Kenangan Empat Hari di Labang: Jalur Tikus dan Tantangan Kehidupan Masyarakat Dayak Okolod di Wilayah Perbatasan Indonesia – Malaysia
Saat longboat kami tiba di Desa Ngawol, salah satu desa di Kelompok Desa Labang, Kabupaten Nunukan waktu telah menunjukkan pukul 4 sore hari. Tidak ada dermaga kampung meskipun itu hanya terbuat dari gelondongan kayu ataupun bilah papan yang disusun rapi di depan gerbang desa, seperti sering saya jumpai misalnya di kampung-kampung di Mahakam Ulu (Kalimantan Timur) dan ataupun di daerah Kalimantan Tengah. Longboat yang membawa kami dari Mansalong (5 jam perjalanan ‘mendaki’ di bawah kampung ini) merapat begitu saja di tepian sungai berbatu yang sangat minim sekali memiliki tepian landai tersebut. Seluruh barang kemudian kami angkut sendiri, benar-benar sendiri dari tepian sungai menuju ke rumah panggung yang akan menjadi basecamp kami selama berkegiatan di desa perbatasan ini. Jaraknya lumayan sekitar 300 an meter. Dengan kontur tanah yang lumayan menanjak mengangkut barang-barang ini memerlukan semangat dan kesabaran tersendiri. Semua kampung di DAS Sembakung ini memang berada di dataran yang tidak seberapa dengan kontur tanah yang cukup curam. Kami tidak mengharapkan bantuan dari warga kampung yang kami tuju ini, tetapi memang sambutan ini agak tidak biasa dibandingkan dengan berbagai daerah lain di Kalimantan yang pernah saya datangi sejak tahun 2009. Biasanya di daerah lain di pedalaman Kalimantan, siapapun yang melihat kedatangan tamu secara refleks begitu saja akan membantu sebisa mungkin memindahkan barang dan lain-lainnya ataupun menegur kami sehangat mungkin bisa meskipun itu sekedar menyampaikan selamat datang. Tetapi di kampung ini kami menjadi tontonan dan bahan pembicaraan yang kurang saya mengerti. Untungnya ada dua petugas Babinsa dari Koramil Mansalong yang ikut mudik bersama kami, sehingga kami sangat terbantu dalam memindahkan barang-barang keperluan peliputan ini. Setelah menunggu beberapa waktu hingga menjelang malam, kami akhirnya mendapatkan tempat menumpang. Di rumah kepala adat Desa Ngawol, Bapak Pantaauw. Saya pernah membaca dan melihat sosok beliau di beberapa foto di media online internet yang membahas perbatasan ini, memang bukan dari media-media nasional, tetapi media-media daerah yang sepertinya dijalankan oleh ormas-ormas. Sebenarnya telah satu minggu lebih saya mencoba menghubungi kampung ini melalui telepon sejak dari Jakarta, karena katanya di kampung ini sudah ada jaringan selulernya. Berkat bantuan beberapa pihak di Nunukan, Malinau, dan juga di Mansalong, sebenarnya saya telah mengantongi nomer telepon kepala adat dan beberapa warga desa lainnya. Tetapi tetap saja tidak bisa terhubung hingga hari kami ‘mudik’ menuju kampung ini pagi tadi. Setelah ngobrol sebentar di teras rumah, barulah terkuak apa penyebab sulitnya hubungan jarak jauh yang ingin saya lakukan. Kabel tower kecil yang ada di ujung kampung tersebut katanya baru saja dimakan tikus. Sudah dilaporkan kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab melalu orang-orang yang turun ke Mansalong tetapi belum ada perbaikan. Entah kenapa tikus selalu menjadi biang masalah. Tikus dalam arti sebenarnya maupun kiasan. Badan saya kurang fit sebenarnya karena telah beberapa hari demam, di Mansalong saya mencoba berobat tetapi tidak beruntung dengan jadwal Puskesmas Mansalong yang ternyata sangat ajaib (pendek sekali dan bahkan pada pukul 11 siang sudah tidak ada petugas yang berjaga). Tetapi di tengah kondisi badan yang tidak mendukung ini, apalagi seharian tadi melakukan perjalanan sungai yang cukup menguras tenaga, saya mencoba silaturahmi sebaik mungkin dengan beberapa masyarakat yang mampir ke rumah kepala adat dan terutama saya tetap melakukan obrolan serius dengan bapak kepala adat, demi mendapatkan informasi-informasi yang mungkin berguna untuk kepentingan liputan Jejak Petualang Trans|7 ini. Entah kenapa kesan malam pertama di kampung ini agak berbeda dengan yang pernah saya alami di kampung-kampung pedalaman masyarakat Dayak lainnya di Kalimantan ini. Sangat sulit menyampaikan maksud dan tujuan perjalanan kami dan begitu pula feedback yang kami terima. Malam hari ketika waktu menunjukkan pukul 23.00 waktu Labang, musik yang memekakkan telinga masih