Para Penjaga Batas Negeri: Kisah Tentang Ikan-ikan, Suku Yee, Tentara, dan Para Pemancing di Perbatasan RI – PNG (Bagian 2)
Tentara dan pemancing, datang dan pergi silih berganti dari Desa Toray, Distrik Sota, Kabupaten Merauke, Papua. Desa kecil dekat perbatasan RI – PNG. Tetapi orang-orang Suku Yee dan ikan-ikan tentunya terus tinggal. Hidup tenang dalam keberlimpahan sumber daya alam megah terjaga, yang menyediakan apapun yang dibutuhkan untuk melanjutkan hidup. Ketika mengawali perjalanan ini terlintas sekejap di kepala, bahwa akhirnya setelah sepuluh tahun, bentang geografis ribuan kilometer yang terangkum dalam lagu “Dari Sabang sampai Merauke” itu selesai juga bagi saya. Semuanya karena mengurus ikan! Tetapi ternyata ketika ekspedisi mencapai ‘ujungnya’, ketika hari itu kami berkumpul di sebuah tugu perbatasan paling besar yang ada di Sota, sembari menghidupkan ponsel yang kembali ada gunanya, saya salah duga. Ekspedisi Rawa Camo JPWF Trans|7 ke ujung negeri kemarin itu hanyalah awal untuk sesuatu yang baru bagi saya, sesuatu yang berbeda. Tetapi saya percaya semua ini yang terbaik dan merupakan rencana-Nya!
Deo gratias. Terimakasih Tuhan bisa kembali menulis. Kenapa posisi camp dan ketinggian kami begitu penting di
sistem rawa yang sangat kompleks ini? Sebelumnya bayangkan sebuah kawasan rawa
yang dipenuhi tanaman bush seluas
ribuan kilometer persegi. Tidak ada peradaban manusia di dalam kawasan rawa
ini. Kampung-kampung terdekat jaraknya tujuh jam dengan cara mendayung longboat
berukuran sedang, bahkan jika longboatnya besar bisa memakan waktu sehari
penuh. Sejak jaman yang mana rawa ini seperti ini saya tidak tahu. Artinya ada
kehidupan liar yang telah jauuuuuh lebih dahulu ada dan terus bertahan dan
semakin kuat di kawasan ini. Entah berapa ratus atau ribu buaya misalnya?
Berapa milyar nyamuk? Dan lain sebagainya. Camp kami cukup luas menempati
bidang yang cukup luas, sekitar 30-an meter persegi. Ada empat tenda utama dan
peruntukannya berbeda-beda. Ada tenda khusus untuk tim inti (kru JPWF Trans|7
maksudnya), ada tenda khusus untuk masyarakat, ada tenda tim pendahulu dengan
bayinya, ada tenda dapur. Kami seperti sedang akan merencanakan kegiatan selama
satu tahun saja rasanya dengan kondisi camp yang sangat settle seperti itu. Ada
kamar mandi dadakan dan bahkan ada toilet dadakan di luar sana, yang bisa kita
aliri air dari mesin pompa yang dapat dihidupkan kapan saja kita memerlukannya.
