Cerita Dari Pesisir Timur Moloku Kie Raha: Ketika Go Home Bukan Pilihan, dan Ucapan Selamat Pagi Terdengar Lebih ‘Nyaring’ dariBiasanya (Bagian 2)
Salah satu, yang artinya saya mendapatkan nilai sembilan, pelajaran penting yang saya dapatkan dari hobi memancing (khususnya sportfishing) yaitu tentang keteguhan dalam menjalani pilihan dan mengisinya dengan usaha keras agar apa yang diniatkan dapat terwujud (baca: berhasil).
Dalam catatan sebelumnya tentang perjalanan ke pesisir Timur
Pulau Halmahera saya telah menyebutkan bahwa kedatangan saya dan tim JPWF
rupanya disambut dengan ‘meriah’ oleh semua sungai yang ada di wilayah ini,
saking meriahnya sambutan yang ada, airnya menjadi keruh. Hehehe! Perubahan
musim, pergeseran iklim dan apapun itu namanya memang semakian tidak
menentu,dan kita semua terkena pengaruh dari semua ini sadar ataupun tidak.
Padahal dari hasil koordinasi sebelumnya dengan kontak saya di Halmahera Timur,
seharusnya musim telah ‘menginjak’ ke musim kemarau yang artinya seluruh
tingkat kejernihan air sungai cukup baik! Tetapi seperti telah saya utarakan
juga dalam catatan tersebut, kami tidak takut, tidak mundur. Karena memang
pekerja media seperti kami ini, sekali turun ‘berperang’, pantang pulang
sebelum materi tayangan didapatkan.
Now let me talk as an
angler, as sportfisher. Dalam kondisi fishing
ground yang tidak ideal, dalam kasus yang saya hadapi saat itu adalah
keruhnya air sungai, pemancing menurut saya akan terbagi dalam dua kelompok
besar berdasarkan sikap yang akan diambil selanjutnya. Kelompok pertama adalah
yang mayoritas atau umum terjadi dimana-mana, yakni go home. Alias tidak jadi turun mancing di lokasi tersebut, atau
pindah lokasi ke yang kondisinya lebih kondusif, dan langkah-langkah lainnya
yang intinya adalah tidak jadi melakukan kegiatan di spot tersebut. Ini wajar
dan saya sendiri juga sering melakukannya, dengan catatan, bahwa opsi mundur
memang bisa diambil, dan atau ada lokasi cadangan berikutnya yang mungkin
diakses saat itu sesuai dengan waktu dan berbagai hal lainnya yang ada pada
kita saat itu. Kelompok kedua adalah kelompok kecil yang dapat dikategorikan
kelompok yang ngeyel. Ngeyelnya
kelompok kedua ini bisa terjadi pertama karena memang opsi mundur tidak bisa
diambil, jadi mau tidak mau memang harus go ahead! Contohnya ya misalnya
orang-orang seperti saya dan tim JPWF yang memang sudah kadung jauh-jauh datang
dari Jakarta dan apalagi sungai-sungai lain di seluruh daerah ini juga dalam
kondisi yang sama. Atau bisa juga kelompok ngeyel
ini memang tidak memiliki pilihan lain, seperti misalnya pindah lokasi yang
memerlukan cost baru dan lain
sebagainya yang tidak mungkin mereka lakukan karena berbagai keterbatasan yang
ada. Mereka ini adalah kelompok, pokoke
mancing, dan saya juga dapat memakluminya, terkadang juga sering
mengalaminya. Pernah misalnya saya tiba di sebuah desa di Propinsi Kalimantan
Utara, hari pertama, warna air sungai sebening air mineral kemasan yang sering
kita minum, besok pagi banjir bandang telah menerjang dan kita mau tidak mau
harus ‘nangis darah’ di sungai keruh mengais sambaran ikan beberapa hari
berikutnya. Karena pindah daerah tidak mungkin dilakukan, biaya yang sangat
mahal, dan lain sebagainya. Akan tetapi semua selalu ada hikmahnya, jadi selama
kita bisa membuka hati lebar-lebar, percayalah apapun yang terjadi memiliki
pesannya sendiri-sendiri yang dapat kita simpan di sudut sanubari sebagai
tambahan bekal kehidupan kita selanjutnya mencari ikan. Hahahaha!
