Pesan Dari Teluk Saleh: Memburu Anomali Arus Perubahan Teluk Terluas di Seluruh Kepulauan Nusa Tenggara
Teriring salam untuk kru lokal kami di Teluk Saleh yang begitu luar biasa membantu menyelesaikan tugas-tugas kami. Bang FY atas informasi-informasi dan pengaturan perjalanannya yang selalu keren. Bapak G yang begitu semangat dan juga selalu membuat kami nyaman dengan mengatur strategi perjalanan perahu, pengaturan bbm, pengaturan basecamp, dan lain sebagainya. Bapak A yang menjadi pengawal kami selama di Pulau Sapuddu sehingga kami bisa tidur nyenyak di pulau kosong ini, meskipun beberapa malam anda terpaksa tidak tidur karena banyaknya tamu tak diundang yang ‘mengintip’ apa yang kami lakukan dan bawa. Saya berharap bisa membalas budi baik bapak suatu hari nanti. Mas A, yang selalu standby 24 jam mengurus transportasi darat kami selama 12 hari! Warga Desa Aipaya yang selalu ramah dan membuat kami betah, dan pastinya selalu tidak pernah menolak membantu kami agar tugas selesai, meski terkadang kompensasi dari kami tidak seperti harapan saudara-saudara sekalian. Tim JPWF Trans|7 yang tetap semangat meski kondisi alam seringkali jauh dari perkiraan kita; Bang Joe Michael, saudara tua saya. Dan Kang BK, produser saya. Kalian berdua sudah tidak menemani saya lagi di program ini, tetap mohon doa restunya agar semua masih bisa dijalankan dengan baik keren dan membanggakan seperti dahulu lagi.
Saya terlalu mencintai Teluk Saleh. Dalam konteks seperti itulah catatan ini kemudian kembali saya buat. Entah berapa kali sudah saya berkeliling, berlayar, dan lain sebagainya di teluk terluas di Kepulauan Nusa Tenggara ini (luas 1495 km persegi dengan panjang garis pesisirnya 282 kilometer). Banyak catatan juga telah saya buat di blog iseng ini tentangnya. Tetapi saya merasa selalu ada yang harus saya tuliskan lagi, bukan untuk siapa-siapa, lebih untuk diri saya sendiri agar ingatan yang semakin mudah lupa ini memiliki tempat untuk kembali 'berziarah' di masa berikutnya. Tetapi jika kemudian ada cucu, ataupun cicit, dan siapapun itu yang merupakan keturunan langsung dari Eyang Saleh juga ikut membaca catatan ini juga nantinya, semoga catatan dari 'orang luar' yang hanya numpang lewat saja di Teluk Saleh ini bisa sedikit membuka 'pintu' untuk kemudian kita bersama-sama memikirkan masa depan sebuah ceruk geografis bernama Teluk Saleh ini. Bagi yang belum mengerti, nama Saleh yang disematkan terhadap teluk ini menurut berbagai sumber 'diambil' dari nama seorang ulama besar di Sumbawa yang hidup sebelum 1815, yang karena menentang perintah Raja Tambora untuk makan daging anjing pada saat itu kemudian dibunuh dibakar dan abunya kemudian dibuang ke laut (Teluk Saleh saat ini). Mungkin bukan untuk kita sendiri, tetapi lebih untuk generasi berikutnya yang saya yakin meski mereka belum hadir dan atau sekarang mungkin masih kecil-kecil, menitipkan harapannya kepada kita. Sehingga kemudian ketika harapan itu kita wariskan, karena kita semua yang telah dewasa saat ini memang harus undur diri dari kefanaan ini, para ahli waris teluk terluas di seluruh Kepulauan Nusa Tenggara ini menerimanya dengan senyum atau tangis kebahagiaan. Bukan histeris dan tangis kedukaan!
