Bocah Kecil, Bulir-bulir Padi, Kawanan Burung Pipit, dan 1703 Tahun Penerapan Sistem Mina Padi di Dunia
Ada suatu masa di sebuah desa di Malang Selatan, ketika padi-padi di sawah mulai berbulir, seorang anak kecil berkulit gelap, setiap usai pulang sekolah (saat itu dia masih duduk di bangku SMP), memiliki tugas tetap dari kakek dan neneknya (anak kecil ini tinggal dengan kakek dan neneknya semasa SMP) yaitu pergi ke sawah menjaga bulir-bulir padi dari gangguan burung-burung pipit. Pada masa itu areal persawahan di Malang Selatan adalah gambaran ideal dari sebuah wilayah agraris. Persawahan membentang luas sejauh mata memandang, berlekuk indah naik turun seiring kontur tanah yang ada, air irigasi mengalir jernih di saluran air ke segala penjuru persawahan, sungai yang ada di kampung itu juga masih mengalirkan airnya secara konstan sepanjang tahun. Hampir semua proses pertanian saat itu masih dilakukan dengan manual (baca: tenaga manusia). Baik itu saat menggarap sawah, menyemai benih, menanam benih, dan saat panen. Juga ketika melakukan pemupukan, pupuk yang digunakan juga bukan pupuk yang mengandung pestisida. Hasil pertanian dengan cara tradisional seperti ini memang ‘memakan’ banyak waktu dan tenaga, tetapi padi yang dihasilkan lebih berkualitas (bukan lebih banyak) karena lebih sehat padinya karena tidak ada campur tangan pestisida. Sawah-sawah di desanya saat itu selain ditanami padi juga dijadikan tempat memelihara ikan-ikan air tawar, areal persawahan dimodifikasi sedemikian rupa sehingga ada petak padi dan ada juga petak-petak kolam dangkal berisi ikan air tawar. Pada masanya, biasanya menjelang padi menguning tiga bulan kemudian, ketika sawah-sawah akan mulai dikurangi debit airnya dan kemudian dikeringkan, ikan-ikan yang dipelihara akan dipanen lebih dahulu.
Namun karena saat itu sangat jarang orang menggunakan
pestisida (baik di sawah maupun di kebun/ladang), ditambah ekosistem pedesaan
masih sangat sehat waktu itu, burung-burung pemangsa padi juga masih sangat
banyak. Burung pipit, jika hanya satu atau dua ekor terlihat lucu menggemaskan,
namun jika sudah ribuan berputar di angkasa mencari-cari sawah mana mereka akan
landing dan kemudian memangsa bulir-bulir
padinya, suasana dan persepsi kita akan berbeda. Akan tercipta ‘medan perang’
dadakan antara penunggu padi dengan kawanan burung pipit yang lapar itu. Bocah
kecil itu biasanya berbekal ketapel (termasuk juga sudah mempersiapkan
karet-karet pengganti jika putus) dan satu karung kecil berisi kerikil yang
dikumpulkan dari sungai terdekat. Setiap kali kawanan burung pipit akan
mendarat, dia akan ‘menembakkan’ meriam-meriam kecilnya sambil berteriak.
Pokoknya jangan sampai kawanan lapar itu sampai mendarat dan kemudian memangsa
bulir-bulir padi. Tetapi terkadang serangan kawanan burung ini terlalu agresif
dan mengambil resiko (apapun kalau lapar menjadi beringas) sehingga ada
beberapa kesempatan mereka akan ‘mendarat’. Ketapel akan terus ‘ditembakkan’ dengan
harapan mengenai satu atau dua ekor burung yang kemudian akan membuat yang
lainnya terbang lagi. Namun jika kawanan ini tidak juga beranjak, bocah kecil
akan berlari marah sambil berteriak menghambur ke petak yang diserbu kawanan.
Begitu terus yang dilakukan sang bocah saban hari semasa SMP. Ketika petang
tiba, dan kawanan burung sudah kembali ke sarangnya (hanya satu dua jenis
burung tertentu saja yang berkeliaran malam hari), sang bocah pun beranjak
pulang, melintasi persawahan menyeberang sungai, mendaki bukit kecil dengan
sedikit gelisah karena kata orang-orang tua banyak hantu keluar menampakkan
diri ketika petang menjelang. Hari ini, berpuluh tahun kemudian, bocah kecil
itu kebingungan mengisi waktu liburnya bekerja di sebuah stasiun televisi nasional
di Jakarta, kemudian memutuskan untuk menulis tentang ‘secuil’ kisah hidupnya.