Memancing di air sungai, atau apapun bentuk fishing ground kita saat itu (selokan,
parit, danau, rawa, laut) bukan perkara mudah. Diperlukan kesiapan mental
yang tidak biasa, diperlukan kerja lebih
keras lagi dalam melakukan semua aktifitas memancing yang kita lakukan, dan
lain sebagainya lagi. Kita tidak bisa lagi memancing sambil leha-leha, pasang aksi sana sini sembari
terus berusaha memenuhi isi memori kamera, tidak bisa sembarangan lagi mengatur
strategi mancingnya, dan lain-lain. Karena jika mode kita tetap seperti
biasanya saja, dapat dipastikan hasilnya adalah membuang waktu energi dan biaya
dalam kebodohan semata. Tetapi jika kita bisa pada mode yang adaptif, pada mode
legawa tetapi tidak mundur dengan situasi yang ada, kita mungkin malah bisa
belajar banyak hal dan kemudian mencapai next
level yag tidak kita duga dan belum tentu semua pemancing berani
melakukannya. Pertama karena resiko kegagalannya terlalu tinggi dan cenderung
tidak enak, dan kedua tidak banyak yang siap mental menanggung kenyataan
tersebut. Jadi lebih baik tidak usah ambil resiko sama sekali. Bukan suatu
kesalahan juga, hak masing-masing orang untuk mengambil sikap apapun. Jadi,
maksud saya adalah, apa yang akan saya sampaikan berikutnya ini adalah untuk
kita, orang-orang yang berani mengambil semua resiko yang ada, yang berani
belajar dari alam apapun kondisinya, dan berani mencapai next level yang tidak
semua pemancing mau menempuhnya melalui kondisi yang tidak ideal. Usai menulis
catatan ini sepertinya saya akan pindah hobi sebagai motivator semangat untuk
para pencari ikan. Hhhhhhh!
Hari pertama di sebuah sungai di Halmahera Timur, saya
menyebutnya dengan nama Sungai S, memberi banyak pemahaman tentang bagaimana
seharusnya kita bertindak menyikapi kondisi yang ada. Pemahaman pertama dan
terasa dalam rasa nyeri di hati adalah, bahwa ketika air sedang pada puncak
surut, kita memiliki kesempatan untuk mendapatkan sambaran-sambaran besar dari
ikan-ikan pemangsa. Pemahaman kedua adalah bahwa kita masih memiliki kesempatan
bergembira di anak-anak sungai yang dangkal dengan lebar sungai yang tidak
seberapa, dengan target ikan-ikan kecil yang oleh masyarakat dikategorikan
sebagai “ikan goreng”. Ketiga adalah hasil perenungan. Sebuah sungai peralihan
(sungai payau) selalu mengalami saat-saat pergantian air dan konda (posisi air diam, tetapi kalau konda-nya surut biasanya disebut meti). Dua pergantian air tersebut yakni
saat air pasang ketika bulan terbit, yang mana air laut masuk ke seluruh
penjuru sungai dan rawa-rawa di sekitarnya. Ini artinya air sungai akan menjadi
lebih jernih, tetapi tentunya debit air akan naik secara drastis, yang akan
membuat seluruh penghuni sungai kemudian menyebar kemana-mana. Kondisi ini
relatif sulit untuk para pemancing karena titik-titik konsentrasi ikan menjadi
sangat sulit diprediksi keberadaannya. Berikutnya adalah saat air surut, yakni
air laut kembali ke lautan akibat terbenamnya bulan. Debit air akan menyusut
secara drastis, dan seluruh penghuni ekosistem akan terkonsentrasi di aliran
utama saja. Kondisi meti di Sungai S
seperti telah saya tuliskan di catatan sebelumnya memungkinkan kita mendapatkan
sambaran. Ini dapat menjadi pegangan strategi nantinya. Saya kemudian
menganggap bahwa ada kesempatan terbaik lainnya yang mungkin diambil yakni saat
air laut mulai pasang (artinya arus di sungai cukup kondusif dan memicu hunting mode ikan-ikan predator), dan
pastinya kondisi air juga akan cenderung bening karena air sungai yang keruh
akan terdesak dan atau ‘dinetralkan’ dengan dominasi air laut yang ada.
