Ngecek Rawa Pening: Olivia Marianne dan Rekayasa Perburuan di Perairan Tawar Yang Berubah dan Cerita-cerita Lainnya
The greatest threat to our planet is belief that someone else will save
it.(Robert Swan)
Mengingat Rawa Pening adalah mengingat persahabatan. Bermain
di Rawa Pening bagi saya juga adalah salah satu cara memaknai persahabatan. Bertahun
lalu saya pernah keliling mancing di danau ini dengan dipandu seorang sahabat
yang waktu itu masih berdomisili di kota Salatiga, Jawa Tengah. Ada dua kali
perjalanan yang lumayan memakan waktu lama yang pernah saya lakukan di danau
alami penuh legenda ini. Pertama sekitar tahun 2011-an bersama Mas Dudit
Widodo, pemancing paling kesohor di negeri ini dan kemudian kalau tidak salah
setahun kemudian bersama Cepy Yanwar, host paling ‘bungsu’-nya program Mancing
Mania Trans|7. Pada kedatangan kedua inilah sempat terjadi insiden yang masih
begitu jelas di ingatan saya. Diterjang angin topan dari pegunungan dan perahu
kami nyangkut di sebuah tiang kecil di tengah danau entah dimana. Sepanjang
hari waktu itu kami harus berjibaku menguras air yang memenuhi perahu (saking
besarnya ombak), sembari berdoa agar badai segera reda. Betul?! Saya ini kalau
berkeliling kebanyakan memang dalam kerangka bertugas. Bukan jalan-jalan santai
biasa, ora nduwe duit soale bro kalau
jalan-jalan dewe adoh-adoh. Mas Deddy Yulianto nama sahabat saya itu,
seorang bapak muda dan pemancing yang penuh semangat. Kini telah sibuk di kota
Sukoharjo dekat Solo, tetapi tetap penuh semangat meskipun berat badan terus
meningkat dan perlahan mulai lupa bagaimana caranya memancing. Hehe! Salam
untuk Mas Deddy dimanapun sampeyan
berada saat ini. Sehat selalu dan jangan lupa bahagia (ini kata-kata untuk saya
sebenarnya...!). Wkwkwk!
Rawa Pening, pening
konon adalah varian bahasa Jawa yang artinya “bening”, adalah danau alam
yang berada di Kabupaten Semarang. Luasnya 2.670 hektar dan secara
administratif terbagi dalam empat kecamatan yakni Ambarawa, Bawen, Tuntang dan
Banyubiru. Danau alam ini berada di cekungan terendah antara Gunung Merbabu,
Telomoyo dan Ungaran. Legenda mengisahkan Rawa Pening tercipta dari air yang
‘muntah’ dari bekas cabutan lidi Baru
Klinthing, tokoh legenda yang wujudnya adalah anak kecil yang penuh luka dan
berbau amis sehingga tidak diterima oleh masyarakat, padahal kalau tidak salah
hanya meminta makan saja. Kini Rawa Pening menjelma menjadi lokasi memancing
dan sarana olahraga perairan. Pendangkalan menjadi masalah utama di danau ini
selain mulai maraknya penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Pelaku
penangkapan ikan dengan cara tidak ramah lingkungan adalah manusia, meski di
Rawa Pening ini masih terjadi dalam skala kecil, justru karena masih kecil
inilah sebenarnya kita harus segera cegah, karena kalau sudah besar dan semakin
pintar banyak alasan pembenarannya. ‘Pelaku’ pendangkalan adalah tanaman enceng
gondok. Enceng gondok memang menjadi biang kerok pendangkalan dimana-mana
perairan umum di negeri ini (baik itu danau dan sungai). Saya pernah mendapati
November tahun lalu di Kabupaten Luwu Utara misalnya, bahkan tanaman enceng
gondok ini saya dapati juga menguasai sebuah muara sungai (yang tentu saja
payau) di dekat kota Masamba. Bagi saya ini mengerikan karena sepengetahuan
saya tanaman ini harusnya hanya bisa hidup di perairan tawar!
