Wild Water Indonesia Stop Setrum, Racun, Bom Ikan: Langkah Kecil Untuk Ikut Peduli Masa Depan Perairan Indonesia
Catatan ini awalnya
ditulis di sebuah kampung terpencil di pedalaman Kalimantan Barat. Bukan karena saya
memiliki segalanya sehingga selalu bisa berkeliling negeri tercinta sekaligus
memiliki banyak koyak ini, tetapi justru sebaliknya. Semua perjalanan dalam
sepuluh tahun terakhir ini semata karena banyak orang memberikan kepercayaan
dan kesempatan untuk berkarya, untuk mengabarkan, dan lebih jauh lagi sebuah amanat
untuk menjadi lebih bermanfaat untuk kehidupan banyak orang, juga untuk
beribadah.
Saya percaya, bahwa banyak pihak yang memiliki kepedulian
tinggi terhadap kondisi perairan baik itu perairan tawar (sungai dan danau)
maupun laut yang ada di negeri ini. Namun sepertinya orang-orang seperti ini
jumlahnya tidak banyak dan cenderung ‘kesepian’ dan tidak memiliki kemampuan
sangat besar menyuarakan aspirasi, dan apalagi mengkonversi kegelisahan yang mereka alami dengan tindakan-tindakan
nyata. Ini bukan salah mereka, hanya saja jaman yang memang sepertinya terlalu
dikuasai oleh kerakusan, sikap pragmatis, juga sikap kurang peduli. Manusia
sepertinya terlalu dikuasai oleh ambisi dan keakuan yang luar biasa sehingga
kurang ‘melihat’ sekitarnya dengan lebih tenang dan bijaksana. Beberapa dari sedikit
yang peduli ini memang mampu melakukan tindakan-tindakan nyata yang inspiratif
untuk menyuarakan kegelisahan mereka saat ini. Ada beberapa figur yang menurut
saya pantas untuk disebutkan tetapi semoga Anda semua juga mengenalnya karena
beberapa tindakannya menurut saya merupakan bentuk kepedulian dengan efek masif.
Sebagian lagi tidak mampu berbuat banyak karena terbentur oleh berbagai hal
mendasar pemenuhan kehidupan yang semakin kompleks, ini juga bukan salah mereka sebab memang sudah semestinya demikian, prioritas pada yang primer dan sekunder. Sekarang ini Puji Tuhan, seorang perempuan
yang menjabat sebagai menteri perikanan dan kelautan Indonesia menurut saya cukup
inspiratif dan lantang dalam ‘membela’ perairan Indonesia. Suaranya yang
lantang tersebut selalu mewarnai kebijakan-kebijakannya yang tidak populer demi
menjaga perairan dan segala potensinya agar dapat dinikmati oleh masyarakat
Indonesia dan generasi penerusnya, utamanya berkaitan dengan spesies bernama
“ikan”. Meskipun jika kita lihat usaha mulianya ini tidak mudah karena banyak pihak di negeri ini yang telah 'terbeli' oleh kekuatan asing juga ketamakan mencoba menghadang upaya-upaya mulia perempuan ini.
Tetapi saya juga percaya bahwa banyak juga orang yang abai
dengan apapun kondisi perairan yang ada di Indonesia ini. Banyak orang yang mengeksploitasi
perairan kita hanya memikirkan volume dan profit yang melimpah, tanpa ada
kontribusi apapun terhadap perairan. Banyak orang sangat acuh dan menganggap
perairan Indonesia tidak penting untuk dipikirkan (padahal nyatanya sangat
jarang orang tidak menyukai lauk pauk berupa ikan). Banyak orang lagi karena
tergoda oleh hasil melimpah tetapi dengan cara dan waktu kerja yang singkat,
terus mengesploitasi perairan dengan ‘rakus’ seakan-akan mereka,
mentang-mentang diciptakan sebagai manusia, memiliki semua yang ada di dalam
air. Abai pada tanggung jawab bahwa perairan dan juga isinya, yang sejatinya
adalah titipan yang harus diwariskan kepada generasi selanjutnya. Orang-orang
yang seperti ini bisa berasal dari berbagai kalangan, dan bahkan dari kalangan sportfishing di Indonesia sendiri.
Bahkan sialnya berdasarkan pengamatan saya sendiri di media sosial juga di
lapangan di berbagai daerah, ada banyak pemancing sport yang memiliki mental “rakus”
melampaui para nelayan. Selalu menginginkan hasil memancing yang banyak, tetapi
tidak pernah berkontribusi apapun terhadap perairan. Sialnya lagi, jika hasil
memancingnya kurang baik kemudian mengeluarkan sumpah serapah semaunya.