Kesempatan lainnya adalah saat air sungai sedang mulai bergerak surut, ini juga
dapat dipastikan air Sungai S masih akan cukup bening.
Tetapi pilihan yang dapat kami ambil rupanya harus kembali
berkurang karena saat pasang terjadi malam hari dan mencapai puncaknya pada
dini hari, oleh karenanya kemudian kami memilih saat-saat awal air sungai akan
bergerak turun (surut) yang terjadi pada pukul 05.30 WIT. Jika ini juga gagal
mendapatkan sambaran, rencananya kami akan bergerak ke sebuah rumah kebun milik
masyarakat, kembali merajut mimpi yang kami hentikan pukul 04.00 WIT tadi (saat
kami berangkat menuju hulu sungai), sembari menunggu puncak surut. Saya adalah orang yang mungkin terlalu
serius, tetapi berada di alam liar, menurut saya kita harus selalu bisa
menyesuaikan diri dan menjadi bagian yang baik dari alam liar yang ada. Sebagai
contoh, saat memancing saya tidak suka berisik tidak jelas, tidak suka dengan
orang-orang yang suka berbicara kotor di alam liar, kurang respek dengan
bunyi-bunyi gedubrakan yang tidak perlu, dan lebih lagi adalah tidak bisa
mentolelir orang-orang yang menyalahkan alam atas apa yang terjadi terhadap
kita. Kata-kata yang sering saya dengar di berbagai trip memancing selama ini
adalah, ikannya tidak ada, padahal orang tersebut belum berusaha dengan
maksimal. Padahal orang tersebut juga baru sekali itu turun mancing ke sungai tersebut,
lalu bagaimana bisa dia searogan itu?! Mentang-mentang dia seorang “manusia”
kah?! Pagi itu, seperti sebuah regu penyusup, kami mendayung perahu-perahu kami
secara perlahan ‘naik’ ke hulu Sungai S yang sempit dan berliku yang dikepung
hutan bakau, untuk menuju salah satu titik yang banyak rebahan pohon. Perahu
saya paling depan, dan saya juga sudah menyiapkan tackle paling heavy duty yang
ada. Sekitar 15 meter dari titik rebahan pohon saya perintahkan kru lokal
berhenti dan mengangkat dayungnya. Satu-satu-satu, atau tidak sama sekali untuk
pagi yang indah ini. Ini adalah istilah sportfishing yang artinya one cast, one
strike/bite, one hooked up/landed. Umpan telah saya lemparkan, jatuh persis di
dekat rebahan pohon, satu retrieve pertama, dan strike!!! Sekilas saya sempat
melihat beberapa bayangan di bawah air, beberapa ikan sepertinya rebutan
menyambar umpan saya sebelum sebuah sebuah tarikan kuat memaksa saya menikamkan
joran ke dalam air agar tali tidak frontal menggesek batang-batang bakau, ikan
lebih perkasa, sangkut terjadi lagi!