Saya tiba kembali di Teluk Saleh, Sumbawa entah untuk yang keberapa kalinya pada pertengahan bulan Juli 2016, saya tidak ingat lagi tanggal pastinya tetapi jika tidak salah adalah tanggal 13. Hari yang menurut para nelayan bagan di Teluk Saleh saat kami sebenarnya telah terlambat beberapa hari jika ingin menyaksikan dan mendokumentasikan musim ikan tenggiri di kawasan ini. Beberapa hari sebelumnya mereka mengatakan bahwa ikan tenggiri seperti menyerbu seluruh kawasan di Teluk Saleh, karena hampir seluruh bagan apung yang ada di kawasna ini, ada 80-100an bagan apung yang dimiliki nelayan di seluruh kawasan ini, berhasil mendapatkan ikan-ikan tenggiri dengan jumlah yang bervariasi. Sekali tarik jaring mereka mengatakan ‘tidak mati’ 60-100an ekor dengan nilai beberapa puluh juta rupiah. Itu belum termasuk bonus lainnya seperti ikan-ikan kecil dan jenis ikan pancingan lainnya. Ingat sekali tarik jaring lho ya? Dalam semalam ketik abulan gelap mereka setidaknya bisa menarik dua hingga tiga kali. Hasilnya tidak usah dihitung, rejeki orang. Pastinya karena kenyataan inilah pada musim-musim tertentu, Teluk Saleh berubah menjadi ‘pasar malam’ saking banyaknya bagan apung yang adu terang cahaya lampu. Kami terlambat bukan karena mengingkari jadwal atau janji jumpa dengan kawanan ikan tenggiri, hehehe, tetapi begini. Karakter ikan-ikan di laut terutama pelagis hidupnya terkait dengan pergerakan arus yang ada. Saat kami datang bulan di langit sudah mulai membesar dan telah ‘terlepas’ dari saat-saat bulan sabit (yang mana pada bulan sabit ini arus sedang bagus-bagusnya), sehingga ketika malam lautan otomatis menjadi lebih benderang. Teori kuno perburuan di laut mengatakan bahwa jika bulan sudah benderang, baiknya simpan semua peralatan mancing dan juga peralatan tangkap ikan lainnya karena ikan-ikan sudah menyebar tak tentu arah. Dalam konteks bagan apung di Teluk Saleh, seterang apapun cahaya lampu dipancarkan dari bagan, tidak akan terlalu berpengaruh lagi untuk mengundang ikan-ikan pelagis datang mendekat. Pasalnya adalah karena ikan-ikan kecil dan cumi-cumi yang tergoda oleh lampu, tidak lagi menganggap cahaya lampu pada malam hari menjadi penting, karena kalah oleh terangnya cahaya bulan di langit. Saya mengetahui teori ini tetapi kenapa tetap terlambat? Masalahnya adalah sistem dan juga orang-orang di sebuah kantor di sudut Jakarta Selatan yang tidak mengerti dan tidak peduli dengan apa yang disebut dengan fenomena alam! Mereka hanya tahunya adalah sistem, sistem dan sistem yang harus berjalan dan dijalankan sempurna! Sistem yang diciptakan manusia yang semestinya bisa fleksibel dibuat menjadi sesuatu yang sakral dan tidak boleh fleksibel! Itulah kenapa kemudian kami terlambat melaut di Teluk Saleh karena perbekalan yang juga tidak kunjung kami dapatkan saat itu!
Selain karena sistem, perjalanan
kami ke Sumbawa pada saat itu juga terhambat oleh karena permasalahan cuaca
yang buruk di langit NTB sehingga pesawat yang tinggal mendarat di Bandara
Sumbawa batal. Pesawat kemudian kembali ke Lombok dan kami terpaksa menempuh
perjalanan darat dan laut selama 10an jam dari kota Praya menuju ke kota kecil
bernama Empang di Pulau Sumbawa. Jiwa raga yang ‘terlipat’ oleh lamanya
perjalanan darat dan laut sejatinya juga belum sepenuhnya membaik ketika kami
sudah dihadapkan kembali pada perjalanan laut beberapa jam ke tengah Teluk
Saleh untuk menyelesaikan tugas mendokumentasikan musim tenggiri di kawasan
ini. Inilah dinamika kehidupan kuli SxS (SxS dibaca S by S, adalah media
penyimpanan data audio visual terbaru keluaran perusahaan kamera HDTV merk
Sony) seperti kami. Kenapa musim tenggiri di Teluk Saleh menjadi sebegitu
pentingnya untuk didokumentasikan? Bukankah di daerah lain di negeri ini,
misalnya saja di Pulau Seribu di Teluk Jakarta juga memiliki musim ikan jenis
yang sama, meskipun secara waktu atau bulannya berbeda? Ngapain harus jauh-jauh
dan mengeluarkan biaya mahal ke Teluk Saleh di Pulau Sumbawa? Kurang lebih
demikian yang pernah saya dengar ketika masih berada di Jakarta.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh mereka yang mengagungkan sistem.
