Setelah selama satu bulan terakhir ini kami bolak-balik Pelabuhan Ratu selama 4 kali untuk popping tuna, kami sangat ‘takjub’ bahwa kami hanya strike ikan-ikan yellowfin tuna berukuran 5 kg, 10 kg dan ikan-ikan wahoo saja (ini malah mendominasi tangkapan karena kadang bisa up 10 ekor sekali trip). Kemana perginya “jabrik” berukuran “kebo” (besar) di Pelabuhan Ratu? Bukankah sekarang ini sudah mulai masuk musim singgah mereka? Jelas saya sangat iri dengan foto bertanggal 22/1/2005 ini, percayalah foto ini adalah foto dari Pelabuhan Ratu, saya ambil dari koleksi foto seorang pemancing senior yang pernah malang-melintang popping tuna di Pelabuhan Ratu.
Orang-orang di Pelabuhan Ratu, Sukabumi menyebut spesies ini “jabrik”. Mengacu pada sirip kuning di punggung ikan ini yang mana saat boiling atau frenzy paling dulu nongol di atas permukaan air seperti teleskop kapal selam yang muncul di permukaan air untuk mengintai musuh. Dalam bahasa Inggris disebut yellowfin tuna atau disingkat YFT. Sedangkan nama ilmiahnya adalah Thunnus albacares. Jenis paling ‘sadis’ di keluarga tuna, mungkin yang bisa mengalahkan kekuatan tenaga dan kecepatan larinya hanyalah bluefin tuna saja yang sayangnya sulit dijumpai di perairan kita. Yellowfin tuna memang bukan spesies sembarangan. Fighting abilitynya luar biasa kuat. Ditambah sizenya yang bisa mencapai ratusan kilogram dengan kecepatan renang hingga 80 km per jam, bisa dibayangkan jika seekor tuna besar sedang membawa lari tali pancing kita. Tidak usah terlalu monster lah, sebut saja misalnya 50 kg saja, bisa membuat pemancing terkencing-kencing, jatuh duduk dan atau lebih memilih pinggangnya selamat dibandingkan dibantai tanpa ampun oleh sang “jabrik” ini. Pemancing yang memilih untuk memancing ini telah tahu resiko-resikonya sehingga biasanya selalu turun arena dengan persiapan ekstra; tenaga atau stamina prima, tackle mumpuni termasuk tali pancing (PE) yang panjang up 300 meter (jika target adalah tuna besar) tali pancing up 500 meter adalah wajib! Karena jika sudah menyambar umpan kita (metal jig kecil ataupun pencil untuk tuna) dia bisa merajalela menjelajah kedalaman laut tanpa mau berhenti. Harus diingat, spesies ini bermain di laut dalam, jadi jangan mencari masalah jika hanya memiliki tali pancing sepanjang 150 atau 200 meter (standar panjang tali untuk popping GT misalnya).
Pelabuhan Ratu, sebuah teluk indah di Sukabumi, Jawa Barat adalah salah satu titik di Indonesia yang menjadi persinggahan ikan yellowfin tuna (YFT) ini. Banyak daerah lain yang menjadi persinggahan ikan ini, Maumere di NTT misalnya. Pada musim-musim tertentu, di Pelabuhan Ratu biasanya mulai muncul pada bulan Juli, ikan ini akan melewati teluk Pelabuhan Ratu dalam perjalanannya bermigrasi. Dan itu berarti saatnya tiba untuk memancing ikian ini dengan teknik popping. Di Indonesia popping tuna mungkin hanya dilakukan di Pelabuhan Ratu saja. Sebenarnya bisa saja dilakukan di daerah lain yang menjadi lokasi migrasi ikan tuna, tetapi Pelabuhan Ratu memiliki faktor-faktor pendukung yang membuat popping tuna sangat mungkin dilakukan. Pertama adalah karena lokasinya yang berbentuk teluk. Ini sangat menguntungkan karena YFT akan bermain-main di sekitar teluk saja mengejar makanannya (teri dan tembang) sehingga kapal-kapal mancing tidak perlu mengejar ke lautan lepas (mau membawa bensin atau solar berapa liter bos?). Kedua adalah karena di Pelabuhan Ratu banyak sekali kapal-kapal mancing yang cocok untuk aplikasi popping tuna ini. Popping tuna perlu kapal dengan kecepatan tinggi untuk mengejar kawanan YFT. Kapal bermesin Dongfeng jelas tidak cocok. Wkwkwkwk! Nah, di Pelabuhan Ratu ini banyak sekali kapal-kapal bagus dengan tuna tower segala untuk mengejar kawanan tuna ini. Kapal-kapal ini sengaja ditaruh di sana untuk popping tuna dan atau untuk trolling ikan-ikan pelagis (ditaruh sejak jaman keemasan FORMASI dengan even Piala Presiden-nya). Pemiliknya adalah orang-orang Jakarta. Kapal-kapal itu masih banyak hingga kini, meskipun kini YFT di Pelabuhan Ratu apalagi yang berukuran ‘kebo’ semakin sulit didapatkan.