Ada kisah menarik yang saya dapatkan dari ngubek-ubek internet terkait tanaman
enceng gondok ini. Enceng gondok adalah tanaman endemik perairan tawar di
Amazon, Brasil, Amerika Selatan. Ketika balatentara Inggris ‘menduduki’
Nusantara pada tahun 1811-1816, Sir
Thomas Standford Raffles kemudian ditugaskan ke Nusantara, dan tentunya
didampingi oleh istrinya yang bernama Olivia Marianne. Entah didampingi atau Si
Olivia maksa ikut saya kurang tahu. Marianne ini telah sejak lama memiliki hobi
mengoleksi tanaman, terutama tanaman-tanaman dari daerah yang dikuasai oleh
Inggirs waktu itu. Maka dibawalah kemudian enceng gondok ini ke India, pusatnya
armada Inggris waktu itu di Asia. Dan begitulah, ketika kemudian Raffles
ditugaskan ke Nusantara, dibawalah juga itu tanaman kemudian ditanam di Istana
Bogor sekarang. Singkat kisah, penuhlah kolam di Istana Bogor dikuasai oleh
enceng gondok ini. Dibuanglah kemudian enceng gondok ke sungai ataupun selokan
di luar Istana Bogor. Jadilah kini seperti sekarang! Tanaman ini menjadi gulma
dimana-mana dan merupakan pelaku utama pendangkalan di berbagai perairan umum
di Indonesia. Agak di luar konteks, jadi pelajarannya dulur. Kita juga harus hati-hati menuruti keinginan istri, karena
terkadang ada yang kurang tepat untuk dilakukan. Nanti yang ‘menderita’ orang
lain dan generasi-generasi berikutnya. Hehe!
Kalau segi manfaat sih selalu ada ya, apa sih yang
diciptakan oleh Tuhan dan tidak ada manfaatnya untuk manusia? Enceng gondok
misalnya dapat menjadi ‘penangkap’ logam berat yang ada di air, perlindungan
ikan dan lain sebagainya. Bahkan di berbagai daerah batangnya kini disulap
menjadi aneka kerajinan cantik. Jelas ada manfaat. Jelas memutar ekonomi. Dan
lain sebagainya. Tetapi maksud saya begini, introduksi sebuah jenis tanaman (juga
binatang misalnya ikan) non endemik harus kita timbang baik-baik baik itu
positif dan negatifnya. Jadi kalau kebanyakan negatifnya, baiknya jangan
dilakukan. Apalagi untuk kawan-kawan yang akhir-akhir ini banyak melakukan
introduksi baru (ikan-ikan non endemik terutama) ke perairan umum, harus lebih
bijak lagi dalam melakukan konsernnya ini karena perairan umum kita saat ini
sebenarnya adalah penderita dari berbagai hal yang tidak tepat pada masa-masa
sebelumnya jauh sebelum kita lahir di negeri ini. Sayang Olivia Marianne bukan
teman main saya, andai saja saya sudah mengenalnya, saya akan larang dia untuk
membawa enceng gondok ini ke Indonesia. Ataupun kalau dia memaksa, setidaknya harus
ada ‘barter’. Misalnya dia boleh memelihara enceng gondok di Nusantara, tetapi
kemudian mengijinkan saya untuk introduksi nyamuk malaria ke Inggris misalnya. Ngelantur!
Rawa Pening berada di ketinggian sembilan ratus meter di
atas permukaan laut. Cukup dingin di musim tertentu, tetapi juga cukup panas di
musim lainnya. Yang pasti ceruk geografis ini memiliki curah hujan yang tinggi
dengan tambahan ‘pelukan’ kabut yang bisa membuat siapapun terlena.
Pendangkalan yang terjadi tidak main-main, memang hal ini juga disebabkan oleh
banyaknya erosi dari sungai-sungai yang bermuara ke Rawa Pening juga, dari
rata-rata lima belas meteran kini kabarnya hanya tersisa delapan meteran saja
kedalamannya. Manusia, ikan-ikan, juga biota air lainnya, termasuk yang seharusnya
tidak hidup disini (enceng gondok), kini berjuang mencari hidupny
amasing-masing di danau terluas di Pulau Jawa ini. Dalam konteks perburuan
sumber pangan di perairan tawar, yang mana dalam tujuan inilah saya kembali
hadir di Rawa Pening Oktober 2016 lalu,
pada akhirnya masyarakat harus melakukan banyak penyesuaian akibat terus
berubahnya ekosistem yang ada. Baik kini kita lupakan sejenak masalah
pendangkalan, Olivia Marianne, dan juga istri-istri kita sejenak (saya belum
punya ya...). Hehe!
Bagi ikan-ikan, ini konteksnya Rawa Pening ya bro, enceng
gondok secara alami menyediakan perlindungan alami dari teriknya matahari dan
juga dari pemangsa baik itu spesies air predator dan juga manusia. Sifat akar
tanaman enceng gondok yang mengikat tanah (inilah kenapa kemampuan
mendangkalkan sesuatu tanaman ini luar biasa) di sisi lain juga menyediakan
makanan untuk beragam jenis ikan yang ada di danau. Sehingga konsentrasi populasi
ikan di Rawa Pening kini menjadi lebih mudah ditebak. Masyarakat kini tidak
banyak lagi yang berkeliling tidak jelas memancing ataupun menjaring di
keluasan danau yang terbuka, tetapi lebih fokus nlateni kawasan yang banyak tanaman enceng gondoknya. Hemat tenaga
juga bensin. Pemahaman masyarakat atas rantai makanan dan perlindungan ikan
inilah kemudian yang akhirnya mempengaruhi bentuk-bentuk perburuan yang kini
terjadi di Rawa Pening. Salah satunya adalah yang disebut dengan nama ngecek. Yakni menjaring dengan menutup
kumpulan enceng gondok yang dianggap memiliki populasi ikan yang tinggi. Ada
teknik lainnya dengan menggunakan tirai bambu, sayalupa istilahnya, kurang
lebih sama bentuk kegiatannya tetapi beda alat bantu tangkapnya saja. Bagi
pemancing sendiri kini, tentu lebih senang uncal
di sekitar ‘pulau-pulau’ enceng gondok dibandingkan di perairan terbuka. Banyak
ahli memancing di Rawa Pening ini bisa menyampaikan pemikirannya terkait Rawa
Pening saat ini dan korelasinya dengan dunia memancing, jadi baiknya saya kembali
fokus terhadap teknik ngecek saja.
