Apis Dorsata, Sistem Panen Madu Lestari dan Kemampuan Alam Menyokong Kehidupan di Dataran Tinggi Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat
Untuk Saruji dan para pemburu madu di pegunungan Desa Semongkat, Pulau Sumbawa. Salam “madu lestari”!
Kata “madu” di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat harus kita
gunakan dengan hati-hati. Dalam konteks perburuan di alam liar, jika kita
datang ke suatu desa di pegunungan Sumbawa untuk menemui para pemburu madu
misalnya, tetapi kemudian bapak-bapak para pemburu sedang sibuk entah dimana,
jangan bicara begini ke ibu/istri sang pemburu “Bu saya mau ajak bapak untuk
mencari madu”. Sembilan puluh persen sang ibu/istri pemburu akan langsung
merevisi kata-kata kita “Mau cari lebah madu atau air madu bang, jangan cari
madu, kalau cari madu saya tidak setuju”. Kata “madu” yang digunakan tunggal
rupanya digunakan untuk menyebut “wanita lain”. Hahaha. Intermeso saja maksud
saya tetapi beginilah memang kenyataannya. Meski seringnya semua ini terjadi
dalam suasana bercanda tetapi baiknya kita mengetahuinya. Sudah berkali-kali
saya ke Pulau Sumbawa, meski saya tetap sering menggunakan kata “madu” secara
tunggal untuk mencairkan suasana dan membangun tawa dengan orang-orang yang
saya temui di beberapa ‘pusat’ madu Sumbawa.
Desa Semongkat, satu jam dari kota Sumbawa Besar, kembali
saya datangi pada Oktober lalu untuk ikut dalam manisnya musim madu apis dorsata, jenis lebah terbesar dalam
keluarga apis. Ibu Yamin yang saya
kenal beberapa tahun lalu kembali saya datangi. Lewat beliau-lah segala urusan
hulu-hilir dokumentasi madu Sumbawa ini menjadi lancar. Mulai dari menggerakkan
para pemburu untuk survai lokasi dahulu, dan juga mengamankan proses lanjutan
usai panan madu di hutan dilakukan para pemburu. Ibu Yamin termasuk salah satu
pelaku bisnis madu paling mapan di seluruh Desa Semongkat karena memiliki
kelompok pemburu yang sangat banyak sehingga sepanjang tahun UKM miliknya selalu
ber-produksi. Hasil produk UKM yang dia miliki sangat populer di Pulau Sumbawa
dan bahkan sudah berhasil dipasarkan di pasar madu nasional sejak beberapa
tahun lalu. Berkat madu asli Sumbawa inilah (benar-benar asli madunya)
perekonomian masyarakat Desa Semongkat begitu kuat dan bahkan di musim kemarau
paling kering sekalipun, masyarakat tidak ada yang khawatir tentang kehidupan
karena madu menjadi solusi ekonomi dan nutrisi yang telah teruji dari tahun ke
tahun.