terdengar dari rumah tidak jauh dari basecamp kami. Beberapa pemuda kampung yang sudah begitu mabuk sempat menghampiri saya yang memang selalu sulit tidur ini di teras rumah Bapak Pantaauw, meminta rokok dan bahkan ada yang meminta baju (saya tidak layani untuk permintaan baju ini, rokok pun saya kasih secukupmya saja). Entah kenapa malam pertama di kampung perbatasan ini saya tiba-tiba menjadi tidak nyaman. Bukan karena saya perhitungan tentang rokok dan bajunya, tetapi memang aneh saja ketika kita berharap kehangatan sebuah masyarakat yang kita anggap masih tradisional tetapi kenyataan yang ada tidak demikian adanya. Pertama kali dalam hidup saya, yang telah sejak keluar masuk Kalimantan, ke berbagai wilayah pedalamannya dimanapun itu, saya bertekad secepatnya menyelesaikan tugas-tugas kami di perbatasan ini dan kemudian segera pergi. Tetiba saya ingat kampung-kampung saya lainnya yang begitu hangat yang juga berada di pulau ini seperti Lung Tuyoq di Kabupaten Mahakam Ulu. Long Sului di hulu Sungai Kelai, Kabupaten Berau. Petuk Barunai di tepi Sungai Rungan Kalimantan Tengah. Sei Paduran di tepi Sungai Sebangau, Kalimantan Tengah. Kelembunan di Sekatak, Kalimantan Utara. Dan lain sebagainya! Jika saya bisa saya ingin melewatkan malam ini begadang di salah satu kampung tersebut sembari menikmati teh atau kopi hangat di teras rumah, sembari mendengarkan kisah dengan sang empunya rumah yang biasanya begitu antusias bercerita tentang banyak hal kehidupan, tetapi tanpa kehawatiran dan ketidaknyamanan seperti saya rasakan sekarang ini di Labang.
Malam ini adalah malam keempat bagi
saya dan tim Jejak Petualang Trans|7 berada di Kalimantan Utara. Beberapa hari
sebelumnya kami habiskan di daerah Mansalong mendokumentasikan beberapa
kegiatan masyarakat, sembari melakukan persiapan untuk mudik ke Labang ini.
Yang menjadi perhatian utama perjalanan ini adalah kehidupan masyarakat di perbatasan
antara Indonesia dengan Malaysia, tepatnya di bagian hulu DAS Sembakung,
Kabupaten Nunukan. Seperti apa dinamika kehidupan masyarakat di wilayah ini?
Untuk tiba di kampung kecil yang jaraknya ibarat hanya sejengkal saja dengan
Kampung Bantul negara Malaysia, kita harus mendaki ke arah hulu Sungai
Sembakung selama kurang lebih lima jam. Untungnya hari ini debit air cukup
bersahabat. Tidak terlalu dangkal karena beberapa malam sebelumnya turun hujan
deras di pegunungan. Kondisi ini memudahkan proses ‘mendaki’ Sungai Sembakung
dibandingkan ketika debit air kecil karena kita akan banyak turun dan kemudian
menarik longboat melewati jeram-jeram. Jeram-jeramnya memang tidak seberapa
jika dibandingkan dengan Sungai Mahakam di Kalimantan Timur, yang baru sepuluh
hari lalu saya datangi bersama tim Jejak Petualang Wild Fishing (JPWF). Tetapi
tetap saja jika terlalu banyak menarik perahu perjalanan akan sangat lama dan
melelahkan. Banyak berita di internet dan juga di beberapa media nasional di
Jakarta hanya memuat tentang perpindahan penduduk ke negara tetangga,
pergeseran patok tapal batas wilayah milik Indonesia, persoalan-persoalan
minimnya infrastruktur dan mahalnya ongkos hidup, dan juga baru-baru ini
tentang keinginan beberpa pihak untuk mendirikan kabupaten baru yang terpisah
dari Kabupaten Nunukan (Kabudaya). Waktu beranjak pukul 03.00 dinihari dan
musik memekakkan telinga dari sound system yang datang dari rumah sebelah tetap
tidak diturunkan barang satu strip pun volumenya. Saya heran dengan situasi
ini, di pedalaman Kalimantan yang lainnya, mereka memiliki keramahan dan
kehangatan yang luar biasa, juga empati yang mengharukan. Saya agak tersentak
ketika sembari melamun dan menghitung tentang beban tugas kami di wilayah ini,
sekelompok ibu-ibu merangsek masuk ke rumah yang menjadi basecamp kami sembari berisik dengan bahasa yang 100 % tidak saya
mengerti. Rupanya istri motoris longboat
kami sudah mabuk berat entah dimana dan terpaksa diantarkan pulang dengan
dibopong ibu-ibu lainnya yang masih sadar. Sang motoris, saya ingat kemarin
malam di Mansalong baru menerima down
payment cukup mahal dari kami untuk perjalanan ini, juga sudah mabuk tetapi
masih bisa jalan sendiri. Suasana dinihari yang seharusnya tenang dan mampu
menjadi momen bagi siapapun untuk beristirahat rupanya tidak berlaku di Labang.
