Kami tidak bangga berhasil lolos dari insiden ini. Namun bersyukur pada-Nya masih diberi kesempatan menjalani takdir sebagai ciptaan-Nya. Oleh karenanya kisah ini dimaksudkan sebagai pengingat agar hal seperti ini tidak terjadi dengan kawan-kawan pemancing lain dimanapun berada. Safety first guys!
Bangka yang panas! Begitu kesan pertama saya saat menginjakkan kaki di bandara yang saya lupa namanya di Pangkal Pinang, ibukota Provinsi Bangka Belitung (Babel). Padahal kami tiba dengan pesawat sore hari. Panasnya Bangka ini terasa berlipat jika mengingat kejadian di Terminal 1 B Bandara Soetta beberapa jam lalu dimana para petugas security dan petugas sebuah maskapai udara menolak menaikkan lifevest kami ke dalam bagasi mereka. Kejadian yang baru pertama kali kami alami dalam sejarah perjalanan mancing saya sejak 2007. Sebenarnya panasnya Bangka ini seharusnya sudah bisa saya antisipasi mengingat ‘perut’ Pulau Bangka dipenuhi oleh kandungan timah, meski sekarang ini sudah jauh berkurang isinya. Seorang pemancing yang merupakan bos besar disini bahkan berucap bahwa salah satu perusahaan timah terbesar di Indonesia yang bermarkas di Bangka kini mulai mengalihkan usahanya ke bidang lain karena kandungan timah di Bangka telah jauh berkurang. Bagaimana tidak, wong ditambang terus sejak jaman Belanda? Atau malah lebih lama dari itu? Pokoknya sejak jaman saya belum lahir ‘perut’ Pulau Bangka telah ditambang!
Dari kota Pangkal Pinang saya dan kawan-kawan dari Mancing Mania Trans 7 (MMT7) lainnya yakni host Cepy dan kameraman Arfane kemudian dibawa ke kota Sungai Liat, sekitar 30 menit perjalanan dengan mobil dari Pangkal Pinang. Berkendara di Bangka terasa nyaman karena jalan raya yang sepi dan juga beraspal halus. Namun agak terasa kurang nyaman perjalanan kami ini karena panas yang menyergap kami sejak di bandara yang membuat badan terasa gerah. Lengket rasanya! Ini adalah kali pertama saya menjejak tanah Bangka. Sebelumnya Pulau Bangka hanya saya kenal lewat kisah-kisah pendek seorang cerpenis perempuan kenamaan Linda Christanty dan atau dari cerita-cerita seorang teman kuliah yang berasal dari Bangka bertahun silam saat sama-sama berada di Bandung. Tak banyak yang saya ingat dari kisah-kisah pendek dengan setting Bangka yang dia tuliskan, namun saya berupaya keras untuk mengingatnya dan mencocokkan sebisa mungkin sambil lalu selama perjalanan menuju kota Sungai Liat. Andai penulis kenamaan asli Bangka tersebut ada disamping saya pasti akan banyak informasi tentang Bangka yang saya dapatkan.
Kami tiba di Sungai Liat sekitar pukul 10 malam. Maklum sambil mampir-mampir dan juga singgah di sebuah rumah makan untuk makan malam dan berbagi cerita dengan pemancing yang mengajak kami ke sini, Sian Sugito. Seorang pemancing kawakan di Bangka dan seorang pengusaha sukses asli Bangka. Panasnya Bangka pun semakin berlipat karena saat berada di rumah makan tadi kami langsung ‘ditodong’ untuk mencicipi masakan khas Bangka seperti lempa (limpa) yang pedas asam dan berbagai menu lainnya yang serba pedas. Saat kami telah tiba sebuah resort di komplek Batavia Bangka Beach Resort, rasanya saya ingin langsung berendam di kamar mandi saja untuk mengusir lengket di badan.
Batavia Bangka Beach Resort adalah kompleks perumahan yang menurut saya mewah dan ideal. Depan kompleks adalah pantai dengan pasirnya yang putih, di marina berjajar beberapa speedboat, jet ski dan bahkan banana boat! Kompleks perumahan mewah yang kemungkinan besar dihuni oleh orang-orang penting dan mencintai olahraga perairan. Dan Pak Sian konon adalah yang empunya kompleks ini. Di dalam kompleks ini beliau memiliki semacam areal pribadi sendiri yang luas dan lengkap yang terdiri dari banyak hal menarik; kompleks cottage sendiri, penangkaran penyu, kolam ikan, dan lain-lain. Luar biasa! Namun karena telah larut dan badan juga telah lusuh, kami kembali fokus pada keinginan untuk segera mandi dan kemudian merebahkan badan di kasur menyiapkan tenaga untuk esok hari turun ke laut. Jadi rencana melaut kai esok hari pun juga dibahas dengan singkat apalagi mata juga sudah meredup karena kenyang dan juga lelah.