Saya akui, Mas Mamiek Slamet, lebih tepat sebenarnya Eyang, tidak main-main
dalam mempersiapkan segala sesuatunya sebagai operator mancing. Secara pribadi
saya memberikan apresiasi yang mendalam atas semua yang telah dia lakukan demi
melancarkan ekspedisi ini. Mungkin ketika berada di lapangan apresiasi saya
kurang ter-verbalkan, maklum di kepala banyak sekali pikiran yang lalu lalang
terutama bagaimana menyusun strategi dokumentasi dan juga cerita, melalui
tulisan ini saya ingin mengulanginya. Sebagai operator mancing wild fishing, di
negeri ini, menurut saya dialah yang paling keren! Saya berharap bisa kembali
nge-wild fishing bersamanya suatu hari nanti di Merauke dalam suasana yang
lebih santai, lebih selow! Kembali ke urusan camp, dengan gambaran camp kami
seperti diatas, dapat dibayangkan kami ini ibarat sebuah mercusuar di lautan
yang gelap, ibarat tower seluler bagi pengguna di sekitarnya, ibarat lilin di
kegelapan. Kami telah membuat pengumuman untuk seluruh penghuni rawa, bahwa ada
kehidupan baru yang hadir di rawa ini untuk beberapa hari kedepan. Kehidupan
baru yang tergesa, berisik, sekaligus penuh tanda tanya. Kehidupan para
manusia. Di alam liar, kehadiran sesuatu yang berbeda selalu menarik perhatian,
terutama bagi binatang-binatang yang memiliki keberanian tertentu. Meski kami
ini ibaratnya sudah menjelma seperti pasukan kecil yang berani menempuh apapun,
tetap saja jika dibandingkan dengan kemegahan dan keluasan rawa ini, dan
banyaknya jumlah semua penghuninya, kami ini hanyalah noktah di lautan luas.
Thats why, hal-hal sederhana yang mendasar kemudian sangat sangat penting,
seperti contohnya posisi camp dan ketinggian camp milik kami ini. Masyarakat
lokal telah mengatur strategi jaga baik untuk malam dan siang di camp ini
sehingga kami cukup tenang ketika tidur dan atau ketika berkegiatan di siang
hari. Kenapa siang hari masih harus dijaga, bukankah tidak ada kehidupan
manusia lainnya selain kami? Yakni karena jarak “danau” Rawa Camo dari camp
kami saat itu masih harus berjalan kaki selama setengah jam lagi ke arah
‘bawah’. Camp ini ibaratnya di posisi sebuah puncak di ‘perbukitan’ sekitar
rawa. Tidak mungkin membangun camp di Rawa Camo karena sekitar spot mancing ini
kondisinya sangat ekstrim dan berbahaya (tepiannya sangat basah dan juga penuh
jebakan lumpur). Rawa Camo dimusim kering juga menjadi konsentrasi seluruh
buaya yang ada di kawasan ini, ukuran predator purba itu ada yang melebihi longboat-longboat
kami. Jumlahnya buanyaak! Sangat tidak lucu misalnya kami sedang makan malam
misalnya, eh ketika menoleh ke luar camp sudah pada nongkrong para preman Rawa
Camo yang kesohor itu di sekitar kita. Atau ketika sedang enak-enak tidur,
terus dibangunin mereka diajak mancing lagi?! “Om bangun om, ayok mancing lagi,
biar malam aman Om saya yang temenin?”Hahahaha!
Beberapa longboat, longboat yang dibuat di lokasi beberapa
minggu sebelum kehadiran kami di tempat ini, telah standby di tepian danau untuk
kami gunakan selama berkegiatan di lokasi ini. Ada empat buah longboat, dua di
antaranya disatukan dengan tali agar aman untuk kameraman kami. Jadi ada dua
klasifikasi longboat yang berbeda dalam ekspedisi ini, kelompok longboat yang
kami gunakan dari kampung ke basecamp (sangat panjang dan memiliki mesin), dan
longboat yang dibuat on the spot hanya untuk memancing saja di Rawa Camo. Saya
masih melihat bekas-bekas tebangan kayu dan tatal
bekas pembuatan longboat ini ketika trekking pada hari pertama menuju ke danau.
