Lima Belas Menit Yang Berharga: Proyeksi Cita-cita Wild Water Indonesia (WWI) di Tepian Teluk Saleh Bersama Generasi Penerus
Suatu pagi, seingat saya masih terlelap di sebuah kamar
milik masyarakat Aipaya, usai lelah sehari sebelumnya melakukan sebuah
pekerjaan. Pagi yang juga masih dini, tetapi memang seperti lazimnya kehidupan
masyarakat pesisir, meskipun pagi masih juga dini, masyarakat selalu sudah
begitu bersemangat menjalani kehidupan di hari barunya. Saya terbangun karena
hiruk-pikuk yang sepertinya terjadi di halaman rumah tempat saya menumpang
tidur. Saya kurang memahami bahasa yang digunakan karena sepertinya campuran antara
Bugis dan bahasa Sumbawa. Masyarakat di desa tersebut memang didominasi oleh
para perantau Bugis, tetapi karena telah tinggal puluhan tahun di Sumbawa,
mereka kemudian juga menguasai dengan baik bahasa Sumbawa. Saya merasa malu
ternyata saya adalah orang yang bangun paling akhir hari itu di rumah tersebut,
tetapi alih-alih saya kemudian beranjak, malah melanjutkan untuk mencoba
memejamkan mata. Tetapi hingar percakapan dan perdebatan di halaman rumah itu
semakin menjadi. Intinya adalah sangat sederhana, kelompok ibu-ibu yang rupanya
adalah para pengajar di sebuah PAUD dan juga di Sekolah Dasar (MIM Labuhan
Liang, Kec. Tarano, Kab. Sumbawa) menginginkan agar bapak-bapak yang ada di
halaman itu membangunkan saya. Tetapi kelompok bapak-bapak bersikukuh bisakah
nanti saja karena saya baru tidur pukul 04.00 pagi. Kasihan, kata kelompok
bapak-bapak. Saya kemudian melihat kea rah jam tangan yang tergeletak di dekat
kasur saya dan waktu telah menunjukkan pukul 09 pagi. Saya pikir cukuplah untuk
kembali memulai hari setelah malam panjang menyelesaikan naskah. Malam yang
melelahkan karena siang hari sebelumnya juga melakukan pekerjaan sepanjang
hari. Saya memang tidak boleh istirahat. Belum pantas istirahat. Meski jika
terkait pekerjaan terkadang kondisinya keterlaluan, meski kita bekerja 18 jam
pun, selalu tidak pernah cukup. Selalu ada keharusan-keharusan yang harus
diselesaikan mendadak dalam waktu yang sangat sempit. Sepertinya ada yang
begitu menikmati membuat saya bekerja overtime
dan overload dan abai bahwa saya
adalah manusia biasa yang juga harus memiliki waktu tenang dan atau juga waktu
untuk beristirahat! Bukan kelompok ibu-ibu ini tentu saja yang saya maksudkan!
Sepuluh menit kemudian saya sudah berada di halaman PAUD
tempat kelompok ibu-ibu ini bekerja (tepatnya adalah TK ABA Labuhan Liang).
