Pemalas Yang Mahal: Ancaman Terhadap Populasi Ikan Betutu (Oxyeleotris Marmorata), Mitos Kejantanan dan Awet Muda
Foto di atas
saya abadikan pada bulan Juni tahun 2014, saat itu saya berada di sebuah desa
terpencil di Kalimantan Tengah, namanya Petak Putih. Musim kemarau sedang ‘meradang’
dan bumi Borneo seperti sedang mendidih saking panasnya. Petak Putih sendiri
adalah desa di ‘tepian’ sebuah jalur lalu lintas tambang yang sangat ‘beruntung’
(baca: naas) karena selalu dihadiahi oleh badai debu setiap kali truk-truk
tambang melintas di pinggiran desa. Musim kemarau bagi warga Petak Putih adalah
musim panen ikan. Debit air sungai dan danau sekitar desa menyusut secara drastis,
yang secara otomatis membuat ikan-ikan terkonsentrasi di wilayah sebaran yang
sangat sempit sehingga mudah ditangkap dengan berbagai cara (pancing, jaring, selambau, dan lain-lain). Aktifitas penangkapan ikan air tawar pada momen seperti ini
jelas terlihat seperti sebuah hasrat overfishing yang kuat, sebab apapun ikan
akan diambil oleh masyarakat untuk dijual ataupun dikonsumsi sendiri. Yang
paling aneh dan masih teringat oleh saya hingga hari ini, ketika musim kemarau
merajalela di Petak Putih, air sungai dan danau bukannya bening melainkan
coklat keputihan akibat aktifitas penambangan yang terjadi oleh sebuah
perusahaan tambang di dekat desa tersebut. Saya hadir di desa ini karena tergoda oleh sebuah informasi 'penting' tentang adanya danau yang angker tetapi menyimpan banyak potensi ikan besar.
Ikan Betutu (Oxyeleotris marmorata) adalah jenis ikan air tawar. Sudah cukup sulit bagi kita untuk melihat ikan jenis ini dalam ukuran yang besar, taruhlah up 1 kilogram di perairan umum. Kalau di kolam budidaya sih saya yakin banyak karena ikan ini sekarang banyak dibudidayakan akibat tingginya permintaan pasar ikan saat ini. Ikan ini penyebarannya meliputi seluruh negara di Asia Tenggara dan tentu saja hingga ke negeri kita tercinta, Indonesia. Menurut Wikipedia, ikan ini di berbagai daerah memiliki nama yang berbeda-beda. Ada yang menyebut dengan bakut, bakutut, belosoh, boso, boboso, bodobodo, ikan bodoh, ketutuk, ikan malas dan lain-lain. Dalam bahasa Inggris ikan ini disebut dengan nama marble goby atau marble sleeper, yang mana ini merujuk pada pola-pola warna di tubuhnya yang serupa batu pualam kemerahan. Menurut saya corak warna kulit atau sisik ikan ini menyerupai kulit pohon tertentu dengan pola warna yang acak. Akibat tingginya permintaan pasar terhadap ikan ini, saya mendengar ikan ini juga telah diintroduksi dan kemudian dibudidayakan di Singapura, Taiwan dan bahkan ke Kepulauan Fiji. Kenapa sampai ikan betutu ini sampai perlu diintroduksi ke negara-negara yang tidak memiliki spesies ini?
Penyebab
utamanya adalah, karena ikan betutu dipercaya mengandung khasiat tertentu bagi
kaum wanita dan bagi kaum pria. Bagi kaum wanita, ikan betutu dipercaya dapat
membuat awet muda dan dapat menambah kehalusan kulit karena banyak mengandung
vitamin B1, B2, B6 vitamin F, dan vitamin E sehingga dapat menghambat proses
penuaan. Penuaan, hal yang akhir-akhir ini begitu dihindari oleh begitu banyak
manusia di dunia. Mimpi menghambat penuaan ini juga menjadi senjata ampuh
produsen kosmetik di seluruh dunia. Bagi kaum pria konon ikan betutu dipercaya
banyak mengandung enzim dan hormon tertentu sehingga dapat menambah keperkasaan
sebagai laki-laki. Dan masih banyak lagi khasiat dan manfaat lainnya yang masih
memerlukan penelitian lebih lanjut.
Karena mitos
yang entah siapa yang pertama melontarkannya, ikan betutu sontak menjadi ikan
yang banyak dicari oleh banyak orang. Terutama mereka yang kemudian mempercayai
anggapan seperti tertulis di atas. Jadi jangan heran jika saat ini di Jakarta
saja, ikan malas ini harganya bisa mencapai angka lebih dari du aratus ribu
rupiah per kilogram nya (kondisinya hidup). Bahkan banyak yang mencatat,
sebenarnya ketersediaan ikan ini tidak mampu mencukupi permintaan pasar ikan. Urusan
perut memang seringkali menjadi akar masalah banyak hal. Kembali ke ikan
betutu, karena minat masyarakat yang disebabkan oleh mitos inilah eksploitasi
besar-besaran pada habitat ikan betutu menjadi tidak terkendali lagi. Padahal
belum tentu mitos kejantaan dan menghambat penuaan tersebut benar. Tetapi
seperti inilah kondisi masyarakat kita, begitu menyukai masalah kejantanan dan ‘kemudaan’.
Yang kemudian memetik berkah utama akibat tingginya minat masyarakat terhadap
ikan betutu, adalah para pemilik restoran yang dapat menyajikan menu masakan
ikan betutu ini dalam harga berapapun. Padahal di tingkat nelayan, per kilogram
ikan betutu hidup, harganya tidak seberapa.
Apapun itu,
yang pasti ekosistem atau habitat ikan betutu di perairan umum menjadi
tertekan. Regenerasi ikan terganggu dan populasinya menjadi terancam akibat
tingginya perburuan terhadap spesies ini yang dilakukan oleh para nelayan
perairan tawar. Saya pernah melihat sendiri misalnya di sekitar kota Toboali,
Pulau Bangka. Saat musim kemarau berada di puncaknya, satu RT bisa turun ke
danau ataupun sungai yang mulai mengering khusus untuk mencari ikan betutu. bahkan kegiatan ini sudah menjelma menjadi semacam tradisi, ngebeng namanya. Mereka
menjadikan ikan betutu sebagai target penting, sebab jika dikirimkan dalam
keadaan hidup ke luar negeri harganya bisa melonjak hingga Rp. 400,000,- per
kilogramnya. Kerugian besar bagi kita karena kemudian di luar negeri ikan ini selain kemudian dijual di restoran-restoran juga kemudian dibudidayakan. Memang dari sisi ekonomi dan sosial, semua hal dapat diterima
selama dilakukan dalam jumlah yang wajar, termasuk dalam mengeksploitasi
perairan tawar yang menjadi habitat asli ikan pemalas ini. Pertanyaannya
adalah, mungkinkah karena mitos kejantanan dan awet muda ini, kita suatu saat akan kehilangan spesies menarik
ini di perairan umum kita??? Bukankah kita setidaknya juga memiliki tanggung jawab mulai dari sekarang, untuk ikut melakukan hal kecil yang mungkin, untuk memperkuat perairan umum di sekitar kita??? Mungkin dengan menggaungkan sustainable fishing merthod, pembatasan jumlah tangkapan, atau kalau perlu regulasi khusus terkait ekspor ikan betutu ini. Betutu hanyalah salah satu contoh saja, betapa kita telah begitu banyak abai pada potensi-potensi alam yang dianugerahkan kepada kita. Salam petualang!
* Pictures taken on June 2014 by me dan my crew. No watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with my pictures without respect!!!
Comments