Alih-alih prihatin dan kemudian mulai tergerak hatinya untuk lebih peduli,
lebih membuka hati, tentang apa yang sebenarnya terjadi di perairan Indonesia
saat ini.
Saya telah lama ‘berkonforontasi’ dengan orang-orang seperti
ini yang juga beberapa di antaranya adalah rekan-rekan memancing saya sendiri. Tidak
usah berkaitan dengan tindakan berbahaya melawan para pelaku setrum, racun dan
bom ikan, melakukan tindakan catch and
release terhadap spesies ikan yang mulai langka saja mereka sangat sulit
melakukannya. Apalagi menerapkan konsep bag
limit terhadap ikan yang dibawa pulang? Bag
limit adalah etika untuk membawa ikan pancingan secukupnya saja berdasarkan
kemampuan konsumsi sendiri atau maksimal satu keluarga yang dia miliki. Yang
ada di Indonesia, bag limit yang
diterapkan adalah bag limit KW 10,
yakni membawa ikan sebanyak mungkin untuk disimpan selama satu minggu atau satu
bulan di dalam mesin freezer dan atau
untuk dibagikan ke seluruh RT dengan alasan sosial. Oh my God! Yang menarik
dari fenomena bag limit untuk satu RT ini adalah, ketika banyak orang
menghimbau untuk lebih arif dalam membawa jumlah ikan yang dibawa pulang,
jawaban mereka lebih ‘nyaring’. Kapal gue sendiri, duit gue sendiri, bensin gue
sendiri, suka-suka gue dong mau bawa pulang ikan seberapapun banyaknya?! Inilah
fenomena yang banyak terjadi di Indonesia dan sialnya lagi banyak yang
mendukungnya dengan berbagai alasan! Oh ya hampir lupa, ada juga yang mengambil
jalan paling aman terhadap polemik catch
and release dan bag limit ini
dengan,”Kalau urusan itu sih terserah suka-suka orang itu sendiri deh, gue gak
mau campurin!” Ucap orang-orang seperti ini sambil terus memancing di jalur
‘aman’. Hehehehe! Intinya memang tidak banyak orang yang suka meniti jalan
terjal dan berliku, apalagi terkait hobi di perairan bernama sportfishing ini. Sejujurnya
saya juga sedang belajar untuk menjadi lebih arif dalam menekuni hobi ini.
Perjalanan memancing saya masih terhitung ‘kemarin sore’ dibandingkan dengan
banyak orang lainnya, tetapi sudah sejak lama saya telah memutuskan untuk lebih
memiliki respect, terhadap perairan dan segala potensinya, terhadap masyarakat,
dan juga terhadap sisa nafas saya.
Kegelisahan tentang kondisi perairan di negeri ini semakin
memuncak setelah bulan lalu saya berada di sebuah daerah di Sulawesi Tengah.
Sebuah desa pesisir menjadi basecamp kegiatan kami selama delapan hari. Selama
ini, di sela-sela menyelesaikan tugas, interaksi dengan masyarakat yang
biasanya meninggalkan kesan yang menyenangkan dengan banyaknya pengetahuan dan
keluarga baru, yang terjadi di Sulawesi Tengah saat itu justru sebaliknya. Ada
kecewa yang sangat ketika kita melihat di depan mata, begitu banyak orang
tertawa dan bangga dengan aktifitas penangkapan ikan tidak ramah lingkungan
yang mereka lakukan dalam kehidupan mereka selama ini. Bahwa menceritakan
kegiatan mengebom ikan, meracun dan menyetrum ikan itu seperti sebuah kegiatan
yang sangat menyenangkan, hingga ketika mereka kemudian menceritakannya
kembali, seperti ada kesan ingin memamerkan sebuah prestasi tertentu. Apalagi
jika sudah menyebut hasil yang didapatkan dengan cara ‘biadab’ tersebut, mereka
seperti pernah meraih sebuah pencapaian penting dalam laku hidup memanfaatkan
potensi perairan yang ada di sekitar mereka. Entahlah, tetapi saya sungguh
tidak percaya, jika di dunia modern seperti sekarang dengan begitu banyaknya
arus informasi, masih ada yang tidak mengerti bahwa ketiga kegiatan di atas
adalah “pembantaian” terhadap spesies perairan dan sekaligus kebiadaban, karena
menghancurkan kemungkinan generasi penerus menikmati berkah perairan yang ada.
