Catatan ini hanya akan terasa ‘nikmat’ jika para pembaca telah ‘mencicipi’ dengan Catatan Ekspedisi Mata Air Sungai Mahakam 2017 (Part 1) yang telah terlebih dahulu saya posting di Wild Water Indonesia. Dan bahkan jika para sahabat dan relawan memiliki akun Instagram jauh sebelumnya banyak foto dan catatan pendek terkait behind the scene ekspedisi ini yang dalam waktu satu bulan terakhir ini sepertinya cukup banyak saya publish di media sosial. Demikian! Baiklah kita lanjutkan lagi kisah kelana dan konsern lingkungan dalam Ekspedisi Mata Air Sungai Mahakam 2017 ini. Malam hari kedua di Ujoh Bilang sebuah penginapan kecil menjadi tempat berteduh yang cukup nyaman walaupun udara begitu gerah dan air yang ada di kamar mandi serupa dengan warna air Sungai Mahakam. Sebagai gambaran, air di Sungai Mahakam terutama bagian tengah (Mahakam Ulu – Kutai Barat - Kutai Kartanegara) dan hilir (Kutai Kartanegara – Samarinda _ laut) begitu ‘indah’ layaknya kopi susu kecoklatan. Dan rata-rata untuk keperluan mandi dan cuci semua pemukiman termasuk di kota kabupaten ini menggunakan air tersebut. Kecuali yang memiliki fasilitas penjernih air tetapi saya yakin jari saya tidak habis untuk menghitung berapa banyak orang yang memilikinya. Saya tidak terlalu pusing dengan hal-hal seperti ini, nyaman-nyaman saja. Tetapi bagi mereka yang mungkin jarang bermain di alam, dan atau yang bermain ke alamnya setengah-setengah, termasuk mindset-nya sebagai anak alam juga setengah-setengah, bisa jadi akan bermasalah dengan urusan air mandi ini. Beberapa sahabat di kota kabupaten ini datang berkunjung, ngopi dan berbagi kisah lainnya, padahal hujan deras bercampur petir tetiba mengguyur kota kabupaten ini. Dalam kepercayaan kuno masyarakat Dayak, jika kita tiba di suatu daerah dan kemudian turun hujan, artinya kita diterima. Saya teringat mengalami hal seperti ini dimanapun di Kalimantan bahkan di musim kering kerontang sekalipun. Akan tetapi kali ini volume iringan musiknya (baca: petirnya) memang terlalu keras. Mungkin kali ini yang diputar oleh-Nya adalah rock and roll?! Hehehe!
Benar! Kami kemudian terlambat bangun pagi! Bagaimana? Saya dan semua
sahabat di kota kabupaten ini yang rata-rata memiliki garis adat dan juga cukup
penting dalam struktur pemerintahan setempat begitu antusias begadang bersama.
Setahun sekali bang, katanya. Betul juga dan apalagi selama ini (2016-2017)
mereka telah membantu banyak hal terkait dokumentasi, sebagian bukan hanya
menjadi sahabat saja tetapi ada yang telah menjadi saudara. Pun kali ini ketika
beberapa relawan Wild Water Indonesia dengan modal tekad berniat blusukan dan kampanye lingkungan mereka
juga tetap membantu. Tentu segala yang saya mampu akan saya lakukan sebaik
mungkin. Termasuk mendengarkan iringan rock
and roll (baca: petir) hingga dini hari. Di saat yang sama di kota
kabupaten kecil ini, ketika petir bersahutan seperti itu, tentu ada seseorang
dan banyak orang yang mungkin merindukan kehadiran orang lain untuk sekedar
berbagi waktu melewati dini hari yang ‘keramat’ itu. Saya tentu sangat
bersyukur karena di sekitar saya begitu banyak sahabat dan saudara tunggal banyu yang menemani!
