Pada akhirnya trip ini sukses besar, cerita singkatnya bisa Anda baca di postingan saya yang berjudul Beri Daku Sumba, Dengan Atau Tanpa Ikan Besar Sekalipun! dan atau Anda tonton di Mancing Mania Trans 7 tanggal 26 Desember 2009 pukul 16.00 WIB.
Maafkan saya, karena saya tak kuasa menolak keinginan berbagi cerita perjalanan darat untuk mencapai lokasi mancing yang sangat terpencil itu. “Raja Laut” adalah kapal mancing alumunium kecil milik Om William, sahabat kami yang tinggal di Waikabubak, ibukota Sumba Barat. Kami sengaja menariknya dari kota kabupaten itu untuk kemudian menempuh perjalanan darat hampir sepanjang 100 km menuju base ekspedisi bernama Teluk Aili sebagai antisipasi kalau-kalau kapal kayu yang kami sewa dari nelayan Desa Rua (yang berjarak 2 jam pelayaran dari Teluk Aili) tidak jadi datang menemui kami di Teluk Aili, teluk kecil tak berpenghuni. Jadi andai hal itu terjadi, setidaknya kami masih tetap bisa memancing, meski harus bergantian karena kapasitas kapal yang kecil. Tidak mudah memegang janji orang-orang desa yang tinggal di Sumba Barat, jadi sebagai antisipasi agar trip kami tetap ‘aman’ kami sengaja menarik sang Raja laut dari kota.
Perjalanan darat dengan menarik Raja Laut di belakang Daihatsu Hi-Line milik kawan kami Om Aheng tidak mudah sama sekali karena jalanan di sana memiliki begitu banyak ‘wajah’ yang menarik. Setengah jam pertama masih beraspal bagus, kami masih bisa ngebut. Berikutnya jalanan sudah bergelombang dan sempit melintasi padang-padang sepi dimana kami harus ekstra hati-hati. Satu jam terakhir, jalanan telah semakin sempit, berbatu dengan turunan dan tanjakan curam (hanya bisa dilewati mobil gardan ganda) melintasi Taman Nasional Manupeu-Tanah Daru yang hanya dihuni oleh rusa-rusa dan burung-burung asli Sumba. Lanskap taman nasional ini sangat indah,hutan dan padang rumput silih berganti menampakkan diri, juga rusa-rusa yang berlarian di sana, tetapi melintasi taman nasional ini sungguh menguras adrenalin karena andai ada satu saja masalah dengan mobil ataupun Raja laut, maka mungkin kami tidak akan sampai di Teluk Aili pada hari yang sama. Mungkin esok atau lusa, setelah bantuan datang. Itu juga kalau datang.
Biasanya, mobil yang melintasi taman nasional ini akan dihentikan oleh petugas taman nasional yang tiba-tiba saja menunggu di tengah jalan (karena diberi laporan oleh penduduk desa terdekat melalui hp bahwa ada mobil melintas menuju areal taman nasional) karena curiga mobil ditumpangi para pemburu rusa/burung. Tetapi hari itu kami aman-aman saja, mungkin karena jelas-jelas kami terlihat akan pergi mancing (karena menarik raja Laut). Terlalu kalau andai masih ada yang mengira kami tidak akan pergi memancing. Dalam perjalanan kami beberapa kali berhenti untuk menikmati keindahan lanskap Sumba yang luar biasa itu. Setiap berhenti inilah saya terus mengutuk diri kenapa pada trip mancing kali ini tidak membawa kamera foto. Pantas saja Taufik Ismail pada tahun 1970 sampai sengaja menciptakan puisi khusus untuk Sumba. Lanskap-nya benar-benar mempesona. Desa-desa kecil, penduduk desa yang lugu, hutan, padang rumput, rusa, kuda, dan burung-burung semuanya terlihat mempesona. Alam sunyi yang tampil bersahaja apa adanya di bawah langit yang lembut ini sungguh memukau kami, tiga orang Jakarta yang datang dengan bayangan ikan besar di kepalanya.
Saking indahnya lanskap Sumba Barat, kameraman Gilang Gumilang sampai sengaja beberapa kali minta berhenti agar dirinya bisa mengambil gambar. Padahal kalau dipikir-pikir, gambar yang dia ambil tidak akan dipakai banyak di acara mancing. Masak acara mancing akan diiisi gambar rusa berlarian di padang rumput? Terpakai paling hanya beberapa detik saja sebagai transisi gambar perjalanan, tetapi saking indahnya lanskap Sumba Barat, dia sengaja mengambil gambar banyak sekali dari tepian jalan, masuk ke padang rumput, dan terkadang dari atas Raja Laut agar bisa mengambil high angle. Agak kami sayangkan, langit yang biru lembut saat kami berangkat dari Waikabubak berangsur berubah menjadi gelap dan dipenuhi awan hitam saat kami melintasi Taman Nasional Manupeu-Tanah Daru. Jadi lanskap yang kami lihat telah berubah menjadi tampak dramatis dan bukannya lembut. Tetapi tetap saja ini adalah anugerah yang luar biasa bagi kami semua, lima orang pemancing (ditambah Om William dan Om Aheng) yang di kepalanya dipenuhi bayangan ikan besar. Om Aheng dan Om William sebenarnya tidak termasuk dalam daftar orang yang terpukau dengan keindahan Sumba Barat, karena sejak kecil mereka telah berpetualang di tanah kelahirannya ini hingga tidak ada satu jengkal tanah pun yang tidak mereka datangi.
