Tentang Secangkir Kopi Hitam di Suatu Pagi dan Sebuah Keluarga di Tepian Sungai Sebangau, Kalimantan Tengah
Judulnya tiba-tiba menjadi sentimentil, layaknya seorang
cancer sejati. Tetapi sudahlah mumpung masih anget, semua ditulis saja. Ada yang lucu dan sedikit menjengkelkan
ketika saya hendak menuju ke sebuah rumah di Desa Paduran, Sebangau Kuala,
Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Padahal saya sudah bolak-balik ke desa ini dan
hapal seperti sudah hafal di luar kepala. Tetapi anehnya hari itu kami malah
nyasar ke Bahaur, sekitar 40an kilometer dari Paduran. Berangkat dari
Palangkaraya pukul 13.30 wib, seharusnya sebelum magrib saya dan rombongan
sudah sampai. Tetapi gara-gara nyasar ini, kami tiba pukul 21.00 wib! Aneh
sekali kejadian nyasar ini, mobil kami tiba-tiba sudah berada di tengah kebun
di Desa Bahaur. Nyasar 40 km jika di kota atau di Jawa, mungkin hanya perlu
satu jam untuk tarik balik. Tetapi di kawasan ini jalanan masih goyang dombret
penuh lubang, jadilah itu tadi, pukul 21.00 wib baru tiba di Desa Paduran.
Bapak yang punya rumah, bapak kepala Desa Paduran sedang ada acara di
kabupaten, tinggal ibu dan saudara-saudaranya. Langsung menghambur ketika pintu
mobil saya buka. Memeluk dan menciumi saya. “Anakku pulang!” teriaknya. Kawan-kawan
satu tim saya kebingungan, saya terharu dengan reaksi Ibu Raudah tersebut, ibu
istri kepala Desa Paduran yang sudah seperti ibu saya sendiri itu.
Karena kelelahan, saya dan rombongan hanya sempat
bercakap-cakap sebentar dengan sang empunya rumah sembari makan malam. Makan
malam yang mewah; nasi hangat, ikan asin sepat, sayuran, dan sambal pedas.
Makanan yang selalu saya sukai, dimanapun model menu seperti ini disajikan.
Makanan tersebut telah disiapkan Ibu Raudah dari sore hari, karena menurut
perhitungan beliau, kami sudah akan tiba menjelang magrib. Tetapi rupanya kami
terlambat. Namun makanan dan segala peralatan makan masih tertata rapi di ruang
belakang, ruang makan keluarga Rudi Hamid tersebut. Sejak makan pertama kali
tiga tahun lalu di rumah ini, saya selalu rindu suasana makan yang sederhana
tetapi tertata apik dengan suasana hangat tersebut. Mungkin karena saya aslinya
memang orang desa, makanan ndeso di Desa Paduran ini cocok sekali dengan lidah
saya. Semoga juga demikian dengan lidah rekan-rekan satu tim saya yang sebagian
orang kota masa kini. Hehehehe. Ibu Raudah sempat terucap,”Maaf Mikel tidak ada
petai di daerah sini jadi ibuk tidak disajikan”. Dia rupanya tiga tahun lalu
saya membawa satu ikat besar petai ketika pertama kali masuk ke kampung ini!
Lelap kemudian memeluk seluruh isi rumah. Saya bermimpi didatangi perempuan
cantik yang duduk di sebuah puncak gunung indah. Memberitahu saya beberapa hal
yang asing bagi saya, tetapi dengan senyum menawan.
