Malam hari Very (nama aslinya sebenarnya sangat Kamoro banget tetapi saya lupa persisnya) saya suruh memegang ikan barra besar perolehan saya yang terpancing sore hari sebelumnya. Sebelum ikan ini menyambar lure, Ferry sempat bertanya, Bang kuat kah tali sekecil itu dipakai mancing?! Catatan iseng ini dipersembahkan untuk rekan-rekan mancing kami dari PT Freeport Indonesia, terutama sekali dari Environmental Departement (Enviro Dept) yang telah membantu kami dengan begitu luar biasa selama kami berada di Timika. Salam Akapoma!
Saya bersyukur bahwa saya begitu sibuk. Tetapi dulu tak pernah terlintas akan sesibuk sekarang. Waktu mengalir begitu cepat laksana banjir di pegunungan dengan begitu banyak ‘muatan’-nya. Kamis malam (10/6/2010) saya masih nebeng flight milik sebuah maskapai milik salah satu perusahaan tambang terbesar dunia dari tanah Papua menuju Jakarta. Jum’at hingga Minggu sudah berjibaku popping GT di Ujung Kulon, Banten. Lalu Senin hingga malam ini masih berusaha menjadi awak dapur dengan tugas membantu ‘memasak’ sebuah program documentary milik salah satu stasiun TV swasta besar di negeri ini. Saya bersyukur karena saya ternyata begitu sibuk bekerja dan juga masih diberi waktu untuk bermain menenteramkan hati. Dan karenanya baru malam ini lanjutan cerita iseng trip berburu ikan barramundi (kakap putih) di perairan payau di Timika, Papua Barat bisa saya lanjutkan kembali.
Jadi saudara-saudara…. Wkwkwkwk… Hingga hari Minggu siang (6/6/2010) semua tim yang telah merapat di Muara Mawati masih gundah karena air masih begitu keruh. Coklat pekat, persis warna air susu coklat milik keponakan kita yang diracik ibunda tercintanya namun agak kekurangan air. Parah banget sih mamanya? Tanda bahwa hujan ternyata tidak hanya terjadi di daerah hilir (muara) saja, namun juga terjadi di wilayah hulu sehingga ‘merusak’ kualitas air di seluruh sistem sungai di wilayah ini. Ingat, bahwa semua sungai di wilayah Muara Mawati ini sambung menyambung menjadi satu. Hingga siang hari praktis hasil mancing dengan teknik kasting yang kami terapkan gagal total tanpa sambaran. Lure kasting beragam merk mulai dari Halco, Killalure, Tilsan dan bahkan Barra Clasic hanya menjadi ‘model’ kesepian yang melenggang di dalam air tanpa terkaman ganas dari sang kakap putih incaran kami.
Saking gundahnya, kru-kru kapal kami akhirnya memutuskan ‘menyabotase’ acara kasting kami dengan ramai-ramai mancing dasar dengan umpan udang mati yang mereka bawa dari Timika. Padahal udang-udang itu seharusnya untuk stock lauk pauk! Namun kami tak seharusnya khawatir, karena mereka berhasil melakukan barter hebat di Muara Mawati dengan mendapatkan ikan-ikan kecil dengan jumlah tak terhitung untuk stock lauk kami beberapa hari ke depan. Jujur saya takjub dengan potensi ikan di sini. Bayangkan saja, dengan teknik dasaran kru kapal kami dan juga rekan-rekan kami dari Timika berhasil memancing beragam ikan mulai dari yellowtail trevally, kerong-kerong, talang-talang, dan lain sebagainya dalam jumlah besar hanya dalam hitungan menit saja! Saking banyaknya, saya agak ‘ngeri’ karena kalau misalnya ini difoto dan dilihat rekan-rekan sportfisherman di Pulau Jawa misalnya, aksi ini bisa disebut kuras sungai saking banyaknya ikan dasaran yang kami naikkan ke kapal! Namun untuk kasus ini memang tidak bisa disebut demikian karena jumlah kru kami juga bejibun. Jadi wajar jika kami harus menaikkan ratusan ikan kecil untuk kami jadikan stock lauk pauk kami selama di sini. Kru kami saja total hampir 20 orang. Masak mau memancing lima ekor ikan untuk lauk pauk selama tiga hari ke depan?!