Kita ambil contoh tentang perairan dangkal di kawasan pesisir misalnya,
kegiatan mengebom ikan praktis menghancurkan rumah-rumah ikan, bukan hanya
untuk satu atau dua tahun ke depan, tetapi bisa jadi malah untuk selamanya.
Mereka ini tidak hanya ingin mendapatkan semua ikan yang ada di lokasi
tersebut, termasuk juga ingin menghancurkan semua potensi yang ada. Padahal
andaikan potensi tersebut ‘dipetik’ dengan cara yang berkelanjutan (sustainable), hasilnya tidak akan pernah
habis. Tetapi itulah kelemahan manusia, begitu mudah diruntuhkan imannya oleh
godaan ketamakan dan kenikmatan sesaat. Saya tahu bahwa manusia perlu makan,
dan kebutuhan lainnya melalui hasil mereka bekerja. Tetapi bukankah begitu
banyak pilihan? Kenapa begitu banyak orang hanya ingin melalui jalan pintas
saja? Cepat kaya dengan korupsi dan lain sebagainya, cepat menghasilkan uang
dengan bertindak kriminal dan lain sebagainya. Ingin hasil ikan yang banyak
dengan bom ikan racun dan setrum?! Ingin lulus dengan hasil baik dengan
‘membeli’ skripsi, dan lain sebagainya. Ingin cepat naik jabatan dengan
menjilat atasan dan ‘melacurkan’ diri?!
Wild Water Indonesia dari awalnya digagas sebagai sebuah
sikap ataupun perilaku sederhana, keterbaruan pemikiran dari sebuah usaha
kecil-kecilan bernama Batanta Popper yang mengkhususkan pada pembuatan umpan popping dengan target ikan-ikan Giant trevally. Wild Water Indonesia ini
mungkin hanyalah sebuah nothing atau
bisa jadi sebuah something. Atau bisa
jadi merupakan koreksi pada diri saya sendiri yang mungkin pernah melakukan
kesalahan di masa lalu terkait hobi memancing saya. Apapun itu, Wild Water
Indonesia dimaksudkan wewujud pada tindakan-tindakan nyata yang mungkin
bermanfaat untuk kehidupan sebanyak mungkin orang, meskipun itu dilakukan
melalui cara-cara sederhana dan langkah-langkah kecil yang sangat mungkin tertatih
akibat keterbatasan diri saya sendiri yang juga masih harus ‘mengais’ hidup. Syukur-syukur,
hasrat untuk memberi tambahan nilai pada hobi memancing ini bisa menular ke
khalayak yang lebih luas lagi. Karena menurut saya, masa iya keinginan pada
sebuah kebahagiaan itu selalu harus mewujud pada bentuk-bentuk kesenangan
semata, bukankah menjadi lebih peduli juga malah bisa memberi kita kebahagiaan
yang lebih banyak lagi?! Dalam konteks sportfishing, apakah iya kita sebagai
pemancing itu hanya bisa melulu memikirkan kesenangan semata tanpa peduli
lingkungan tempat kita ‘bermain’ tersebut? Bentuk-bentuk kesenangan itu antara
lain banyaknya sambaran dari ikan target, perjalanan ke lokasi memancing yang
indah, ikan-ikan yang besar dan banyak, atau ikan-ikan bergengsi yang semakin
sulit didapatkan, berkumpul bersama sesama pehobi, memancing untuk
‘menghindari’ berbagai hal, dan lain sebagainya? Apa iya kita dengan segala
berkah yang kita miliki sehingga bisa menekuni hobi memancing (yang katanya
mahal ini), hanya akan menumpahkannya dalam bentuk yang menyenangkan saja? Di
sisi lain, perairan tawar dan laut terus menerus tertekan dengan semakin
banyaknya polutan, tingginya tekanan populasi ikan akibat overfisihing, dan yang lebih parah adalah cara tangkap ikan yang
sangat merusak (setrum, racun, dan bom ikan). Belum lagi jika kita mengingat
kegiatan ilegal fishing yang untungya
kini begitu getol diperangi oleh pemerintah kita saat ini?! Dan Banyak lagi
perubahan pada ekosistem perairan yang terjadi oleh berbagai faktor lainnya.