Jadi Rawa Camo memang benar-benar terisolasi dari seluruh penjuru manapun tidak
bisa diakses langsung dengan longboat. Agak aneh memang lokasi ini, pilot drone
kami juga mengatakan bahwa ketika sedang mencoba menerbangkan drone untuk
melihat kondisi kawasan sekitar camp, dia mengatakan bahwa magnet di kawasan
ini juga sangat kuat, hal yang tidak sering dia alami selama mengikuti kami
berkeliling di waktu-waktu sebelumnya (Halmahera, Sulawesi Tengah, dan
lain-lain). Padahal jelas-jelas di lokasi-lokasi tersebut kontur wilayahnya
pegunungan berbatu semuanya. Memang sedikit repot tiap hari haru bolak balik
berjalan dan menyeberangi tepian rawa yang penuh lumpur hisap itu untuk tiba di
titik dimana longboat kami ditambatkan. Tetapi di satu sisi situasi ini
menguntungkan bagi sebuah eksplorasi memancing. Rawa Camo hanya ramai manusia
ketika musim ikan arwana bertelur saja, dalam setahun hanya sekali, yakni
ketika para pemilik ulayat mengambil hak mereka atas apapun yang ada di wilayah
ini terutama dari ikan-ikan arwana. Selebihnya, suasana di danau ini sunyi,
hanya suara kehidupan alam liar yang terus berulang setiap hari. Jadi bayangkan
hancurnya suasana yang begitu alami itu jika camp kami dekat dengan danau
(misalnya hal itu mungkin dibuat). Ikan-ikan yang telah terbiasa hidup tenang
tanpa gangguan, ada kecenderungan menjadi spooky
ketika ada perubahan suasana yang drastis. Hal ini tentu tidak menguntungkan
bagi ekspedisi dengan target yang tidak main-main ini. Dengan posisi camp yang
jauh dari danau, selalu ada pemulihan suasana di danau ini setap malamnya
karena kami hanya berkegiatan dari pagi hingga sore hari saja. Pagi biasanya
pukul tujuh pagi kami sudah tiba di danau, dan sekitar pukul lima sore kembali
pulang. Begitu seterusnya! Tetapi itu hanyalah teori di atas kertas ketika kami
meeting di basecamp. Terkadang saking
lelahnya raga, kami baru tiba di danau ketika pukul sepuluh pagi karena
terlambat bangun. Sebuah ekspedisi berbeda dengan one or two day trip, dimana fisik kita masih begitu bugar dan siap
di push seperti apapun. Ketika kami
pertama kali melemparkan umpan pertama kami ke air di Rawa Camo, hari itu
adalah hari ke-4 kami melakoni perjalanan ini. Telah menempuh ribuan kilometer
sejak Jakarta, puluhan jam sejak dari Merauke, dengan segala suka duka dan
lelahnya. Satu lagi, meski telah beralas terpal dan juga matras dan juga
sleeping bag, tidur di atas tanah rawa itu sungguh membuat badan kemeretek setiap paginya. Tidak bisa
bangun langsung nyat! Tetapi kita
masih harus molat molet beberapa
puluh menit dahulu untuk mengumpulkan nyawa yang ‘berserakan’ entah kemana.
Jika dilihat dari udara melalui drone, Rawa Camo terlihat
seperti sebuah ketupat berukuran raksasa. Berwana gelap di antara hamparan
vegetasi hijau yang mengepungnya. Sekitar lima puluhan meter di semua tepian
danau adalah hamparan luas tanaman bakung dan juga rawa-rawa setengah kering.