Berkat bantuan dari Mas Deddy juga akhirnya pagi itu kami
yang terbagi dalam lima perahu kemudian menuju ke salah satu areal yang
dianggap potensial di sekitar daerah Muncul. Sebuah ‘pulau’ enceng gondok
kemudian ditutup jaring dan kemudian dibuang tanaman enceng gondoknya keluar
jaring. Gampang menuliskan proses ini tetapi kegiatan ngecek itu tidak semudah kelihatannya karena menguras banyak
tenaga! Itulah kenapa setiap kali selalu terdiri dari 3 atau 4 orang saking
beratnya. Ada perhitungan-perhitungan kemampuan fisik kelompok itu dalam
memilih lokasi ngecek. Jadi tidak
asal. Selain tentunya adalah mapping
populasi ikan yang biasanya ini telah dilakukan satu atau duahari sebelumnya.
Meski berat, untungya proses memindahkan tanaman enceng gondok ini tidak perlu
dilakukan terburu-buru. Toh pada prinsipnya ikan-ikan sudah terjebak di
dalamnya (meskipun sebenarnya kita tidak tahu benar-benar ada ikannya atau
tidak). Pemberat jaring yang ada di dasar rawa juga tidak mungkin diangkat oleh
ikan-ikan target yang di Rawa Pening ukurannya tergolong table size. Membuang enceng gondok sebenarnya adalah dalam rangka
mempersempit ruang gerak dan perlindungan ikan, jika tinggal sedikit enceng gondoknya,
masyarakat kemudian akan gogoh (hand
fishing) mencari dimana ikan-ikan tersebut berada. Kita harus berani
kotor-kotoran melakukan proses ngecek ini. Sejak awal lumpur adalah sahabat
kita.
Hasil ngecek hari
itu cukup banyak. Jika ditotal ada sekitar 5 kilogram. Ikannya cukup beragam
(nila, belida, wader ijo, udang lobster, dan bahkan juga gabus). Setahu saya
dari beragam spesies air tawar ini, yang asli atau endemik Rawa Pening hanya
wader ijo (nilem?) dan ikan gabus (Channa
striata) saja. Kalau ikan nila (Nile
tilapia) jelas adalah ikan introduksi nasional tahun 1970an silam yang
dilakukan oleh pemerintah. Untuk ikan belida, kami rilis kembali, setahu saya
iniadalah hasil restocking yang dilakukan para pemancing sekitar sepuluh
tahunan lalu, dan setahu saya ini juga bukan ikan asli Rawa Pening. Saya tidak
perlu menyebutkan namanya, yang pasti dia adalah pemancing senior dengan
konsern lingkungan yang patut kita apresiasi. Lobster air tawar (Crayfish) konon akibat bocor dari lokasi
budidaya yang diprakarsasi oleh pemerintah daerah bertahun sebelumnya. Apakah
semua spesies ini mendatangkan manfaat untuk masyarakat Rawa Pening, jelas. Toh
semuanya pada akhirnya bisa dikonversi dalam bentuk pendapatan dan kehidupan
manusianya yang jelas juga membutuhkan asupan nutrisi dari ikan-ikan yang hidup
di Rawa Pening. Tetapi apakah kenyataan ini, banyaknya spesies ikan non
endemik, bersahabat ataupun sebenarnya dibutuhkan oleh ekosistem perairan Rawa
Pening? Saya sulit menjawabnya dengan satu kalimat yang pasti. Saya bukan ikan
yang bisa berbicara dalam tingkat validitas tertinggi dalam konteks rantai
makanan, saya juga bukan ahli ataupun peneliti perikanan.
