Entah kenapa sekarang-sekarang ini saya tergoda untuk memancing di Krui. Krui (di peta ini posisinya ada di pojok kiri atas) adalah kota kecil yang merupakan ibukota Kecamatan Pesisir Tengah, Kabupaten Lampung Barat. Krui memiliki teluk kecil yang berada persis di depan desa yang langsung menghadap Samudera Hindia, inilah kenapa banyak ikan marlin bermain di desa ini. Dari Bandar Lampung entah berapa jarak pastinya tetapi konon jika dengan mobil dari Bakaheuni maka diperlukan waktu setidaknya 8 sampai 9 jam untuk tiba di Krui. Taruhlah mobil melaju dengan kecepatan rata-rata 60 km per jam berarti 500 km lebih jaraknya dari Bakaheuni. Jauh sekali, mungkin pantat sudah berasap hitam kalau duduk terus selama itu. :))
Berdasarkan kabar ‘burung’, konon Krui adalah desa (kota kecil) penghasil ikan marlin terbesar di Sumatra. Ikan yang dalam bahasa setempat disebut setuhuk ini juga dijadikan ikon desa dengan membuat patung ikan ini di salah satu pusat desa. Meski sayang, setelah saya melihat foto seorang blogger, ikan yang dibuat patungnya bukanlah ikan blue marlin melainkan ikan layaran (sailfish). Sama-sama billfish, tetapi layaran dan marlin itu berbeda. Tetapi niat luhur membuat landmark desa dengan patung ikan ini harus disyukuri karena ini menurut saya sangat mulia meski patungnya salah. Perjalanan saya di ‘benua’ Google membawa saya pada beberapa informasi penting.
Sebuah percakapan yang diposting di forum mancing terbesar negeri ini memberitahu saya kabar terbaru yang sebenarnya tidak ingin saya dengar. Memang dulu, pada tahun 2001, kata seorang member forum mancing terbesar di negeri ini yang hidup di USA, nelayan di Krui memancing ikan marlin (yang entah blue atau black – seharusnya di Samudera Hindia adalah black marlin) hanya dengan menggunakan sampan kecil saja dengan lokasi memancing di teluk depan kampung sudah bisa mendapatkan ikan ini. Namun sekarang sudah berbeda karena katanya ada praktek-praktek menangkap ikan yang tidak arif lingkungan. Jadi intinya, dulu dan sekarang jauh berbeda.
Namun beda lagi informasi dari kata para pejabat daerah tentang Krui. Di sebuah situs pemerintah daerah saya membaca bahwa ikan blue marlin (mereka seharusnya mengetahui bahwa di perairan Samudera Hindia kebanyakan yang hidup adalah ikan black marlin dan bukannya blue marlin – kalau tidak percaya silahkan klik FishBase.Org) masih banyak terdapat di Krui. Kami, kata mereka, malah hendak membangun pabrik ikan untuk menampung ikan-ikan marlin tangkapan nelayan dan kemudian mengekspornya ke luar negeri. Aneh sekali, ikan ini di berbagai negara di dunia dilindungi dan kini oleh dunia internasional dihimbau agar dilindungi dengan program catch and release serta tag and release, eh orang-orang pemda ini malah hendak membangun pabrik ikan marlin dan mengekspornya? Tak heran di salah satu laporan tahunan yang diterbitkan IGFA (kalau tidak salah tahun 2007 atau 2008) saya membaca bahwa Indonesia masuk daftar hitam sebagai salah satu pemasok daging marlin ke pasaran dunia.
Para blogger baik yang suka menulis di Blogger dan atau di Wordpress banyak juga menyebut tentang Krui. Namun mereka kebanyakan hanya menyebut indah-indahnya saja dan di permukaan saja misalnya landscape daerah ini yang menarik, ada patung ikan blue marlin, senja-nya bagus dan lain sebagainya. Mereka tidak salah karena mereka tidajk punya urusan dengan ikan marlin. Pejabat daerah itu juga tidak salah, karena mereka ingin mempromosikan daerahnya. Saya yang salah karena tidak datang langsung ke daerah ini untuk membuktikan sendiri apakah masih ada ikan marlin bermain di teluk depan Krui atau tidak. Semoga saja, marlin di Krui masih lestari...
Berdasarkan kabar ‘burung’, konon Krui adalah desa (kota kecil) penghasil ikan marlin terbesar di Sumatra. Ikan yang dalam bahasa setempat disebut setuhuk ini juga dijadikan ikon desa dengan membuat patung ikan ini di salah satu pusat desa. Meski sayang, setelah saya melihat foto seorang blogger, ikan yang dibuat patungnya bukanlah ikan blue marlin melainkan ikan layaran (sailfish). Sama-sama billfish, tetapi layaran dan marlin itu berbeda. Tetapi niat luhur membuat landmark desa dengan patung ikan ini harus disyukuri karena ini menurut saya sangat mulia meski patungnya salah. Perjalanan saya di ‘benua’ Google membawa saya pada beberapa informasi penting.
