Tarian Ombak Tepi Selatan Samawa: Mencari Brang Bako, Brang Tiram dan ‘Lavender’ Pulau Sumbawa (Bagian 1)
Sudah sangat lama saya tidak menulis cerita perjalanan secara kronologis seperti ini. Masih tentang Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Kali ini tentang ragam warna salah satu titik kehidupan masyarakat di garis pesisir selatannya, yakni Kampung Brang Bako, yang secara administratif masuk dalam wilayah Desa Jotang Beru. Perjalanan mencari Brang Bako (nama ini konon berasal dari nama sungai yakni Brang Bako, brang=sungai) ini telah dimulai sejak saya masih berada di Jakarta. Setelah menyelesaikan semua persiapan perjalanan menuju ke Teluk Saleh yang juga berada di Pulau Sumbawa, sebuah image peta digital tiba-tiba memenuhi layar ponsel saya, pertanyaan sederhana muncul kemudian, bagaimana kondisi arah ‘sebaliknya’ dari Teluk Saleh ini. Rupanya ada penampakkan yang begitu menyita mata, dua buah aliran sungai besar meliuk-liuk indah disana. Hitungan kasar saya salah satu sungai yang terlihat di sana (kemudian saya tahu namanya adalah Brang Tiram), panjangnya setidaknya lebih dari lima kilometer. Teori sederhana saya, dimana ada aliran air tawar yang besar, pasti ada kehidupan yang cukup ‘mapan’ di dekatnya. Pertanyaan saya ini kemudian dijawab seorang rekan di Adventurous Sumbawa (Bang Takwa) bahwa disana ada kampung kecil yang cukup terisolasi bernama Brang Bako. Awalnya rasa penasaran saya adalah lebih tentang apa kira-kira isi sungai yang lokasinya cukup terisolasi ini di pesisir selatan ini (siapa tahu ada spesies ikan tertentu yang menarik misalnya), tetapi kemudian semangat yang lebih dominan adalah mencari perbandingan antara sisi utara Kecamatan Empang yang begitu ramai dengan sisi selatannya yang bisa jadi sangat sunyi.
Sepuluh hari pertama dokumentasi Jejak Petualang yang kami
lakukan di Kecamatan Empang adalah kesibukan menyelesaikan enam tema penting
lainnya di sekitar Teluk Saleh. Proses berjalan sangat lancar meski kami
sesekali tertatih melawan panasnya matahari Pulau Sumbawa di bulan Januari.
Salah satunya adalah tentang ‘kemegahan’ musim ubur-ubur yang setiap tahun
‘meledak’ di Teluk Saleh, teluk terbesar di seluruh kepulauan Nusa Tenggara. Di
antara sengatan panas sepuluh hari pertama itulah segala persiapan menuju Brang
Bako dicicil satu demi satu. Mulai dari menghubungi kontak lokal yang terdiri
dari para pemuda desa (saya salut dengan semangatnya meskipun secara komunikasi
saya agak kurang lancar karena keterbatasan bahasa saya), menghubungi aparat
desa, mencari moda transportasi yang cocok untuk jalan ke Brang Bako, persiapan
logistik, peralatan pendukung seperti genset, dan lain sebagainya. Untungnya kami mendapat ‘suntikan’
semangat dari rekan-rekan Adventurous Sumbawa yang menyatakan akan bergabung
juga dari dua sahabat dekat kami dari Desa Aipaya (Bang Yamin dan Pak Gading)
sehinggga hectic persiapan menuju
Brang Bako ini tidak sampai membuat ‘pecah’ korek api saya (daripada pecah
kepala?). Hehehehe. Kepada semua pihak ini termasuk para pemuda Desa Jotang
Beru secara pribadi sekali lagi saya mengucapkan banyak terimakasih untuk
semangat kebersamaannya menyelesaikan semua ‘tantangan’ yang ada. Mohon maaf terutama
kepada rekan-rekan dari Desa Jotang Beru (Bro Muhammad Amiruddin dan
kawan-kawan) jika saya ada salah kata dan mungkin pernah terlalu ‘keras’
berbicara, semuanya demi hasil terbaik dan kebaikan kita semuanya. No offense
ya bro?!