Kaos Wild Water
Indonesia (WWI): Stop Setrum, Racun, Bom Ikan adalah pernyataan paling
keras pertama yang saya lakukan sebagai pemancing dalam rangka untuk lebih
peduli, dan tidak mengejar kesenangan semata. Kaos ini, sama seperti dua seri
kaos WWI sebelumnya tidak dimaksudkan sebagai sebuah lahan usaha untuk
mendapatkan keuntungan (berdagang), tetapi lebih untuk menjalin silaturahmi
dengan individu-individu lain yang memiliki kegelisahan yang sama. Memang dalam
rangka menyebarkannya mau tidak mau harus meniru cara yang mungkin terkesan
pragmatis atau biasa. Ini semata karena keterbatasan saya pribadi yang tidak
memiliki banyak uang untuk menyebarkan kaos ini secara gratis dengan menanggung
semuanya baik itu ongkos design, produksi, dan pengirimannya. Oleh karenanya
saya kemudian memanfaatkan media sosial untuk menjaring kegelisahan yang sama
tersebut. Respon yang saya terima sungguh mengharukan, ternyata saya tidak
sendiri. Sejak awal saya juga sudah menegaskan kepada siapapun yang
menginginkan kaos iseng ini, konteksnya tidak membeli, tetapi menyumbang.
Berapapun yang mereka kirimkan ke rekening saya, murni untuk menanggung ongkos
produksi kegelisahan yang sama tersebut. Syukur-syukur kemudian ada lebih dari
itu semua, sepertinya akan begitu, karena melalui jalur pribadi banyak pihak
yang mengatakan akan berkontribusi dengan nilai yang lebih banyak dari yang
saya tuliskan, maka kelebihan itu kemudian akan saya alihkan pada
langkah-langkah kecil berikutnya. Tentunya langkah-langkah kecil tersebut akan
saya lakukan pada waktu dan tempat yang semestinya, dan bisa jadi tidak dalam
waktu dekat ini, lagi-lagi karena keterbatasan saya sendiri yang juga harus
berjibaku mencari penghidupan. Kapanpun itu, langkah kecil berikutnya tersebut
akan saya ‘laporkan’ kembali melalui ranah media sosial sehingga semua pihak
dapat melihatnya secara langsung.
Seseorang pernah berkata, jika kita tidak bisa berlari, maka
cobalah untuk berjalan. Apapun makna dari sebuah kaos iseng Stop Setrum, Racun, dan Bom Ikan ini,
apapun resiko dan tantangan yang kemudian akan menghinggapinya ketika kita
memakainya nanti, saya ingin mengucapkan beribu terimakasih karena rekan-rekan
semua telah menjadi bagian kegelisahan ini. Beberapa dari kalian pernah
melakukan sesuatu bersama-sama dengan saya di daerah masing-masing sebagai
sahabat, sebagian lagi belum pernah saya kenal secara langsung. Hari ini ketika
saya kembali ke kota Pontianak, setelah sepuluh hari di pedalaman dan kemudian
kembali bersentuhan dengan ‘dunia’ ramai yang berbeda, hampir seratus orang
telah menyatakan diri menjadi bagian dari kegelisahan terhadap ekosistem
perairan negeri tercinta ini. Semoga langkah-langkah kecil yang kita lakukan di
daerah kita masing-masing, saya berharap bisa ada disana dan melakukannya
bersama-sama, meski itu bisa jadi dalam kesendirian (karena memang pernyataan
selugas seperti kaos iseng ini bukan sesuatu yang populer di ranah sportfishing
sebagai sebuah hobi dan juga kehidupan sehari-hari kita yang bisa jadi tidak
ada hubungannya sama sekali dengan yang namanya “kampanye terhadap ekosistem
perairan”), bisa ikut menyumbang pada terciptanya masa depan perairan Indonesia
yang lebih baik. Kontribusi dokumentasi langkah kecil melalui kaos ini sangat
saya harapkan, sementara nantinya akan saya tampung di album SMALL THING CAN
MAKE BIG DIFFERENCE di laman Facebook saya. Dan jika ada waktu akan saya
rangkum juga dalam bentuk tulisan sederhana di website gratisan ini. Semoga
ikan-ikan membalasnya, mungkin tidak untuk saat ini, tetapi untuk anak cucu
kita nanti. Sekali lagi terimakasih banyak, dan salam untuk semuanya! (Laman Peruya, Kalimantan Barat, Mei 2016)
* Pictures by Me. Another shot by Wijayadi, Budhi K, and Patricia R. No watermark on the pictures, but please don't
use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission.
Don't make money with my pictures without respect!!!
Comments