Pelabuhan Ratu (Peltu) pernah mengalami jaman keemasan sebagai destinasi popping tuna kelas wahid, bahkan mungkin dulu di jaman tahun-tahun 2001-2004an bisa dikatakan sebagai destinasi popping tuna kelas dunia saking banyaknya bule kesini untuk memburu YFT. Jabrik ukuran 40-50 kg dulu sangat mudah didapatkan, asal pinggang kita kuat saja. YFT ukuran monster hingga 100kg pun masih sering didapatkan pemancing dengan teknik popping. Saya tidak bicara asal, pernyataan kapten-kapten kapal mancing di Peltu dan foto-foto mancing tuna milik beberapa pemancing senior di negeri ini adalah buktinya. Satu foto saya pajang di foto pertama postingan ini. Saya tidak bisa menyebutkan ini koleksi siapa, karena bukan itu hal pentingnya, hal pentingnya adalah bahwa jabrik kebo pernah ada di sini. Dulu. Kini? Nah ini pertanyaan yang sangat menggelisahkan dan menyedihkan untuk kita para pemancing, terutama generasi baru pemancing Indonesia yang belum pernah merasakan ‘orgasme’ dengan sang “jabrik” di Peltu. Karena kenyataan di Peltu kini sudah jauh dibandingkan dulu. Kalau masih bagus, lalu buat apa hampir 80% kapal-kapal mancing tuna itu ‘nganggur’. Atau kalau masih hebat, lalu buat apa banyak kapal mancing keren di Peltu ditarik ke Jakarta? Atau maaf, sedikit kasar, kalau memang YFT di Peltu masih bagus, kenapa sampai kapten-kapten di Peltu kini banyak yang terlibat konspirasi telepon atau sms bahwa “jabriknya sudah masuk bosss?!”
YFT Peltu sudah tidak seperti dulu lagi. Sekarang, di bulan Juli yang seharusnya ikan ini sudah mulai ‘mendidih’, masih juga sepi. Memang ada boiling, tetapi sangat kecil dan juga sangat spooky. Sebentar timbul sebentar tenggelam. Sangat sulit mengejarnya. Itupun bukan boiling YFT kebo, melainkan boiling dari YFT berukuran under 15 kiloan saja bercampur dengan cakalang atau YFT baby 3-5 kiloan. Sangat menyedihkan. Padahal dulu, di bulan-bulan ini kapal-kapal Peltu sudah full booked karena tuna kebo mulai masuk dan mengamuk. Para pemancing popping ataupun trolling sudah siap untuk melakukan trip, adu tenaga dengan sang ikan dan atau rebutan boling ikan tuna kebo dengan kapal-kapal nelayan yang juga pasti ikut terjun mencari nafkahnya.
Beruntunglah para pemancing yang pernah menikmati sensasi strike YFT kebo di Peltu dulu. Sungguh saya iri dengan hal itu. Jadi ketika mendengar banyak kisah tentang masa-masa keemasan tuna Peltu, saya sering tersenyum kecut karena saya tidak ikut merasakannya saat ini. Dari tiga trip ke Peltu selama 1.5 bulan terakhir ini saja kami tidak strike tuna kebo sama sekali. Paling besar hanya 10 kiloan, itupun sudah sangat beruntung banget karena kebanyakan strike yang kami dapatkan adalah dari ikan-ikan tuna-tuna imut 5 kiloan saja (bahkan ada ikan cakalang!). Kami malah lebih sering narik wahoo dengan trollingan. Padahal jujur saja, pemancing seusia saya mana cocok narik trolling-an? Popping lah! Keren! Lha tapi kini mau popping apa di Peltu? Wong tuna-nya sudah minggat (atau habis?).