Menjelajah dataran tinggi Pulau Sumbawa ketika musim kering
menurut saya adalah petualangan musim kemarau yang cukup menantang. Bentang alamnya
yang kita lihat memang berbeda, hutan yang seperti meranggas dan matahari pun
seperti sedang marah. Tetapi menikmati lanskap yang berbeda dan tidak banyak
kita jumpai di buku-buku wisata dan atau foto-foto petualangan mainstream yang
banyak terdapat di media sosial, menjadi pencerahan tersendiri bagi kita untuk
memahami suatu tempat tidak hanya dari sisi keindahan umum saja. Hati kita
seperti ‘dibasuh’ oleh kemarau yang menyengat yang seperti ingin mengatakan
banyak hal kepada kita. Secara garis besar perburuan madu di pegunungan Sumbawa
dilakukan sebagai berikut. Pertama adalah mapping
kawasan hutan, dilakukan sambil terus berjalan menyusuri hutan. Selama
perjalanan ini biasanya para pemburu akan beberapa kali melakukan orientasi
medan dengan naik ke pucuk-pucuk pohon untuk mengamati lalu-lintas lebah yang
beterbangan di sekitar pohon-pohon hutan tinggi yang berbunga. Arah pergerakan
lebah ini (saya sendiri tidak mampu melihatnya hanya mendengar dengung suaranya)
yang akan menjadi panduan para pemburu melakukan pergerakan perjalanan di dalam
hutan. Pergerakan lebah terus diikuti dan setelah beberapa waktu (relatif ini
sebenarnya, bisa dalam hitungan menit hingga jam), kita akan sampai di sarang
yang kita cari-cari. Saya salut dengan kemampuan para pemburu ini melakukan
perburuan lebah. Matanya sangat tajam, tetapi itulah, ala bisa karena biasa. Barulah setelah menemukan sarang kemudian
akan disusun strategi memanen madunya dengan melihat arah bertiupnya angin,
persiapan bahan membuat asap, penentuan shelter
untuk berlindung jika ada insiden, dan lain sebagainya. Terlalu banyak detail
perburuan ini, saya sarankan Anda datang sendiri ke Pulau Sumbawa dan
berpetualang dengan para pemburu ini.
Hal terakhir yang ingin saya garis bawahi dari potensi madu
di Desa Semongkat adalah sistem panen yang dilakukan oleh para pemburunya.
Seluruh pemburu di Desa Semongkat menerapkan sistem panen “madu lestari”, yaitu
cara panen ramah lingkungan yang hanya memotong bagian tolo atau sarang lebah tetapi yang hanya ada airnya saja. Jadi
rumah lebah tidak diambil semuanya, misalnya saja dalam satu koloni lebah, dan
hanya ada sebagian sarang yang berisi madu, dan lainnya telah berisi larva
lebah, maka yang dipotong adalah yang ada madunya saja. Rumah lebah yang ada
larvanya tidak diusik, ditinggalkan begitu saja agar besar dan menjadi dewasa.
Menurut mereka dengan cara ini apis
dorsata tidak akan kapok dan akan terus bersarang di kawasan hutan mereka,
tidak pindah ke hutan lain di daerah lain. Kalaupun kemudian mereka pindah
sarang, tetap akan kembali lagi ke kawasan hutan yang sama suatu saat nanti.
Tak heran sepanjang tahun sarang lebah apis
dorsata selalu mudah dijumpai, baik itu di musim penghujan atau kemarau.
Meski memang ada bulan-bulan tertentu jumlah koloni lebah ini akan sangat
banyak. Saking terbiasanya dengan apis
dorsata panen pun dilakukan siang hari dengan modal asap saja. Resikonya
memang besar tetapi saya telah beberapa kali mengikuti para pemburu madu di
Sumbawa ini dan meski siang hari bolong sekalipun, tidak pernah ada satu
sengatan pun yang hinggap ke tubuh saya. Betul kami menggunakan topi jaring, jaket dan seluruh tubuh tertutup untuk berjaga-jaga. Tetapi maksud saya kami benar-benar tidak mendapatkan serangan sama sekali dari lebah-lebah ini. Musti diingat lebah apis dorsata jika menyerang kita rasanya seperti sebuah 'kiamat' kecil. Ada banyak detail rupanya dalam panen
madu apis dorsata siang hari ini jika
kita ingin aman, dan para pemburu madu di Pulau Sumbawa telah memahaminya di
luar kepala dan menerapkannya dengan konsisten. Kiranya cukup demikian catatan iseng ini, semoga ada yang
pernah menonton hasil tayangan yang kami buat Cerita Dari Pegunungan Samawa di Jejak Petualang Trans7! Happy
Sunday!
* Kru: me (reporter), Eko Hamzah (cameraman),
Muhammad Iqbal (cameraman), Vika
Fitriyana (host). Pictures taken on Oktober 2015 mostly by me. Another
pictures are screen captures of Sony PMW 200. Drone shot by crew CNN
Indonesia. No
watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially
for
commercial purposes) without my permission. Don't make money with my
pictures
without respect!!!
Comments