Bagi saya pribadi, terutama introduksi baru, asalkan itu
tidak MERUSAK sebuah ekosistem, masih dapat diterima. Apalagi spesies yang
diintroduksi adalah spesies asli Indonesia. Meskipun bahkan sebenarnya hal ini (spesies
asli Indonesia pun) juga harus dilakukan secara sangat bijak. Misalnya, jika
sebuah sungai yang bahkan kondisi ikan-ikan kecilnya saja sudah demikian
terpuruk populasinya, tetapi kemudian kita melakukan introduksi ikan hampala
misalnya. Ya menurut saya hal seperti ini tidak tepat. Hampala memang spesies
asli kita, tetapi tidak harus membabibuta begitu juga cara introduksinya,
karena jika demikian (semua sungai apakah itu siap atau tidak kemudian ditebari
hampala) menurut saya itu adalah introduksi yang buta dan egois. Akan lebih
baik jika kita melakukan dan mendorong introduksi yang lebih urgent terlebih
dahulu, semisal menebar bibit-bibit ikan kecil endemik di sungai tersebut,
informasi seperti ini bisa kita dapatkan dengan mempelajari sejarah dari sungai
tersebut bersama masyarakat. Jadi salam saya untuk para sahabat yang memiliki
semangat tinggi merelokasi dan restocking ikan hampala, jangan berteriak
terlalu kencang kepada para sahabat lainnya yang memiliki konsern lingkungan
perairan. Karena bisa jadi sahabat tersebut melakukan lebih banyak konsern dan
luas lagi dibandingkan sekedar melestarikan spesies ikan hampala thok! Introduksi tomman (Channa micropeltes) adalah salah satu
introduksi baru yang menurut saya harus dipahami dan dilakukan secara sangat bijak
dan hati-hati. Apalagi jika itu dilakukan di Pulau Jawa. Saya mensinyalir adanya
gerakan “cepat senyap tepat” melakukan introduksi spesies apex predator ini ke
perairan umum di Jawa, dan menurut saya ini sangat tidak bijak bahkan merusak.
Perairan umum di Pulau Jawa menurut saya saat ini kondisinya sangat menderita,
dan yang diperlukan adalah keberpihakan yang benar-benar tepat. Jadi untuk
kawan-kawan yang senang melakukan introduksi baru dan spesiesnya adalah ikan
tomman, baiknya dipikir sekali lagi untuk tidak melakukannya di perairan umum. Ingat
jangan di perairan umum! Ini untuk geografis yang memang sejak semula tidak ada
ikan tomman-nya saja lho ya?! Meskipun saya tahu, saat ini sebenarnya telah
banyak sekali ikan non endemik dan bahkan apex predator di Pulau Jawa yang
telah ditebar dan menjadi bagian dinamika dunia sportfishing saat ini. Tetapi
karena itu adalah perairan terbatas (private) saya sulit berbicara. Jangan
dilupakan saja dulur, resiko
kebocoran spesies tersebut ke perairan umum Pulau Jawa harus diwaspadai.
Tidak mudah menulis tentang intorukdi, endemik dan non
endemik ini. Hehehe! Jadi kepada para sahabat yang ingin diskusi lebih lanjut
bisa menggunakan jalur yang lainnya. Satu hal yang saya pahami dalam konteks “jangan
dilakukan karena itu merubah KEASLIAN ekosistem”, jika hanya konsern seperti ini
doang yang harus dilakukan dan pantas
dilakukan di negeri ini bagi saya itu tidak cukup untuk mendukung kehidupan manusia
lainnya yang ada di sekitar sebuah ekosistem perairan. Manusia juga penting,
sangat penting. Manusia juga ‘endemik’ (maafkan bahasa saya). Tetapi apakah
kemudian ini berarti “pada akhirnya semuanya adalah urusan perut”. Saya yakin
para sahabat sebenarnya sangat memahami dan bisa menimbang bahwa semua ini dari
berbagai sisi, semuanya tidak sesederhana itu. Kenapa? Karena kita sama-sama
hidup di masa ketika ikan nila dan spesies ikan introduksi lainnya telah merajalela
dan ironinya sebagian bahkan seringkali tersaji di meja makan kita sejak kita lahir ceprot (bayi merah). Konservasi perairan
tanpa memikirkan pemanfaatan dan kehidupan manusia di sekitarnya bagi saya
adalah sebuah non sense! Sebuah ego
baru yang menutup diri untuk memikirkan saudara-saudara lainnya yang juga
bernama manusia. Saya mencintai ikan. Saya bahkan memiliki cita-cita
mengembalikan “KEASLIAN & KESEHATAN” perairan Indonesia ini. Dalam frasa
“wild water Indonesia” jelas artinya adalah include ikan endemik, satu paket. Tetapi
saya juga sangat mencintai manusia. Pada dilema konservasi yang seperti inilah
saya melangkah. Salam wild fishing. Salam Wild Water Indonesia!
* Pictures captured at Desa Laban, Kendal, Central Java,
October 2016. Behind the scenes of Jejak Petualang Wild Fishing Trans|7.
Please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without
my permission. Don't make money with our pictures without respect!!!
Comments