Saya melihat kawan-kawan satu tim saya yang ‘berantakan’ mencoba tidur di ruang
tamu rumah kepala adat ini. Rupanya seperti inilah suasana sebuah desa di
perbatasan Indonesia - Malaysia. Ternyata ada yang lebih memprihatinkan
dibandingkan persoalan insfrastruktur dan sulit serta mahalnya kebutuhan hidup,
yaitu keputusasaan dan kehilangan arah yang sangat kuat. Tetapi kenapa di
daerah lain yang juga berada di pedalaman Kalimantan, yang mana infrastruktur
jauh lebih minim dan lain-lainnya juga lebih mahal saya masih bisa menemukan
kehangatan dan kedamaian ketika bertamu dan bekerja bersama mereka? Long Sului
misalnya, dua hari perjalanan sungai dari kita Tanjung Redeb, Berau, adalah
‘ujung dunia’ yang begitu saya rindu hingga detik ini?!
Seperti telah saya sebutkan
sebelumnya yang menjadi fokus perjalanan ini adalah melihat dinamika kehidupan
masyarakat perbatasan yang menurut kabar-kabar mainstream telah bosan berjuang
dengan banyaknya keterbatasan yang ada serta minimnya perhatian dari
pihak-pihak yang diharapkan. Hari kedua berada di Labang (tanggal 3) kami
mencoba mengikuti perjalanan beberapa masyarakat yang masuk ke wilayah Malaysia
untuk berbelanja barang-barang kebutuhan pokok. Ada beberapa ibu-ibu dan juga
bapak-bapak yang sepertinya sedang mempersiapkan sesuatu untuk acara yang akan
dilangsungkan malam harinya di Labang. Kampung Malaysia terdekat dari Labang
adalah Bantul, sebuah kampung kecil yang namanya mengingatkan saya pada sebuah
kota di Yogyakarta. Jarak dari Labang sekitar setengah jam perjalanan dengan
menggunakan longboat. Seperti halnya Labang, Bantul adalah kampung agraris
terpencil yang sangat sepi. Sekitar kampung ini hanya hutan dan juga
tebing-tebing. Agak aneh ketika melintasi Bantul ini karena di dekat kampung
ini ada pos tentara perbatasan Malaysia (meskipun sedang kosong) tetapi suasana
tidak ada yang berubah. Sungai Sembakung yang berair coklat karena banjir,
hutan dan tebing di kiri-kanan, ladang-ladang di lereng perbukitan yang terjal,
dan hawa dingin yang saya rasakan semakin tidak enak ketika menerpa badan yang
masih berjuang keluar dari meriang ini. Semua terlihat dan terasa sama padahal
saya telah memasuki wilayah negara yang berbeda. Sebelum melewati Bantul,
sebelumnya kami sempat mampir terlebih dahulu ke Tugu Garuda yang pada tahun
2015 lalu dibangun oleh Masyarakat Peduli Perbatasan di pinggiran sungai dekat
Patok GP 1 Indonesia di wilayah ini. Kondisi tugu masih sangat bagus meski saya
lihat bendera yang ada di depan tugu begitu lusuh. Konon tugu ini dibangun
karena banyak anak-anak di wilayah ini tidak mengetahui apa lambang negara
Republik Indonesia. Kebanyakan dulu mereka menyebut “singa” (lambangnya
Malaysia) dan bukannya “garuda”. Saya kurang memahami seperti apa pengaruh
keberadaan pengaruh Tugu Garuda ini untuk mengedukasi masyarakat terutama
anak-anak di wilayah Indonesia di perbatasan ini karena letaknya yang jauh dari
kampung. Ironisnya di Labang sendiri, meski memiliki bangunan sekolah yang
menurut saya sangat baik yang letaknya ada di puncak bukit di atas kampung,
tetapi sehari-hari tidak ada gurunya (konon gurunya ada di Mansalong dan sangat
jarang sekali mengajar di Labang)!
