Kanjeppang atau Lingula Unguis: Obat Kuat Gratis dari Alam dalam Tanda Kutip Masyarakat Tarano, Pulau Sumbawa
Tak lelah saya ingin kembali mengungkapkan, betapa ‘kaya’-nya alam negeri kita. Memang banyak pemanfaatan yang sebagian besar tidak ramah lingkungan, misalnya saja kalau kita ingat bagaimana luasan hutan tropis milik kita saat ini misalnya, ataupun semakin berubahnya kondisi ekosistem pesisir di berbagai daerah di Indonesia dengan berbagai alasan. Tetapi saya selalu ingin untuk terus melihat kekinian alam negeri kita dari sisi yang benderang, dari sisi harapan, dari sisi semangat, dari sisi positifnya. Saya bukan seseorang yang memiliki ‘power’ kuat untuk menghentikan deforestasi yang terjadi di negeri kita, saya juga bukan orang yang mampu menahan laju perubahan ekosistem yang banyak melanda kawasan pesisir di Indonesia. Melalui catatan kecil ini saya hanya setidaknya mencoba mamaparkan bahwa alam yang sehat selalu terbukti mampu memberikan manfaat abadi bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Satu dua orang yang kemudian tergerak untuk mengkampanyekan pemahaman sederhana ini sudah lebih dari cukup bagi saya, syukur-syukur lebih, Puji Tuhan, Alhamdulillah! Beragamnya kondisi geografis negeri kita berikut potensi yang ada dan perubahannya, secara otomatis membentuk masyarakat yang ada di sekitarnya. Misalnya dari segi cara pemanfaatan atau perburuan di alam yang dilakukan, pola konsumsi, pola budidaya, dan lain sebagainya.
Informasi awal tentang “kanjeppang” saya dapatkan hampir
setengah tahun lalu, di sela-sela obrolan dengan beberapa nelayan di Teluk
Saleh. Saat itu adalah musim telur ikan terbang di teluk terbesar di Kepulauan
Nusa Tenggara ini, dan saya bersama tim saat itu sedang mendokumentasikan
bagaimana masyarakat mengkonversi musim menjadi sebuah komoditas. Saat ini
telur ikan terbang (flying fish)
termasuk dalam komoditas ekspor bernilai ekonomis tinggi. Yang menarik dari
nelayan Teluk Saleh adalah cara eksploitasinya yang menurut saya masih win-win solution, baik bagi masyarakat,
alam dan termasuk spesies ikan terbang itu sendiri. Catatan tentang hal ini
sudah pernah saya tuliskan di blog iseng ini beberapa waktu lalu. Anda bisa
mencarinya dengan kata kunci “ikan tuing-tuing”, sebutan masyarakat nelayan
Teluk Saleh terhadap ikan terbang. Tuing-tuing sebenarnya adalah bahasa Bugis,
mengingat banyak nelayan di perairan Teluk Saleh sebenarnya adalah keturunan
perantau Bugis yang kemudian menetap dan membangun unit sosial di beberapa titik
di kawasan pesisir Teluk Saleh. Kanjeppang adalah binatang dalam keluarga
kerang-kerangan, memiliki kandungan protein yang sangat tinggi, yang mendasari
eksploitasi dalam skala kecil terhadap spesies purba yang hampir tidak pernah
berevolusi ini. Populasinya di pesisir Teluk saleh luar biasa banyak jadi
jangan khawatir pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat ini akan menekan
populasi spesies ini secara masif. Malah ini menurut saya adalah pencerahan
terhadap adanya potensi terpendam yang ada di wilayah ini yang semestinya dapat
dimanfaatkan secara berkelanjutan bagi seluruh masyarakat. Sehingga tidak ada
semacam ‘kepatuhan’ tidak sadar terhadap dogma bahwa protein itu harus selalu
dipenuhi dari ikan atau binatang lainnya yang harus selalu merupakan hasil
budidaya atau peternakan saja.
Awalnya agak sulit menemukan deskripsi ilmiah dari spesies
purba ini (living fossil) karena nama
kanjeppang adalah nama yang sangat lokal berlaku di Kecamatan Tarano, Sumbawa.
Saya harus kurilingan di gugel berulang-ulang kali dengan
berbagai kata kunci sampai akhirnya menemukan rujukan yang cukup. Ada yang
menyebut kanjeppang sebagai kerang
berekor, karena memang memiliki ekor putih panjang seperti toge, tetapi ini
adalah toge raksasa. Sejatinya ekor ini adalah kaki yang dijadikan penopang
ketika spesies ini mencari makan. Kanjeppang sebenarnya hidup di dalam air
tetapi juga mampu bertahan di dalam lumpur pantai untuk beberapa waktu. Karakter
hidup kanjeppang sebenarnya begini, saat pantai pasang maka spesies ini akan
keluar dari sarangnya dan kemudian ‘berdiri’ dengan menggunakan ekornya.