Sekitar pukul 15.00 WIT radio di kapal Suara Alam menerima panggilan radio dari Kapal Akapoma yang mengabarkan bahwa mereka telah mendekati Muara Mawati dari arah laut. Karena gembira dengan kedatangan mother ship kami ini, maka kapal Suara Alam dan Iwaro bergerak ke mulut muara untuk menyambut Akapoma yang akan menjadi ‘hotel’ kami selama tiga hari ke depan. Kami sengaja menjumpai Akapoma agak di tengah laut sebelum kapal ini masuk ke muara sungai karena kami hendak melakukan doa bersama sekaligus tabur bunga untuk rekan kami Bagus Dwi, kameraman Jejak Petualang TV 7 yang hilang di perairan Pulau Tiga pada tanggal 6/6/2006 lalu. Kebetulan hari ini (6/6/2010) bertepatan empat tahun sahabat kami ini berpulang. Memang lokasi kami saat ini agak jauh dari lokasi kejadian di Pulau Tiga, tetapi tidak jauh-jauh amat. Mother ship Akapoma dan kapal Suara Alam ini, termasuk kru kapal-nya, pada tahun 2006 dulu juga termasuk tim dan sarana SAR untuk rekan kami tersebut. Sehingga acara tabur bunga ini secara kebetulan melibatkan mereka-mereka yang terlibat dalam upaya rescue rekan kami itu. Bunga yang sengaja kami bawa dari Jakarta kemudian kami taburkan ke laut diiringi dengan doa-doa terbaik kami semoga sahabat kami Bagus Dwi berisitirahat dengan tenang di sisi-Nya. Amin!
Ketika Suara Alam dan Akapoma bergerak ke titik yang menjadi base camp kami, sebuah pertigaan besar yang mempertemukan tiga sungai besar, pemancing di Iwaro bergerak lambat sambil melakukan kasting. Saya, Dadan Iskandar, Deddy, Imam dan Pak Herry dari PTFI bergerak pelan menyusuri tepian muara sambil kasting. Mujur, ternyata umpan saya yang laku. Umpan pinjaman dari Dadan Iskandar. Merknya Killalure (Australia), barra killer yang lebih hebat dari merk Halco yang pasaran namun mahal itu! Hahaha! Lumayan, seekor kakap putih 3 kiloan berhasil dinaikkan dengan mulus. Sensasi kasting kakap putih di wilderness memang luar biasa. Saat pertama menyambar umpan ikan ini meloncat ke udara. Mengagetkan. Juga pada saat memberontak berusaha melepaskan pancing, dia terus menari-nari mempesona. Pantas saja ikan perairan payau ini merupakan menduduki peringkat #1 sebagai target kasting di perairan payau. Fighting abilitynya mantap. Aksi akrobatiknya pun sedap! Untung leader saya telah saya ganti dengan wire berkekuatan cukup besar sehingga tak perlu khawatir putus terkena ‘pipi’ ikan yang terkenal setajam silet itu.