Jalur inilah yang paling berat diakses karena kami harus melaluinya berjalan
kaki dan sudah dapat dipastikan kita pasti akan ada saja saatnya terjebak di
lumpur yang dalam. Lagi enak-enak meniti ranting-ranting kayu di dasar rawa,
tiba-tiba blessssss, seluruh badan masuk sepinggang ke dalam lumpur. Dan kalau
sudah begini sangat sulit untuk keluar sendirian, kita harus dibantu oleh orang
lain yang menarik kita. Karena jika sendirian, semakin kita bergerak, semakin
kita menancap. Thats why kenapa kalau berkegiatan di lokasi ini bahkan
masyarakat pun tidak pernah sendirian, bahaya. Masih mending kalau hanya
kejeblos saja ke dalam lumpur, yang lebih berbahaya adalah karena banyak sekali
akar-akar pohon yang saling silang di dalam lumpur sana. Sangat beresiko ketika
kita kejeblos, kaki kita terkilir karena masuk ke dalam sela-sela akar
tersebut, lha kalau sampai patah karena gerakan kita yang terkejut tiba-tiba
dan salah arah? Memang keren jika dilihat dari layar kaca, kami berkegiatan di
lokasi wild dan terlihat begitu gagah? Resikonya terkadang begitu besar tetapi
kami memang tidak mungkin terlalu jujur di layar kaca (baca: termehek-mehek). Jadi
selama menyeberangi jebakan rawa hisap ini, akan selalu ada teriakan tiba-tiba
dari siapapun yang terjebak, sebagian besar akan tertawa karena itu artinya ada
yang kejeblos, sebagian lagi akan berusaha menolongnya dengan tetap sembari
tertawa juga. Bukan hanya kami, tetapi bahkan orang-orang Suku Yee yang
memiliki ulayat danau ini pun juga masih bisa kejeblos! Hahahaha! Setidaknya
suasana menjadi tidak terlalu tegang, karena sangat tidak baik sudah sejauh dan
seberat ini semua perjalanan yang kami tempuh, masak masih harus tegang juga.
Nikmati saja bukankah hampir setiap trip juga seperti ini?! Akan tetapi ketika
dayung telah mulai dikayuh oleh orang-orang Suku Yee, pertanda kami telah
berada di atas perahu-perahu kami menyusuri tepian Rawa Camo, saya mengingatkan
seluruh anggota ekspedisi, tenang! Kita harus menutup mulut kita dahulu selama
di atas air, jika tidak ingin menyesal kemudian. Maksud saya boncos alias tidak
mendapatkan ikan. Mungkin ini hanya salah satu teori saja ketika berkegiatan di
alam liar yang jarang dijamah manusia, tetapi tidak ada ruginya bukan? Saya
salah duga, saya pikir di tepian danau ada banyak rebahan pohon dan atau
rerumputan air yang terendam dan mulai layu, ataupun perdu yang meranggas
karena mati direndam air. Semua tepian Rawa Camo ini seragam, hanya terdapat
tanaman bakung saja, mengapung dan terlihat begitu rapi. Di sisi lain ini
sangat menantang (baca: sulit) untuk kegiatan sportfishing karena tidak ada
poin lemparan yang spesifik yang bisa dianggap sebagai sebuah casting poin yang
potensial. Untungnya kedalaman air saat itu tidak terlalu tinggi, karena sedang
kemarau, hanya sekitar 3-5 meter saja. Permukaan danau mengkilat seperti kaca
hitam, begitu halus dan sunyi, rasanya sangat berbeda menatap permukaan danau
yang seperi kue lapis maha luas itu, terkadang saya membayangkan tiba-tiba ada
buaya dari dalam air yang mengucapkan selamat datang kepada kami semua. Pikiran
yang dengan segera selalu saya tepis karena ngeri sendiri membayangkan
akibatnya.