Kami telah mengurus pass lintas
batas (PLB) sejak tanggal 2 Februari di Pos Imigrasi Lumbis di Mansalong
sehingga ketika longboat yang mengangkut masyarakat berhenti di Daerah Kecil
Pagalungan (semacam kecamatan) kami tidak kesulitan sama sekali ketika melapor
ke Pos Imigrasi-nya Malaysia di perbatasan ini. Petugas imigrasi di Pagalungan
sangat ramah, mungkin saking sangat banyaknya masyarakat Indonesia yang melintas
daerah ini? Atau mungkin karena sebenarnya antara orang-orang Pagalungan dan
juga Labang sebenarnya berasal dari ‘ibu’ yang sama. Urusan di Pos Imigrasi
Pagalungan tidak memakan waktu lima menit, sangat cepat, dan kemudian kami
melaju ke pusatnya Pagalungan sekitar beberapa ratus meter lagi ke arah hulu.
Memang semuanya sangat berbeda, Pagalungan meski juga berada di pedalaman sama
halnya dengan Labang terlihat sangat mapan! Bangunan-bangunan rumah yang besar,
sekolah, kantor-kantor pemerintahan kecamatan, toko sembako, dan bahkan rumah
makan! Saya juga melihat bahkan di desa pedalamannya Malaysia ini tersedia
layanan internet! Saya mengkonfirmasi tentang internet ini ke seorang penjaga
toko yang saya jumpai hari itu, bahwa memang di Pagalungan mereka bisa
mengakses internet saking bagusnya jaringan seluler yang ada. Yang juga sangat
menarik adalah, masyarakat Pagalungan sangat ramaaah! Sangat-sangat nice! Saya
melihat kehangatan yang tidak dibuat-buat ketika berkomunikasi dengan kami.
Entah apakah karena rombongan masyarakat Labang yang menyertai kami sedang ada
urusan belanja? Ataukah karena kami menenteng kamera? Abang wartawan kah, tanya
seorang pemilik ‘cafe’ di Pagalungan yang menurut saya cukup cantik. Tetapi
pertanyaannya benar-benar tidak dalam konteks menyelidik tetapi lebih karena terkesan
dengan kehadiran kami di desa mereka yang sejatinya juga berada di pedalamannya
Malaysia. Singkat kisah hari itu kami tiba-tiba memiliki banyak sekali kawan
baru di Pagalungan. Bertukar cerita dan lain sebagainya. Memang kualitas hidup
yang ada di Pagalungan jauh berbeda dengan Labang di Indonesia. Padahal
sama-sama berada di Pedalaman. Selain terlihat bahwa masyarakat Pagalungan
sangat terpelajar, dan juga memang sopan, mereka semua melihat bahwa kehadiran
orang lain dari wilayah yang jauh di daerahnya adalah sesuatu yang harus
disyukuri, meskipun itu bentuknya adalah seulas senyum. Kembali, sangat aneh,
ketika beberapa orang di Pagalungan dengan gembira meminta berfoto dengan kami
sebelum kami meninggalkan desa mereka, di Labang, jari tangan saya bahkan tidak
habis untuk menghitung orang yang kami sapa dan kemudian membalasnya dengan
nice. Tidak seburuk itu sebenarnya, tetapi memang tidak ada antusiasme sama
sekali dari masyarakat Labang dengan rencana-rencana kami menampilkan desa
mereka ke pentas nasional?! Bayangkan, perlu waktu tiga hari lho untuk tiba di
Desa Labang dari Jakarta; very long flight, mobil, dan longboat! Yang kami
jumpai adalah, MAAF SEKALI LAGI, sekelompok masyarakat pedalaman yang terus
memutar musik super kencang dan terus menenggak minuman keras baik itu yang tradisional
maupun yang mereka beli dari negara tetangga?! Yang di malam pertama saya
mencoba merenung di teras kepala adat, yang menurut saya juga tidak memiliki
pengaruh besar kepada masyarakatnya, beberapa orang yang menghampiri saya
adalah sekelompok orang yang juga sedang mabuk alkohol dan kemudian memberi
‘kuliah’ kepada saya, bahwa semua kesusahan hidup mereka adalah karena orang
lain! Beginilah kehidupan kami Pak orang miskin di pedalaman, begitu yang
sering saya dengarkan dari mereka. Tetapi dalam semalam bisa menghabiskan dua
krat minuman keras yang harganya bisa hampir satu juta rupiah?!