Kami lalu bergabung dengan Akapoma dan Suara Alam yang telah ‘duduk’ manis di pertigaan sungai. Kami perlu beristirahat sejenak di tempat yang nyaman. Akapoma memiliki semuanya; kamar mandi, televisi satelit, kamar AC, makanan berlimpah, dan bahkan tukang masakjempolan! Waktu istirahat ini juga dijadikan sarana untuk mengatur kembali strategi ‘perang’ melawan buruknya cuaca sehingga kami tetap bisa mendapatkan ikan target incaran kami. Yang mana hasilnya adalah, mau bagaimanapun kondisi sungai dan cuaca, karena waktu tidak bisa menunggu dan karena kami semua telah berada di sini, di lokasi yang semestinya untuk memburu barramundi, maka satu-satunya yang harus dilakukan adalah mancing dan mancing! Sore hari kecuali Akapoma kembali bergerak mendatangi lokasi-lokasi yang mungkin menjadi tempat nongkrong sore ikan-ikan barramundi. Hasil tidak menggembirakan karena hanya satu barramundi saja yang berhasil kami naikkan. Namun size-nya sangat bagus, 11.8 kg! Waooow! Saya pancing, lagi-lagi, dengan umpan Killalure pinjaman dari Pak Dadan. Pertarungannya mendebarkan karena saya hanya memakai tali PE kecil kelas 1.5 yang saya sandingkan dengan reel murahan kelas 3000 (30 pounds) dan joran Shakespeare kelas 30 pounds.
Saat strike, mancing teknik kasting dengan umpan artificial lure memang sedap! Tiga detik setelah umpan minnow Killalure jatuh dan berada di dalam air, saya sengaja meninggikan posisi ujung joran saya agar lure tidak menyelam terlalu dalam karena banyak batang pohon di dalam air, sebuah loncatan dan kibasan besar di air mengagetkan kami. BIG BARRA! Dan sedetik kemudian tangan kanan saya langsung seperti memegang benda yang sangat berat. Barramundi itu langsung bermanuver ke kedalaman, kiri-kanan mencoba merepotkan dan membuat gugup pemancingnya, dan sesekali meloncat ke udara dengan liarnya. Ini adalah karakter barramundi. Dengan loncatan itu dia berharap dapat menggesek tali pancing dengan pipi tajamnya agar putus. Tetapi sayangnya kali ini pemancing telah siap dengan wire yang tak akan putus meski pipi barra menjadi halus menggeseknya. Dari kejauhan terlihat samar umpan Killalure itu benar-benar menancap sempurna dan malah separo badan umpan nyangkut di dalam mulut barramundi besar ini. Jadi saya tak terlalu khawatir. Meski tali PE yang saya gunakan hanya PE1.5 saya tenang saja menghadapi perlawanan sang ikan. Kru lokal kami berisik sekali saat melihat ikan besar ini. Kata mereka, ini adalah barramundi terbesar yang pernah mereka lihat terpancing dengan umpan buatan. Usai ikan ini mendarat di kapal dan di foto, saya tiba-tiba memiliki banyak fans lokal Papua. Hehe…
Senin kami kembali merajut asa kami. Eksplorasi Muara Mawati semakin diintensifkan meskipun hujan tetap dominan mengguyur wilayah ini, Air sungai sungai tetap keruh coklat seperti kemarin. Saya sangat heran dengan kondisi ini. Sejak kami datang hari Kamis minggu lalu, hujan seperti tidak pernah berhenti. Kata kawan-kawan kami dari PTFI, memang beginilah Papua. Hanya ada dua musim, yakni musim hujan, dan musim hujan terus menerus. Waduh! Pagi-pagi Kapten Dudit Widodo mengawali strike. Seekor barramundi 3 kiloan berhasil dinaikkan. Lumayan, awal hari yang cerah. Saya tetap di flatboat kecil Iwaro. Iwaro menjadi boat paling lincah selama di sini karena bisa masuk hingga sungai-sungai dangkal. Namun meski penjelajahan kami telah demikian hebatnya, hanya satu ekor barraundi saja yang berhasil didapatkan dengan Iwaro. Kali ini yang beruntung adalah Handoko, pemancing Surabaya yang bergabung dengan kami di Timika. Hanya dua ekor barramundi inilah yang berhasil kami pancing dengan artificial lure. Namun secara keseluruhan, hari ini kami sebenarnya berhasil memancing puluhan (dan mungkin ratusan ikan), karena kru-kru lokal Papua kami begitu rajin memancing dengan umpan udang mati setiap kami pasang jangkar atau berhenti untuk beristirahat.