Berkeliling Rumpon dan Langsung Insiden
Target mancing kami di Bangka adalah ikan-ikan penghuni rumpon yang ditanam oleh Pak Sian beberapa bulan sebelumnya. Beliau adalah pemancing yang getol sekali menyalurkan hobinya, maka demi memuaskan hasratnya memancing, dia sengaja menanam rumpon sendiri di perairan dekat Sungai Liat. Letaknya variatif. Ada yang berjarak 15 mil dan ada yang jaraknya 23 mil dari pantai. Karena perairan Bangka adalah perairan dangkal, antara 25-40an meter, maka rumpon-rumpon tersebut diharapkan akan dihuni oleh ikan-ikan demersal semacam kakap merah (red snapper), kerapu, kurisi, kaci-kaci, dan ikan-ikan lainnya semacam jenaha (tanda-tanda). Perairan Bangka ini mirip dengan perairan Kepulauan Seribu di Jakarta. Dangkal, cenderung berpasir, dan spot mancing alaminya pun tidak banyak. Sehingga pemancing yang serius, mau tidak mau biasanya akan menanam rumpon sendiri agar dia memiliki spot yang bagus di kemudian hari sebab jika mengandalkan dari spot alami bisa jadi pemancing akan sering sakit hati dibandingkan ceria memancing.
Berbeda dengan pantai-pantai di daerah Pangkal Pinang yang dominan pasir dengan kombinasi lumpur di tepiannya. Di daerah Sungai Liat kondisi pantainya lebih menarik. Bersih, putih dan di beberapa titik banyak ‘kompleks’ bebatuan besar yang enak dilihat dan dijadikan tempat berwisata. Pantai Parai misalnya yang mana terdapat sebuah resot yang kondang adalah salah satu pantai di daerah Sungai Liat yang namanya cukup mentereng sebagai destinasi wisata di Indonesia. Jadi kalau mau berwisata ke Bangka jangan salah tujuan ya?! Namun jelas kami tidak datang untuk pantai yang bersih yang enak dijadikan tempat bermain air. Kami datang untuk ikan! Jadi pada pagi buta di tanggal 18 April kami udah bersiap-siap di marina untuk berangkat menuju ke rumpon-rumpon milik Pak Sian.
Kami menggunakan sebuah speedboat dengan ukuran sekitar 10 x 2 meter yang didorong dengan mesin 250 PK. Sebuah mesin cadangan berkapasitas 25 PK juga tertempel di belakang kapal. Tampak jelas faktor keselamatan menjadi perhatian penting sang empunya kapal mancing tipe center console ini. Tak banyak penumpang diatasnya. Hanya ada saya, Cepy, Arfane, Pak Sian dan Pak Ming, serta Pak Yusroni Yazid yang sejatinya adalah Bupati Bangka, dan dua orang abk. Jumlah yang cukup ideal untuk kapal sebesar ini. Jumlah ini sudah diatur oleh sang empunya kapal (Pak Sian) agar trip mancing ini terasa nyaman dan juga bisa mendapatkan hasil maksimal. Kita tahu jika kebanyakan orang yang terjadi bukannya mancing melainkan baku ruwet tali pancing! Haha! Dan dengan mesin sebesar 250 PK tersebut praktis kami pun melaju kencang hingga 25 knot membelah laut yang tenang hingga 23 mil ke tengah laut. Tak sampai 40 menit kami sudah sampai di spot pertama di tengah perairan Bangka. Cuaca cukup cerah, angin sangat pelan, namun di beberapa titik di kejauhan tampak mendung pekat.