Kenyataannya?! Labang memang berada
di sebuah bentang geografis yang meskipun terjal tetapi sangat subur! Berapa
banyak lahan yang digarap untuk menanam padi dan ataupun tanaman pangan
lainnya? Ataupun juga berapa banyak cabe di tanam oleh masyarakat agar rasa
makanan mereka menjadi lebih kaya rasa dan ‘nendang’? Labang juga diapit oleh Sungai
sedalin dan Sembakung, upper river yang menurut saya sangat cantik. Memang yang
‘apes’ adalah Sembakung, akibat hulu sungai berada di Malaysia dan di sana
hutannya telah dibuka untuk perkebunan sawit, airnya hampir tidak pernah jernih
sama sekali. Di Sedalin sendiri airnya cukup jernih pertanda tidak ada alih
fungsi lahan secara masif di bagian hulu. Sayangnya, populasi ikan tidak lagi
banyak akibat cara tangkap tidak ramah lingkungan berupa setrum dan racun ikan.
Kenyataannya lagi, ada lima desa di Kelompok Desa Labang ini yang sebelum saya
tiba di sini saya pikir posisinya
setidaknya akan cukup terpisah satu sama lain (beda bukit misalnya). Dengan
jumlah KK setiap desanya setidaknya karena berada di pedalaman antara 20-30 KK.
Kenyataannya kelima desa tersebut lokasinya di areal yang sama, mepet satu sama
lainnya, dengan jumlah KK setiap desanya ada yang hanya lima KK saja?! Terus
kenapa bisa jadi desa kalau KK nya sangat sedikit? Kenapa tidak dilebur saja
semuanya ini menjadi satu desa agar birokrasi dan anggaran pemerintah efektif?
Seseorang yang menemani saya dari Sembakung menjawab pertanyaan saya ini dengan
memberi gambaran tentang skema anggaran desa dan pengalokasiannya yang
sepertinya terlalu sensitif jika saya tuliskan disini. Ada banyak rencana
sebenarnya yang ingin kami garap di Labang ini, tetapi ya itu tadi saking kurangnya
antusiasme masyarakat, semuanya harus saya kubur dalam-dalam dan harus saya
alihkan ke daerah lain yang lebih bersemangat. Malam kedua di Labang, adalah
malam yang juga ‘mengerikan’, desa di pedalaman ini sangat berisik dengan
lengkingan sound system dari salah satu rumah. Sempat terbersit ketika berada
di Pagalungan (Malaysia) saya akan bermalam saja di kampung itu saking tenang
dan juga ramahnya masyarakat. Tetapi karena minimnya ringgit yang kami miliki,
kami memutuskan pulang kembali ke Labang untuk kembali menikmati kekecewaan
yang bagi saya terasa semakin kompleks.
Rupanya kebisingan yang ada di
sekitar basecamp kami adalah karena ada peringatan kedukaan yang digelar oleh
sebuah keluarga. Kabarnya peringatan 100 hari. Yang datang untuk menghadiri
peringatan kedukaan ini ada yang berasal dari kerabat dari kampung yang jauh. Memang
tidak terbayang sama sekali sebelumnya oleh saya kebisingan sound system yang
memutar lagu-lagu mulai dari lagu modern berbahasa Murut, sampai lagu dangdut
house music yang pernah ngehits di negeri ini adalah karena ada peringatan
kedukaan. Apalagi saya lihat juga lokasi peringatan kedukaan penuh dengan
berpuluh tempayan minuman keras fermentasi yang disebut pongasih dan juga berpuluh-puluh krat bir? Setua ini yang ada dalam pemahaman dan
pengalaman saya, peringatan kedukaan baik itu tujuh, empat puluh dan seratus
hari dan atau seribu hari sekalipun di kehidupan saya adalah selalu berupa
momen yang sunyi untuk mendoakan arwah almarhum yang telah berpulang. Baik itu
dilakukan bersama-sama keluarga besar maupun sendiri-sendiri. Peringatan-peringatan
kedukaan skala besar, mungkin karena yang berpulang adalah orang-orang penting,
yang saya ketahui setua ini juga dengan berdoa bersama-sama. Jujur saya belum
pernah melihat peringatan kedukaan, meskipun itu di pedalaman Dayak dimanapun,
dipenuhi dengan mabuk massal berhari-hari seperti ini sembari menari house
music dangdut seperti di Labang ini. Saya mencoba berbicara dengan beberapa
orang di kampung ini tentang peringatan kedukaan khas masyarakat Dayak Okolod
ini. Apakah memang seperti ini peringatan kedukaan itu dari jaman dahulu?