Jika ditarik garis lurus dari
jalur transportasi di pesisir utara Pulau Sumbawa yang mulus itu, Kampung Brang
Bako jaraknya tidak lebih 30 kilometer. Namun jalan menuju Brang Bako ini
memang memiliki karakternya sendiri yang harus dijalani dengan konsentrasi
tinggi. Saya pernah melintasi jalur-jalur transportasi berat di berbagai daerah
di negeri ini, jalan menuju ke Brang Bako menurut saya termasuk cukup mengandung
resiko. Karenanya sejak awal perjalanan kami melaju cukup pelan. Awalnya
jalanan berbatu itu cukup bagus dan rata meski banyak lobang besar di beberapa
titik. Setelah melewati ‘puncak teletubbies’ (saya menyebutnya demikian karena
lahan pertanian luas berbukit di titik ini menyerupai perbukitan di film
animasi Teletubbies) jalan berupa turunan curam yang mana sebelah kiri tebing
curam dan sebelah kanan kita jurang cukup dalam. Saya tidak takut melewati
jalur yang ada, banyak jalur berat lainnya yang pernah kami ‘lahap’, tetapi
jujur baru kali ini dalam sejarah perjalanan saya, membawa semua peralatan (termasuk
dua buah sampan kayu besar) dan rekan-rekan lokal yang terlibat dalam proses
dokumentasi dengan alat angkut bernama dump
truck! Hahaha! Untungnya semangat kami dan semua pihak mendapat dukungan
juga dari Yang Kuasa, jalanan kering kerontang hingga kami tiba di Brang Bako
tiga jam kemudian (kami cukup banyak berhenti medokumentasikan perjalanan dan
juga mengabadikan beberapa titik menarik di jalur yang sudah berada di tepi
laut). Andai saja ketika kami melintas turun hujan (atau taruhlah sehari
sebelumnya turun hujan), ceritanya akan jauh berbeda karena bisa jadi kami stuck di tengah jalan. Padahal ketika
baru meninggalkan Desa Jotang Beru kami sempat khawatir karena mendung tebal
‘menggantung’ di langit, rupanya mendung ini kemudian tertiup angin ke arah
utara, menemui Saleh (maksud saya Teluk Saleh).
Sejak awal terasa sekali bahwa
meskipun berhadapan Samudera Hindia, wilayah selatan Kecamatan Empang ini
bercorak agraris dan bukannya bahari (sebagai gambaran tidak ada satu pun
sampan di Kampung Brang Bako, apalagi perahu, thats why saya sengaja membawa sampan kayu dari Empang karena
kemungkinan kami akan main air di sungai-sungai yang ada). Ladang jagung yang
baru ditanami terhampar sangat luas di seluruh penjuru perbukitan, termasuk
juga ladang-ladang bukaan baru yang
masih berserak pohon-pohon yang baru ditebang dan atau dibakar. Jujur saya
sedikit terganggu dengan ekspansi pembukaan lahan ini karena di beberapa titik
sepertinya tidak memperhatikan ‘kesehatan’ kawasan pesisir di wilayah ini
(entah kenapa sampai ini bisa terjadi). Karena beberapa lahan yang baru dibuka
saya lihat hingga jauh ke pinggir menembus garis pantai?! Semestinya ada
regulasi lokal yang mengatur tentang pembukaan lahan baru ini sehingga hutan di
tepi pantai jangan sampai dibabat habis karena efek jangka panjangnya bisa jadi
tidak baik (atau mungkin sebenarnya ada regulasi lokal tetapi banyak masyarakat
yang abai karena didesak urusan perut yang lebih penting). Saya sulit
berkata-kata kalau sudah urusan perut ini, karena ngurusin perut saya sendiri
saja saya tidak mampu, buktinya saya tetap one
pack hingga hari ini.
Karena sedang musim cocok tanam,
tak heran ketika kami tiba di Brang Bako yang ‘menyambut’ kami hanya Kepala
Dusun dan istrinya, warga kampung lainnya semuanya ada di ladang masing-masing.