Di dermaga long boat rupanya
telah menanti sejak pagi, saya tahu dari wajah sang motoris yang begitu
‘keruh’. Usai urusan loading seluruh peralatan dan perbekalan kemudian diadakan
upacara kecil yang disebut nyaluk. Yaitu
dibuat paketan-paketan daun sirih dengan kapur dan pinang yang dilinting dengan
ditambah rokok yang ditaruh di dalamnya. Konon ini sebagai ungkapan persembahan
leluhur dan doa memohon dibantu mendoakan keselamatan dalam perjalanan. Seluruh
rombongan kemudian harus menyentuh lintingan
ini dengan tangan kiri. Saya tidak terlalu memahami tentang hal ini karena nyaluk sendiri baru saya lihat dalam
kehidupan masyarakat Dayak Bahau ini. Tetapi saya yakin dalam akulturasi
tradisi dan kepercayaan yang ada meskipun masih ada warna animisme-nya, semua
saya yakin berujung kepada Tuhan. Tergantung kepada kita sendiri kemana
mengarahkannya. Seperti saya misalnya, ya dalam hati selalu berkata “Ya Tuhan
berilah kami keselamatan dalam perjalanan ini”.
Selamat Datang di Negeri Jeram Mahakam Ulu
Perjalanan ‘mendaki’ menuju ke arah hulu Sungai Mahakam memang
bukanlah perjalanan yang mudah! Ratusan dan mungkin ribuan, saya yakin juga
tidak pernah ada yang menghitungnya, jeram menanti. Beberapa adalah jeram-jeram
besar berbahaya yang akan ‘menelan’ semua kesalahan pengarungan yang dilakukan
manusia menjadi petaka dan hilangnya nyawa. Tiga jam pertama adalah pengarungan
sungai yang masih diwarnai dengan tawa dan canda. Ujung dari tawa dan canda ini
adalah yang dinamakan Jeram Udang (Giham Udaang dalam bahasa Dayak Bahau).
Jeram paling terkenal di Sungai Mahakam di bagian tengah saking besarnya.
Kabarnya paling berbahaya ketika sedang musim banjir atau debit air Sungai
Mahakam sedang naik. Dan seperti itulah ketika kami tiba di hadapannya. Saya
telah berjumpa dengan Jeram Udang ini lima kali, berarti ini adalah kali ke-6
saya bertemu dengannya. Tanpa bantuan
foto dan atau video saya sepertinya akan kesulitan menunjukkan betapa besar dan
kuatnya arus air di jeram ini. Yang pasti Jeram Udang, saking berbahayanya,
telah menelan korban tak terhitung banyaknya. Saat itu sebagian besar rombongan
turun dari long boat dan kemudian
menyisir tepian sungai untuk kemudian dijemput kembali di titik setelah jeram,
saya dan beberapa sahabat asli Mahakam Ulu tidak turun. Bukan berniat
gagah-gagahan, padahal saat itu Jeram Udang sedang ‘mendidih’, akan tetapi ya
inilah Sungai Mahakam di bagian tengah ini. Memang dalam konteks safety, turun menyisir tepian sungai
dengan berjalan kaki adalah pilihan terbaik. Tetapi secara pribadi, tidak
bermaksud menyalahkan ketakutan kawan-kawan lainnya, saya hanya tidak ingin
mengingkari identitas dan ‘cap’ berpetualang di alam liar dalam waktu
bersamaan. Paradoks! Akan tetapi saya akan juga ikut turun kalau sang motoris
juga menyuruh saya turun, karena perhitungan beban dan kuatnya arus, karena
artinya jika saya tidak turun saya juga membahayakan nyawa-nya dan juga long boat serta seluruh isi muatan
lainnya. Tidak sampai 10 menit untuk mendaki Jeram Udang ini yang mana dalam
waktu yang singkat itu hanya deru mesin, teriakan penumpang dan motoris, dan
deru jeram yang terdengar. Kawan-kawan harus mencobanya kapan-kapan, tentunya
setelah mendengarkan pendapat dari sang motoris karena total beban long boat yang ada harus dihitung dengan
cermat sebelum ‘mendaki’ Jeram Udang ini.
