Wild Water Indonesia Fish Warrior: Mahaga Petak Danum atau Menjaga Tanah Air Indonesia dari Dominasi Destruktif Fishing
Dalam sanubari semua sahabat Wild Water Indonesia (WWI) saya percaya ada niat, tekad, semangat, kegelisahan untuk melakukan sesuatu yang terbaik bagi keberlanjutan potensi perairan di negeri ini. Terutama keberlanjutan ekosistem dan spesies perairannya agar dapat diwariskan kepada generasi penerus dalam keadaan layak. Itulah sebabnya kemudian muncul istilah "FISH WARRIOR". Diskusi awal tentang "FISH WARRIOR" ini berlangsung hampir setahun lalu antara saya bersama Bang Julak Iswan, Bang Derry Setiawan dan Mas Anang Tirta semuanya dari para sahabat WWI Kaltim. Kami juga meyakini setiap sahabat WWI juga mencintai tanah air Indonesia ini. Bukan hanya keindahannya dan kekayaannya tetapi juga menyadari tantangan untuk ikut menjaganya sebaik dan sebisa mungkin. Munculah kemudian semacam keinginan merumuskan tekad mulia ini dalam "MAHAGA PETAK DANUM". Bahasa Dayak Ngaju yang artinya "MENJAGA TANAH AIR".
Seorang renta di
foto ini bernama Pak Ipin. Warga Desa Panjehang, Sungai Rungan, Kalimantan
Tengah. Usianya saya tidak ingat dengan pasti tetapi sekitar 70an tahun. Usia
senja yang cukup berbahagia menurut saya. Hidup cukup tenang di sebuah desa di
tepian sungai dengan semua keturunannya telah hidup mapan dan tenang di kota
Palangkaraya, ibukota Kalimantan Tengah, sekitar 2,5 jam perjalanan perahu dan
mobil dari Desa Panjehang. Seorang renta yang sederhana tetapi penuh semangat.
Sesekali kalau beliau bosan di Sungai Rungan maka akan melakukan perjalanan
menengok anak cucu ke Palangkaraya. Dan atau kalau bosan jalan-jalan di sekitar
desa saja maka akan menggunakan ces (perahu kecil) miliknya
untuk menyusuri Sungai Rungan sekedar melepaskan rindu pada masa yang tidak
akan pernah kembali. Tentunya dengan disertai kerabat lainnya. Seringnya adalah
ingin meluangkan waktu sembari mencari ikan dengan memancing, tetapi menurutnya
telah banyak yang berubah di Sungai Rungan. Salah satu sungai besar di
Kalimantan Tengah ini telah berubah luar biasa baik secara ekosistem dan
populasi ikannya saking banyaknya penambangan emas yang dilakukan secara
besar-besaran hingga hari ini. Setiap hari puluhan berpuluh mesin penyedot
pasir berskala menengah meraung-raung di sepanjang aliran Sungai Rungan. Hamper
dua belas jam lamanya dalam setiap harinya. Tidak hanya merubah struktur dasar
dan tepian sungai secara masif, tetapi juga merubah warna air sungai menjadi
keruh abadi serta penuh polutan yang kurang bersahabat bagi organisme air.
Jangankan jika ingin memancing dengan piranti dan teknik yang saya gunakan (sport
fishing maksudnya), ucapnya pelan sembari memegang umpan kodok-kodokan yang
saya bawa, dengan teknik tradisional saja juga sudah sangat sulit.
Perkenalan saya
dengan Pak Ipin lagi-lagi terjadi karena urusan mancing. Saya sedang mencari
seseorang dari masyarakat Sungai Rungan yang masih memiliki kemampuan dan
pemahaman terkait sebuah teknik kuno yang disebut dengan naman upih. Saya
pernah menulisnya di blog ini, sebuah teknik mancing khas Dayak Ngaju yang
sebenarnya adalah artificial fishing tetapi memiliki singgungan dengan dimensi
supranatural. Teknik mancing tradisional yang hampir punah karena sangat minim
regenerasi. Bukan salah Pak Ipin jika tidak ada regenerasi ini sebenarnya.
Tetapi salah generasi mudanya yang terbuai dengan ragam teknik baru dan modern
dan sebagian juga malah destruktif (yang sering bermain di Sungai Rungan tahu
apa yang saya maksudkan). Tidak mudah untuk mendapatkan figure seperti Pak Ipin
ini, jadi seorang renta ini menurut saya masuk dalam kategori istimewa. Kenapa
demikian, di masa lalu teknik upih sebenarnya adalah teknik
yang sangat popular di Kalimantan Tengah, anggap saja sekitar 30an tahun lalu.
Dan banyak diaplikasikan oleh masyarakat untuk mencari ikan-ikan pemangsa di
aliran sungai besar. Namun kemudian teknik ini ‘surut’ karena kini aktifitas
mencari ikan tidak dapat lagi dijadikan sandaran pemenuhan kebutuhan pangan dan
juga ekonomi (baca: pendapatan) seiring berubahnya ekosistem perairan yang ada.
Maksudnya adalah, masyarakat kemudian enggan mencari ikan apalagi dengan teknik
yang termasuk rumit, sementara di sisi hasil semakin sulit diukur.
