Pupat Batoq: Kearifan Lokal Rumpon Sungai Arus Deras (Upper River) alaMasyarakat Long Glaat, Mahakam Ulu
Untuk orang-orang Mahakam Ulu, terutama orang-orang Dayak Long Glaat. Sebagian dari kalian menemani kami setiap hari menantang jeram, sebagian lagi menyalakan api unggun ketika hujan dan dingin memeluk pedalaman. Segala usaha dan doa kita rajut bersama, demi mewujudnya harapan terbaik di masa depan, hingga tanpa terasa ternyata kita berpetualang bersama sebagai sebuah keluarga. TERIMAKASIH!
Masih tentang ‘kehebatan’ masyarakat Dayak Long Glaat dalam memanfaatkan perairan tawar di sekitar rumah mereka dengan cara-cara yang ramah lingkungan dan secara otomatis sustainable (berkelanjutan). Dalam catatan sebelumnya saya banyak menyinggung tentang konsep tata kelola perairan yang dinamakan tanaaq peraaq, yaitu semacam konsep konservasi tradisional yang menekankan zonasi dan rotasi zona tangkap. Pembahasannya ada di sini: Masik Nyaran dan Konsep Konservasi. Konsep tanaaq peraaq ini banyak diterapkan di sungai-sungai yang termasuk dalam wilayah ulayat mereka misalnya saja Sungai T, Sungai D U, dan Sungai Ny. Sengaja nama-nama sungainya saya samarkan semuanya karena sungai-sungai ini memiliki potensi ikan air tawar prestisius yang luar biasa hebat. Bukan, saya tidak bermaksud menikmatinya sendiri (sebagai pemancing) tetapi lebih ingin menguji keteguhan rekan-rekan pengunjung blog ini berikut komitmennya kepada sustainable fishing method. Jika Anda adalah seorang yang peduli dengan bag limit, catch and release, dan juga attitude ramah lingkungan lainnya, silahkan email saya, dengan senang hati akan saya bagi jaringan yang saya miliki agar Anda semua dapat mengakses lokasi-lokasi tersebut
Kita kembali lagi ke pupat
batoq. Batoq adalah bahasa
Long Glaat yang artinya “batu” sedangkan pupat artinya jika di-Indonesiakan
kurang lebih semacam tumpukan/perlindungan/tumpukan batu. Secara kasat mata “pupat
batoq” memang berbentuk tumpukan batu yang disusun sedemikian rupa sehingga
menciptakan struktur perlindungan di dalam air sungai berarus deras. Kenapa digunakan
batu dalam pembuatan semacam “rumpon” ini? Ya karena itu tadi, teknik ini
muncul karena kondisi geografis perairan tawar yang spesifik. Dalam konteks ini
adalah bahwa sungai-sungai yang ada di Mahakam Ulu semuanya adalah sungai arus
deras (upper river), jadi memang yang hanya bida dipakai untuk teknik ini
adalah batu-batu berat supaya tidak hanyut dan tentunya tahan lama. Sekali
membuat “pupat batoq” bisa digunakan selamanya. Ini berbeda dengan karakter
rumpon ikan di lokasi yang lainnya. Masyarakat di pesisir Pantai Utara Pulau
Jawa juga banyak menanam rumpon ini untuk ‘mengamankan’ hasil melaut mereka
sehari-hari. Dan rasa-rasanya seluruh masyarakat nelayan di Indonesia mengenal
teknik ini. Jika di laut kita kenal adanya rumpun dasaran yang dibuat dari ban bekas
yang ditenggelamkan dengan pemberat, dengan barang rongsokan yang berat dan
lain sebagainya. Di Kepulauan Seribu di utara Jakarta malah di era Suharto
pernah dibuat banyak rumpon ‘hasil’ menenggelamkan seluruh becak-becak yang ada
di Jakarta, setelah becak dilarang beroperasi di jalanan Jakarta. Dan masih
banyak lagi rumpon lainnya. Ada juga rumpon pertengahan air yang dibuat dengan
pelepah kelapa dan lain sebagainya. Ini belum termasuk model rumpon ikan tuna
di laut lepas yang pastinya akan berbeda lagi bentuk dan bahannya. Maksud dari
tujuan rumpon sama, yaitu menciptakan struktur perlindungan dan menciptakan
rantai makanan di areal tersebut, sehingga ikan-ikan diharapkan akan singgah
untuk makan atau berburu mangsa. Semakin lama rumpon ditanam akan semakin baik
dan padat atau banyak populasi dan ragam jenis ikannya.
