Ikan gurami (Osphronemus goramy) adalah ikan asli negeri kita. Ada yang menyebutnya gurame (Sunda), grameh (Jawa), kalui/kaloi (Sumatera). Dengan wilayah persebaran utama adalah Sunda Besar; Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Entah dulu, namun kini ikan ini adalah ikan budidaya yang sudah sangat sulit dijumpai di perairan alami. Ikan gurame ada dua jenis, gurame soang (gurame angsa), dangurame Jepang. Sentra budidaya ikan ini adalah daerah Ciamis, Tasikmalaya, Singaparna, Manonjaya di Jawa Barat. Namun daerah Ciamis sebenarnya lebih terkenal karena sukses sebagai daerah budidaya ikan mas (Cyprinus carpio). Ikan non Indonesia yang menurut Djoko Suseno (2000) didatangkan dari Eropa dan China bagian selatan dimana sekitar tahun 1860-an. Menurut R.O Ardiwinata (1981) di Ciamis masyarakat sudah membiakkan ikan ini dengan sejenis ijuk untuk meletakkan telur-telur ikan tesebut. Ikan mas kini telah menjadi ikan konsumsi yang sangat penting di seluruh negeri.
Kembali ke ikan gurame. Berkat kemahiran orang-orang Tasikmalaya, Singaparna dalam budidaya gurame, ikan gurame kemudian menyebar ke penjuru negeri dan malah ke luar negeri; Australia, China, Asia Tenggara dan Asia Selatan. Ini hanya dugaan saya sebenarnya, melihat bahwa tidak ada derah lain yang sesukses Tasikmalaya dan Singaparna dan sekitarnya dalam membudidayakan ikan gurame, saya menganggap bahwa persebaran ikan ini ke berbagai negara bermula dari sini. Meski kemudian menjadi ikan konsumsi yang prestisius di banyak negara, ‘prestasi’ ini jarang dibahas oleh kalangan pemancing karena menurut pengamatan saya, banyak pemancing kita yang sangat sibuk dengan urusan banyaknya ikan asing yang sukses di negeri kita (nila, bawal, dan ikan mas) dan sederet ikan asing lain di kelompok ikan hias. Bukan saya anti, saya juga ikut prihatin dengan banyaknya ikan asing yang sukses di negeri kita, ada menu ikan bawal di sebuah warung pinggir jalan misalnya membuat saya mengurut dada. Pendatang Amazon yang ‘sialan’ dalam hati saya.
Namun saya tak bisa untuk berlama-lama mengumpati kesuksesan ikan-ikan non Indonsia yang sukses itu. Menelusuri kembali ikan-ikan asli Indonesia yang sukses bertahan dari gempuran ikan-ikan asing itu juga adalah hal menarik yang tidak boleh kita lupakan agar khalayak luas memiliki informasi yang cukup bahwa ikan kita juga masih ada. Siapa yang bisa menyangkal bahwa ikan gurame tidak sukses dan tangguh bertahan? Silahkan datangi resto ikan yang terkenal dimana saja, gurame saya yakin menjadi salah satu menu primadona disana. Atau malah menjadi menu favorit Anda? Ini bukti nyata bahwa dengan hadirnya ikan ini di jagat kuliner, menunjukkan bahwa ikan ini masih hidup sejahtera di kolam-kolam budidaya di berbagai daerah Indonesia. Sayang memang, karena di perairan alami sudah sangat sulit, tetapi menurut saya kita tidak bisa selalu memuja yang “ideal” terus untuk hal ini. Dan gurame ini sebenarnya tidak sendirian. Banyak ikan asli kita yang tetap bertahan, wader (beunteur) misalnya?