Kesan awal saya terhadap Kampung Brang Bako, memang tenang tetapi sunyi dan
panas! Setidaknya terdapat dua puluh rumah yang bentuk dan warna catnya seragam
(hasil dari program relokasi yang dilakukan pemerintah pada tahun 2011 melalui
program Komunitas Adat Terpencil). Awalnya kampung ini katanya berada di
‘bibir’ pantai namun karena pernah ‘disapu’ tsunami kemudian dipindahkan lebih
ke darat sekitar 100 meter dari garis pantai. Sisa hari pertama kemudian kami gunakan
untuk menurunkan sampan di Brang Tiram (3 km dari kampung) mumpung jalan sedang
kering, menetapkan dua rumah sebagai basecamp
kegiatan, dan terakhir adalah mencari tempat untuk mandi yang kemudian kami
temukan di sebuah sungai kecil berair jernih sekitar 200 meter dari kampung. Tidak
banyak sebenarnya yang akan kami dokumentasikan di Brang Bako, berbanding
terbalik dengan peralatan logistik dan total jumlah rombongan yang hampir 30an
orang. Hanya tiga hal saja yang akan kami garap. Pertama adalah tentang tanaman
keterkaitan masyarakat dengan tanaman geluning,
perburuan pesisir yang disebut jaring
ombak, dan terakhir adalah mencari jawaban apa isi sungai di sekitar
kampung terpencil ini. Karenanya sejak menginjak Kampung Brang Bako saya
bertekad bahwa apa yang kami garap disini haruslah menjadi ‘sesuatu’ yang
bernilai bagi program kami dan juga masyarakat luas untuk jangka panjang dan
bukannya ‘sesuanu’ yang biasa-biasa saja. Dari sejak melintasi jalanan dengan berbagai karakter medan menuju kampung ini, lalu melihat euforia pembukaan lahan, juga 'penampakan' lainnya, langsung terasa betapa tidak terperhatikannya sisi selatan ini.
Sudah cukup kiranya curcol saya, kini saatnya menuliskan
sedikit tentang tanaman geluning. Kenapa
sedikit, karena memang bahkan setelah mencari informasi kemana-mana saya tidak
mendapatkan referensi yang bisa menambah wawasan saya tentang tanaman unik ini.
Semoga ada pembaca blog iseng ini yang bisa membantu saya melengkapi deskripsi
tanaman geluning ini secara lebih
baik ke depannya. Ini pertama kali dalam hidup saya melihat tanaman geluning ini, terimakasih kepada bro
Amiruddin untuk informasinya. Bentuk tanaman semak ini biasa saja menurut saya
sama seperti tanaman semak lainnya yang tidak menonjol dalam sebuah kawasan
vegetasi tertentu. Tumbuh berkelompok setinggi 3 meteran saja di hutan sekitar
pantai yang landai dan berangin. Yang paling mencolok dari tanaman ini
(tentunya ketika musimnya tepat) adalah bunganya yang berwarna ungu dan
mengundang minat banyak kupu-kupu. Kesan pertama melihat tanaman ini yang
terlintas oleh saya ini adalah ‘lavender’nya Pulau Sumbawa. Selama ini
masyarakat Brang Bako banyak menggunakan tanaman ini sebagai pembungkus
ikan-ikan asap yang akan dibawa pulang ke kampung utama (Desa Jotang Beru).
Konon daun geluning ini memiliki
kemampuan menjaga harum ataupun wanginya aroma ikan bakar yang dibawa bepergian
jauh. Waktu itu yang saya lihat malah dipakai untuk alas mengasap ikan agar
aroma ikan semakin harum. Kampung Brang Bako meskipun cukup settle, semua penghuninya konon berasal
dari utara semua, yang artinya kampung terpencil ini hanya ‘hidup’ di
waktu-waktu tertentu saja misalnya saja ketika musim panen dan cocok tanam.
Jadi mobilitas warga ke kampung utama cukup intens, dan ‘oleh-oleh’ berupa ikan
yang ditangkap dari pantai di kawasan ini untuk keluarga di kampung utama adalah
oleh-oleh yang sangat diminati. Namun yang tidak terduga dari daun geluning ini
adalah kemampuannya mengusir nyamuk. Potong saja satu ranting, kemudian bakar
atau taruh saja di kamar ataupun kolong-kolong rumah panggung, nyamuk enggan
mendekat. Saya sulit menjelaskan korelasi antara geluning sebagai pengusir nyamuk dan penjaga wanginya ikan bakar
yang dibawa bepergian tetapi itulah nyatanya.
Saya mencoba melihat potensi geluning di Brang Bako ini secara lebih
luas. Jika memang geluning memiliki
kemampuan mengusir nyamuk, populasi semak liar yang melimpah ini bisa
dikonversi menjadi sebuah produk yang memiliki nilai jual. Dengan disuling
untuk diambil minyaknya misalnya, bisa dihasilkan obat nyamuk gosok asli Pulau
Sumbawa. Siapa tahu?! Silahkan para peneliti dan mungkin investor menggarap
potensi ‘lavender’ Pulau Sumbawa ini. Berikutnya akan saya
tuliskan lebih jelas lagi maksud saya tentang “masyarakat agraris” Brang Bako.
Sementara salam geluning saja dulu!
Hehehehe!
Comments