Akhirnya, turunan dan tanjakan tajam di areal Taman Nasional Manupeu-Tanah Daru kami lewati dengan selamat. Mobil dan Raja Laut kini menapak di tepian pasir Teluk Aili. Kapal kayu milik nelayan Desa Rua yang kami sewa juga tampak mulai mendekat ke teluk. Kali ini, mereka menepati janjinya. Dan dengan segenap usaha saya mencoba membuka seluruh indera di tubuh saya agar menyerap sebanyak mungkin zat kesegaran dan keindahan teluk kosong tak berpenghuni ini. Semuanya tampak indah. Teluk kecil yang masih sangat alami, ombak kecil yang begitu riang, tebing-tebing di kejauhan, pasir yang putih, angin yang lembut, hutan pantai yang apa adanya, dan matahari yang malu berpamitan pulang. Semua kehadiran alam ini tak ternilai harganya. Hati saya semakin tersayat karena lagi-lagi hanya bisa mengabadikan semua momen ini melalui kamera ponsel saya yang butut. Padahal biasanya saya selalu membawa kamera foto?! Mungkin ini adalah cara Tuhan agar energi alam bisa saya terima dan rasakan dengan benar dan langsung tanpa melalui kesibukan mengambil gambar foto. Bersama Gilang Gumilang saya lalu duduk di pasir pantai, melupakan sejenak kesibukan loading barang-barang ke camp kami, untuk merasakan ucapan selamat datang yang begitu lembut dari ‘dia’ yang bernama Aili.
* Sayang sekali, semua foto ini diambil dengan kamera ponsel, itupun ponsel butut. Andai diambil dengan kamera foto yang baik, seperti biasa saya lakukan, hasilnya jelas akan berbeda dan tentunya mampu menghadirkan pesona Sumba barat yang sebenarnya. Harap maklum. Next trip, kamera foto tidak akan pernah saya tinggalkan lagi!
Maafkan saya, karena saya tak kuasa menolak keinginan berbagi cerita perjalanan darat untuk mencapai lokasi mancing yang sangat terpencil itu. “Raja Laut” adalah kapal mancing alumunium kecil milik Om William, sahabat kami yang tinggal di Waikabubak, ibukota Sumba Barat. Kami sengaja menariknya dari kota kabupaten itu untuk kemudian menempuh perjalanan darat hampir sepanjang 100 km menuju base ekspedisi bernama Teluk Aili sebagai antisipasi kalau-kalau kapal kayu yang kami sewa dari nelayan Desa Rua (yang berjarak 2 jam pelayaran dari Teluk Aili) tidak jadi datang menemui kami di Teluk Aili, teluk kecil tak berpenghuni. Jadi andai hal itu terjadi, setidaknya kami masih tetap bisa memancing, meski harus bergantian karena kapasitas kapal yang kecil. Tidak mudah memegang janji orang-orang desa yang tinggal di Sumba Barat, jadi sebagai antisipasi agar trip kami tetap ‘aman’ kami sengaja menarik sang Raja laut dari kota.
Perjalanan darat dengan menarik Raja Laut di belakang Daihatsu Hi-Line milik kawan kami Om Aheng tidak mudah sama sekali karena jalanan di sana memiliki begitu banyak ‘wajah’ yang menarik. Setengah jam pertama masih beraspal bagus, kami masih bisa ngebut. Berikutnya jalanan sudah bergelombang dan sempit melintasi padang-padang sepi dimana kami harus ekstra hati-hati. Satu jam terakhir, jalanan telah semakin sempit, berbatu dengan turunan dan tanjakan curam (hanya bisa dilewati mobil gardan ganda) melintasi Taman Nasional Manupeu-Tanah Daru yang hanya dihuni oleh rusa-rusa dan burung-burung asli Sumba. Lanskap taman nasional ini sangat indah,hutan dan padang rumput silih berganti menampakkan diri, juga rusa-rusa yang berlarian di sana, tetapi melintasi taman nasional ini sungguh menguras adrenalin karena andai ada satu saja masalah dengan mobil ataupun Raja laut, maka mungkin kami tidak akan sampai di Teluk Aili pada hari yang sama. Mungkin esok atau lusa, setelah bantuan datang. Itu juga kalau datang.