Pada tahun 1982, Gunung Galunggung meletus dengan dahsyatnya. Cerita kedahsyatannya masih dikisahkan orang Jawa Barat hingga kini. Petir menyambar areal sekitar gunung dalam waktu lama dan menjadi bahan riset para peneliti dan dokumentaris dari banyak negara, seorang Dudit Widodo misalnya (yang kini menjadi ‘kapten’-nya Mancing mania Trans 7) pada saat erupsi Galunggung bersama dokumentaris Jepang juga berada di lokasi untuk suting. Di daerah Tasikmalaya dan sekitarnya, tebal abu vulkanik Galunggung bisa menimbun utuh sebuah rumah! Kerusakan akibat erupsi Galunggung bukan hanya membuat warga menderita namun juga membuat budidaya ikan gurame jatuh tersungkur. Lha kalau rumah saja bisa tertimbun abu, bagaimana dengan balong (kolam ikan) yang terbuka itu? Tidak mudah membersihkan sebuah balong yang tertimbun abu vulkanik yang tercampur air. Kemarin di sebuah pesantren di Manonjaya, seorang kiai mengatakan kepada kami, salah satu sebab punahnya spesies sidat atau lobang (mirip belut namun telinganya lebih lebar dan bisa tumbuh besar) adalah karena erupsi Galunggung. Ada benarnya saya kira, sidat atau lobang berumah di dalam lubang di sungai-sungai. Lalu abu, lumpur panas dan atau lava kemudian menerjang sungai, apa jadinya dengan sidat atau lubang itu?
Jadi dengan semangat menengok kembali kondisi terkini budidaya gurame ataupun dunia “perbalongan” di sekitar Tasikmalaya itulah kami datang, dua puluh delapan tahun setelah erupsi Galunggung. Dalam rombongan Mancing Mania Trans 7 ini ada saya (reporter), Denis (Ass. Produser), Mas Dudit ( host, Executive Produser, seleb, pemancing), Bramantya (kameraman), dan Hasan (pilot). Dua puluh delapan tahun mungkin telah terlalu lama, ini misalnya jika kami ingin menarik sebuah benang merah yang sangat jelas efek erupsi terhadap gurame dan kemudian pemulihannya. Namun kami percaya bahwa ini tetap penting, karena justru setelah sekian lama berlalu inilah maka semakin banyak hal baru yang telah muncul yang bisa dipakai untuk memahami dunia “perbalongan” dan ikan gurame Tasikmalaya kini. Namun tetap, pekerjaan utama kami sebenarnya hanyalah untuk suting gambar-gambar mancing ikan gurame. Jadi sebenarnya jangan terlalu percaya dengan tulisan saya ini karena selama di lokasi saya bukan sedang meneliti! Haha!
Dari Pesantren di Manonjaya hingga Rumah ‘Jagoan’ Galunggung
Kami tiba saat malam telah lama memeluk kota Ciamis pada tanggal 24/09. Seluruh hotel di Tasikmalaya penuh karena sedang ada Muktamar Persatuan Islam (Persis). Jadi kami terpaksa berhenti di Ciamis untuk sebuah nyenyak yang sekejap. Sembari menunggu kehadiran seorang kawan dari bandung (Dadan Iskandar, seorang pemancing yang sedang ‘turun gunung’ dari Jayawijaya, Papua), kami menyerbu sebuah warung pinggir jalan yang sayangnya tidak ada menu ikan guramenya. Ini adalah kenyataan menarik. Karena harga gurame mahal di pasar nasional, ikan-ikan gurame akhirnya terdistribusi ke pusat-pusat kapital seperti Jakarta dibandingkan untuk didistribusikan di pasar lokal yang daya serap pasarnya kecil. Akhirnya Pak Dadan pun tiba, sayangnya tepat ketika makan malam kami usai. Karena Bandung macet gila, makanya jadi lama’an saya sampainya dibanding yang dari Jakarta. Katanya ramah namun tampak lelah. Beliau ini adalah kawan baik kami yang sering sekali mengundang kami memancing di Timika. Sehari-hari dia bekerja untuk Freeport.
Lokasi pertama mancing kami adalah sebuah pesantren di Manonjaya. Hingga tiga hari kemudian kami bolak-balik kesini untuk gurame galunggung atau gurame soang yang konon adalah jenis gurame paling baik dibandingkan gurame jepang (spesies gurame sebenarnya hanya ada dua yakni soang dan jepang, varian baru yang muncul kemudian adalah hasil persilangan dari keduanya). Umpan jangkrik yang konon paling ampuh untuk memancing ikan ini telah kami siapkan. Satu box penuh! Juga umpan dedaunan misalnya daun papaya, daun singkong, dan daun talas. Kolam-kolam ikan di Pesantren Miftahul Huda sangat banyak, mungkin ada 50-an kolam ikan dengan luas bervariasi. Kami fokus pada beberapa kolam yang menurut para pimpinan pondok pesantren ini paling menjanjikan strike gurame. Haji Asep (pimpinan pesantren) dan juga beberapa haji lain ikut bergabung mancing. Juga beberapa orang santri ikut membantu kami sembari mancing. Ini belum termasuk rombongan besar anak-anak kecil sekitar pesantren, ibu-ibu pesantren, dan juga warga yang penasaran. Jadi mancing gurame yang harusnya dikondisikan sepi (gurame sangat sensitif dan waspada dengan suasana lokasi) menjelma menjadi acara arisan bulanan dengan beragam tawa, grudak-gruduk dan juga bebunyian mulai dari bunyi sendok makan jatuh sampai bunyi jembatan bambu yang patah. Mungkin ada 40an orang yang nimbrung hari itu. Hari pertama gagal total. Hanya ikan-ikan mas, mujaer, patin yang mendominasi tangkapan. Hanya satu ekor gurame yang saya dapat, itupun setelah saya memutuskan kabur dari rombongan besar dengan memancing sendirian di lokasi yang jauh.