Tidak ada lagi ketapel, kerikil kecil di karung kecil, teriakan-teriakan marah
mengusir kawanan burung-burung pipit, dan tidak ada lagi gelisah akan hantu
yang keluar saat petang. Yang muncul hanya kerinduan andai waktu bisa diputar
sejenak sesuai keinginan, pada salah satu babak hidup yang indah yang ingin
kita alami sekali lagi. Keinginan yang mustahil terjadi. Saya tiba-tiba
teringat, tahun lalu bersama tim Jejak Petualang Trans7 (host Medina Kamil dan
kameraman Eko Priambodo), sempat mendokumentasikan tentang sistem mina padi ini
di daerah Sleman, Yogyakarta dalam rangka menampilkan kembali ‘kreatifitas’
petani di lahan pertanian dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan dan
pemaksimalan sistem pertanian dengan tata kelola lahan dan rekayasa pengairan
yang tepat.
Catatan berikutnya tentang mina padi ini saya kutip dari artikel
Mina Padi Sebagai Ketahanan Pangan danWisata Lingkungan yang dimuat di website Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kalimantan
Timur, yang menurut sangat lugas dalam mengulas sistem mina padi ini. Sawah
minapadi atau rice cum fish culture adalah sistem
budidaya terpadu tradisional antara ikan dan tanaman padi di sawah. Minapadi
dapat dilakukan secara tumpang sari (ikan bersama padi), penyelang (saat menunggu
tanam padi) dan palawija (di lahan sawah yang digenangi air). Waktu
pemeliharaan ikan selama 30-40 hari mulai dari waktu tanaman hingga penyiangan
pertama atau kedua dimana benih telah berukuran 30-40 ekor/kg. Salah satu
daerah yang sukses menerapkan minapadi adalah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Pada
awalnya sistem budidaya minapadi dikenal di China lebih dari 1700 tahun yang
lalu. Minapadi kemudian menyebar dan mulai diterapkan di Thailand lebih dari
200 tahun lalu. Di Indonesia, praktek minapadi mulai dikenal sebelum 1860 di
Ciamis Jawa Barat. Dari Ciamis inilah kemudian sistem minapadi menyebar ke
daerah Jawa Tengah, Jawa Barat Sumatera Utara dan Sumatera Tengah, Sulawesi
Utara, Bali dan Lombok dibawa oleh pelajar (santri), pedagang dan pegawai
pemerintahan. Pengembangan minapadi saat ini lebih di mungkinkan seiring dengan
perkembangan sistem irigasi persawahan dan didorong oleh peran pemerintah. Hanya saja, sayangnya menurut saya ikan yang dominan dibudidayakan untuk sistem mina padi ini adalah ikan non endemik kita, karena yang dibudidayakan hampir selalu adalah ikan nila (ikan introduksi!). Pada
tahun 1934, pengembangan minapadi banyak diarahkan ke daerah-daerah di luar
Jawa. Pada tahun 1950-an budidaya minapadi telah menyebar di pulau-pulau di
Indonesia. Pada masa ini luas pertanaman minapadi mencapai 50.000 ha dengan
rata-rata produksi 100 kg/ha/tahun. Luas pertanaman padi meningkat pesat pada
tahun 1960-1969 namun menurun antara tahun 1974-1979 seiring dengan
diterapkannya program intensifikasi pertanian oleh pemerintah. Pada tahun
1990an, pertanaman minapadi telah dilakukan di 17 provinsi di Indonesia. Pada
tahun 1980-1984 areal pertanaman padi meningkat pesat mencapai 137.384 ha pada
tahun 1982. Hampir semua daerah pengembangan ini berlokasi di Jawa. Pada tahun
1985, luas pertanaman padi di Jawa mencapai 69% dan Sumatra mencapai 15% dari
total pertanaman padi di Indonesia. Produksi perikanan dari minapadi pada tahun
1975-1985 meningkat sekitar 200%. Salam Lestari! Sembari membayangkan sistem mina padi yang membudidayajan ikan asli (native fish) Indonesia!
* Foto-foto merupakan bagian dari behind the scenes Jejak Petualang
Trans7. Saya abadikan di Sleman bulan Februari
2015. Saat itu saya, Medina Kamil, dan Eko Priambodo sedang membuat
liputan untuk membangun kesadaran, mengingatkan kembali tentang kondisi
(serta pentingnya) dan perlakuan kita terhadap air tawar yang unik
sekaligus kondisi terkini utamanya di Pulau Jawa. No
watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially
for
commercial purposes) without my permission. Don't make money with my
pictures
without respect!!!
Comments