Saya akan mengulang apa yang saya
kemukakan pada hari itu. Musim tenggiri di Teluk Saleh tidak bisa disamakan
dengan musim tenggiri di tempat lain, news
value-nya berbeda. Kenapa demikian, bulan November hingga Januari, Teluk
Saleh membara oleh karena serbuan ribuan batalyon pasukan ubur-ubur yang
jumlahnya milyaran dan memenuhi seluruh penjuru kawasan. Fenomena alam yang
oleh beribu masyarakat sekitar Teluk Saleh kemudian dikonversi menjadi rupiah
tak terhitung banyaknya berbulan-bulan lamanya, karena ubur-ubur ini rupanya
laku di pasar luar negeri. Banyak sekali pengusaha dari luar negeri sekalipun
akan membuka ‘pabrik’-nya di seluruh pesisir Teluk Saleh untuk menampung hasil
para nelayan. Saya ikut hadir dalam momen ini pada awal tahun 2016 dan
terhenyak dengan ‘kegilaan’ musim ubur-ubur yang ada. Saya tidak akan membahas
permasalahan ekonomi yang menjadi begitu melonjak karena ubur-ubur. Tidak
banyak yang memahami, bahwa serbuan ubur-ubur di sebuah kawasan maritim menurut
para ahli merupakan pertanda perubahan ekologi kawasan tersebut. Salah satunya
kenapa ubur-ubur bisa begitu mendominasi sebuah kawasan maritim, adalah karena
di kawasan tersebut sudah tidak lagi memiliki ikan-ikan predator dalam jumlah
yang sesuai sehingga kemudian kawasan tersebut diambil alih kekuasaannya oleh
ubur-ubur. Satu lagi adalah karena ubur-ubur juga merupakan hasil dari
perubahan iklim yang mendera kawasan tersebut misalnya saja karena naiknya
temperatur laut. Ada juga yang menyatakan ubur-ubur mampu berkembang secara masif
di suatu kawasan maritim karena tingginya polutan di kawasan tersebut. Lalu apa
hubungannya dengan musim tenggiri pada bulan Juli yang terlambat kami datangi?
Ini adalah anomali! Kenyataan ini mematahkan teori banyak ahli yang menyatakan
bahwa “jika suatu kawasan pernah dikuasai oleh ubur-ubur, itu karena populasi
ikan predatornya telah berkurang secara drastis”. Di Teluk Saleh tampaknya
tidak demikian karena sepertinya ada semacam rotasi dominasi spesies di kawasan
ini yang telah diatur sedemikian rupa oleh alam dan Sang Maha Memiliki! Jika
kemudian program ini mampu hadir dalam musim tenggiri tersebut, bayangkan news value dari keterbaruan informasi
yang bisa dihadirkan oleh program ke masyarakat luas? Tetapi riset dan rencana
tinggalah rencana. Ketika tengah malam saya duduk-duduk di bagan apung di
tengah Teluk saleh yang berombak sedang dan tukar cerita dengan para nelayan,
dengan bulan yang telah tersenyum sinis di langit sedari petang, yang saya
rasakan adalah pedih karena terlambat tiba di teluk terluas di Kepulauan Nusa
Tenggara ini. Saya rindu masa lalu ketika banyak orang di perusahaan media ini
memiliki pemahaman dan kebijaksanaan menempatkan sebuah tayangan petualangan
pada tempat dan waktu terbaiknya. Malam itu, meski telah menebar jaring
sebanyak dua kali, proses menebar dan mengangkat yang sangat melelahkan saking
besarnya bagan apung, yang kami dapatkan hanyalah seratusan ekor ikan-ikan
kecil saja. Tidak ada tenggiri yang beberapa hari lalu meledak dan
mengobrak-abrik jaring para nelayan. Tidak ada lagi teriakan-teriakan
kegembiraan itu. Tidak ada lagi keringat bercucuran karena kelelahan mengangkat
hasil itu. Yang ada hanya bulan yang terus tersenyum sinis di langit,
menertawakan para manusia yang tidak mau bijaksana menyesuaikan diri dengan
hukum-hukum alam. Andai saya bisa berbicara kepada bulan malam itu, yang ingin
saya katakan adalah, saya tahu seharusnya tidak begini, tetapi apa mau dikata
bung?! Saya mah apa atuh?!