Hari kedua dan ketiga lebih baik. Rombongan ‘fans’ telah jauh berkurang sehingga kami bisa lebih berkonsentrasi dalam memancing. Tetapi memang susah mengharap gurame dalam kondisi kolam-kolam yang populasi terbanyaknya adalah mujaer. Umpan apapun, kecuali umpan dedaunan, selalu disambar duluan oleh ikan-ikan mujaer itu. Disinilah pakem-pakem umpan itu kami lihat menjadi sangat relatif. Saat umpan jangkrik yang katanya sangat ampuh untuk gurame malah selalu disambar ikan mujaer, maka keong sawah lah yang menjadi ‘peluru’ utama kami menggaet gurame. Saat memasang umpan pelet kami mengharap ikan mas yang menyambar, eh kami malah mendapat ikan tawes dan bahkan ikan bader (lalawak-sepupu tawes). Saat umpan daun singkong kami harapkan disambar gurame ataupun tawes, eh malah kami mendapat ikan mas. Kami juga malah mendapat ikan patin segala. Ternyata memang selalu ada anomali. Meski tangkapan berlimpah, kami masih belum puas karena gurame yang kami cari-cari masih menjadi spesies minoritas yang mengisi daftar gambar. Keragaman populasi ikan-ikan di pesantren ini menyatakan bahwa kini budidaya ikan di Tasikmalaya kini rupanya bukan melulu gurame atau ikan mas. Atau ini juga hanyalah anomali?
Seiring dengan banyaknya simpatisan yang ingin ikut menyukseskan pendokumentasian gurame soang ini, langkah kaki kami semakin menjelajah berbagai penjuru Tasikmalaya. Mulai dari kolam private seorang aparat, kolam-kolam ikan milik sebuah restoran, pedesaan di manonjaya, hingga akhirnya kami memutuskan menuju ke lereng Galunggung ke wilayah ‘kekuasaan’ jagoan Galunggung bernama Endang Jutak. Nama terakhir ini kondang di seluruh Tasikmalaya sebagai juragan pasir Galunggung, biasa dipanggil dengan nickname sederhana yang tidak sederhana “bos!” Seorang yang pada letusan Galunggung 1982 masih seorang bocah (pada saat itu Mas DW sudah suting di sana), namun memutuskan tidak ikut mengungsi seperti orang-orang tua lainnya. Mungkin, karena inilah energi letusan Galunggung diserap semuanya olehnya, menjadikan dia kini seorang yang kaya raya, jagoan, dan disegani dari Tasikmalaya hingga Bandung.
Kami agak keki saat bertatapan dengannya pertama kali. Tongkrongannya mirip para militer namun dengan kalung emas sebesar rantai jangkar kapal dengan disertai seorang pengawal. Sayang sekali saya benar-benar lupa memotretnya! WTF! Pertama kali, kami disuruh memancing di dalam rumahnya, bayangkan, di dalam rumahnya ada kolam ikan yang penuh dengan lele, ikan mas, gurame, dan bawal! Bagus lagi kolammya?! Namun dengan halus kami kemudian bisa membujuknya agar kami bisa bermain di halaman belakangnya yang terdapat kolam seluas separo lapangan bola itu. Sejatinya, Endang Jutak adalah seorang yang baik. Hanya saja perjalanan hidup mendidiknya untuk tegas dan mungkin keras. Di kolam belakang inilah kami mendapat kesuksesan yang lumayan mengakali gurame, meski sebenarnya yang strike gurame hanya saya sendiri yakni dua ekor karena ikan-ikan yang dinaikkan pemancing lain adalah lele dan ikan mas. Disini saya mendapati bahwa umpan yang ampuh untuk gurame adalah ulat kayu (mirip kelabang). Namun lagi-lagi saya harus menyepi, memancing di sudut kolam yang banyak bambu yang direndam dan di antara tonggak-tonggak kandang ayam. Tidak di sekitar keramaian rombongan bocah yang jumlahnya hampir 50 orang lebih yang menyerbu Mas DW layaknya kawanan tawon.