Pagi harinya saya dibangunkan oleh bau kopi hitam yang
disiapkan oleh Ibu Raudah di sudut ruang tamu dekat televisi, saya dan
rombongan tidur ngampar di ruang tamu
semuanya. Desa Paduran ketika pagi hari suasananya begitu menawan, kabut tipis
melayang di dekat padang rumput, suara burung bersahutan dari segala penjuru
hutan, dan sinar mentari yang hangat mengusap seluruh penjuru. Beberapa warga
melintas depan rumah bergegas hendak berangkat ke kebun atau ke hutan. Anehnya
bulan Juli lalu itu, udara Paduran sangat dingin, berbeda sekali dengan dahulu
yang saya rasa sangat panas. Ini tidak biasa di kawasan rawa gambut ini. Warga
juga mengakuinya, udara tahun ini berbeda, dingin! Kebakaran lahan juga
berkurang, tidak seperti tahun-tahun yang lalu. Sekarang katanya ada sangsi
yang tegas buat pelaku pembakar lahan ataupun hutan. Dan sesekali ada pelatihan
pemadaman kebakaran yang dilakukan kepada seluruh warga, program dari
pemerintah kabupaten, untuk mengurangi kebakaran lahan dan hutan yang kerap
melanda kawasan Sebangau setiap musim kemarau.
Keindahan Desa Paduran memang tidak seperti di brosur-brosur
wisata yang umum kita kenal. Desa ini hanyalah ‘pintu’ gerbang menuju Kecamatan
Sebangau Kuala, yang berada di bagian ‘bawah’ kawasan Sebangau, tetapi yang
berada di Kabupaten Pulang Pisau. Hanya desa sunyi yang dikepung oleh hutan
rawa gambut, dengan air tawar yang juga kurang bagus. Tetapi entah kenapa, desa
ini begitu memikat hati saya. Mungkin karena kesunyiannya. Mungkin karena saya
diterima oleh keluarga Rudi Hamid dan seluruh warga lainnya. Mungkin saya mudah
untuk pergi memancing karena selusin sungai berada di ‘halaman’ rumah. Atau
mungkin karena saya bisa menjadi apa adanya di desa kecil ini, seperti ketika
saya berada di desa saya sendiri. Sambil berdiri di tepi jembatan di sebelah
Ibu Raudah, saya melihat lanskap sekitar yang sunyi tetapi hijau. Kabut tipis masih memeluk seluruh lanskap desa menciptakan suasana pagi yang menyejukkan hati. Udara yang dingin ini berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya, yang mana ketika kemarau udara begitu panas, padahal kanan kiri desa hutan semua. Mungkin perubahan ini karena tahun ini, kebakaran hutan dan lahan yang terjadi skalanya sangat kecil. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya ketika hampir setengah wilayah Kalimantan Tengah berubah menjadi 'regions of fogs'!
Dari ujung
jalan Bapak Rudi Hamid muncul dengan menggunakan motor, baru pulang usai acara
di kabupaten. Saya bersalaman, dan usai bercakap-cakap sebentar, kami pindah
kembali ke ruang makan di bagian dapur. Sebuah jaket Jack Wolfskin saya
hadiahkan untuk ‘bapak’ baru saya ini. Untuk menggantikan jaket training tipis
pemberian pemda itu Pak, supaya kalau bepergian jauh tidak masuk angin, ucap
saya. Dia tersenyum dan berkaca-kaca. Tak lama kemudian muncul rombongan para
nelayan selambau, yang rencananya
akan saya dokumentasikan esok hari. Ketua nelayan ini adalah keturunan langsung
penghuni pertama sekaligus penemu Sungai Paduran pada jaman dahulu. Dia juga
membawa peta sungai lengkap sejak jaman kuno (ada cap Belanda) dan juga peta
sebuah gunung keramat yang berada di kedalaman hutan rawa gambut. Deskripsinya tentang
gunung ini persis seperti mimpi saya tadi malam. Mungkin memang saya harus
datang ke gunung itu, Gunung Xxxxx. Sebuah tempat tertutup dan tidak pernah
didatangi orang luar desa saking keramatnya!
* Pictures taken on July 2015 by me. No watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with my pictures without respect!!!
* Pictures taken on July 2015 by me. No watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with my pictures without respect!!!
Comments