Tantangan berat pertama telah dilalui, dan Ekspedisi Mata Air Sungai Mahakam 2017 pun kembali kami lanjutkan,
tentunya setelah semua penumpang yang turun menyisir tepian sungai naik ke atas
long boat semuanya. Sekilas saya
teringat pernah melihat ada penjelajah Jerman sekitar tahun 1917
mendokumentasikan Jeram Udang ini dengan kamera video hitam putih. Perjuangan masyarakat (jika saya tidak salah
ingat judulnya terkait masyarakat Dayak Kenyah) saat itu lebih ‘gila’ lagi
karena semuanya menggunakan dayung dan tali saja. Bayangkan betapa beratnya
kehidupan di masa lalu di wilayah ini? Perahu kayu baik besar dan kecil
semuanya didayung, menentang arus sungai dan jeram sebesar ini?! Itulah kenapa
juga tiada henti hingga hari ini, meski seringnya di dalam hati, saya begitu
respek dengan perjuangan hidup, kekuatan fisik dan ikatan sosial masyarakat
Dayak. Dan hal ini juga lah yang membuat saya rindu untuk selalu kembali ke
Kalimantan terutama di pedalaman, saya ingin belajar hidup seperti mereka para
perkasa! Para perkasa yang berdasarkan pengalaman sejak 2009 blusukan bersama mereka adalah
orang-orang yang begitu baik!
Selepas menerjang Giham Udaang biasanya long boat dan atau speed boat
yang mudik (naik ke hulu) akan
berhenti sekitar 40-an menit di Muara Nyaan dekat kamp KBT. Di tempat inilah
kita bisa sekedar meluruskan punggung, pesan kopi, dan atau makan. Yang tidak
mau makan dan minum bisa tiduran di dalam ‘rest area’ yang sebenarnya adalah
warung terapung tetapi berukuran besar. Para motoris selain akan memeriksa
kembali mesin dan lain-lain juga akan meng-update
kondisi di hulu dari para motoris lain yang kebetulan sedang milir (dalam perjalanan turun dari
hulu). Dan lain sebagainya. Semua lelah penat dan lain-lain akan ‘dibuang’ di
tempat ini, karena kalau tidak ‘dibuang’ akan terlalu banyak beban sebab
perjalanan kea rah hulu masihlah jauh! Hehehe. Apalagi bagi kami yang mana akan
menuju ke LA, sebutan ala anak muda yang mengacu kepada Long Apari, kecamatan
paling ujung di DAS Mahakam ini. Saya dan beberapa relawan Wild Water Indonesia
lainnya memanfaatkan momen ini untuk berkampanye ke semua orang yang hari itu
ada di ‘rest area’ tersebut. Juga sempat kami tinggalkan satu buah banner
berukuran 5 x 1 meter dengan dipasang di salah satu dindingnya bagian luar.
Kenapa kami merelakan salah satu banner, yang sebenarnya hendak kami pasang di
LA, di tempat ini? Karena dalam jalur mobilitas DAS Mahaikam bagian hulu,
warung ini merupakan tempat bertemunya puluh dan bahkan ratus orang setiap
harinya. Dari berbagai kampung, beragam latar belakang, dan lain sebagainya.
Harapan kami dengan banner yang cukup mencolok ini pesan kegelisahan perairan
bisa menyebar ke semua orang yang melihatnya. Karena terlepas dari masih
sehatnya potensi perairan di DAS Mahakam bagian hulu, bukan berarti tidak ada
tantangan. Ada saja yang selama ini, terkait ikan saja, melakukan penangkapan
ikan dengan cara yang tidak ramah lingkungan. Ini jika saya ingat bahwa saya
sendiri pernah mengikuti sebuah patrol menangkap pelaku penangkapan ikan yang
tidak ramah lingkungan di sebuah kampung di bagian hulu tahun lalu. Belum lagi
jika kita mendengar cerita-cerita dari para sahabat pemancing dan pemerhati
perairan lainnya. Memang belum massif
tetapi justru itulah harus segera kita reduksi, kita kurangi, kita tangkal,
kita hilangkan. Sebelum semuanya menjadi kompleks dan kesehatan sebuah
ekosistem perairan sudah menjadi sulit untuk dikembalikan lagi seperti semula.