Saya agak setuju dengan pendapat, sebanyak-banyaknya pemancing membawa pulang ikan, tidak pernah lebih banyak daripada jumlah ikan yang ditangkap dengan jaring, atau bom, atau racun. Bom dan racun tidak bisa dimasukkan dalam faktor penyebab hilangnya tuna di Peltu, apalagi secara langsung. Karena ikan ini tidak mungkin ditangkap dengan racun dan bom ikan. Mungkin saja sih, tetapi jika ada yang melakukannya berarti kapten dan abk kapalnya mungkin kurang waras karena mereka belum tentu bisa menaikkannya ke kapal mereka. Dan untuk kasus Peltu, bisa jadi mereka sampai di darat ‘disate’ oleh kapten dan abk kapal lain. Tetapi secara tidak langsung sangat mungkin terjadi meski mungkin sangat kecil. Tercemarnya perairan Peltu bisa jadi salah satu keengganan YFT kebo masuk kesini karena rusaknya kualitas air di perairan ini bisa berakibat pada minimnya jumlah ikan teri dan ikan tembang. Buat apa YFT kebo mampir? Wong tidak ada makanan? Rugi banget mereka mampir? Overfishing (dalam artian dilakukan oleh pemancing) saya kira tidak terlalu signifikan sebagai penyebab menipisnya dan menurunnya size tuna yang kini masuk ke Peltu. Juga overfishing yang dilakukan oleh nelayan. Saya lebih condong bahwa semakin sepinya YFT di Peltu adalah karena kondisi perairan ini semakin tidak kondusif dijadikan tempat singgah kawanan ini. Rumpon-rumpon tuna yang letaknya jauh di tengah laut memiliki andil pada sepinya YFT di Teluk Pelabuhan Ratu. Karena di tengah ada ‘warung’ maka kawanan tuna itu malas minggir lagi ke teluk. Kira-kira begitu gambaran kasarnya. Namun sejujurnya pasti banyak faktor lain yang membuat ikan YFT ini semakin menghilang dari Peltu. Jalur migrasi yang berubah, karena kondisi tempat lain di Indonesia atau luar negeri lebih baik juga bisa jai faktor penyebab menghilangnya sang jabrik dari Peltu. Dan saya kira banyak lagi hal lainnya.
Postingan ini tidak ada maksud menyoroti sepinya “jabrik” di peltu sebagai buah dari “kesalahan siapa”, meski sebenarnya ini bisa jadi akibat buah kesalahan, namun postingan ini lebih sebagai penyesalan saya kenapa menjadi pemancing yang gila popping saat YFT kebo di Peltu sudah semakin langka. Sayangnya ikan-ikan YFT kebo itu tidak bisa membaca, andai bisa membaca pasti mereka merasa kasihan dan mungkin berniat mampir lagi sebentar di Peltu khusus untuk saya saja. Sungguh sayang juga yang membaca postingan ini mungkin juga tak lagi kebagian serunya popping tuna di Peltu! Hahahaha! Salam!
* All pictures by Me and my friends. Don’t use or reproduce (especially for commercial purposes) without our permission. Especially if you are tackle shop, please don’t only make money from our pics without respect!!!
* Foto 1: Hasil popping tuna di Pelabuhan Ratu tahun 2005. Foto 2: Dermaga Pelabuhan Ratu tempat kapal-kapal mancing tuna dekat cold storage building. Foto 3: Dream tuna. Foto YFT di kabin salah satu kapal. Foto 4-10: Kami memakai setidaknya 3 kapal berbeda; Amanda, Keisha, dan Andini. Foto 11: Berbagai jenis umpan untuk ikan tuna. Foto 12-13: MMT7 maju terus! Foto 14: Inilah peta fishing area di Teluk Pelabuhan Ratu. Foto 15-20: Beberapa tangkapan kami di Pelabuhan Ratu dalam tiga trip terakhir. Foto 21: Trade of lies. Berkumpul di tangah laut untuk saling berbagi gundah. Hahaha! Foto 22: Peta fishing dan spawning area ikan YFT berdasarkan situs www.kuulokai.com.