Melihat kondisi lokasi yangt tetap tidak berubah, malam hari diputuskan bahwa esok pagi kami akan bergeser ke Timika. Pergeseran ini akan dilakukan sambil mancing menyisir lokasi-lokasi yang dianggap potensial di sepanjang perjalanan. Namun memang alam sedang tidak bisa diajak kompromi, esok hari saat kami mendarat di Timika tak ada satu ekor pun barramundi yang berhasil kami naikkan. Dimana-mana sungai begitu keruh, dingin, dan hujan! Selasa malam kami beristirahat di kantor Enviro. Dept PTFI di Portsite dan masih belum menyerah. Padahal hujan begitu deras disertai petir meledak dimana-mana. Usaha terakhir kami, dini hari nanti kami akan bergerak ke Bouy A lagi untuk memancing ikan katro/kakap tawar. Harapannya semoga saja ada barang satu atau lima ekor katro monster yang naik. Karena konon, kata kawan-kawan di Timika, size ikan-ikan katro yang melahap umpan mancing selalu bagus. Malang tak bisa ditolak. Meski berangkat dengan semangat tahun 2010 yang menggebu, hingga Rabu pagi hasil tetap nihil.
Kami pun mencoba rasional, memang alam sedang tidak mengijinkan aktivitas mancing dilakukan di Timika saat ini. Hujan lebih dominan dibandingkan dengan panas. Panas satu jam, hujannya semalaman. Terus begitu. Karena waktu sudah semakin sempit, saya dan kru MM Trans 7 pada siang hari bergerak ke dalam kota Timika dengan jemputan dari kawan-kawan Cor Comm PTFI. Kamar sejuk Hotel Rimba Papua menjadi tempat peristirahatan kami berikutnya. Sambil packing untuk kepulangan ke Jakarta esok hari, saya memandangi lukisan buatan Suku Kamoro yang persis tergantung di atas tempat tidur saya. Ada gambar penyu dan ikan di dinding itu. Mungkin ini pertanda, kami masih akan diberi kesempatan lagi untuk datang kembali dan menunjukkankemampuan terbaik kami untuk mendapatkan ikan-ikan barramundi penguasa muara –muara sungai di Timika. Sampai jumpa lagi BIG BARRA!
* All pictures by Me, Cepy Yanwar, Yoga Sukmadewa, etc. Don’t use or reproduce (especially for commercial purposes) without our permission. Especially if you are tackle shop, please don’t only make money from our pics without respect!!!
* Foto 1: Very dengan big barra perolehan saya. Very ini adalah Kapten Suara Alam. Foto 2: Bendera kita yang sedikit terkoyak. Foto 3: Kapal Suara Alam. Foto 4: Refleksi di air saat matahari bersinar cerah. Foto 5: Tisu gulung besar yang baru pertama saya lihat. Bisa jadi selimut! Foto 6: Akapoma dan Suara Alam dipotret dari Iwaro. Foto 7: Penduduk lokal Muara Mawati melintas di dekat kapal kami. Foto 8: Very dengan ikan kerong-kerong. Foto 9-10: Tabur bunga untuk almarhum rekan kami Bagus Dwi (kameraman Jejak Petualang TV 7). Foto 11: Tackle back is a must! Foto 12: Split ring yang lurus diembat big barra. Foto 13: Kakap putih 3 kg yang pertama kena pancing. Foto 14-15, 17-18: My tackles. Foto 16: My big barra. 11.8 kg! Foto 19: Wens, big fans of MMT7. Foto 20: Kapten DW+Wens. Foto 21: Handoko dengan ikan kakap putih hasil kasting hari Selasa. Foto 22: Tiba kembali di Timika dalam pelukan hujan dan dingin. Foto 23: Lukisan penyu dan ikan di dinding kamar hotel. Foto 24: Usai makan siang di RM Nyiur Melambai, Timika +perpisahan dengan bapak-bapak Enviro Dept PTFI. Thanks bos!!!