Usai urusan ‘ruang tengah’ (baca: mengisi perut) selesai kami
melanjutkan perjalanan menuju Long Apari. Memang alur sungai menjadi lebih berkelok
dan bergejolak karena banyaknya jeram-jeram besar, meski demikian tidak ada
yang secara “single” sebesar Jeram Udang tetapi semuanya memiliki kisah dan
tantangannya sendiri-sendiri. Semuanya memiliki potensi bahayanya masing-masing
yang tidak bisa disepelekan oleh sang motoris. Yang pasti pemandangan menjadi
lebih indah dan segar, udara pun tekah sedikit berbeda. Tebing batu tinggi di
kiri kanan sungai, beberapa merupakan lokasi kuburan-kuburan lama Dayak Kenyah
jaman dahulu. Jalur bergejolak sejauh kurang lebih lima kilometer ini kalau
orang Dayak Bahau menyebutnya Giham Aruu’ atau kalau dalam bahasa Indonesia
adalah Jeram Panjang karena memang sangat panjang dan merupakan kumpulan
berpuluh jeram. Giham Aruu’ ini kalau musim banjir / air besar tidak seberapa
berbahaya, akan tetapi jika musim air kecil, mematikan! Keindahan paling menakjubkan
di jalur Giham Aruu’ ini kalau menurut saya adalah Air Terjun Kenehe yang
berada persis di sebelah kiri (jika kita mudik/naik hulu). Air terjun ini
muncul dari tebing di tepi sungai dan airnya jatuh langsung ke Mahakam. Jadi
bayangkan keindahannya? Apalagi waktu itu kami juga diberi berkat dengan begitu
besarnya debit air yang mengalir di Air Terjun Kenehe ini. Sungguh Maha Kuasa
Tuhan Pencipta semesta ini. Sayangnya saya belum memiliki kesempatan untuk
sekedar merapat dan mandi di bawah air terjun yang menjadi saksi kisah hidup
manusia di Sungai Mahakam bagian hulu sejak entah kapan kehidupan manusia ada
di wilayah ini. Mungkin suatu hari nanti saya bisa singgah dan minum dari mata air
Kenehe. Saya juga sekilas kembali teringat, foto pertama yang saya lihat
terkait dengtan Kenehe adalah foto seorang warrior
Dayak Long Glaat (sub Dayak Bahau) yang dijepret oleh kawan-kawan Borneo Nature
Photography. Sang warrior muda yang
memiliki garis darah ‘biru’ itu hari ini pun sedang bersama saya asyik
memainkan GoPro barunya. Memang dia masih muda tetapi ada banyak hal yang saya
menaruh respek dan harapan padanya terkait ‘mengawal’ keberlanjutan potensi
perairan DAS Mahakam di masa mendatang. Namanya tidak usah saya sebutkan
disini, nanti dia langsung telpon saya lagi ‘manas-manasin’ saya dengan
ikan-ikan besar terbaru hasil tangkapannya! Lepas dari Giham Aruu’ tidak ada
lagi jeram besar yang kami lalui, hanyalah jeram-jeram kecil yang harus dengan
sabar kami nikmati selama kurang lebih lima jam hingga ke kampung yang menjadi tujuan
kami di wilayah Kecamatan Long Apari. Kecamatan paling ujung yang ada di
wilayah Kabupaten Mahakam Ulu karena berbatasan langsung dengan Malaysia.