Kali ini tiada lagi debat kusir mencari siapa yang berani
turun ke sungai membambil ikan yang bersembunyi di balik akar-akar bakau. Tidak
sampai lima detik motoris saya sudah terjun duluan, disusul satu rekannya yang
berniat membantunya dengan membawa serokan ikan. Memang hanya dengan cara
seperti demikian ikan-ikan pemangsa perairan payau yang berlindung di balik
akar-akar dan atau batang-batang kayu di dalam sungai dapat dinaikkan, ketika
para penyelam pemberani ini memudian memberi isyarat bahwa ikan sudah masuk ke
dalam serokan, saya longgarkan tali sehingga mereka dapat mengangkatnya naik ke
permukaan. Mungkin momen saat itu adalah pagi terbaik selama di Halmahera
Timur, bukan karena kemudian berhasil mendapatkan seekor ikan Indonesian black
bass (Lutjanus goldiei) yang memang kami cari-cari, tetapi karena kemudian saya
bisa mengucapkan selamat pagi ke rekan-rekan tim JPWF, terutama kepada Patricia
Ranieta yang belum pernah sama sekali melihat ‘kegagahan’ Lutjanus goldiei, dengan
sedikit tambahan senyum. Hehehe! Lutjanus goldiei memang bukan ikan
sembarangan, saya tidak mencoba melebih-lebihkan keistimewaan ikan ini di ranah
sportfishing. Memiliki tenaga luar biasa tangguh juga kecepatan manuver luar
biasa, ikan raja di perairan payau. Pemancing yang tidak siap menghadapi
perlawanan ini seringkali dibuat menganga dengan efek-efek yang ditimbulkan
ketika bertarung dengan ikan ini. Rod yang patah berantakan, tali putus
seketika, kita yang jatuh bangun terjerembab, dan lain sebagainya. Itulah
sebabnya spesies yang di Indonesia sering disebut dengan berbagai nama ini (tembaring, naing, somasi hitam)
menduduki peringkat pertama ikan bergengsi dari perairan payau di kalangan
sportfisher dunia. Habitatnya di dunia hanya ada di Indonesia dan di PNG,
sayangnya banyak “fishy pedia” dan fish base dunia menyebut sebaran ikan ini
hanya terdapat di PNG saja, padahal di Indonesia penyebarannya merata terdapat
di seluruh pulau-pulau utama dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Kenapa bisa
begitu bias? Itulah sebabnya tiga tahun terakhir ini saya tidak sudi lagi
menyebut ikan ini dengan nama Papuan black bass, seperti bule-bule itu, yang
sialnya juga diikuti oleh sebagian pemancing Indonesia, karena nyatanya itu
memang kurang tepat!
Mendokumentasikan ulang spesies bergengsi tentunya harus
digarap dengan tenang dan sebaik mungkin, sehingga didapatkan hasil yang
terbaik. Karena Lutjanus goldiei
bukanlah ikan yang jumlahnya sebanyak ikan teri yang berjuta-juta banyaknya di
setiap kawasan. Dan melakukan kerja dokumentasi di sungai payau yang sekitarnya
adalah rawa bakau purba bukan perkara mudah, menyita banyak sekali waktu dan
usaha yang lebih keras sekaligus kehati-hatian. Praktis saat kami kembali
berhanyut menuju ke arah muara, kondisi aliran utama sungai sudah rusak parah.
Warna air yang keruh masih ditambah dengan arus bawah yang mengaduk membuat air
sungai lebih ‘jelek’ dari warna kopi susu yang selalu saya minum setiap hari!
Saya kemudian berpikir mungkin ini saatnya untuk mencoba beberapa ‘peluru’ baru
yang ada di lure box saya, pemberian seseorang kawan di Medan, di anak-anak
sungai kecil yang seharusnya masih ada kesempatan yang lebih baik dibandingkan
kita memaksakan diri di aliran utama yang tingkat kejernihan airnya mungkin
telah berada pada skala hampir mendekati nol!
Dharma Bhakti Samudera (DBS) adalah sebuah perusahaan
importir piranti mancing (termasuk lure) yang berbasis di Medan, Sumatra Utara.
Ada beberapa lure yang dipercayakan kepada saya untuk diuji coba, hal yang
tidak sering saya lakukan, mengingat saya merasa masih belum mengerti banyak
hal tentang urusan memancing ini. Memang saya sering memancing, juga sering
menulis catatan perjalanan, tetapi mencoba dan kemudian menuliskan review tentang sebuah lure adalah
sesuatu yang baru bagi saya. Karena menurut saya membahas sebuah umpan tidak
cukup hanya dengan sekedar “Ini keren lho, cobalah”. Atau “Ini ampuh lho,
kalian wajib memakainya”. Atau “Warna umpan ini persis banget dengan ikan bait
fish, keren nih!” Membahas sebuah lure tidak bisa dilakukan sesederhana itu
karena akan selalu terkait dengan konteks dan empiris yang berbeda. Jika lure A
saya pakai dan kemudian berhasil, belum tentu ketika si B memakainya juga akan
mendapatkan hasil yang sama. Karena bisa jadi lokasinya memiliki karakter dan
populasi ikan yang berbeda, perlakuan orang tersebut terhadap umpan yang sama
itu bisa jadi juga berbeda, dan masih banyak hal lainnya lagi. Jadi apapun yang
akan saya tuliskan, pada intinya jangan pernah menjadikannya sebagai patokan
mutlak penilaian atas lure tertentu. Tetapi jadikan sebagai tambahan
pengetahuan saja dari seseorang yang kebetulan pernah mencobanya sehingga bisa
memperkaya pemahaman dan cara kita dalam memperlakukan lure tersebut ketika
memancing.