Kami membagi pergerakan dalam dua arah berbeda. Bang Joe
Michael menggunakan kayak dan diikuti perahu khusus kamera bergerak ke arah
kanan dari ‘dermaga’ longboat kami. Saya dan Eyang Mamiek Slamet (sudah 60
tahun lebih ternyata usianya) menyisir ke arah kiri. Pergerakan hari pertama
ini untuk mapping titik-titik potensi strike yang ada di danau ini. Diharapkan
hari-hari berikutnya pergerakan kami akan lebih efektif dengan hanya mendatangi
spot-spot yang memang ada tanda-tanda keberadaan ikan target. Waktu akan
menjadi sangat berarti dengan strategi seperti ini dibandingkan menyisir terus
menerus sepanjang hari tetapi sebenarnya tidak terlalu yakin dimanakah
konsentrasi para penghuni Rawa Camo ini. Dalam bayangan saya sejak masih di
Jakarta, sebuah lokasi terisolasi yang sangat jarang didatangi manusia, pasti
ikannya akan sangat melimpah, ibaratnya setiap kali kita melemparkan umpan,
ikan sudah berbaris di bawah sana berebut menyambarnya. Tetapi ini ternyata
adalah harapan yang terlalu berlebihan. Setiap lokasi selalu memiliki
karakternya sendiri-sendiri, karena bahkan di kolam sekalipun tetap memerlukan
waktu usaha dan strategi khusus. Satu jam menyisir tepian danau saya hanya
mendapatkan missed call tidak berarti
beberapa kali, sepertinya dari ikan-ikan kecil (banyak sekali tarpoon di danau
ini). Atau bisa jadi juga dari ikan-ikan arwana tetapi belum terlalu niat
menyambarnya. Sambaran ikan arwana konon sangat halus, berupa getaran tetapi
memang dengan kekuatan tertentu, bukan sentakan tiba-tiba seperti saat kita
memancing ikan blackbass misalnya. Jadi, menurut Eyang Mamiek Slamet, apapun
itu rasanya di joran kita, mau getaran halus, sentakan kecil, ataupun cuma deg
deg kecil, pokoknya hajaaar saja! Karena bisa jadi itu malah ikan arwana yang
sedang kita cari-cari. Tetapi memang saya masih harus banyak belajar, apalagi
ini trip ikan arwana pertama saya, beberapa kali sambaran di dalam air sana
tetap missed hooked. Entah ikan apa
saya berharap bukan ikan arwana. Hehehehe! Yang tidak kami duga adalah,
menjelang siang hari permukaan danau dipenuhi oleh ombak-ombak kecil karena
angin bertiup sangat kencang. Ini sangat menyulitkan teknik sportfishing karena
konon ikan-ikan predator jika kondisi seperti ini akan bersembunyi jauh di
dalam dan atau ngumpet di bawah tanaman akar bakung. Yang kami anggap tepian,
dimana menjadi batas antara populasi bakung dan air, itu bukanlah tepian
sejati, karena sekitar dua puluh meter lagi ke arah tepian di bawah tanaman
bakung itu, adalah ‘terowongan’ yang menjadi semacam basemen maha luas, bisa
jadi kesanalah ikan-ikan target bersembunyi karena ketakutan dengan perubahan
gelombang di permukaan. Perasaan menjadi tidak karuan karena seluruh anggota
ekspedisi hingga tengah hari tidak berhasil menaikkan ikan arwana satupun! Di
danau terisolasi, jauh dari manusia, jarang didatangi orang, pada hari keempat
perjalanan?! Hiburan saya satu-satunya adalah pete kupas yang sengaja kami bawa
dari Jakarta yang menjadi lalapan spesial di hampir semua perjalanan memancing
saya dengan Bang Joe Michael.
Beragam ‘teori’ memang sellau muncul ketika ikan target
tidak kunjung kita dapatkan. Dari versi masyarakat (kog gak bilang dari ketika
kami masih di Jakarta Om...?) adalah kedatangan yang terlambat karena bulan
Agustus ikan-ikan sudah mulai memasuki musim kawin. Jadi katanya, ibarat sudah
pada sibuk pacaran dan mau telolet eh
kita malah datang mengharapkan sambaran mereka, pastinya menjadi lebih sulit
jika dibandingkan dengan bulan Mei –Juli katanya. Dan lain sebagainya. Kalau
saya sendiri berpendapat mari kita tetap optimis. Bisa banyak faktor yang
terkait dengan kosongnya sambaran hingga sesiang ini; umpan yang terlalu besar
mungkin, terlalu cepat memainkan umpan, titik lemparan yang harus diperbaiki,
dan lain sebagainya. Banyak hal masih bisa kita coba untuk memperbesar chance
disambar dari spesies yang memang dikenal sangat ‘apik’ dalam berburu mangsa
ini. Kehidupan sehari-hari sebuah spesies di lokasi terisolasi pastinya telah
begitu lekat dengan karakter lokasi itu sendiri. Misalnya saja di Rawa Camo, mungkin
ikan arwana sudah begitu terbiasa dengan serangga yang jatuh dari tanaman
bakung di tepian, dan bukannya mengejar ikan-ikan kecil layaknya di sungai. Nah
ini bisa juga menjadi faktor sulitnya sambaran karena tabiat berburu mangsa
yang telah begitu spesifik. Umpan top water bisa kita karyakan untuk mencari
jawaban atas hal ini. Visibility air juga bisa menjadi pemikiran berikutnya,
bisa jadi lure kita kurang mencolok di warna air yang begitu hijau pekat ini?