Sedikit berbeda dengan rumpon-rumpon yang ditanam di laut
dan juga di muara-muara dan atau di pintu muara sungai, pada teknik “pupat batoq”
agar lebih cepat mendatangkan ikan, maka akan ditaruh makanan yang mungkin
disukai ikan-ikan kecil dan secara otomatis akan diikuti oleh ikan besar yang
suka memangsa ikan-ikan kecil (ingat konsep rantai makanan). Masyarakat Liuq Mulang
dan Lung Tuyoq di Mahakam Ulu seringnya menggunakan tumbukkan daun singkong dan
juga ubinya. Hasil tumbukan kedua bahan ini menciptakan aroma agak tajam yang
sangat khas dan sedikit berminyak (atau bergetah). Hasil tumbukan kedua bahan
ini kemudian akan di masukkan ke dalam ‘rumah’ rumponnya atau di dalam rongga “benteng”
rumpon. Arus yang ada di sungai akan membawa sedikit demi sedikit hasil
tumbukan ini ke luar “benteng” mengikuti aliran arus bawah di sungai dan
mengundang datangnya ikan-ikan kecil di sekitar areal untuk makan. Saat itu karena
alasana teknis suting agar lebih mudah dan jelas, kami membuat pupatnya di
sungai yang agak dangkal sehingga mudah dalam mendokumentasikan bentuk rumpon
dan hal-hal lainnya. Kalau saja waktu itu ‘dibuatnya’ di lokasi yang dalam (up satu
meter) hasil ikannya bisa jadi akan berukuran besar-besar, tetapi faktor kejernihan
air membuat kami urung mengerjakannya. Pertama visibility air yang rendah tidak
mungkin ‘ditembus’ oleh kamera underwater yang kami bawa. Membuatnya pun juga
relatif susah dan memakan banyak tenaga karena harus dilakukan sambil menyelam.
Singkat cerita, meskipun dibuat hanya di badan sungai yang
dangkal saja, hasilnya sangat menjanjikan dan yang pasti teknik ini memang terbukti
sangat efektif diterapkan di sungai upper river. Usai pupat dibuat dan kemudian
diberi umpan berupa tumbukan daun dan ubi singkong, tidak sampai satu jam
hasilnya sudah lumayan cukup untuk lauk seluruh rombongan. Cara menangkap
ikannya dengan cara dilemparkan jaring (jala) dari tepian sungai. Bayangkan
jika rumpon ini dibiarkan selama satu malam atau lebih? Ikan-ikan yang kami
dapatkan saat itu semuanya jenis ikan barb,
spesies utama yang memang mendominasi perairan tawar di pegunungan. Ikan jenis
mahseer (Tor spp) tidak kami dapatkan
karena ikan jenis ini suka bermain di arus-arus utama yang sangat deras, yang
artinya tidak mungkin kami saat itu membuatnya disana karena faktor keamanan
dan kemungkinan pendokumentasiannya juga akan sangat berat. Namun sebenarnya
masyarakat sering membuat “pupat batoq” ini di lokasi-lokasi ikan monster yang
berarus sangat deras itu, tetapi akan sangat melelahkan pembuatannya kata
mereka karena sambil melawan arus deras yang ada. Yang menarik dari orang-orang
Long Glaat, meski teknik ini memiliki chance
untuk mendapatkan hasil tangkapan yang melimpah, mereka tidak melakukan
perburuan dengan teknik ini dengan orientasi volume tangkap yang banyak/besar.
Jadi secukupnya saja untuk sekedar lauk pauk di rumah. Konsep bag limit ala orang Long Glaat ini bagi
saya sangat menarik, karena meski mereka tidak mampu memverbalkannya, menurut
saya ini sebenarnya cara mereka menjaga populasi ikan-ikan kecil yang merupakan
faktor penting dalam kesehatan sistem rantai makanan yang ada di dalam sungai.
Jadi populasi ikan-ikan kecil tetap sehat dan cukup untuk menyediakan sumber makanan
bagi ikan-ikan predator yang lebih besar lainnya seperti ikan hampala/adungan dan ikan nyaran (pelian/sapan/mahseer). Demikian dan salam wild fishing!
* Pictures by Me. Another shot by Eko Hamzah. No watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with my pictures without respect!!!
Comments