Sebuah percakapan yang diposting di forum mancing terbesar negeri ini memberitahu saya kabar terbaru yang sebenarnya tidak ingin saya dengar. Memang dulu, pada tahun 2001, kata seorang member forum mancing terbesar di negeri ini yang hidup di USA, nelayan di Krui memancing ikan marlin (yang entah blue atau black – seharusnya di Samudera Hindia adalah black marlin) hanya dengan menggunakan sampan kecil saja dengan lokasi memancing di teluk depan kampung sudah bisa mendapatkan ikan ini. Namun sekarang sudah berbeda karena katanya ada praktek-praktek menangkap ikan yang tidak arif lingkungan. Jadi intinya, dulu dan sekarang jauh berbeda.
Namun beda lagi informasi dari kata para pejabat daerah tentang Krui. Di sebuah situs pemerintah daerah saya membaca bahwa ikan blue marlin (mereka seharusnya mengetahui bahwa di perairan Samudera Hindia kebanyakan yang hidup adalah ikan black marlin dan bukannya blue marlin – kalau tidak percaya silahkan klik FishBase.Org) masih banyak terdapat di Krui. Kami, kata mereka, malah hendak membangun pabrik ikan untuk menampung ikan-ikan marlin tangkapan nelayan dan kemudian mengekspornya ke luar negeri. Aneh sekali, ikan ini di berbagai negara di dunia dilindungi dan kini oleh dunia internasional dihimbau agar dilindungi dengan program catch and release serta tag and release, eh orang-orang pemda ini malah hendak membangun pabrik ikan marlin dan mengekspornya? Tak heran di salah satu laporan tahunan yang diterbitkan IGFA (kalau tidak salah tahun 2007 atau 2008) saya membaca bahwa Indonesia masuk daftar hitam sebagai salah satu pemasok daging marlin ke pasaran dunia.
Para blogger baik yang suka menulis di Blogger dan atau di Wordpress banyak juga menyebut tentang Krui. Namun mereka kebanyakan hanya menyebut indah-indahnya saja dan di permukaan saja misalnya landscape daerah ini yang menarik, ada patung ikan blue marlin, senja-nya bagus dan lain sebagainya. Mereka tidak salah karena mereka tidajk punya urusan dengan ikan marlin. Pejabat daerah itu juga tidak salah, karena mereka ingin mempromosikan daerahnya. Saya yang salah karena tidak datang langsung ke daerah ini untuk membuktikan sendiri apakah masih ada ikan marlin bermain di teluk depan Krui atau tidak. Semoga saja, marlin di Krui masih lestari...
Comments
saya pernah tag di wikimapia dengan keyword "krui", saya sisipkan web perjalanan seorang backpacker cewe di sana.
tentang marlin, saya pernah liat di tipi nelayan2 lampung mancing marlin pake tali pancing,dan jerigen2 yang dibuat sbg pelampung ..( apa ndak dibawa kabur tuh?)
Terminasi Desa utk Krui adalah kesalahan fatal karena sejak jaman Raffles berkuasa, Krui sudah menjadi Bandar besar. Ya wilayah ini termasuk jajahan Inggris bersama Bengkulu yg kemudian di ruuislag dgn Singapura dgn voc. Krui juga dikenal dgn sebutan Padang Kecil krn banyaknya org Padang berniaga disini, spt Arzetti artis yg keturunan Minang tapi sejak nenek moyang telah menetap di Krui. Dan org Krui banyak menyebar di Jakarta dan Lampung, kebanyakan berprofesi sbg guru-dosen dan ahli hukum spt bang Henry Yosodiningrat. Kota yg kini bisa dicapai dalam 4-5 jam dari Bakauheni via Tanggamus memang memiliki potensi billfish luarbiasa, black marlin-sailfish-tuna banyak terdapat disekitar 1-3 km dari pantai saja. blue marlin dan giant trevally pun terkadang ada tertangkap meski tidak sesering di perairan Selat Sunda. sepanjang tahun tidak pernah berhenti musim ikan dgn siklus ikan2 kecil spt sardine kemudian tuna (yellow fin) kecil hingga musim setuhuk dan layaran. Boleh saja dunia melarang tapi penghasilan nelayan Krui yg bertumpu pada Marlin bagaimana. Toh Marlin selalu datang pada musimnya dan nelayan Krui hanya menangkap sesuai kemampuan dgn pancing dan jeriken yg harus dikejar manakala dimakan Marlin atau giant Tuna. Mungkin yang buat peraturan hanya memikirkan kesenangan memancing yg bakal sirna jika Marlin sulit ditemui dan ogah ke Krui padahal puluhan bule tiap hari berkeliaran di Krui terutama di musim Surfing yg berbarengan dengan musim setuhuk. Krui juga dikenal sbg spot Surfing terbaik di mainland Sumatra dan konsistensi ombaknya terbaik di seluruh dunia. Silahkan lihat sendiri... saya puluhan tahun mancing ke Krui meski tinggal di pantai juga dekat Bakauheni malah sampai dapet putri duyung dari Pulau Pisang (kota pulau yg telah ditinggalkan sebagian penghuninya sejak Jalan Lintas Barat Sumatera tembus 2 dekade lalu) terletak di sebelah utara Krui dan Pulau inilah yg sebenarnya merupakan persinggahan utama migrasi Marlin dan Sailfish.
mas andre benar,bahwa masyarakat krui memancing setuhuk sangat traditional,jiregen berfungsi sebagai pelampung.dan kebetulan kerabat saya seorang nelayan di pulau pisang.
krui...kedepan mungkin akan lebih ramai lagi di kunjungi wisatawan asing,apabila landasan pesawat sudah beroperasional.