Cangkang akan dibuka untuk menangkap plankton yang melintas atar terbawa arus.
Konon (saya belum melihatnya sendiri), saat terendam air pasang ini cangkang
kanjeppang akan mengeluarkan warna tertentu apalagi ketika hari gelap, sehingga
plankton yang tertipu akan tertarik untuk mendekat, kanjeppang tinggal
‘melahap’-nya. Karakter berburu yang unik inilah kemudian ada yang menyebut
spesies purba ini dengan “kerang lampu”. Saya akan merangkum secara singkat
deskripsi ilmiah spesies unik ini. Kanjeppang atau Lingula unguis termasuk dalam filum Brachiopoda, salah satu marga tertua spesies perairan asin yang masih
hidup hingga hari ini. Di dunia terdapat ratusan jenis dan tersebar di berbagai
belahan bumi mulai dari New Kaledonia, Jepang, dan juga Indonesia. Pertumbuhan
spesies ini konon cukup lambat, tentakel/ekor/kakinya ini hanya mampu tumbuh
sepanjang 5 cm dalam waktu 12 tahun. Hanya saja hebatnya binatang ini mampu
memijah sepanjang waktu sehingga populasinya memang luar biasa banyak. Fungsi
ekologis kanjeppang adalah sebagai makanan ikan-ikan predator (ada yang
memanfaatkannya sebagai pakan ikan budidaya di perairan asin dan payau).
Kanjeppang juga dianggap sebagai indikasi perubahan atau pencemaran lingkungan
pesisir. Yang paling menarik dalam konteks bahan pangan untuk manusia,
kandungan protein kanjeppang mencapai hampir 70 %! Para nelayan yang memberi informasi
awal tentang hal ini tidak tahu tentang hal ini, karena mereka hanya tukang
makan saja, tetapi petunjuk menarik memang terucap saat itu adalah bahwa
“Kanjeppang ini bisa jadi obat kuat lho Bang Mek!”. Saya menyimpulkannya ini
pasti berkaitan dengan protein tinggi dan memang benar begitu adanya.
Perburuan yang dilakukan oleh masyarakat hanya bisa
dilakukan saat air sedang surut, yakni ketika kanjeppang bersembunyi di dalam
pasir berlumpur di kawasan pantai menghindari pemangsa dan paparan sinar matahari.
Kanjeppang bersembunyi di dalam sarang mereka di dalam pasir pantai tersebut
tetapi ada petunjuk keberadaannya, yakni lubang sarang yang berongga kecil dan gepeng. Masyarakat tinggal menancapkan
sekop yang mereka bawa di sekitar lubang tersebut sedalam mungkin dan kemudian
mencongkelnya. Hasilnya biasanya selalu lebih dari lia ekor kanjeppang dan
kalau sarangnya bagus bisa puluhan kanjeppang isinya (spesies ini suka
bersembunyi bersamai0ramai dalam satu lubang). Waktu efektif perburuan yang
bisa dilakukan dalam sehari hanya sekitar 3-4 jam saja selama jeda pasang surut
yang berlaku di pantai tersebut. Perburuan juga tidak dilakukan setiap hari
karena meski memiliki kandungan nutrisi yang tinggi, kanjeppang tetaplah bukan
pangan populer. Padahal dengan kandungan protein tinggi seperti ini, yang
gratis pula, tinggal bawa sekop ke pantai, seharusnya ini lebih menarik dikonsumsi
dibandingkan ikan asin misalnya. Tetapi itulah kebiasaan kita semua, kalau
sudah cocok di lidah, meski sebenarnya tidak ada nutrisi yang penting sekalipun
tetap akan sering dikonsumsi. Olahan kanjeppang yang sering dibuat masyarakat
Tarano adalah kuah asam buah kelee, atau kuah asam buah kelor. Rasanya luar
biasa segar memang, apalagi disantap saat masih panas-panas dengan tambahan
sambal. Lalu bagaimana dengan anggapan bahwa kanjeppang adalah “obat kuat”-nya
masyarakat Tarano? Saya tidak seberuntung itu bisa membuktikannya, yang saya
ingat sore itu usai proses dokumentasi selesai, dan perut juga sudah kenyang
menyantap kanjeppang kuah asam buah kelor, saya terlelap di atas pasir pantai,
dibuai angin pasang yang datang dari tengah Teluk Saleh. Hehehehe!
* Pictures mostly by Me at Teluk Saleh, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Some pictures captured by Eko Priambodo (screen captured Sony PMW 200). No watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with my pictures without respect!!!
Comments