Saya bersyukur bahwa saya begitu sibuk. Tetapi dulu tak pernah terlintas akan sesibuk sekarang. Waktu mengalir begitu cepat laksana banjir di pegunungan dengan begitu banyak ‘muatan’-nya. Kamis malam (10/6/2010) saya masih nebeng flight milik sebuah maskapai milik salah satu perusahaan tambang terbesar dunia dari tanah Papua menuju Jakarta. Jum’at hingga Minggu sudah berjibaku popping GT di Ujung Kulon, Banten. Lalu Senin hingga malam ini masih berusaha menjadi awak dapur dengan tugas membantu ‘memasak’ sebuah program documentary milik salah satu stasiun TV swasta besar di negeri ini. Saya bersyukur karena saya ternyata begitu sibuk bekerja dan juga masih diberi waktu untuk bermain menenteramkan hati. Dan karenanya baru malam ini lanjutan cerita iseng trip berburu ikan barramundi (kakap putih) di perairan payau di Timika, Papua Barat bisa saya lanjutkan kembali.
Jadi saudara-saudara…. Wkwkwkwk… Hingga hari Minggu siang (6/6/2010) semua tim yang telah merapat di Muara Mawati masih gundah karena air masih begitu keruh. Coklat pekat, persis warna air susu coklat milik keponakan kita yang diracik ibunda tercintanya namun agak kekurangan air. Parah banget sih mamanya? Tanda bahwa hujan ternyata tidak hanya terjadi di daerah hilir (muara) saja, namun juga terjadi di wilayah hulu sehingga ‘merusak’ kualitas air di seluruh sistem sungai di wilayah ini. Ingat, bahwa semua sungai di wilayah Muara Mawati ini sambung menyambung menjadi satu. Hingga siang hari praktis hasil mancing dengan teknik kasting yang kami terapkan gagal total tanpa sambaran. Lure kasting beragam merk mulai dari Halco, Killalure, Tilsan dan bahkan Barra Clasic hanya menjadi ‘model’ kesepian yang melenggang di dalam air tanpa terkaman ganas dari sang kakap putih incaran kami.
Saking gundahnya, kru-kru kapal kami akhirnya memutuskan ‘menyabotase’ acara kasting kami dengan ramai-ramai mancing dasar dengan umpan udang mati yang mereka bawa dari Timika. Padahal udang-udang itu seharusnya untuk stock lauk pauk! Namun kami tak seharusnya khawatir, karena mereka berhasil melakukan barter hebat di Muara Mawati dengan mendapatkan ikan-ikan kecil dengan jumlah tak terhitung untuk stock lauk kami beberapa hari ke depan. Jujur saya takjub dengan potensi ikan di sini. Bayangkan saja, dengan teknik dasaran kru kapal kami dan juga rekan-rekan kami dari Timika berhasil memancing beragam ikan mulai dari yellowtail trevally, kerong-kerong, talang-talang, dan lain sebagainya dalam jumlah besar hanya dalam hitungan menit saja! Saking banyaknya, saya agak ‘ngeri’ karena kalau misalnya ini difoto dan dilihat rekan-rekan sportfisherman di Pulau Jawa misalnya, aksi ini bisa disebut kuras sungai saking banyaknya ikan dasaran yang kami naikkan ke kapal! Namun untuk kasus ini memang tidak bisa disebut demikian karena jumlah kru kami juga bejibun. Jadi wajar jika kami harus menaikkan ratusan ikan kecil untuk kami jadikan stock lauk pauk kami selama di sini. Kru kami saja total hampir 20 orang. Masak mau memancing lima ekor ikan untuk lauk pauk selama tiga hari ke depan?!