Jawaban yang saya dapatkan malah keluar konteks. Dan selalu berputar-putar
kemudian ‘menukik’ ke jawaban yang tidak jauh-jauh dari menyatakan bahwa “kami
begini karena untuk melupakan bahwa kami ini orang susah, miskin dan lain sebagainya”.
Saya menjadi semakin tidak kerasan di kampung ini. Apa yang sebenarnya sedang
terjadi? Perubahan, jelas semua berubah dimanapun itu di berbagai penjuru
negeri ini. Tetapi kenapa disini saya merasa semua terasa begitu
menggelisahkan?!
Saya percaya bahwa masyarakat Dayak
Okolod jauh lebih baik dari apa yang saya lihat beberapa hari ini di Kampung
Ngawol. Atau setidaknya pernah jauh lebih baik dari ini semuanya, dahulunya.
Saya harus mencari jawabannya kepada orang-orang tua. Bapak Pantaauw adalah orang
yang saya sasar untuk mengisahkan tentang Dayak Okolod ini melalui ingatannya
yang juga tidak seberapa baik lagi karena usia dan banyaknya pergulatan hidup
yang membuat banyak hal seperti tumpang tindih dan berlalu begitu saja. Menurut
penuturan beliau, bagaimanapun say aharus menghormatinya karena terlepas dari
kondisi masyarakat di Labang saat ini, dia tentu telah melalui gelombang
kehidupan dan cobaan-cobaan hidup yang berat di pedalaman ini membawa
masyarakatnya melintasi segala pergulatan jaman. Dayak Okolod konon awalnya
hidup di suatu daerah yang secara geografis adalah di sekitar Sungai Sulon.
Saat ini jika kita menggunakan perahu kecil (misalkan bermesin 15 PK) baru akan
sampai setelah ‘mendaki’ selama dua hari menyusuri Sungai Sedalin (percabangan
sungai di bawah Desa Labang ini) dan kemudian berbelok kiri di Sungai Sulon ada
hari keduanya. Jalur menuju ke sungai ini menurut Pak Pantaauw sangat berat
dengan jeram-jeram yang sangat ganas. Di sanalah tanah ulayat Dayak Okolod yang
asli, tanah leluhur. Pemukiman kelompok masyarakat Dayak yang lokasinya berada
di pegunungan terpencil, tersembunyi dengan jalur yang ekstrim, ini memang
sangat umum. Pertimbangan utama pemilihan lokasi pemukiman yang sulit ini,
menurut beberapa orang tua suku Dayak yang pernah saya tanyai ketika di
pedalaman Kaltim, Kalteng dan lain sebagainya, adalah karena faktor keamanan.
Pada masa “kayau” (tradisi mencari/memotong kepala manusia) masih menjadi
bagian kehidupan masyarakat Dayak, semuanya hidup pada kondisi menyerang dan
atau diserang. Sehingga semua sub-sub suku Dayak tentu memikirkan lokasi
terbaik dari berbagai sisi sehingga ketika kehidupan harus dijalankan di rumah,
setidaknya terasa sangat tenang dan aman. Itulah kenapa pemukiman-pemukiman
Dayak pada jaman kuno rata-rata berada di daerah yang sangat sulit diakses.
Bapak Pantauuw sendiri mengatakan masih mengingat bagaimana situasi ketika
Belanda masih menjajah Indonesia dan mengirim tentara-tentaranya jauh ke
pegunungan Kalimantan. Kelakuannya kejam-kejam dan kurang ajar. Tetapi beliau
juga mengingat bagaimana kemudian masyarakat mampu bangkit setelah mendengar
bahwa Indonesia sudah “merdeka” dan Sukarno memerintahkan ‘menyelesaikan’ semua
tentara Belanda yang masih blusukan di pegunungan Kalimantan.
Masa “kayau” sendiri sebenarnya
telah berlalu sejak Perjanjian Tumbang Anoi yang dipelopori oleh Belanda pada
tahun 1800an. Pertemuan yang dihadiri oleh ratusan tokoh Dayak pada masa itu membahas
dan menyepakati banyak hal salah satunya adalah menghapuskan tradisi “kayau”.