Ada beberapa lure model
baru dari DBS saat itu tetapi saya hanya sempat mencoba dua di antaranya. Yang
akan saya bahas disini adalah tentang Sparrow
Echo Mark II, saya jadi ingat merk sebuah kamera impian yang juga memakai
kata Mark II ini, tipe lure ini crank
bait dengan panjang 6,5 cm, berat 14 gram, dengan karakter floating dan
daya selam 2 meter. Penampakan crank bait
ini memang terlihat meyakinkan, meski jujur saja saya jarang sekali menggunakan
lure jenis crank bait. Karena menurut saya lure jenis crank bait itu kurang
sexy karena bentuknya yang tidak skinny, namanya juga crank bait. Hehehehe.
Tetapi bukankah kita harus selalu memperluas pemahaman kita tentang apapun,
apalagi ini tentang hobi yang kita cintai? Spesifikasi Echo Mark II menurut saya sangat cocok untuk penerapan mancing
kasting air tawar dan juga perairan payau. Beratnya ideal sekali dan bisa cocok
dengan bermacam-macam rod kasting kelas ringan, panjangnya juga cukup masuk
akal sesuai dengan bentuknya. Paling menyita perhatian saya adalah coatingnya
yang cukup tegas tetapi simpel. Kebetulan saat itu yang ada hanya satu warna
yaitu warna kuning transparan dengan aksen keperakkan di kedua sisinya. Jika
ada yang sangat saya suka dari lure ini adalah coating dan juga bahan lure yang
sepertinya sangat kuat. Karena beberapa kali lemparan yang sempat terkena
akar-akar bakau dan berpuluh sambaran yang kemudian saya dapatkan, memang
semuanya rata-rata dari ikan table size saja (ikan-ikan ukuran 1-2 kilogram
saja) tidak membuat lure ini mengalami bekas gigitan yang berarti. Coatingnya
tetap mulus sehingga warna lure tetap prima sepanjang hari. Percobaan di
sungai-sungai lebar dan dalam terhadap lure ini tidak membuahkan hasil apa-apa,
dan sejatinya lure-lure lain pun juga perlu waktu yang tidak menentu juga jika
fishing groundnya terlalu luas dan apalagi keruh. Karenanya kemudian saya fokus
menggunakan lure ini di sungai kecil dengan kedalaman sungai 1-3 meter saja,
tepat ketika air sungai berada pada puncak surutnya.
Warna air sungai masih sama dengan hari sebelumnya,
cenderung kecoklatan seperti warna kopi susu tetapi agak bening sedikit karena
arus yang mengaduk dasar sungai telah hilang. Cahaya matahari yang menyengat
membuat visibility lumayan bertambah sekitar 50-an sentimeter ke bawah
permukaan. Entah kenapa, setiap kali memakai lure Sparrow saya sepertinya selalu mendapatkan hasil yang maksimal. Mungkin
chemistry-nya dapat atau memang saya
yang kemudian super ngeyel agar
mendapatkan sebanyak mungkin sambaran. Yang pasti, tanda tanya atas keefekifan
lure ini telah terjawab pada beberapa lemparan awal di sungai kecil, ikan
kerapu dan mangrove jack mendarat di perahu dengan mudah. Mungkin karena
kebetulan debit air yang menyusut drastis sehingga umpan apapun akan disambar
oleh ikan pemangsa, dugaan saya. Tetapi frekuensi strike yang terjadi pada saat
itu memang sangat tinggi, jika saya total, selama tiga jam menggunakan Echo Mark II saya sudah mendapatkan
sambaran dari lebih dari 15 “ikan goreng” (kebanyakan kerapu hitam, mangrove
jack, dan baru kemudian kerapu bintik). Di sisi lain dua orang kawan saya yang
menggunakan lure lain hanya mendapatkan tiga sambaran saja, meski keduanya
adalah newbie. Mungkin karena saya
yang paling tinggi jam terbang mancingnya sehingga tahu bagaimana memaksimalkan
kondisi lokasi, point-point yang ada dan lain sebagainya. Apapun itu intinya
lure Echo Mark II menurut saya bisa
menjadi solusi menyenangkan ketika ikan-ikan besar yang menjadi target kita