Ada pendapat yang tidak saya sebutkan ketika meeting sambil mengunyah pete
siang itu. Jika memang di danau ini begitu banyak buayanya, yang artinya mereka
juga berburu ikan untuk mengganjal perut mereka, bisa jadi tingkat kewaspadaan
ikan arwana menjadi begitu sangat tinggi. Pergerakan dan suara di air yang
terlalu mencolok bisa jadi langsung membuat mereka berlari jauh-jauh ke balik
akar bakung untuk bersembunyi karena dikira ada buaya sedang berburu. Padahal
bisa jadi suara tersebut dari suara kayuhan dayung yang dilakukan masyarakat. Sebenarnya
ini sugesti untuk saya sendiri yang tidak mengira sebuah lokasi ‘perawan’ kog
sepi banget tidak ada jeritan?! Ada kantuk yang begitu kuat menyerbu seluruh
anggota ekspedisi usai makan siang, satu persatu anggota ekspedisi saya lihat
terlelap di atas longboat dengan
posisi sembarang, mencoba meraih mimpi. Meski matahari begitu terik membakar
seluruh penjuru kawasan, meski sebenarnya kami tidak boleh terlalu terlena di
kawasan ini karena begitu banyak ‘preman’. Berkegiatan di atas air memang
menguras tenaga, terutama bagi kru dayung kami. Oksigen di atas air cenderung
tipis dibandingkan di sekitar vegetasi, itupun masih ditambah dengan pantulan glare (pantulan sinar UV, itulah sebabya
kita dianjurkan memakai kacamata polarized saat berkegiatan di permukaan air)
yang bukan hanya menyilaukan mata, tetapi dalam jangka waktu yang lama akan
menyerang sistem saraf kita menghasilkan pening. Siang itu kami begitu terpojok
di salah satu sudut danau, hanya angin yang terus bertiup dan kecipak dari
gelombang di atas permukaan air yang menemani dengkur sebagian anggota
rombongan dan lamunan saya yang tidak ingin terlelap. Dari hasil rekaman gambar
drone yang kami terbangkan tadi pagi, saya melihat setidaknya ada sepuluh bekas
‘lapangan’ buaya di antara keluasan tanaman bakung di tepian rawa ini. Thats
why saya tidak ingin terlelap dan mengisi waktu sambil latihan casting! Siapa tahu bisa mengaggetkan
seluruh anggota rombongan dengan arwana monster, ya toh?!
Pukul setengah tiga sore kami kembali menyisir tepian Rawa
Camo, semangat seluruh anggota rombongan kembali pulih akibat mood booster berupa pete dan lelap
sekejap tetapi berarti karena memang tubuh sedang sangat membutuhkannya. Gelombang
di permukaan air telah jauh berkurang tetapi memang panas matahari begitu
menyengat. Ini juga situasi yang kurang bersahabat karena dengan menipisnya
oksigen di perairan terbuka, ikan-ikan tentu memilih berkonsentrasi di bawah
akar-akar tanaman bakau yang dingin sembari melamun menunggu mangsa jatuh dari
dedaunan bakung. Kesanalah seluruh konsentrasi kami arahkan di sisa waktu hari
ini, bagaimana caranya umpan jatuh dekat sekali dengan batang tanaman bakung.