Orang-orang di Pelabuhan Ratu, Sukabumi menyebut spesies ini “jabrik”. Mengacu pada sirip kuning di punggung ikan ini yang mana saat boiling atau frenzy paling dulu nongol di atas permukaan air seperti teleskop kapal selam yang muncul di permukaan air untuk mengintai musuh. Dalam bahasa Inggris disebut yellowfin tuna atau disingkat YFT. Sedangkan nama ilmiahnya adalah Thunnus albacares. Jenis paling ‘sadis’ di keluarga tuna, mungkin yang bisa mengalahkan kekuatan tenaga dan kecepatan larinya hanyalah bluefin tuna saja yang sayangnya sulit dijumpai di perairan kita. Yellowfin tuna memang bukan spesies sembarangan. Fighting abilitynya luar biasa kuat. Ditambah sizenya yang bisa mencapai ratusan kilogram dengan kecepatan renang hingga 80 km per jam, bisa dibayangkan jika seekor tuna besar sedang membawa lari tali pancing kita. Tidak usah terlalu monster lah, sebut saja misalnya 50 kg saja, bisa membuat pemancing terkencing-kencing, jatuh duduk dan atau lebih memilih pinggangnya selamat dibandingkan dibantai tanpa ampun oleh sang “jabrik” ini. Pemancing yang memilih untuk memancing ini telah tahu resiko-resikonya sehingga biasanya selalu turun arena dengan persiapan ekstra; tenaga atau stamina prima, tackle mumpuni termasuk tali pancing (PE) yang panjang up 300 meter (jika target adalah tuna besar) tali pancing up 500 meter adalah wajib! Karena jika sudah menyambar umpan kita (metal jig kecil ataupun pencil untuk tuna) dia bisa merajalela menjelajah kedalaman laut tanpa mau berhenti. Harus diingat, spesies ini bermain di laut dalam, jadi jangan mencari masalah jika hanya memiliki tali pancing sepanjang 150 atau 200 meter (standar panjang tali untuk popping GT misalnya).
Pelabuhan Ratu, sebuah teluk indah di Sukabumi, Jawa Barat adalah salah satu titik di Indonesia yang menjadi persinggahan ikan yellowfin tuna (YFT) ini. Banyak daerah lain yang menjadi persinggahan ikan ini, Maumere di NTT misalnya. Pada musim-musim tertentu, di Pelabuhan Ratu biasanya mulai muncul pada bulan Juli, ikan ini akan melewati teluk Pelabuhan Ratu dalam perjalanannya bermigrasi. Dan itu berarti saatnya tiba untuk memancing ikian ini dengan teknik popping. Di Indonesia popping tuna mungkin hanya dilakukan di Pelabuhan Ratu saja. Sebenarnya bisa saja dilakukan di daerah lain yang menjadi lokasi migrasi ikan tuna, tetapi Pelabuhan Ratu memiliki faktor-faktor pendukung yang membuat popping tuna sangat mungkin dilakukan. Pertama adalah karena lokasinya yang berbentuk teluk. Ini sangat menguntungkan karena YFT akan bermain-main di sekitar teluk saja mengejar makanannya (teri dan tembang) sehingga kapal-kapal mancing tidak perlu mengejar ke lautan lepas (mau membawa bensin atau solar berapa liter bos?). Kedua adalah karena di Pelabuhan Ratu banyak sekali kapal-kapal mancing yang cocok untuk aplikasi popping tuna ini. Popping tuna perlu kapal dengan kecepatan tinggi untuk mengejar kawanan YFT. Kapal bermesin Dongfeng jelas tidak cocok. Wkwkwkwk! Nah, di Pelabuhan Ratu ini banyak sekali kapal-kapal bagus dengan tuna tower segala untuk mengejar kawanan tuna ini. Kapal-kapal ini sengaja ditaruh di sana untuk popping tuna dan atau untuk trolling ikan-ikan pelagis (ditaruh sejak jaman keemasan FORMASI dengan even Piala Presiden-nya). Pemiliknya adalah orang-orang Jakarta. Kapal-kapal itu masih banyak hingga kini, meskipun kini YFT di Pelabuhan Ratu apalagi yang berukuran ‘kebo’ semakin sulit didapatkan.