sulit didapatkan akibat kondisi lokasi yang tidak kondusif. Dari hasil
penggunaan Echo Mark II, secara
jumlah sambaran saya lebih dari terpuaskan. Banyak sekali sampai-sampai-sampai
saya menjadi khawatir sendiri karena prinsip “bag limit” yang saya anut, yang
artinya membatasi jumlah tangkapan sesuai dengan tingkat konsumsi yang wajar. Tetapi
saya menerapkan prinsip keadilan, ada empat warga lokal yang menjadi kru selama
berkegiatan di sungai tersebut, semuanya telah berkeluarga dan juga memiliki
anak. Kalau saya mau egois dengan prinsip bag limit, saya mungkin akan berhenti
pada 3 atau empat sambaran saja. Tetapi karena masalahnya semua kru lokal
menginginkan hal yang sama, praktis saya mem-push jumlah yang saya dapatkan pada volume yang dapat dibagi oleh
mereka berempat. Beberapa sambaran yang terjadi setelah kuota “bag limit” untuk
seluruh kru lokal terpenuhi kemudian saya lepaskan kembali ke sungai.
Umpan jenis crank bait sepengetahuan saya banyak diminati oleh para pemancing yang sering bermain di danau dan sungai-sungai yang berair tenang. Ini sepertinya karena karakter aksi dari lure ini yang jika kita mainkan akan bergoyang mantap tetapi karena bentuk bodi lure yang unik, seperti terasa kurang gesit. Bagi kita yang masuk dalam kategori pemancing ‘agresif’ dalam memainkan lure maka seringnya akan memilih lure-lure yang cenderung skinny dan mampu dimainkan dengan kecepatan tinggi dengan beragam model tarikan reel dan juga sentakan. Tetapi seperti hasil yang saya dapatkan di Halmahera Timur ini, kita kemudian memahami bahwa jika ingin memperluas kemungkinan kita mendapatkan sambaran, dalam kondisi perairan yang tidak ada dalam kontrol kita, lure-lure baru yang tidak sering kita gunakan sangat penting dijadikan ‘peluru’ kita melakukan rencana cadangan. Di waktu yang bersamaan saya pastikan tingkat pemahaman kita terhadap sebuah lure, sebuah ekosistem, terhadap diri kita sendiri akan bertambah. Banyak sekali pertanyaan setiap kali kita pergi memancing, tentang sebenarnya bagaimana karakter dan minat ikan target kita pada lure yang kita miliki. Lure crank bait yang ada saat itu berwarna dominan kekuningan, sementara warna air juga keruh kuning kecoklatan dengan visibility yang sangat rendah. Tetapi rate strike-nya sangat tinggi? Bukankah dengan dominannya warna umpan yang serupa dengan warna airnya seharusnya ikan-ikan semakin sulit mendeteksi dan mengejar lure kita? Tetapi jika ikan-ikan itu bisa saya wawancara, tentu semuanya menjadi tidak menarik lagi.
Yang harus kita pastikan, jangan lelah untuk mencoba dan mempelajari
hal-hal baru, bukan hanya pada hal-hal teknis memancing tetapi perluaslah
dengan menjadi lebih ‘awas’ dalam melihat dan memahami sebuah fishing ground.
Semua orang bisa jika hanya melempar umpan, menggulung reel dan kemudian
berfoto dengan ikan. Tetapi tidak semua bisa beradaptasi, bersahabat dengan
alam, yang justru disitulah tantangan terbesar dari setiap petualangan di alam
liar. Salam wild fishing!
* Pictures mostly by Patricia Ranieta, Budhi Kurniawan, Hermanto and Me. Drone by Faishal Umar. Please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with our pictures without respect!!!
* Pictures mostly by Patricia Ranieta, Budhi Kurniawan, Hermanto and Me. Drone by Faishal Umar. Please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with our pictures without respect!!!
Comments
Jangan dijawab "belum saya wawancarai bro". Hahahhaa...
Suwunnn...