Singgah Sejenak di Kampung Halaman Lung Tuyoq
Akan tetapi sebelum menuliskan tentang Kecamatan Long Apari saya
akan menyinggung sedikit tentang ‘kampung halaman’ bernama Lung Tuyoq. Kampung
ini adalah pemukiman masyarakat Dayak Long Glaat (sub Dayak Bahau). Saya pernah
tinggal di kampung ini beberapa kali dalam kurun waktu 2016-2017. Ada beberapa
catatan yang pernah saya tulis tentang kampung kecil ini di blog pribadi saya,
para sahabat dapat membacanya di www.michaelrisdianto.blogspot.com. Kampung
di antah barantah yang kemudian bagi saya menjadi terasa seperti kampung
halaman saya sendiri. Banyak orang yang sudah seperti saudara sendiri. Ketika
naik dari dermaga kampung saya sedikit mencoba tidak menarik perhatian, eh malah selepas gerbang kampung
seseorang nongol dari lantai dua
rumah kayunya. Kak Mike! Mau kemana kog datang tidak beri kabar?! Suaranya
sekeras penjual jamu dan membuat banyak orang kemudian menyadari ada bocah
hilang mampir. Namanya Pare (padi), anaknya salah satu anak dari Pak Kawit,
salah satu kru perahu saya tahun lalu. Pare ini begitu rajin membuatkan kopi
dan masakan kepada saya ketika saya berada di kampung ini dulu. Hehehe! Niat
saya mampir sekitar 30 menit ke kampung ini antara lain menjumpai sejenak ayah
ibu saya (inay Tukau dan amay Huvat) yang tinggal di bagian
belakang Lamin Adat Lung Tuyoq. Puji Tuhan keduanya sehat. Tak banyak diskusi
yang kami lakukan dalam waktu yang singkat tersebut, bisa berjabat tangan dan
berbagi kabar saja sudah membahagiakan. Ngerung (nama saya yang diberikan oleh inay Tukau tahun 2016 lalu) kamu mau
kemana? Mau main ke Long Apari, lebih jauh lagi tetapi ke dekat perbatasan,
jawab saya. Hati-hati katanya. Kamu tidak bawa lavung-mu? Tidak inay, lavung
saya ada di Malang, Jawa Timur karena saya pindah dari Jakarta dan masih
menumpuk di barang-barang pindahan, terselip. Dia kemudian mengambil lavung yang ada di sudut ruangan dan
memberikannya kepada saya. Lavung
adalah tutup kepala khas Long Glaat yang dibuat dari anyaman rotan. Bentuknya
unik dan merupakan ciri khas masyarakat Dayak Bahau, tidak hanya semata sebagai
tutup kepala sehari-hari saja tetapi sebagai identitas. Misalnya kalau di
acara-acara adat di lavung akan
ditancapkan bulu burung enggang. Jika tertancap di sebelah kiri artinya pemakai
adalah single (baik jejaka maupun duda), dan jika di sebelah kanan itu artinya
ada yang memiliki. Banyak orang menghias lavung-nya
dengan sulaman-sulaman yang indah. Milik saya standar saja. Pertanyaan terakhir
inay Tukau saat itu adalah, apakah
kamu sudah menikah?! Saya hanya tertawa! Sayangnya saya tidak bisa berjumpa
dengan nayaq (nenek) Ping, seorang
renta bertelinga panjang dan juga ber-tattoo yang begitu sering saya abadikan
di kamera ponsel saya dahulu. Beliau ini salah satu orang yang menjadi ‘tim
ahli’ penilai tattoo saya. Kritiknya selalu saya ingat, kurang banyak
tattoo-mu! Nenek yang begitu cantik dan penuh semangat. Kabarnya kondisi
kesehatannya sekarang sudah tidak seperti dahulu lagi, keluarganya membawanya
ke Samarinda. Hanya doa yang terbaik bisa saya kirimkan kepada nenek paling
nge-hits di Lung Tuyoq ini. God
bless!
Long Apari, Beranda Depan Republik Indonesia
Kita kembali ke wilayah Kecamatan Long Apari. Long boat kami tiba sekitar pukul lima sore di dermaga Kampung
Tiong Ohang, persis di bawah jembatan tali kecil yang menjadi penghubung kedua
sisi kampung yang terpisah oleh Sungai Mahakam. Setahu saya, ini satu-satunya
jembatan selain yang ada di Samarinda yang menyambung kedua tanah sekitar DAS
Mahakam dari dua sisi berbeda. Jembatan yang cukup lama, konon dibangun pada
awal masa kemerdekaan? Suasana Tiong Ohang cukup sepi, besar memang kampung ini
karena merupakan ibukota-nya Kecamatan Long Apari. Tetapi agak tidak biasa
suasana begitu sepi padahal kabarnya kehadiran kami telah dikoordinasikan
dengan masyarakat. Rupanya kami salah duga, setelah tarian tradisional yang
dibawakan oleh beberapa bocah di tepian sungai, kami kemudian naik ke gerbang
kampung, masih disambut tarian lagi oleh bocah-bocah imut. Warga yang kebetulan berdisi di samping saya berucap, bahwa sebenarnya
kami telah dinanti sejak pukul sembilan pagi! Dan karena hari ini tidak ada satupun
long boat berani menerjang derasnya
arus banjir Sungai Mahakam, masyarakat kampung mengira kami akan datang besok.