Jelas, ikan gurame itu masih ada, masih penting bagi warga Tasikmalaya, dan masih bertahan meski kini spesies asing lain mulai menjadi semakin penting dan mulai merecoki populasi di sana. Seorang petani gurame di Sumbermanggis, Manonjaya mengatakan kepada saya bahwa kini ikan-ikan gurame hanya cukup untuk memenuhi permintaan pasar di Pulau Jawa saja. Tidak lagi bisa didistribusikan ke luar Jawa apalagi ke luar negeri. Karena ada kuota minimal yang harus dipenuhi jika didistribusikan ke luar jawa atau luar negeri dan kuota itu sangat besar. Daripada mengurusi pasar yang jauh dengan resiko yang tinggi, lebih baik mengurusi pasar yang dekat saja. Toh tetap menguntungkan. Dan yang lebih penting adalah berkah naungan Galunggung bernama gurame soang ini tetap bisa memberikan kebahagiaan bagi siapapun yang bersinggungan dengannya. Hal terakhir ini jelas bukan sebuah anomali, melainkan ketangguhan melewati ujian jaman. Salam!
* Most pictures by me, Dadan Iskandar & Denis Polapa. Don’t use or reproduce (especially for commercial purposes) without our permission. Especially if you are tackle shop, please don’t only make money from our pics without respect!!!
* Photos caption: (1). Saya berhasil hooked up ikan gurame di Pesantren Miftahul Huda, dengan umpan keong sawah. (2). Lukisan Gn. Galunggung di sebuah kamar hotel. Selama di Tasikmalaya saya tidak dapat memotret Galunggung karena selalu tertutup kabut dan awan. (3) & (4). Kru MMT7 kecuali Dadan Iskandar dan tanpa Bramantya. (5-7). Jembatan Cirahong yang melintas di Cikapundung, jalur alternatif antara Ciamis-Tasikmalaya. (7-8). Tiba di Miftahul Huda. (9-15). Suasana selama mancing di Pesantren Miftahul Huda. Ikan patin, ikan mas, bader dan tawes kami dapatkan. (16). Menuju ke daerah Endang Jutak. (17). Kolam ikan di belakang rumah Endang Jutak. (18). Yono, penjaga rumah Endang Jutak hooked up ikan mas jumbo. (19-20). Ulat pisang dan ikan gurame hasil mancing Hasan.
Kembali ke ikan gurame. Berkat kemahiran orang-orang Tasikmalaya, Singaparna dalam budidaya gurame, ikan gurame kemudian menyebar ke penjuru negeri dan malah ke luar negeri; Australia, China, Asia Tenggara dan Asia Selatan. Ini hanya dugaan saya sebenarnya, melihat bahwa tidak ada derah lain yang sesukses Tasikmalaya dan Singaparna dan sekitarnya dalam membudidayakan ikan gurame, saya menganggap bahwa persebaran ikan ini ke berbagai negara bermula dari sini. Meski kemudian menjadi ikan konsumsi yang prestisius di banyak negara, ‘prestasi’ ini jarang dibahas oleh kalangan pemancing karena menurut pengamatan saya, banyak pemancing kita yang sangat sibuk dengan urusan banyaknya ikan asing yang sukses di negeri kita (nila, bawal, dan ikan mas) dan sederet ikan asing lain di kelompok ikan hias. Bukan saya anti, saya juga ikut prihatin dengan banyaknya ikan asing yang sukses di negeri kita, ada menu ikan bawal di sebuah warung pinggir jalan misalnya membuat saya mengurut dada. Pendatang Amazon yang ‘sialan’ dalam hati saya.