Cukup sudah kisah memburu ikan-ikan
pelagis yang terlambat ini. Kita lanjutkan ke cerita selanjutnya. Dua hari
setelah kami melaut bersama para nelayan bagan apung, kami kemudian melanjutkan
perjalanan ke sebuah pulau kosong bernama Nisa Pudu (atau juga disebut
Sapuddu). Pulau kosong ini akan kami jadikan sebagai basecamp operasi
setidaknya selama empat malam kedepan. Di peta laut yang saya bawa, pulau ini
terlihat berada di depan Teluk Kempo, yang merupakan wilayahnya orang-orang
Soro. Seharusnya pulau kosong ini begitu sunyi dan bersih. Ketika menjelang
pukul 15.00 sore hari kami merapat agar dapat membangun tenda dan lain
sebagainya, rupanya pulau kosong ini masih penuh dengan abg yang sedang
berwisata. Jumlahnya ratusan. Pulau kosong ini rupanya terkena serbuan para
‘petualang’ yang jumlahnya saat ini sepertinya meledak karena banyaknya tayangan
petualangan di negeri ini. Yang menarik adalah, semuanya berfoto dan berlagak
seperti petualang semuanya, sebagian lagi dandanannya seperti petualang yang
nyasar, karena saking anehnya kostum yang dipakai. Sampah bertebaran di seluruh
penjuru Pulau Sapuddu, sebagian adalah sampah yang hanyut di laut dan kemudian
nyangkut di pulau ini. Sebagian lainnya adalah sampah-sampah baru yang
sepertinya dibawa oleh para pengunjung pulau ini di waktu-waktu sebelumnya.
Saya dan produser saya dan juga kru lokal kemudian berinisiatif memunguti
sampah-sampah plastik dan kain tersebut dan kemudian membakarnya, jumlahnya
seperti sampah satu kelurahan yang ditumpahkan di satu tempat, hanya saja
tersebar di seluruh penjuru pulau. Sayangnya dari ratusan ‘petualang’ yang berwisata
ke Pulau Sapuddu hari itu, yang juga melihat apa yang kami lakukan, tidak ada
satupun yang kemudian tergerak membantu kami membersihkan pulau ini. Luar biasa
memang. Entah siapa yang mendidik para ‘petualang’ tersebut! Saya ingat ada
sekelompok pemuda kemudian tiba-tiba menghampiri saya dan bertanya apa yang
saya lakukan dan darimana saya berasal. Membersihkan sampah bang dan saya
berasal dari Jakarta, jawab saya. “Saya pemuda kampung di teluk sana (Soro
maksudnya) yang memiliki wilayah ini termasuk Pulau Sapuddu, saya disini untuk
menjaga pulau ini ketika banyak pengunjung seperti sekarang ini,” katanya
ketus. Jawab saya juga dengan nada ketus sambil melepas kacamata,”Lalu kalau
abang memang merupakan pemilik pulau ini bang, kenapa abang dan kawan-kawan
pemuda sebanyak ini semuanya membiarkan pulau ini kotor seperti ini?!!” Dia
kemudian berkelit memang program bersih-bersih sampah di Pulau Sapuddu baru
akan digelar esok lusa dan memang sudah direncanakan oleh aparat desa.