Tetapi masyarakat Dayak Okolod, tetap bertahan di pegunungan hingga setidaknya
tahun 1970an ketika mereka perlahan-lahan mulai turun ke daerah yang lebih
rendah dan mudah diakses. Kini konsentrasi Dayak Okolod sendiri ada di berbagai
daerah tetapi terutama ya di Kecamatan Lumbis Ogong ini dengan konsentrasi
utama di Kelompok Desa Labang saat ini, di ‘Kota’ Mansalong dan sekitarnya
terutama di Desa Deralon, dan juga sebagian lainnya memilih tinggal di daerah Bantul
& Pagalungan (Malaysia). Perpindahan pemukiman yang mereka lakukan adalah
demi mendekatkan diri dengan kemudahan-kemudahan mendapatkan kebutuhan hidup
yang tidak mungkin mereka produksi sendiri dan juga dengan berbagai bidang
kehidupan lainnya. Selain karena telah terciptanya keamanan (baik itu karena
hilangnya “kayau” dan juga sudah merdekanya Indonesia), garam dan gula selalu
menjadi pendorong utama perpindahan masyarakat Dayak ini ke daerah yang lebih
mudah diakses dan dekat dengan jalur lalu-lintas barang. Kebutuhan akan
pendidikan dan juga pengobatan juga menjadi pendorong yang cukup penting
lainnya. Sebagai contoh di Mahakam Ulu misalnya, seorang keturunan hipui (semacam bangsawan) Dayak Long
Glaat pernah berucap kepada saya bahwa menurut penuturan nenek moyang mereka
dahulunya, kepindahan mereka meninggalkan kampung asli mereka yang berada di
tepian Sungai Tuyoq (entah dimana itu posisinya tetapi kurang lebih di bagian
hulu Sungai Boh di peta saat ini), untuk kemudian berdiam di tepian Sungai
Mahakam seperti sekarang (tetapi dengan tetap memakai nama asli asal mereka
yakni Lung Tuyoq), juga karena faktor garam gula pendidikan dan kesehatan. Kini
masyarakat Long Glaat dari Lung Tuyoq hidup makmur dengan keberhasilannya di
dunia pertanian, segala kemegahan tradisi budayanya di Mahakam Ulu, hidup
tenteram karena hutannya juga masih sangat terjaga. Telah dua kali saya ikut
mengais dan belajar hidup bersama mereka dan masih terus ingin kembali ke sana
saking banyaknya hal positif yang ada pada masyarakatnya.
Yang terjadi di Labang beberapa hari
terakhir ini bisa jadi tidak bisa dipakai sepenuhnya untuk mengukur seluruh
Okolod. Tetapi memang pergulatan di perbatasan sejak Indonesia masih diduduki
Belanda, masa konfrontasi dengan Malaysia 1965-1967, dan masa-masa setelahnya
hingga kini sangat berbeda dengan yang dialami oleh masyarakat Dayak lainnya
yang berada di daerah yang tenang. Ibaratnya ketika masyarakat Dayak lain di
daerah yang tenang semisal Dayak Kenyah Oma Lung di Malinau Selatan bagian
Hilir misalnya sibuk dengan bagaimana membangun pertanian, sibuk sekolah, sibuk
berkesenian dan lain sebagainya yang positif, Okolod bisa jadi sibuk menghadapi
gempuran-gempuran godaan dari negara tetangga. Dengan mengalirnya minuman
beralkohol yang mudah dan murah, tawaran-tawaran berpindah kewarganegaraan,
sulitnya pembangunan infrastruktur dan lain sebagainya. Intinya
persoalan-persoalan di perbatasan Indonesia – Malaysia di hulu Sungai Sembakung
ini memang kompleks. Semua pihak baik itu masyarakat adat dan pemerintah harus
legawa mengucurkan keringat dan menyingsingkan lengan baju bersama membangun
wilayah ini. Membangun infrastrukturnya, ekonominya dan lain sebagainya. Khusus
untuk keturunan Dayak Okolod, meski saya tidak pantas meminta, jangan lupakan
juga masalah tradisi dan kebudayaan warisan nenek moyang. Jangan lupakan
regenerasinya juga kepada penerus kalian. Apalah artinya kebisingan-kebisingan
tanpa makna dari lagu-lagu modern yang memekakkan telinga itu di tengah hutan
di pedalaman yang daerahnya sangat sulit diakses ini? Bukankah lebih menenteramkan
kita melestarikan kesenian dan kebudayaan warisan nenek moyang sendiri?
Sehingga apapun itu gelombang kehidupan yang akan terjadi ke depannya, kita
masih bisa berkata; inilah budaya kami (dan bukannya inilah musik terbaru
kesukaan kami), inilah cara kami berladang (dan bukannya inilah beras yang kami
beli di seberang), inilah masakan khas kami (dan bukannya inilah ayam merah
dari Malaysia), inilah pakaian tradisional suku kami (dan bukannya inilah model
terbaru baju yang kami suka), inilah ikan-ikan pelian dari sungai yang kami
jaga (dan bukannya ikan asin yang dibeli jauh dari daerah pesisir yang sangat
sangat jauh), inilah cara tangkap ikan tradisional kami (dan bukannya inilah
model alat setrum ikan terbaru kami) dan lain sebagainya.