Nah karena semua masyarakat kemudian bubar dan juga sudah menanggalkan semua
atribut kebesaran Dayak Aoheng mereka, diperlukan strategi agar ada waktu
bersiap menyambut kami dengan semestinya. Strategi yang keren! Kami berdua tertawa!
Usai tarian kedua di gerbang kampung inilah, sambutan sesungguhnya dengan
segala tradisi dan atribut Dayak Aoheng dilakukan. Saya tidak bisa menghitung
jumlah orang yang ada, semuanya berbaris dan kemudian membawa kami menuju ke
lamin adat. Setiap titik ada tarian-tarian tradisional yang begitu penuh
semangat dan indah. Semua masyarakat tua, muda, bocah, renta, laki-laki,
perempuan memakai pakaian adat tradisional terbaiknya. Menari, menyanyi,
berteriak khas Dayak, dan mewarnai perjumpaan dengan begitu hangat (panas
bahkan kalau kata saya haha!). Saya masih merinding mengingat momen itu. Ini
mungkin acara penyambutan terbesar yang pernah dilakukan oleh masyarakat dalam
kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, kata seseorang yang saya tidak tahu
namanya? Kenapa bisa demikian? Kami tidak tahu, ada sesuatu yang berbeda yang
kami rasakan, ucapnya. Ketika banyak orang memiliki banyak alasan untuk tidak
datang ke wilayah kami yang begitu jauh di pedalaman ini dengan medan yang
begitu berat dan juga mahal ongkosnya, kalian tidak peduli tetap ngeyel datang, contohnya hari ini saja,
hanya satu long boat kalian inilah
yang berani naik menerjang banjir besar Sungai Mahakam. Di antara riuh
rendahnya tawa, tari, nanyian, dan alunan musik sapee, teriakan Dayak penuh semangat, di antara ‘gemuruh’ suara
kumpulan manusia di lamin adat, saya menjadi paham kenapa pagi hari tadi sang
motoris long boat begitu kusut
wajahnya. Hahahaha!
Epilog: Deskripsi Program Jaga Mata Air
Program Jaga Mata Air adalah program jangka panjang lintas region
jaringan kepedulian perairan Wild Water Indonesia yang memiliki beragam makna. Pertama,
adalah sebagai tekad jaringan untuk terus mengingatkan para relawan di seluruh
negeri tentang pentingnya menjaga kemurnian keikhlasan dan kesukarelaan dalam
menjalani kepedulian perairan ini demi mewariskan ‘mata air’ untuk Indonesia
dan bukan air mata. Kedua, adalah untuk mendorong semangat jaringan Wild Water
Indonesia melalui para relawan untuk melakukan perjalanan-perjalanan skala
besar ke pedalaman di seluruh negeri untuk menjalin silaturahmi kepedulian
dengan masyarakat setempat. Menjadi bagian penting perubahan positif tata
kelola dan pemanfaatan potensi perairan secara berkelanjutan yang ada di
wilayah tersebut agar potensi alam dapat diwariskan kepada generasi berikutnya
dalam keadaan yang layak. Ketiga, adalah sebagai penanda bahwa
jaringan kepedulian perairan Wild Water Indonesia juga menjalankan konsern
kepedulian merawat (menjaga) mata air yang merupakan elemen vital kehidupan
manusia dan makhluk hidup lainnya (salah satunya dengan penebaran ikan-ikan
sidat dan menciptakan kawasan hutan lindung melalui kesepakatan adat), sembari
dengan tetap menjalankan main concern jaringan
berupa kampanye penghentian aktifitas destruktif dan illegal fishing (setrum,
racun, dan bom ikan) serta penghentian budaya nyampah sembarangan. Pun juga dengan tidak ‘meninggalkan’ konsern
yang telah dijalankan hampir dua tahun terakhir ini salah satunya adalah
pelestarian ikan-ikan lokal (native fish)
di Indonesia. Salam lestari! (Bersambung)
* Pictures
captured at Mahakam Ulu, East Kalimantan by various person. Please don't use or
reproduce (especially for commercial purposes) without my/our permission. Don't
make money with my/our pictures without respect!!!
Comments