“Bagussss itu. Saya tunggu disini bang...!”, kata saya. Sampai hari kami
meninggalkan Sapuddu lima hari kemudian, tidak ada satu orang pun yang datang
kembali ke Sapuddu untuk membuat pulau kosong yang sebenarnya ‘cantik’ ini
kembali tersenyum. Well... Setidaknya kami telah menyumbang kebersihan seluas
50% lebih dari total luas pulau kosong ini. Nisa Nisaaaaa... Nasibmu nona
ditelantarkan oleh pemilikmu sendiri! Tetapi begitulah manusia, karena merasa
memiliki malahan membuat orang atau kelompok orang itu lupa!
Seperti saya sebutkan sebelumnya, catatan ini
didasari oleh perasaan bahwa “saya terlalu mencintai Teluk Saleh”. Dan menurut
saya memiliki perasaan tertentu pada sesuatu, dan mungkin juga pada seseorang
misalnya, dapat diwujudkan salah satunya dalam bentuk sebuah kejujuran.
Termasuk juga dengan catatan ini. Catatan seseorang yang kebetulan saja pernah
bolak-balik ke Teluk Saleh karena kemudian merasa memiliki ikatan dengan
masyarakatnya juga dengan geografisnya. Saya hanya ingin jujur dengan apa yang
pernah saya lihat di teluk terluas di Kepulauan Nusa Tenggara ini. Jadi ketika
mungkin ada sesuatu yang menurut banyak pengunjung blog ini mungkin kurang
sepaham, saya terbuka dengan diskusi yang dewasa dan berwawasan. Malam-malam di
Pulau Sapuddu adalah malam yang ‘aneh’. Angin darat dari pegunungan begitu
kencang berhembus dan membuat tenda-tenda kami bergoyang tidak karuan, begitu
juga dengan terpal yang kami bentangkan di bawah sebatang pohon menjadi berisik
tidak pernah berhenti. Di sanalah tenda dapur dan juga makan kami dan seluruh
kru pendukung kegiatan ini (orang-orang perahu dan lain sebagainya). Sebenarnya
ada tanah yang cukup lapang di pulau ini tetali dipenuhi rumput ilalang yang
super tajam karena baru saja dibakar, juga banyak sampah berserakan di segala
penjuru. Meski kami pernah menghabiskan setengah hari penuh untuk membersihkan
pulau ini sebelumnya, sebenarnya masih banyak sekali tumpukan sampah
dimana-mana. Hawa dingin begitu kuat menusuk tulang, bulan Juli yang aneh.
Hujan juga datang tidak menentu dari berbagai penjuru membuat suasana berkemah
di pulau kosong menjadi kurang hangat. Yang sangat menghibur kami adalah bahwa
kru lokal kami adalah orang-orang yang berdedikasi dan berkomitmen tinggi
dengan tugas masing-masing. Ada ketenangan karenanya sehingga pikiran kami
tidak terlalu melayang-layang diterpa terjangan angin yang terus berubah di
Teluk Saleh. Yang menurut saya sangat aneh ketika berkamh di Pulau Sapuddu
selama lima hari adalah datangnya tamu tidak diundang hampir setiap malam.
