai yang masih tetap berjeram ganas itu. Namun kali ini pengarungan lebih mudah karena kami mengikuti arus sungai. Kami hanay sempat turun dua kali di titik-titik tertentu dimana jeram terlalu besar. Selebihnya kami ngebut dengan kecepatan penuh. Ternyata tiga perahu lain yang seharian drifiting di belakang kami juga menyusul dalam kecepatan tinggi di belakang kami. Kami berkonvoi menuruni Sungai X dalam barisan yang teratur. Saya mencoba mengintip muka-muka kawan-kawan yang berada di perahu lain. Lewat bahasa tangan saya bertanya berapa hasil strike yang mereka dapatkan? Kawan saya Bayu Noer menjawab 10 strike yang terangkat. Saya membalasnya dengan 8 strike yang terangkat. Dan kami pun sama-sama tertawa puas! Bukan tangkapan yang banyak, karena pemancing lain konon pernah mendapatkan 40 strike dalam sehari di pedalaman Kaltim ini. Tetapi yang kami dapatkan ini sudah cukup luar biasa mengingat, meski kami berada di pedalaman ini selama 5 hari, kami hanya sempat memancing selama 3 jam saja!!! Sisanya habis untuk mobilitas dan untuk menunggu banjir surut! Damn!
Malam harinya kami terjaga dalam riang di kampung LX. Selalu, usai trip mancing semua akan beradu cerita. Kebersamaan yang tidak ada duanya. Kami menjadi malas untuk tidur karena masih ingin mengenangkan pengalaman tadi siang sebaik mungkin di dalam sanubari kami masing-masing. Namun tiada terasa hari baru telah menjelang. Kami kembali bersiap untuk kembali ke Tanjung Redeb, Berau. Dan 12 jam setelah kami terbangun di kampung LX pagi hari, kami pun menapak kota Tanjung Redeb yang mulai bersiap menuju peraduan. Hujan masih mengguyur kota. Tubuh kami mulai menggigil kedinginan karena hujan namun sanubari kami tetap terasa hangat karena kenangan mancing di Sungai X bersamayam manis di ruang-ruang hati kami yang terbaik. Entah kapan kami akan kembali. Doa kami hanya satu, semoga ‘surga’ mancing air tawar ini terus terjaga sampai nanti. Sampai saat tiba anak cucu kami menggantikan kami menjalani hidup di dunia yang fana ini.(Tamat/The End).
* Me and fish pictures taken by Welie, my friends from Tanjung Redeb, Berau. The other pictures taken by Me. Please don't use or distribute without permission. Thanks.
Comments