Namun saya tak bisa untuk berlama-lama mengumpati kesuksesan ikan-ikan non Indonsia yang sukses itu. Menelusuri kembali ikan-ikan asli Indonesia yang sukses bertahan dari gempuran ikan-ikan asing itu juga adalah hal menarik yang tidak boleh kita lupakan agar khalayak luas memiliki informasi yang cukup bahwa ikan kita juga masih ada. Siapa yang bisa menyangkal bahwa ikan gurame tidak sukses dan tangguh bertahan? Silahkan datangi resto ikan yang terkenal dimana saja, gurame saya yakin menjadi salah satu menu primadona disana. Atau malah menjadi menu favorit Anda? Ini bukti nyata bahwa dengan hadirnya ikan ini di jagat kuliner, menunjukkan bahwa ikan ini masih hidup sejahtera di kolam-kolam budidaya di berbagai daerah Indonesia. Sayang memang, karena di perairan alami sudah sangat sulit, tetapi menurut saya kita tidak bisa selalu memuja yang “ideal” terus untuk hal ini. Dan gurame ini sebenarnya tidak sendirian. Banyak ikan asli kita yang tetap bertahan, wader (beunteur) misalnya?
Pada tahun 1982, Gunung Galunggung meletus dengan dahsyatnya. Cerita kedahsyatannya masih dikisahkan orang Jawa Barat hingga kini. Petir menyambar areal sekitar gunung dalam waktu lama dan menjadi bahan riset para peneliti dan dokumentaris dari banyak negara, seorang Dudit Widodo misalnya (yang kini menjadi ‘kapten’-nya Mancing mania Trans 7) pada saat erupsi Galunggung bersama dokumentaris Jepang juga berada di lokasi untuk suting. Di daerah Tasikmalaya dan sekitarnya, tebal abu vulkanik Galunggung bisa menimbun utuh sebuah rumah! Kerusakan akibat erupsi Galunggung bukan hanya membuat warga menderita namun juga membuat budidaya ikan gurame jatuh tersungkur. Lha kalau rumah saja bisa tertimbun abu, bagaimana dengan balong (kolam ikan) yang terbuka itu? Tidak mudah membersihkan sebuah balong yang tertimbun abu vulkanik yang tercampur air. Kemarin di sebuah pesantren di Manonjaya, seorang kiai mengatakan kepada kami, salah satu sebab punahnya spesies sidat atau lobang (mirip belut namun telinganya lebih lebar dan bisa tumbuh besar) adalah karena erupsi Galunggung. Ada benarnya saya kira, sidat atau lobang berumah di dalam lubang di sungai-sungai. Lalu abu, lumpur panas dan atau lava kemudian menerjang sungai, apa jadinya dengan sidat atau lubang itu?
Jadi dengan semangat menengok kembali kondisi terkini budidaya gurame ataupun dunia “perbalongan” di sekitar Tasikmalaya itulah kami datang, dua puluh delapan tahun setelah erupsi Galunggung. Dalam rombongan Mancing Mania Trans 7 ini ada saya (reporter), Denis (Ass. Produser), Mas Dudit ( host, Executive Produser, seleb, pemancing), Bramantya (kameraman), dan Hasan (pilot). Dua puluh delapan tahun mungkin telah terlalu lama, ini misalnya jika kami ingin menarik sebuah benang merah yang sangat jelas efek erupsi terhadap gurame dan kemudian pemulihannya. Namun kami percaya bahwa ini tetap penting, karena justru setelah sekian lama berlalu inilah maka semakin banyak hal baru yang telah muncul yang bisa dipakai untuk memahami dunia “perbalongan” dan ikan gurame Tasikmalaya kini. Namun tetap, pekerjaan utama kami sebenarnya hanyalah untuk suting gambar-gambar mancing ikan gurame. Jadi sebenarnya jangan terlalu percaya dengan tulisan saya ini karena selama di lokasi saya bukan sedang meneliti! Haha!
Dari Pesantren di Manonjaya hingga Rumah ‘Jagoan’ Galunggung
Kami tiba saat malam telah lama memeluk kota Ciamis pada tanggal 24/09. Seluruh hotel di Tasikmalaya penuh karena sedang ada Muktamar Persatuan Islam (Persis). Jadi kami terpaksa berhenti di Ciamis untuk sebuah nyenyak yang sekejap. Sembari menunggu kehadiran seorang kawan dari bandung (Dadan Iskandar, seorang pemancing yang sedang ‘turun gunung’ dari Jayawijaya, Papua), kami menyerbu sebuah warung pinggir jalan yang sayangnya tidak ada menu ikan guramenya. Ini adalah kenyataan menarik. Karena harga gurame mahal di pasar nasional, ikan-ikan gurame akhirnya terdistribusi ke pusat-pusat kapital seperti Jakarta dibandingkan untuk didistribusikan di pasar lokal yang daya serap pasarnya kecil. Akhirnya Pak Dadan pun tiba, sayangnya tepat ketika makan malam kami usai. Karena Bandung macet gila, makanya jadi lama’an saya sampainya dibanding yang dari Jakarta. Katanya ramah namun tampak lelah. Beliau ini adalah kawan baik kami yang sering sekali mengundang kami memancing di Timika. Sehari-hari dia bekerja untuk Freeport.