Pelabuhan Ratu (Peltu) pernah mengalami jaman keemasan sebagai destinasi popping tuna kelas wahid, bahkan mungkin dulu di jaman tahun-tahun 2001-2004an bisa dikatakan sebagai destinasi popping tuna kelas dunia saking banyaknya bule kesini untuk memburu YFT. Jabrik ukuran 40-50 kg dulu sangat mudah didapatkan, asal pinggang kita kuat saja. YFT ukuran monster hingga 100kg pun masih sering didapatkan pemancing dengan teknik popping. Saya tidak bicara asal, pernyataan kapten-kapten kapal mancing di Peltu dan foto-foto mancing tuna milik beberapa pemancing senior di negeri ini adalah buktinya. Satu foto saya pajang di foto pertama postingan ini. Saya tidak bisa menyebutkan ini koleksi siapa, karena bukan itu hal pentingnya, hal pentingnya adalah bahwa jabrik kebo pernah ada di sini. Dulu. Kini? Nah ini pertanyaan yang sangat menggelisahkan dan menyedihkan untuk kita para pemancing, terutama generasi baru pemancing Indonesia yang belum pernah merasakan ‘orgasme’ dengan sang “jabrik” di Peltu. Karena kenyataan di Peltu kini sudah jauh dibandingkan dulu. Kalau masih bagus, lalu buat apa hampir 80% kapal-kapal mancing tuna itu ‘nganggur’. Atau kalau masih hebat, lalu buat apa banyak kapal mancing keren di Peltu ditarik ke Jakarta? Atau maaf, sedikit kasar, kalau memang YFT di Peltu masih bagus, kenapa sampai kapten-kapten di Peltu kini banyak yang terlibat konspirasi telepon atau sms bahwa “jabriknya sudah masuk bosss?!”
YFT Peltu sudah tidak seperti dulu lagi. Sekarang, di bulan Juli yang seharusnya ikan ini sudah mulai ‘mendidih’, masih juga sepi. Memang ada boiling, tetapi sangat kecil dan juga sangat spooky. Sebentar timbul sebentar tenggelam. Sangat sulit mengejarnya. Itupun bukan boiling YFT kebo, melainkan boiling dari YFT berukuran under 15 kiloan saja bercampur dengan cakalang atau YFT baby 3-5 kiloan. Sangat menyedihkan. Padahal dulu, di bulan-bulan ini kapal-kapal Peltu sudah full booked karena tuna kebo mulai masuk dan mengamuk. Para pemancing popping ataupun trolling sudah siap untuk melakukan trip, adu tenaga dengan sang ikan dan atau rebutan boling ikan tuna kebo dengan kapal-kapal nelayan yang juga pasti ikut terjun mencari nafkahnya.
Beruntunglah para pemancing yang pernah menikmati sensasi strike YFT kebo di Peltu dulu. Sungguh saya iri dengan hal itu. Jadi ketika mendengar banyak kisah tentang masa-masa keemasan tuna Peltu, saya sering tersenyum kecut karena saya tidak ikut merasakannya saat ini. Dari tiga trip ke Peltu selama 1.5 bulan terakhir ini saja kami tidak strike tuna kebo sama sekali. Paling besar hanya 10 kiloan, itupun sudah sangat beruntung banget karena kebanyakan strike yang kami dapatkan adalah dari ikan-ikan tuna-tuna imut 5 kiloan saja (bahkan ada ikan cakalang!). Kami malah lebih sering narik wahoo dengan trollingan. Padahal jujur saja, pemancing seusia saya mana cocok narik trolling-an? Popping lah! Keren! Lha tapi kini mau popping apa di Peltu? Wong tuna-nya sudah minggat (atau habis?).