Pagi hari tanggal 5 Februari 2017,
empat hari sejak pertama kali kami naik ke Labang, kami memutuskan untuk kembali
milir menuju ke Mansalong dengan
menggunakan longboat. Kedukaan masih
terus berlanjut dengan segala kebisingan dan minuman kerasnya dan entah kapan
akan berakhir. Konon sih kalau sang tuan rumah sudah tidak sanggup lagi menjamu
tamu-tamu ataupun kerabat yang datang. Setelah melalui upaya ekstra keras
melakukan pendekatan kepada masyarakat, sebelum pulang kami berhasil membuat
mereka menunjukkan sesuatu yang setidaknya pantas dilihat oleh publik yang
lebih luas. Beberapa puluh orang termasuk ketua adat berkumpul di Lamin Adat
dan kemudian menari dan menyanyikan nyanyian tradisional mereka. Meski tidak
semuanya menggunakan baju khas Dayak Okolod hal ini sedikit menyegarkan pikiran
yang telah suntuk mendengar house music
beberapa hari. Hanya orang-orang tua
yang menarikan tarian akukui tersebut
dan juga beberapa anak-anak perempuan. Tidak ada anak muda yang tergerak untuk
ikut nimbrung menari akukui. Tarian dan
syair yang dinyanyikan oleh mereka sebenarnya sangat menarik, selalu menarik
melihat orang di pedalaman dengan baju adatnya menari dan menyanyi. Tetapi saat
itu menjadi tidak fokus dan kehilangan aura sakral dan magisnya karena
‘disabotase’ oleh beberapa pemuda mabuk yang merangsek melihat acara
‘perpisahan’ kami ini. Sedih melihatnya tetapi kami tidak bisa berbuat apa-apa.
Sebelum tengah hari kami kemudian me-loading
barang-barang kami sendirian menuju ke longboat yang berada di ujung kampung. Longboat
melaju dengan cepat dan saya tidak ingin kembali menoleh ke belakang. Ketika
tiba di Mansalong beberapa jam kemudian saya sempat berbicara tentang banyak
hal dengan seseorang yang menurut saya cukup konsern dengan masyarakatnya,
Paulus Murang, salah satu tokoh Dayak Okolod dan Ketua Pemuda Penjaga
Perbatasan Indonesia yang tinggal di Mansalong. Saya ditunjukkan kemeriahan dan
kegagahan Mubes Dayak Okolod yang terakhir digelar di Mansalong. Ada tarian,
nyanyian, dan lain sebagainya yang cukup kolosal. Seremonial yang megah memang
diperlukan sebagai penegasan eksistensi atas sebuah masyarakat, apalagi sebuah
masyarakat yang hidupnya tersebar di pedalaman. Tetapi tentunya akan menjadi
lebih ideal ketika nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan identitas kebudayaan juga
karakter mental yang serba baik juga dijalani oleh masyarakat dalam kehidupan
sehari-harinya. Saya terlalu mencintai Kalimantan dan masyarakatnya. Dimanapaun
di pulau ini yang saya datangi, setelahnya selalu ada tulisan yang saya buat
untuk pencerahan bagi diri saya sendiri, dan atau untuk kemudian saya
sebarluaskan dengan berbagai cara sebagai pembelajaran. Dalam konteks
“mencintai” itu juga catatan pendek ini saya buat untuk masyarakat Dayak Okolod.
Tidak ada kata terlambat untuk mulai melakukan segala hal yang positif demi
kebaikan seluruh generasi penerus di masa depan. Salam!
* Pictures captured at North Kalimantan, February 2017. Pleased on't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with my pictures without respect!!!
Comments
Hari ini saya buka youtube utk mencari informasi tentang Kalimantan Utara, sungai dan riamnya serta daerah perbatasan. Saya terantuk pada acara Jejak Petualang Trans7 di Desa Labang. Sangat menarik. Pengen rasanya bisa memjelajah ke sana. Dua tahun lalu saya sempat iseng ke Mahakam Ulu, melewati jeram2nya sampai ke Desa Ling Apari. Saya ketagihan, saya kangen nyusurin sungai di Kalimantan hingga perbatasan.
Tertarik tentang Labang, dan saya menemukan blog ini yg ternyata Mas adalah salah satu tim Jejak Petualang itu. Dan ternyata oh ternyata, ada "cerita yg tak terungkap" di TV soal masyarakat Labang itu. Tapi bagaimanapun, memang semua tempat memiliki ceritanya masing2.
Trims utk ceritanya, trims utk liputannya. Sukses terus dan terus jelajahi sudut2 Indonesia :)