Entah dari mana datangnya selalua da perahu dan juga kapal nelayan yang
merapat. Keperluannya terkadang sangat sepele. Mulai dari meminjam korek api,
bertanya arah, dan kadang hanya sekedar ikut ngopi. Ketika berpetualang, saya sangat menyukai bertemu
orang-orang biasa. Dari merekalah saya bisa menggali banyak sekali informasi
tentang apapun. Tetapi ketika di sebuah pulau kosong di tengah lautan, kemudian
ada beberapa nelayan entah darimana merapat hanya untuk meminjam korek api,
alarm tanda bahaya saya berbunyi. Dalam temaram Teluk Saleh karena cahaya bulan
yang malu-malu, saya menyampaikan kegelisahan saya ini kepada ‘pengawal’ kami,
Bapak A**** Bajo (nelayan keturunan suku Bajo yang kami bawa dari sebuah kampung
keturunan Suku Bajo di kawasan ini). Dia menjawab tenang saja bang, selama
masih ada saya menjaga abang dan rombongan, tidak akan terjadi apa-apa. Meski
saya ini bertubuh kecil bang, seluruh Teluk K**** bisa saya bikin bersujud jika
mereka berani macam-macam. Ini bukan tentang gagah-gagahan, tetapi begitulah,
meski tidak banyak yang memahami, ada semacam hirarki dominasi dalam tanda
kutip dalam kehidupan kelompok masyarakat. Ada memang orang-orang yang begitu
terbuka menerima dan menjaga kuli keliling seperti kami dengan segala daya
upaya. Tetapi ada juga yang melihat kehadiran kami sebagai sebuah ‘kesempatan’.
Tidak banyak yang memahami hal-hal seperti ini, apalagi orang-orang yang
hidupnya begitu pragmatis dan terlena dengan kenyamanan ruang ber-AC misalnya.
Misi kami bermalam di Pulau Sapuddu sebenarnya
sangat sederhana. Yakni mendapatkan beberapa ekor ikan predator dari atas kayak
(kayak fishing). Misi yang kemudian menghasilkan senyum pahit meski kami telah
berusaha sepanjang pagi siang dan menjelang petang setiap hari. Entah apa yang
terjadi dengan reef-reef (karang dangkal) sekitar Pulau Sapuddu. Jika kita
lihat dari ketinggian puncak Sapuddu misalnya, reef-reef di sekitar pulau ini
begitu mengundang hasrat memancing. Air yang begitu biru dengan aksen biru
muda, garis-garis drop off (tubir) begitu jelas terlihat memanjang di segala
penjuru. Begitu juga tanjungan-tanjungan reef tampak begitu jelas pertanda
visibility air begitu tinggi. Konon kunci mencari ikan di lautan salah satunya
adalah tentang arus. Dimana arus bergerak dinamis, praktis perburuan ikan-ikan
predator akan relatif sangat mudah karena di momen seperti itulah mereka akan
aktif berburu mangsa. Terkait arus ini sekitar Sapuddu sangat ideal karena baik
pagi dan sore hari arusnya sangat kondusif dan bahkan di beberapa reef menurut
saya sangat ‘mempesona’. Pertemuan arus yang tercipta sampai menciptakan kala-kala yang menurut saya sangat
indah. Kepala-kepala arus juga terlihat jelas dan saya melihat banyak sekali
kumpulan ikan-ikan kecil (baitfish) yang ‘mendidih’ di permukaan kepala-kepala
arus tersebut. Yang mengherankan hanya satu, selama lima hari memboombardir
reef-reef sekitar Sapuddu dengan berbagai jenis umpan, yang kami dapatkan
adalah umpan-umpan itu lagi, alias no
strike (tidak ada sambaran dari ikan-ikan pemangsa yang menjadi target
kami). Jangankan ikan GT, barakuda, tenggiri, bluefin trevally dan atau
lainnya. Ikan cendro/todak (garfish)
pun tidak ada yang landed! Ini
menggelisahkan jika kita melihat sekilas tampilan ‘wajah’ reef-reef sekitar
Sapuddu ini yang begitu mempesona. Pada suatu senja saya mencoba mencari
jawaban atas anomali ini. Saya bilang
ini anomali karena seharusnya tidak seperti ini hasilnya. Saya tidak begitu
yakin apa penyebab semua kegagalan ini. Bisa jadi karena bulan terlalu terang
yang membuat ikan-ikan pemangsa terlalu menyebar ke seluruh penjuru lautan,
bisa jadi karena memang kami sedang apes (sial), bisa jadi ikan-ikan sedang
diet, dan lain sebagainya.
Bisa jadi jawabannya adalah apa yang kami
lihat pada terumbu karang yang mengelilingi Sapuddu. Semuanya hancur! Menurut
pengamatan saya kehancuran terumbu karang sekitar Sapuddu adalah karena
penangkapan ikan tidak ramah lingkungan di masa lalu. Siapa yang melakukannya?