Sekitar pukul 15.00 WIT radio di kapal Suara Alam menerima panggilan radio dari Kapal Akapoma yang mengabarkan bahwa mereka telah mendekati Muara Mawati dari arah laut. Karena gembira dengan kedatangan mother ship kami ini, maka kapal Suara Alam dan Iwaro bergerak ke mulut muara untuk menyambut Akapoma yang akan menjadi ‘hotel’ kami selama tiga hari ke depan. Kami sengaja menjumpai Akapoma agak di tengah laut sebelum kapal ini masuk ke muara sungai karena kami hendak melakukan doa bersama sekaligus tabur bunga untuk rekan kami Bagus Dwi, kameraman Jejak Petualang TV 7 yang hilang di perairan Pulau Tiga pada tanggal 6/6/2006 lalu. Kebetulan hari ini (6/6/2010) bertepatan empat tahun sahabat kami ini berpulang. Memang lokasi kami saat ini agak jauh dari lokasi kejadian di Pulau Tiga, tetapi tidak jauh-jauh amat. Mother ship Akapoma dan kapal Suara Alam ini, termasuk kru kapal-nya, pada tahun 2006 dulu juga termasuk tim dan sarana SAR untuk rekan kami tersebut. Sehingga acara tabur bunga ini secara kebetulan melibatkan mereka-mereka yang terlibat dalam upaya rescue rekan kami itu. Bunga yang sengaja kami bawa dari Jakarta kemudian kami taburkan ke laut diiringi dengan doa-doa terbaik kami semoga sahabat kami Bagus Dwi berisitirahat dengan tenang di sisi-Nya. Amin!
Ketika Suara Alam dan Akapoma bergerak ke titik yang menjadi base camp kami, sebuah pertigaan besar yang mempertemukan tiga sungai besar, pemancing di Iwaro bergerak lambat sambil melakukan kasting. Saya, Dadan Iskandar, Deddy, Imam dan Pak Herry dari PTFI bergerak pelan menyusuri tepian muara sambil kasting. Mujur, ternyata umpan saya yang laku. Umpan pinjaman dari Dadan Iskandar. Merknya Killalure (Australia), barra killer yang lebih hebat dari merk Halco yang pasaran namun mahal itu! Hahaha! Lumayan, seekor kakap putih 3 kiloan berhasil dinaikkan dengan mulus. Sensasi kasting kakap putih di wilderness memang luar biasa. Saat pertama menyambar umpan ikan ini meloncat ke udara. Mengagetkan. Juga pada saat memberontak berusaha melepaskan pancing, dia terus menari-nari mempesona. Pantas saja ikan perairan payau ini merupakan menduduki peringkat #1 sebagai target kasting di perairan payau. Fighting abilitynya mantap. Aksi akrobatiknya pun sedap! Untung leader saya telah saya ganti dengan wire berkekuatan cukup besar sehingga tak perlu khawatir putus terkena ‘pipi’ ikan yang terkenal setajam silet itu.
Kami lalu bergabung dengan Akapoma dan Suara Alam yang telah ‘duduk’ manis di pertigaan sungai. Kami perlu beristirahat sejenak di tempat yang nyaman. Akapoma memiliki semuanya; kamar mandi, televisi satelit, kamar AC, makanan berlimpah, dan bahkan tukang masakjempolan! Waktu istirahat ini juga dijadikan sarana untuk mengatur kembali strategi ‘perang’ melawan buruknya cuaca sehingga kami tetap bisa mendapatkan ikan target incaran kami. Yang mana hasilnya adalah, mau bagaimanapun kondisi sungai dan cuaca, karena waktu tidak bisa menunggu dan karena kami semua telah berada di sini, di lokasi yang semestinya untuk memburu barramundi, maka satu-satunya yang harus dilakukan adalah mancing dan mancing! Sore hari kecuali Akapoma kembali bergerak mendatangi lokasi-lokasi yang mungkin menjadi tempat nongkrong sore ikan-ikan barramundi. Hasil tidak menggembirakan karena hanya satu barramundi saja yang berhasil kami naikkan. Namun size-nya sangat bagus, 11.8 kg! Waooow! Saya pancing, lagi-lagi, dengan umpan Killalure pinjaman dari Pak Dadan. Pertarungannya mendebarkan karena saya hanya memakai tali PE kecil kelas 1.5 yang saya sandingkan dengan reel murahan kelas 3000 (30 pounds) dan joran Shakespeare kelas 30 pounds.