Saya agak setuju dengan pendapat, sebanyak-banyaknya pemancing membawa pulang ikan, tidak pernah lebih banyak daripada jumlah ikan yang ditangkap dengan jaring, atau bom, atau racun. Bom dan racun tidak bisa dimasukkan dalam faktor penyebab hilangnya tuna di Peltu, apalagi secara langsung. Karena ikan ini tidak mungkin ditangkap dengan racun dan bom ikan. Mungkin saja sih, tetapi jika ada yang melakukannya berarti kapten dan abk kapalnya mungkin kurang waras karena mereka belum tentu bisa menaikkannya ke kapal mereka. Dan untuk kasus Peltu, bisa jadi mereka sampai di darat ‘disate’ oleh kapten dan abk kapal lain. Tetapi secara tidak langsung sangat mungkin terjadi meski mungkin sangat kecil. Tercemarnya perairan Peltu bisa jadi salah satu keengganan YFT kebo masuk kesini karena rusaknya kualitas air di perairan ini bisa berakibat pada minimnya jumlah ikan teri dan ikan tembang. Buat apa YFT kebo mampir? Wong tidak ada makanan? Rugi banget mereka mampir? Overfishing (dalam artian dilakukan oleh pemancing) saya kira tidak terlalu signifikan sebagai penyebab menipisnya dan menurunnya size tuna yang kini masuk ke Peltu. Juga overfishing yang dilakukan oleh nelayan. Saya lebih condong bahwa semakin sepinya YFT di Peltu adalah karena kondisi perairan ini semakin tidak kondusif dijadikan tempat singgah kawanan ini. Rumpon-rumpon tuna yang letaknya jauh di tengah laut memiliki andil pada sepinya YFT di Teluk Pelabuhan Ratu. Karena di tengah ada ‘warung’ maka kawanan tuna itu malas minggir lagi ke teluk. Kira-kira begitu gambaran kasarnya. Namun sejujurnya pasti banyak faktor lain yang membuat ikan YFT ini semakin menghilang dari Peltu. Jalur migrasi yang berubah, karena kondisi tempat lain di Indonesia atau luar negeri lebih baik juga bisa jai faktor penyebab menghilangnya sang jabrik dari Peltu. Dan saya kira banyak lagi hal lainnya.
Postingan ini tidak ada maksud menyoroti sepinya “jabrik” di peltu sebagai buah dari “kesalahan siapa”, meski sebenarnya ini bisa jadi akibat buah kesalahan, namun postingan ini lebih sebagai penyesalan saya kenapa menjadi pemancing yang gila popping saat YFT kebo di Peltu sudah semakin langka. Sayangnya ikan-ikan YFT kebo itu tidak bisa membaca, andai bisa membaca pasti mereka merasa kasihan dan mungkin berniat mampir lagi sebentar di Peltu khusus untuk saya saja. Sungguh sayang juga yang membaca postingan ini mungkin juga tak lagi kebagian serunya popping tuna di Peltu! Hahahaha! Salam!
* All pictures by Me and my friends. Don’t use or reproduce (especially for commercial purposes) without our permission. Especially if you are tackle shop, please don’t only make money from our pics without respect!!!
* Foto 1: Hasil popping tuna di Pelabuhan Ratu tahun 2005. Foto 2: Dermaga Pelabuhan Ratu tempat kapal-kapal mancing tuna dekat cold storage building. Foto 3: Dream tuna. Foto YFT di kabin salah satu kapal. Foto 4-10: Kami memakai setidaknya 3 kapal berbeda; Amanda, Keisha, dan Andini. Foto 11: Berbagai jenis umpan untuk ikan tuna. Foto 12-13: MMT7 maju terus! Foto 14: Inilah peta fishing area di Teluk Pelabuhan Ratu. Foto 15-20: Beberapa tangkapan kami di Pelabuhan Ratu dalam tiga trip terakhir. Foto 21: Trade of lies. Berkumpul di tangah laut untuk saling berbagi gundah. Hahaha! Foto 22: Peta fishing dan spawning area ikan YFT berdasarkan situs www.kuulokai.com.
Comments
saya yudhi, memperhatikan tulisan bapak saya sngat setuju dan tertarik mengetahui potensi peltu, walaupun saya belum pernah mancing di peltu mengingat biaya dewa kapalnya mahal katanya sebagian orang tdk spt di binu
mungkin saya suatu saat ingin ke peltu
mohon info:
kapal kapal < 3-4 jt an
bulan apa saja yg cuacanya mendukung
terimakasih
yudhi
nguseup@blogspot.com.
de.laboga@gmail.com