Tanya saya pada Bapak A**** Bajo. Apakah kamu dan juga masyarakatmu? Ataukah orang
dari masyarakat lain? Telunjuk tangan Bapak A**** Bajo mengarah pada sebuah
teluk dimana berdiam orang-orang S***, salah satu kelompok masyarakat paling
kepala batu di Teluk Saleh. Saya tidak yakin 100 % jawabannya valid, karena
bisa jadi mereka yang pernah menghancurkan Sapuddu dan sekitarnya juga berasal
dari kelompok masyarakat lainnya. Apa yang saya katakan ini mungkin terlambat
Pak, kata saya. Tetapi siapapun itu yang melakukan hal-hal seperti ini di
daerah ini, tolonglah untuk berusaha mengingatkan mereka. Jangan wariskan
kehancuran seperti yang saya lihat di Sapuddu dan sekitarnya ini kepada anak
cucu kalian. Ketika pada hari kelima kami berpamitan meninggalkan Nisa Pudu
(nama lain Sapuddu), pengawal kami ini berkaca-kaca dan gemetaran. Bukan karena
bersedih karena akan kami tinggalkan, bukan juga meratapi kondisi Sapuddu yang
ternyata telah seperti ini kenyataannya, tetapi karena kami secara tidak dia
sangka memberi kompensasi pada jerih payahnya menjaga kami siang malam. Dalam
hati saya berkata, andaikan ekosistem sekitar Sapuddu ini masih sehat, dirimu
tidak perlu lagi mempertaruhkan hidupmu demi menjaga para kuli keliling seperti
kami dengan imbalan yang tidak seberapa ini Pak. Tetapi apa mau dikata, parasit
ada dimana-mana, semoga kita masih diberi waktu untuk melakukan sesuatu yang
bermanfaat bagi generasi berikutnya semampu kita.
Apa yang kami lakukan selama lima hari empat
malam di sekitar Nisa Puddu kami ulangi lagi di reef-reef sekitar Pulau Rakit.
Ada beberapa reef yang kami datangi dalam tiga hari berikutnya. Basecamp kami adalah
desa kecil bernama Aipaya, tempat bermukimnya para nelayan keturunan Bugis yang
berdiam di Teluk Saleh. Masyarakat Aipaya selalu menjadi ‘langganan’ saya
ketika berkegiatan di Teluk Saleh. Mereka adalah kelompok masyarakat pekerja
keras dengan komitmen yang tinggi. Apa yang terucap dari mulut mereka dapat
kita pegang sehingga kita dapat mengerjakan sesuatu dengan mudah dan efektif. Memancing
ikn-ikan predator di laut tidak pernah sesulit ini, kami telah menyisir
berbagai reef di seluruh penjuru Teluk Saleh tetapi semuanya hanya menyisakan
gundah saja. Reef sekitar Pulau Rakit menjadi harapan terakhir kami. Pulau yang
menjadi kawasan laar (pulau kawasan
penggembalaan ternak) adalah pulau kosong, hanya berisi hewan ternak dan babi
hutan saja. Lokasinya cukup strategis meskipun secara jarak tidak terlalu jauh
dengan pusat-pusat pemukiman penduduk di seberangnya (Pulau Sumbawa). Saya
teringat kata-kata seorang tokoh mancing di negeri ini, jika spot yang jauh sekali
(yang awalnya kita anggap potensial) tidak memberikan hasil cobalah berpikir out of the box. Dalam konteks Teluk
Saleh saat itu berarti kita harus mencoba spot yang dekat dengan pemukiman,
yang tidak diperhitungkan sama sekali oleh siapapun. Saya sendiri
bertahun-tahun lalu pernah mendapatkan hasil yang mengejutkan di spot yang
ibaratnya hanya di belakang rumah warga Aipaya saja. Seekor ikan pelagis
berukuran lumayan padahal spot saat itu jauh dari kondisi ideal sebuah spot
ikan pelagis. Karena dekat sekali dengan pemukiman warga, struktur dasar juga
tidak terlalu bagus, baru juga banyak sekali sampah hanyut di sekitar Pulau
Rakit, dan lain sebagainya. Pada bulan Juli tersebut akhirnya kami berhasil