Saya tetap belum beruntung, di sebuah teluk kecil, yang di dedaunan bakungnya
seperti ada bekas-bekas kotoran burung, ada sambaran yang sangat jelas, tetapi
karena hooking yang kurang baik, yang kami dapatkan hanyalah tarian dua detik
ikan arwana di permukaan air, yang seperti mengejek saya karena berhasil meloloskan
diri. Eyang Mamiek Slamet mengutuki kegagalan saya, aduuuh kenapa ikan kamu
lepaskan? Belum juga naik Eyang bagaimana saya sengaja lepaskan, sudah-sudah
biarkan saya berusaha lagi. Lucu sekali meskipun tensinya lumayan berbeda.
Hahahaha. Sudah mocel kena omel pula dari pemancing arwana paling senior di
Indonesia? Bang Joe Michael dan Pak Ugi (owner Nila Pak Ugi Kelapa Gading)
sepertinya juga mengalami hal yang kurang lebih sama pada hari ini, di seberang
kami, terlihat beberapa kali ada gerakan fight tetapi terlihat Bang Joe Michael
berhasil landed satu ikan target.
Grup seberang itu memang kompor meleduk,
beberapa kali ada tawa dan ejekan yang memenuhi seluruh penjuru danau. Orang
tua, susah memang diingatkan agar tenang. Bagaimanapun itu mereka adalah senior-senior
saya dalam arti yang sesungguhnya, karena ketika saya baru dilahirkan di dunia
pemancingan negeri ini, bisa jadi mereka sudah memancing kemana-mana. Jadi
biarkan saja begitu adanya daripada saya kualat?! Keberuntungan tidak terduga malah
berpihak ke bos kami yang seharusnya tidak memancing. Tetapi apa mau dikata,
seharian menunggu merekam gambar ikan yang tidak kunjung datang memang sangat
membosankan. Konon dia iseng saja meraih satu rod yang sudah lengkap terpasang
umpan, kemudian melemparkannya sembarang. Eh malahan berhasil strike dan landed
ikan arwana?! Fish realy really dont care
what we paid! Kami yang seharian menggempur danau ini dengan segala teknik
dan juga puluhan umpan berbeda hasilnya nol! Dia yang iseng malah dapat? Itulah
kenapa saya sering menulis di blog ini, dalam memancing banyak sekali faktor
x-nya. Jadi sebenarnya sangat sulit merumuskan semua hal dalam sebuah komposisi
rumusan yang pasti. Jadi saudara-saudara, menjadi seorang angler kurang tepat
jika kita mengatakan harus begini harus begitu, salah kalau begini, yang benar
begitu?! Yang bisa kita sampaikan terkait teknik dan lain sebagainya adalah
“setahu kita, tetapi banyak kemungkinan lainnya lagi”. Malah banyak sekali saya
lihat ada pemancing yang menyebut mereka sebagai “guru” dan sebutan sejenisnya
yang setara. Menjelang pukul lima sore kami semua kemudian merapat kembali di
‘dermaga’ ada senyum kepuasan dari bos kami, pastinya dia menjadi orang paling
berbahagia di seluruh penjuru Rawa Camo pada sore itu, karena hanya dia seorang
diri yang berhasil landed ikan arwana
papua! Ikan apes itu tadi padahal niatnya menguap, kata saya berkomentar. Kami
tertawa sembari melangkah mencoba kembali menerjang rawa hisap yang menjadi
arah datang kami tadi ke danau Rawa Camo. Sambil berjibaku melewati ganasnya
lumpur hisap untuk sampai ke tepian danau yang keras di tepi hutan, saya
memikirkan strategi menangkis serangan-serangan ejekan khas pemancing yang
seringkali ditujukan kepada siapapun yang boncoz, nanti malam saat kami sudah
berada di basecamp. Hahahaha! (Bersambung)
* Pictures captured at Rawa Camo, Distrik Sota, Merauke, Indonesia, August 2016. By Me & Faishal Umar. Please don't
use or reproduce (especially for commercial purposes) without my
permission. Don't make money with our pictures without respect!!!.
Comments