Saat strike, mancing teknik kasting dengan umpan artificial lure memang sedap! Tiga detik setelah umpan minnow Killalure jatuh dan berada di dalam air, saya sengaja meninggikan posisi ujung joran saya agar lure tidak menyelam terlalu dalam karena banyak batang pohon di dalam air, sebuah loncatan dan kibasan besar di air mengagetkan kami. BIG BARRA! Dan sedetik kemudian tangan kanan saya langsung seperti memegang benda yang sangat berat. Barramundi itu langsung bermanuver ke kedalaman, kiri-kanan mencoba merepotkan dan membuat gugup pemancingnya, dan sesekali meloncat ke udara dengan liarnya. Ini adalah karakter barramundi. Dengan loncatan itu dia berharap dapat menggesek tali pancing dengan pipi tajamnya agar putus. Tetapi sayangnya kali ini pemancing telah siap dengan wire yang tak akan putus meski pipi barra menjadi halus menggeseknya. Dari kejauhan terlihat samar umpan Killalure itu benar-benar menancap sempurna dan malah separo badan umpan nyangkut di dalam mulut barramundi besar ini. Jadi saya tak terlalu khawatir. Meski tali PE yang saya gunakan hanya PE1.5 saya tenang saja menghadapi perlawanan sang ikan. Kru lokal kami berisik sekali saat melihat ikan besar ini. Kata mereka, ini adalah barramundi terbesar yang pernah mereka lihat terpancing dengan umpan buatan. Usai ikan ini mendarat di kapal dan di foto, saya tiba-tiba memiliki banyak fans lokal Papua. Hehe…
Senin kami kembali merajut asa kami. Eksplorasi Muara Mawati semakin diintensifkan meskipun hujan tetap dominan mengguyur wilayah ini, Air sungai sungai tetap keruh coklat seperti kemarin. Saya sangat heran dengan kondisi ini. Sejak kami datang hari Kamis minggu lalu, hujan seperti tidak pernah berhenti. Kata kawan-kawan kami dari PTFI, memang beginilah Papua. Hanya ada dua musim, yakni musim hujan, dan musim hujan terus menerus. Waduh! Pagi-pagi Kapten Dudit Widodo mengawali strike. Seekor barramundi 3 kiloan berhasil dinaikkan. Lumayan, awal hari yang cerah. Saya tetap di flatboat kecil Iwaro. Iwaro menjadi boat paling lincah selama di sini karena bisa masuk hingga sungai-sungai dangkal. Namun meski penjelajahan kami telah demikian hebatnya, hanya satu ekor barraundi saja yang berhasil didapatkan dengan Iwaro. Kali ini yang beruntung adalah Handoko, pemancing Surabaya yang bergabung dengan kami di Timika. Hanya dua ekor barramundi inilah yang berhasil kami pancing dengan artificial lure. Namun secara keseluruhan, hari ini kami sebenarnya berhasil memancing puluhan (dan mungkin ratusan ikan), karena kru-kru lokal Papua kami begitu rajin memancing dengan umpan udang mati setiap kami pasang jangkar atau berhenti untuk beristirahat.