Biasanya, mobil yang melintasi taman nasional ini akan dihentikan oleh petugas taman nasional yang tiba-tiba saja menunggu di tengah jalan (karena diberi laporan oleh penduduk desa terdekat melalui hp bahwa ada mobil melintas menuju areal taman nasional) karena curiga mobil ditumpangi para pemburu rusa/burung. Tetapi hari itu kami aman-aman saja, mungkin karena jelas-jelas kami terlihat akan pergi mancing (karena menarik raja Laut). Terlalu kalau andai masih ada yang mengira kami tidak akan pergi memancing. Dalam perjalanan kami beberapa kali berhenti untuk menikmati keindahan lanskap Sumba yang luar biasa itu. Setiap berhenti inilah saya terus mengutuk diri kenapa pada trip mancing kali ini tidak membawa kamera foto. Pantas saja Taufik Ismail pada tahun 1970 sampai sengaja menciptakan puisi khusus untuk Sumba. Lanskap-nya benar-benar mempesona. Desa-desa kecil, penduduk desa yang lugu, hutan, padang rumput, rusa, kuda, dan burung-burung semuanya terlihat mempesona. Alam sunyi yang tampil bersahaja apa adanya di bawah langit yang lembut ini sungguh memukau kami, tiga orang Jakarta yang datang dengan bayangan ikan besar di kepalanya.
Saking indahnya lanskap Sumba Barat, kameraman Gilang Gumilang sampai sengaja beberapa kali minta berhenti agar dirinya bisa mengambil gambar. Padahal kalau dipikir-pikir, gambar yang dia ambil tidak akan dipakai banyak di acara mancing. Masak acara mancing akan diiisi gambar rusa berlarian di padang rumput? Terpakai paling hanya beberapa detik saja sebagai transisi gambar perjalanan, tetapi saking indahnya lanskap Sumba Barat, dia sengaja mengambil gambar banyak sekali dari tepian jalan, masuk ke padang rumput, dan terkadang dari atas Raja Laut agar bisa mengambil high angle. Agak kami sayangkan, langit yang biru lembut saat kami berangkat dari Waikabubak berangsur berubah menjadi gelap dan dipenuhi awan hitam saat kami melintasi Taman Nasional Manupeu-Tanah Daru. Jadi lanskap yang kami lihat telah berubah menjadi tampak dramatis dan bukannya lembut. Tetapi tetap saja ini adalah anugerah yang luar biasa bagi kami semua, lima orang pemancing (ditambah Om William dan Om Aheng) yang di kepalanya dipenuhi bayangan ikan besar. Om Aheng dan Om William sebenarnya tidak termasuk dalam daftar orang yang terpukau dengan keindahan Sumba Barat, karena sejak kecil mereka telah berpetualang di tanah kelahirannya ini hingga tidak ada satu jengkal tanah pun yang tidak mereka datangi.
Akhirnya, turunan dan tanjakan tajam di areal Taman Nasional Manupeu-Tanah Daru kami lewati dengan selamat. Mobil dan Raja Laut kini menapak di tepian pasir Teluk Aili. Kapal kayu milik nelayan Desa Rua yang kami sewa juga tampak mulai mendekat ke teluk. Kali ini, mereka menepati janjinya. Dan dengan segenap usaha saya mencoba membuka seluruh indera di tubuh saya agar menyerap sebanyak mungkin zat kesegaran dan keindahan teluk kosong tak berpenghuni ini. Semuanya tampak indah. Teluk kecil yang masih sangat alami, ombak kecil yang begitu riang, tebing-tebing di kejauhan, pasir yang putih, angin yang lembut, hutan pantai yang apa adanya, dan matahari yang malu berpamitan pulang. Semua kehadiran alam ini tak ternilai harganya. Hati saya semakin tersayat karena lagi-lagi hanya bisa mengabadikan semua momen ini melalui kamera ponsel saya yang butut. Padahal biasanya saya selalu membawa kamera foto?! Mungkin ini adalah cara Tuhan agar energi alam bisa saya terima dan rasakan dengan benar dan langsung tanpa melalui kesibukan mengambil gambar foto. Bersama Gilang Gumilang saya lalu duduk di pasir pantai, melupakan sejenak kesibukan loading barang-barang ke camp kami, untuk merasakan ucapan selamat datang yang begitu lembut dari ‘dia’ yang bernama Aili.
* Sayang sekali, semua foto ini diambil dengan kamera ponsel, itupun ponsel butut. Andai diambil dengan kamera foto yang baik, seperti biasa saya lakukan, hasilnya jelas akan berbeda dan tentunya mampu menghadirkan pesona Sumba barat yang sebenarnya. Harap maklum. Next trip, kamera foto tidak akan pernah saya tinggalkan lagi!
Comments