mendatangi lima reef yang ada di sekeliling Pulau Rakit, saya lupa nama-namanya
tetapi yang paling ‘keren’ jika kita lihat dari atas kapal adalah yang disebut
dengan nama Tanjung Padang. Lokasinya sangat strategis dan merupakan tempat
pertemuan arus besar di kawasan ini. Setiap hari dari sunrise belum terbit kami
telah melaju menuju reef-reef tersebut dan kembali ke daratan menjelang petang,
dan hasilnya tetap mengecewakan. Hanya dua ekor ikan pemangsa yang kami
dapatkan dalam waktu tiga hari tersebut. Satu ekor spotted trevally selebar dua tangan orang dewasa, dan satu ekor giant trevally seberat 4 kiloan. Hasil
yang menghibur tetapi tetap jauh dari harapan. Bukan semata pada hasil yang
sedikit yang membuat kami kecewa, tetapi setiap kali tiba di reef-reef
tersebut, kondisi terumbu karang yang masih ada begitu memprihatinkan. Sebagian
besar mati, dan sisanya telah lebih dahulu luluh lantak diterjang keserakahan
manusia di masa sebelumnya. Kawan-kawan yang penasaran dengan informasi saya
ini silahkan memeriksa sendiri di lapangan. Saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan
kondisi ekosistem terumbu karang di Teluk Saleh, seperti saya nyatakan
sebelumnya, saya terlalu mencintai kawasan ini, tetapi dengan kejujuran.
Ketika berpamitan ke warga Desa Aipaya pada hari kedelapan perjalanan kami di kawasan ini, saya masih tidak percaya dengan hasil yang kami dapatkan di teluk ini. Mungkin memang benar kami datang terlambat karena bulan sudah mulai membesar di langit, hal yang menurut para nelayan membuat ikan-ikan pemangsa menyebar tak tentu arah dan menjadi sulit untuk dipancing. Untuk hal ini saya dalam hati seperti ingin berteriak ke orang-orang yang mendewakan sistem yang membuat kami terlambat tiba di Teluk Saleh. Meski semangat dan kehangatan warga Desa Aipaya membuat saya selalu betah berkegiatan di wilayah ini, saya masih belum memikirkan kapan akan kembali lagi ke Teluk Saleh. Kecuali, bahwa kehadiran di masa berikutnya adalah untuk berbuat sesuatu yang positif untuk ekosistem di kawasan ini bersama pihak-pihak yang konsern dengan lingkungan, saya pastikan saya akan kembali! Demikian!
Ketika berpamitan ke warga Desa Aipaya pada hari kedelapan perjalanan kami di kawasan ini, saya masih tidak percaya dengan hasil yang kami dapatkan di teluk ini. Mungkin memang benar kami datang terlambat karena bulan sudah mulai membesar di langit, hal yang menurut para nelayan membuat ikan-ikan pemangsa menyebar tak tentu arah dan menjadi sulit untuk dipancing. Untuk hal ini saya dalam hati seperti ingin berteriak ke orang-orang yang mendewakan sistem yang membuat kami terlambat tiba di Teluk Saleh. Meski semangat dan kehangatan warga Desa Aipaya membuat saya selalu betah berkegiatan di wilayah ini, saya masih belum memikirkan kapan akan kembali lagi ke Teluk Saleh. Kecuali, bahwa kehadiran di masa berikutnya adalah untuk berbuat sesuatu yang positif untuk ekosistem di kawasan ini bersama pihak-pihak yang konsern dengan lingkungan, saya pastikan saya akan kembali! Demikian!
* Pictures captured at Saleh Bay (Teluk Saleh), Sumbawa, West Nusa Tenggara, July 2016. Credits belong to various peoples; Me, Budhi Kurniawan, etc. Please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with our pictures without respect!!!
Comments