Lokasi pertama mancing kami adalah sebuah pesantren di Manonjaya. Hingga tiga hari kemudian kami bolak-balik kesini untuk gurame galunggung atau gurame soang yang konon adalah jenis gurame paling baik dibandingkan gurame jepang (spesies gurame sebenarnya hanya ada dua yakni soang dan jepang, varian baru yang muncul kemudian adalah hasil persilangan dari keduanya). Umpan jangkrik yang konon paling ampuh untuk memancing ikan ini telah kami siapkan. Satu box penuh! Juga umpan dedaunan misalnya daun papaya, daun singkong, dan daun talas. Kolam-kolam ikan di Pesantren Miftahul Huda sangat banyak, mungkin ada 50-an kolam ikan dengan luas bervariasi. Kami fokus pada beberapa kolam yang menurut para pimpinan pondok pesantren ini paling menjanjikan strike gurame. Haji Asep (pimpinan pesantren) dan juga beberapa haji lain ikut bergabung mancing. Juga beberapa orang santri ikut membantu kami sembari mancing. Ini belum termasuk rombongan besar anak-anak kecil sekitar pesantren, ibu-ibu pesantren, dan juga warga yang penasaran. Jadi mancing gurame yang harusnya dikondisikan sepi (gurame sangat sensitif dan waspada dengan suasana lokasi) menjelma menjadi acara arisan bulanan dengan beragam tawa, grudak-gruduk dan juga bebunyian mulai dari bunyi sendok makan jatuh sampai bunyi jembatan bambu yang patah. Mungkin ada 40an orang yang nimbrung hari itu. Hari pertama gagal total. Hanya ikan-ikan mas, mujaer, patin yang mendominasi tangkapan. Hanya satu ekor gurame yang saya dapat, itupun setelah saya memutuskan kabur dari rombongan besar dengan memancing sendirian di lokasi yang jauh.
Hari kedua dan ketiga lebih baik. Rombongan ‘fans’ telah jauh berkurang sehingga kami bisa lebih berkonsentrasi dalam memancing. Tetapi memang susah mengharap gurame dalam kondisi kolam-kolam yang populasi terbanyaknya adalah mujaer. Umpan apapun, kecuali umpan dedaunan, selalu disambar duluan oleh ikan-ikan mujaer itu. Disinilah pakem-pakem umpan itu kami lihat menjadi sangat relatif. Saat umpan jangkrik yang katanya sangat ampuh untuk gurame malah selalu disambar ikan mujaer, maka keong sawah lah yang menjadi ‘peluru’ utama kami menggaet gurame. Saat memasang umpan pelet kami mengharap ikan mas yang menyambar, eh kami malah mendapat ikan tawes dan bahkan ikan bader (lalawak-sepupu tawes). Saat umpan daun singkong kami harapkan disambar gurame ataupun tawes, eh malah kami mendapat ikan mas. Kami juga malah mendapat ikan patin segala. Ternyata memang selalu ada anomali. Meski tangkapan berlimpah, kami masih belum puas karena gurame yang kami cari-cari masih menjadi spesies minoritas yang mengisi daftar gambar. Keragaman populasi ikan-ikan di pesantren ini menyatakan bahwa kini budidaya ikan di Tasikmalaya kini rupanya bukan melulu gurame atau ikan mas. Atau ini juga hanyalah anomali?