Saya tidak akan
menuliskan kembali tentang teknik upih karena pernah saya
bahas di sini, kalau saya tidak salah mengingat ya. Intinya begini, dalam
pemikiran saya sangat sayang jikalau sampai teknik-teknik mancing tradisional
yang penuh kearifan lokal kemudian benar-benar punah karena semua orang abai.
Saya memahami alasan semakin langkanya orang menggunakan teknik tersebut. Saya
tidak bisa terlalu jauh masuk ke dalam ranah ini karena bagaimanapun semua
orang memiliki kebebasan untuk memilih apa yang paling tepat untuk diterapkan
sesuai dengan keterbaruan geografis yang ada. Meski jujur saja kemudian yang
sangat disayangkan adalah ternyata godaan penggunaan destructive
fishing method lebih kuat dibandingkan dengan teknik baru lainnya.
Jadilah kemudian pada bulan Februari 2016 saya bersama Pak Ipin dan beberapa
masyarakat Sungai Rungan lainnya melaju ke sebuah anak sungai yang masih
dianggap cukup potensial terkait populasi ikannya. Pada hari itulah kemudian
saya untuk pertama kalinya melihat teknik mancing upih yang
menurut saya begitu gagah dan juga penuh dengan kearifan lokal tersebut. Teknik
mancing yang bisa jadi sebagian besar masyarakat Sungai Rungan dan apalagi
generasi mudanya tidak lagi dikenal dan dipahami.
Sejak pagi hari ketika perahu-perahu kami meninggalkan Desa Panjehang mata saya sudah terpesona dengan sebuah tulisan yang ada di punggung kaos lengan panjang yang dikenakan oleh Pak Ipin. Tulisan dalam bahasa Dayak Ngaju tetapi tidak saya pahami tetapi entah kenapa saya merasakan suatu kekuatan dari tulisan tersebut. Kaos lengan panjang yang mulai lusuh dimakan waktu tetapi sepertinya menjadi salah satu kaos kesukaan Pak Ipin. Kaos yang sepertinya merupakan bagian dari sebuah proyek konservasi yang pernah dilakukan di kawasan ini oleh pihak-pihak tertentu tahun 2012 lalu. Munculah kemudian kesempatan untuk melakukan diskusi setelah kami menyelesaikan seluruh pekerjaan kami hari itu. Ada tiga kata yang sangat menyita perhatian saya dari tulisan di kaos Pak Ipin yang berbunyi “mahaga petak danum”. Awalnya cukup menantang menerjemahkan bahasa ini ke dalam bahasa Indonesia yang bisa saya mengerti, apalagi Pak Ipin juga cukup terbatas penguasaan bahasa Indonesia nya. Tetapi karena banyak sekali masyarakat lainnya yang hari itu juga nimbrung bersama kami kemudian saya mendapatkan terjemahan yang menurut saya cukup tepat, yakni “menjaga tanah air”. Diskusi yang sampai hari ini membuat saya selalu terkenang dan bisa jadi rindu entah karena kopinya atau juga suasananya. Ada sekitar sepuluhan masyarakat bergabung membahas tentang “mahaga petak danum” ini, semuanya adalah kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS) yang sangat peduli dengan alam di Sungai Rungan dan keberlanjutannya. Sebagian masyarakat berasal dari Desa Panjehang dan sisanya dari Petuk Baruna. Ada yang telah saya kenal bertahun lalu, ada juga yang baru pada hari itu menemani saya ngopi.
Awalnya saya
hanya berniat mencari definisi "mahaga petak danum" dalam bahasa
Indonesia, bukan sekedar mencari persamaan katanya tetapi juga konteks yang
tepat untuk memindahkan arti bahasanya, tetapi tak disangka kemudian menjadi
diskusi panjang yang sangat berisi. Ada kegelisahan yang sama antara saya dan
masyarakat terkait ekosistem perairan. Banyak sekali perubahan yang terjadi dan
semuanya membuahkan hasil yang luar biasa pedih bernama degradasi perairan.
Populasi ikan semakin menyusut karena destruktif fishing, over fishing dan juga
pencemaran. Aliran sungai tercemar dan rusak parah. Kalau dulu mandi di sungai
begitu menyegarkan saking beningnya air, kini menyisakan daki luar biasa akibat
lumpur tambang emas. Kegiatan mancing yang semakin sulit untuk dijadikan
sandaran pangan apalagi pendapatan. Dan lain sebagainya. Meski demikian, saya
merasakan adanya optimisme dari masyarakat yang ikut diskusi untuk tidak
menyerah. Mereka tidak bisa abai begitu saja dan pasrah. Memang berat di tengah
arus besar degradasi perairan ini, tetapi kehadiran orang-orang semangat
seperti ini tetap harus disyukuri. Personally bagi saya ini adalah keteladanan
kepedulian lingkungan yang sunyi dan patut mendapatkan respek. Jauh dari hingar
bingar pemberitaan dan pencitraan, mereka tetap tidak mau menyerah terus
menjaga dan merawat lingkungan sekitar tempat tinggal mereka dengan segala cara
yang bisa. Meski sekali lagi semua itu tidaklah mudah. Semoga orang-orang hebat
ini tidak pernah menyerah. Salam Lestari!
* Pictures captured by Michael Risdianto at Sungai Rungan, Central Kalimantan, February 2016. Please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my/our permission. Don't make money with my/our pictures without respect!!! Logo dan deskripsi Wild water Indonesia dilindungi oleh undang-undang. Copyright to Michael Risdianto.
Comments