Tadi hanya sempat menggosok gigi dan juga membasuh muka. Tidak sempat ngopi dan apalagi sarapan. Sarapan
mungkin bukan suatu keharusan untuk pagi saya, tetapi ngopi? Saya merasa ada yang salah dengan hari baru jika ngopi pun kita tidak bisa ataupun tidak
sempat. Puluhan bocah imut sudah di halaman dengan spanduk besar
#SaveTelukSaleh! Bersama para ibu-ibu pengajar mereka. Bahkan yang mengagetkan
sebagian dari bocah-bocah imut ini ada yang memegang lukisan-lukisan sederhana
disertai pesan-pesan lingkungan yang entah kreasi mereka ataupun kreasi
guru-guru mereka. Semangat yang saya rasakan adalah bahwa kelompok pengajar
PAUD ini ingin menunjukkan kepada saya bahwa mereka juga memiliki kepedulian
terhadap lingkungan perairan di sekitar wilayah ini, yakni Teluk Saleh. Jujur
saja saya respek dengan hal seperti ini, karena melalui tangan dan pemikiran
para pendidik seperti inilah kita kemudian memiliki harapan besar akan menjadi
seperti apa generasi penerus kita nantinya. Tetapi dengan melibatkan
bocah-bocah imut ini dalam kampanye lingkungan perairan yang ‘berat’ ini
sebenarnya bukanlah konsern saya. Karena bocah-bocah sebenarnya belum memahami
apa yang sesungguhnya terjadi. Lain halnya jika kemudian kita sebagai orang dewasa
kemudian menularkan konsern lingkungan kita kepada mereka dengan cara dan bahasa
yang sangat sederhana, saya akan sangat setuju dengan hal itu. Tetapi melihat
semangat para pengajar PAUD tersebut dan juga keceriaan bocah-bocah imut
tersebut saya jujur saja tidak tega untuk menyampaikan keberatan saya dalam
pelibatan bocah-bocah ini dalam sebuah kampanye lingkungan yang sejatinya pesan
yang disampaikan adalah merupakan ‘konsumsi’ orang dewasa. Jadilah kemudian
beberapa puluh menit rekaman melalui kamera ponsel dan juga beberapa foto
tercipta mengabadikan spontanitas ibu-ibu dan juga keluguan bocah-bocah ini. Hingga
hari ini saya bahkan belum berani mempublikasikannya karena kekhawatiran
terciptanya bias yang besar dalam sebuah konsern lingkungan yang sejatinya
merupakan ‘konsumsi’ orang dewasa. Generasi penerus sebagai sasaran kampanye,
saya setuju. Tetapi sebagai pelaku kampanye, jika umurnya masih belum
mencukupi, saya jujur saja mengalami konflik batin yang luar biasa. Di satu
sisi, saya sulit untuk menolak semangat seperti ini karena semuanya sebenarnya
demi kebaikan?! Dan memang benar-benar berakar dari keinginan murni untuk
berbuat sesuatu kebaikan bagi lingkungan sekitarnya, meskipun itu hanya sekedar
menyampaikan pesan yang terkadang entah kepada siapa. Setidaknya kepada diri
sendiri?!
Secara alami saya kemudian menjadi sedikit tergelitik untuk
melakukan semacam proyeksi kecil atas pesan #SaveTelukSaleh yang baru saja kami
kumandangkan bersama bersama berbagai elemen masyarakat di Kecamatan Tarano ini
beberapa hari lalu. ‘Abang’ saya, Bang Yamin membantu saya untuk mendapatkan
ijin meminta waktu sekitar lima belas menit dari Kepala Sekolah di kelas enam
MIM Labuhan Liang yang letaknya juga menyatu dengan TK ABA Labuhan Liang.
Komplek pendidikan dasar dan usia dini yang merupakan bentukan Muhammadiyah di
Kecamatan Tarano. Saya kemudian menyampaikan sedikit gambaran terhadap
anak-anak didik di kelas enam ini terkait Teluk Saleh. Dengan bahasa yang
sangat sederhana dan juga dengan cara yang paling menyenangkan yang bisa saya
lakukan. Saya menikmati waktu ‘mengajar’ yang hanya sekejap itu. Dan kemudian
menuliskan kata yang menurut saya tergolong sangat ‘baru’ di kehidupan
anak-anak ini. Yakni kata “SAVE TELUK SALEH” di papan tulis. Dan kemudian
meminta anak-anak di kelas membentuk tiga kelompok besar untuk mendiskusikan
bersama teman-teman satu kelompoknya bagaimana caranya kira-kira kita melakukan
“SAVE TELUK SALEH” ini. Tak lupa juga kemudian sebelum say aberanjak keluar
ruangan sebentar, say aberpesan kepada guru kelas agar tidak membantu anak-anak
ini menjawab pertanyaan tersebut. Biarkan anak-anak ini berdiskusi dan kemudian
menuliskan apa yang ada di kepala mereka. Karena ini bukan tentang benar salah
tetapi setidaknya untuk mengetahui pemahaman anak-anak didik, dan lebih jauh
lagi adalah untuk menakar seperti apa kira-kira masa depan konsern lingkungan
di ‘tepi’ teluk terluas di Kepulauan Nusa Tenggara ini.