Seiring dengan banyaknya simpatisan yang ingin ikut menyukseskan pendokumentasian gurame soang ini, langkah kaki kami semakin menjelajah berbagai penjuru Tasikmalaya. Mulai dari kolam private seorang aparat, kolam-kolam ikan milik sebuah restoran, pedesaan di manonjaya, hingga akhirnya kami memutuskan menuju ke lereng Galunggung ke wilayah ‘kekuasaan’ jagoan Galunggung bernama Endang Jutak. Nama terakhir ini kondang di seluruh Tasikmalaya sebagai juragan pasir Galunggung, biasa dipanggil dengan nickname sederhana yang tidak sederhana “bos!” Seorang yang pada letusan Galunggung 1982 masih seorang bocah (pada saat itu Mas DW sudah suting di sana), namun memutuskan tidak ikut mengungsi seperti orang-orang tua lainnya. Mungkin, karena inilah energi letusan Galunggung diserap semuanya olehnya, menjadikan dia kini seorang yang kaya raya, jagoan, dan disegani dari Tasikmalaya hingga Bandung.
Kami agak keki saat bertatapan dengannya pertama kali. Tongkrongannya mirip para militer namun dengan kalung emas sebesar rantai jangkar kapal dengan disertai seorang pengawal. Sayang sekali saya benar-benar lupa memotretnya! WTF! Pertama kali, kami disuruh memancing di dalam rumahnya, bayangkan, di dalam rumahnya ada kolam ikan yang penuh dengan lele, ikan mas, gurame, dan bawal! Bagus lagi kolammya?! Namun dengan halus kami kemudian bisa membujuknya agar kami bisa bermain di halaman belakangnya yang terdapat kolam seluas separo lapangan bola itu. Sejatinya, Endang Jutak adalah seorang yang baik. Hanya saja perjalanan hidup mendidiknya untuk tegas dan mungkin keras. Di kolam belakang inilah kami mendapat kesuksesan yang lumayan mengakali gurame, meski sebenarnya yang strike gurame hanya saya sendiri yakni dua ekor karena ikan-ikan yang dinaikkan pemancing lain adalah lele dan ikan mas. Disini saya mendapati bahwa umpan yang ampuh untuk gurame adalah ulat kayu (mirip kelabang). Namun lagi-lagi saya harus menyepi, memancing di sudut kolam yang banyak bambu yang direndam dan di antara tonggak-tonggak kandang ayam. Tidak di sekitar keramaian rombongan bocah yang jumlahnya hampir 50 orang lebih yang menyerbu Mas DW layaknya kawanan tawon.
Jelas, ikan gurame itu masih ada, masih penting bagi warga Tasikmalaya, dan masih bertahan meski kini spesies asing lain mulai menjadi semakin penting dan mulai merecoki populasi di sana. Seorang petani gurame di Sumbermanggis, Manonjaya mengatakan kepada saya bahwa kini ikan-ikan gurame hanya cukup untuk memenuhi permintaan pasar di Pulau Jawa saja. Tidak lagi bisa didistribusikan ke luar Jawa apalagi ke luar negeri. Karena ada kuota minimal yang harus dipenuhi jika didistribusikan ke luar jawa atau luar negeri dan kuota itu sangat besar. Daripada mengurusi pasar yang jauh dengan resiko yang tinggi, lebih baik mengurusi pasar yang dekat saja. Toh tetap menguntungkan. Dan yang lebih penting adalah berkah naungan Galunggung bernama gurame soang ini tetap bisa memberikan kebahagiaan bagi siapapun yang bersinggungan dengannya. Hal terakhir ini jelas bukan sebuah anomali, melainkan ketangguhan melewati ujian jaman. Salam!
* Most pictures by me, Dadan Iskandar & Denis Polapa. Don’t use or reproduce (especially for commercial purposes) without our permission. Especially if you are tackle shop, please don’t only make money from our pics without respect!!!
* Photos caption: (1). Saya berhasil hooked up ikan gurame di Pesantren Miftahul Huda, dengan umpan keong sawah. (2). Lukisan Gn. Galunggung di sebuah kamar hotel. Selama di Tasikmalaya saya tidak dapat memotret Galunggung karena selalu tertutup kabut dan awan. (3) & (4). Kru MMT7 kecuali Dadan Iskandar dan tanpa Bramantya. (5-7). Jembatan Cirahong yang melintas di Cikapundung, jalur alternatif antara Ciamis-Tasikmalaya. (7-8). Tiba di Miftahul Huda. (9-15). Suasana selama mancing di Pesantren Miftahul Huda. Ikan patin, ikan mas, bader dan tawes kami dapatkan. (16). Menuju ke daerah Endang Jutak. (17). Kolam ikan di belakang rumah Endang Jutak. (18). Yono, penjaga rumah Endang Jutak hooked up ikan mas jumbo. (19-20). Ulat pisang dan ikan gurame hasil mancing Hasan.
Comments