Melihat kondisi lokasi yangt tetap tidak berubah, malam hari diputuskan bahwa esok pagi kami akan bergeser ke Timika. Pergeseran ini akan dilakukan sambil mancing menyisir lokasi-lokasi yang dianggap potensial di sepanjang perjalanan. Namun memang alam sedang tidak bisa diajak kompromi, esok hari saat kami mendarat di Timika tak ada satu ekor pun barramundi yang berhasil kami naikkan. Dimana-mana sungai begitu keruh, dingin, dan hujan! Selasa malam kami beristirahat di kantor Enviro. Dept PTFI di Portsite dan masih belum menyerah. Padahal hujan begitu deras disertai petir meledak dimana-mana. Usaha terakhir kami, dini hari nanti kami akan bergerak ke Bouy A lagi untuk memancing ikan katro/kakap tawar. Harapannya semoga saja ada barang satu atau lima ekor katro monster yang naik. Karena konon, kata kawan-kawan di Timika, size ikan-ikan katro yang melahap umpan mancing selalu bagus. Malang tak bisa ditolak. Meski berangkat dengan semangat tahun 2010 yang menggebu, hingga Rabu pagi hasil tetap nihil.
Kami pun mencoba rasional, memang alam sedang tidak mengijinkan aktivitas mancing dilakukan di Timika saat ini. Hujan lebih dominan dibandingkan dengan panas. Panas satu jam, hujannya semalaman. Terus begitu. Karena waktu sudah semakin sempit, saya dan kru MM Trans 7 pada siang hari bergerak ke dalam kota Timika dengan jemputan dari kawan-kawan Cor Comm PTFI. Kamar sejuk Hotel Rimba Papua menjadi tempat peristirahatan kami berikutnya. Sambil packing untuk kepulangan ke Jakarta esok hari, saya memandangi lukisan buatan Suku Kamoro yang persis tergantung di atas tempat tidur saya. Ada gambar penyu dan ikan di dinding itu. Mungkin ini pertanda, kami masih akan diberi kesempatan lagi untuk datang kembali dan menunjukkankemampuan terbaik kami untuk mendapatkan ikan-ikan barramundi penguasa muara –muara sungai di Timika. Sampai jumpa lagi BIG BARRA!
* All pictures by Me, Cepy Yanwar, Yoga Sukmadewa, etc. Don’t use or reproduce (especially for commercial purposes) without our permission. Especially if you are tackle shop, please don’t only make money from our pics without respect!!!
* Foto 1: Very dengan big barra perolehan saya. Very ini adalah Kapten Suara Alam. Foto 2: Bendera kita yang sedikit terkoyak. Foto 3: Kapal Suara Alam. Foto 4: Refleksi di air saat matahari bersinar cerah. Foto 5: Tisu gulung besar yang baru pertama saya lihat. Bisa jadi selimut! Foto 6: Akapoma dan Suara Alam dipotret dari Iwaro. Foto 7: Penduduk lokal Muara Mawati melintas di dekat kapal kami. Foto 8: Very dengan ikan kerong-kerong. Foto 9-10: Tabur bunga untuk almarhum rekan kami Bagus Dwi (kameraman Jejak Petualang TV 7). Foto 11: Tackle back is a must! Foto 12: Split ring yang lurus diembat big barra. Foto 13: Kakap putih 3 kg yang pertama kena pancing. Foto 14-15, 17-18: My tackles. Foto 16: My big barra. 11.8 kg! Foto 19: Wens, big fans of MMT7. Foto 20: Kapten DW+Wens. Foto 21: Handoko dengan ikan kakap putih hasil kasting hari Selasa. Foto 22: Tiba kembali di Timika dalam pelukan hujan dan dingin. Foto 23: Lukisan penyu dan ikan di dinding kamar hotel. Foto 24: Usai makan siang di RM Nyiur Melambai, Timika +perpisahan dengan bapak-bapak Enviro Dept PTFI. Thanks bos!!!
Comments