Jawaban yang kemudian dituliskan oleh masing-masing kelompok
sangat mencengangkan. Bukan hanya menunjukkan betapa mereka memahami pertanyaan
itu, tetapi juga mampu menuliskan dalam beberapa poin tentang bagaimana cara
menjaga Teluk Saleh. Saya sedikit bingung karena ini jauh dari perkiraan saya.
Saya sempat berfikir jika ternyata anak-anak didik ini benar-benar tidak
memahami apa yang saya tuliskan, maka diskusi lanjutannya adalah tentang apa
sih sebenarnya “SAVE TELUK SALEH” itu. Tetapi karena ternyata mereka
memahaminya, maka diskusi berikutnya adalah tentang bagaimana caranya “SAVE
TELUK SALEH”. Jika saya rangkum poin-poin yang dituliskan anak-anak kelas enam
tersebut adalah; tidak membuang sampah di laut, tidak menangkap ikan dengan bom
ikan, dan tidak mengambil terumbu karang dari lautan. Saya sempat bertanya
kepada guru kelas dan juga Bang Yamin, ini betulkah mereka sendiri yang
menjawabnya? Abang dan Pak Guru tidak membantu mereka kah?! Tanya saya. Karena
selama kelompok itu berdiskusi saya berada di luar kelas untuk memberi
keleluasaan mereka melakukan diskusi. Benar Bang, itu semua apa adanya jawaban
mereka! Tidak ada kalimat lain untuk merangkum semua jawaban anak-anak kelas
enam tersebut bahwa Teluk Saleh masih memiliki harapan! Karena dari hamper lima
puluh anak didik di kelas itu memahami harus bagaimana untuk menjaga Teluk
Saleh ini. Kenapa saya katakan masih ada harapan? Karena anggap saja begini
hitungan kasarnya. Dari puluhan anak didik itu kemudian ketika dewasa nanti
masih konsisten menjalankan apa yang pernah dia diskusikan dan tuliskan di
waktu ini (maksudnya saat ini di kelas enam SD), meskipun itu hanya satu orang
saja, maka konsern lingkungan terhadap Teluk Saleh masih memiliki harapan untuk
terus berlanjut. Saya menyebut cara ini adalah dengan “menitipkan kepedulian”
kepada calon generasi penerus. Bukan menyuruh untuk ikut melakukan kepedulian
ya, tetapi “menitipkan kepedulian” atau lebih jauh lagi “menitipkan cita-cita”!
Jujur saja saya sangat menikmati momen-momen ‘menularkan’
sesuatu yang baik kepada orang lain, utamanya konsern lingkungan seperti ini. Apalagi di antara keluguan bocah-bocah kelas enam MIM Labuhan Liang ini dan juga semangat
mereka, dan juga kecerdasan mereka, membuat saya merasakan getaran yang tidak
biasa. Bukan karena saya berdiri disana melakukannya. Tetapi karena masih
mengalami keberkahan dengan ikut merasakan semangat kepedulian yang masih
begitu murni dari bocah-bocah ini. Hanya hal kecil yang bisa saya lakukan untuk
Teluk Saleh, apa mau dikata? Tetapi setidaknya kita tidak pernah berhenti
(baca: menyerah) untuk mencoba terus peduli dan terus mencoba merangkul orang
lain untuk juga tergerak dengan kepedulian perairan yang kita jalani. Meskipun
lagi-lagi, hal-hal kecil seperti ini juga bisa jadi ditafsirkan lain oleh
mereka-mereka yang terlalu ‘buta’ dan ‘lupa’ karena jiwa dan raganya telah
‘terbeli’ oleh tarikan-tarikan ambisi dan materi! Akhir kisah, hari itu kopi pertama saya di hari itu saya jumpai pada pukul sebelasan siang. Kopi yang terlambat tetapi terasa semakin nikmat! Salam Lestari. Salam Wild
Water Indonesia!
* Pictures captured by various person on June 2, 2017 at Labuhan Liang, Pulau Sumbawa. Please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my/our permission. Don't make money with my/our pictures without respect!!!
Comments