Seperti umumnya memancing ikan di rumpon. Plonthang lebih dahulu kami lepaskan untuk menandai lokasi dan melihat pergerakan arus. Baru kemudian kami menurunkan jangkar. Proses ini susah-susah gampang. Hanya kapten yang berpengalaman saja yang bisa melakukan dengan cepat dan tepat. Resikonya besar jika meleset meski sedikit saja. Ikan bisa benar-benar tidak akan menyambar umpan kita. Padahal sebuah rumpon, biasanya selalu dihuni oleh banyak ikan. Misalnya kapal kita kemudian meleset hanyut di belakang rumpon dengan arus ke arah belakang, bisa-bisa kita manyun seharian! Jadi jangan remehkan peran kapten kapal di situasi seperti ini. Mentang-mentang sudah bayar (jika kita sewa kapal), atau mentang-mentang kita bosnya (jika kita pemilik kapal), tetapi merasa paling tahu dan meremehkan kapten.
Saat posisi kapal dirasa sudah pas, kami semua langsung menurunkan umpan yang tadi telah disiapkan, yakni irisan cumi. Timah pemberat J5 kami pasang karena arus yang tidak terlalu kencang. Pak Sian, Pak Ming, dan Pak Yusroni tidak memakai piranti tambahan seperti joran dan reel karena mereka memancing dengan teknik handline. Hanya kami dari MMT7 yang memakai rod dan reel. Beda generasi memang. Pak Sian dan rekan-rekannya memang dibesarkan ketika teknik handline adalah teknik mancing utama pada saat itu, dulu teknik mancing dengan piranti tambahan seperti rod dan reel tidak dikenal atau tidak populer di Indonesia. Sementara kami dibesarkan oleh tayangan sportfishing seperti MMT7 dan berbagai tayangan sportfishing lain di televisi luar negeri, jadi kami jujur saja hanya bisa memancing dengan piranti tambahan. Tak besar kelas piranti yang kami bawa, berkisar antara 25-40 lbs (setara 12.5 hingga 20an kg). Lebih dari cukup untuk memancing ikan-ikan demersal di laut dangkal seperti di perairan Bangka ini.
Karena rumpon ini adalah rumpon milik pemancing, pemancing yang sibuk pula sehingga jarang dipancingi, maka populasi ikannya luar biasa. Beda jauh dengan rumpon-rumpon kakap merah di Jakarta yang hampir tiap minggu dipancingi. Tak perlu waktu lama bagi kami untuk mendapatkan strike. Bahkan strike terus terjadi tanpa henti hingga saat kami memutuskan pindah lokasi. Dan size ikannya cukup menarik. Memang yang dominan adalah ikan-ikan dengan ukuran 7 ons hingga 1 kg. hanya beberapa saja ikan kakap merah kategori jumbo yang berhasil kami naikkan. Ada yang 6 kg, 7 kg dan bahkan beratnya mencapai 8 kg. Harusnya jumlah kakap merah jumbo yang kami dapatkan bisa lebih jika tali kami tidak sering putus. Kakap merah hidup dalam kawanan. Jika ada yang spooky karena lolos dari pancingan kita, dia biasanya pergi dari rumpon dengan diikuti oleh kawanannya. Apalagi jika yang putus adalah ikan kakap merah yang jumbo. Dijamin hingga cucunya pun akan ikut pergi mengungsi dengan sang kakek tercinta. Namun rumpon pertama ini memuaskan hasilnya. Tanda bahwa rumpon ini memang benar-benar terjaga baik dan jarang dipancingi. Dari rumpon pertama ini kami sempat berkeliling ke beberapa rumpon lainnya dengan hasil yang menggembirakan. Sayangnya sekitar pukul 5 sore cuaca di laut menjadi kurang bersahabat sehingga kami memutuskan untuk pulang ke darat.
Lolos dari Badai, Tetapi Mesin Kapal Jatuh
Laut memang misteri. Di areal yang lain begitu cerah tetapi di sisi lain bisa sangat berbeda, mendung pekat hujan dan angin kencang. Dan cuaca yang kurang bersahabat ini persis ada di depan kami, di arah pulang menuju Sungai Liat. Tak ada pilihan, kami menerjang badai ini dengan kecepatan penuh. Mesin kapal yang memang besar ini di gas penuh oleh kapten agar kami cepat sampai. Hati kami tidak khawatir sedikitpun karena secara umum sebenarnya kondisi laut saat itu sebenarnya masih cukup bersahabat. Ombak juga tidak besar-besar amat, jauh lah dibandingkan dengan Laut Selatan misalnya yang meski tenang pun ombak dan gelombang bisa lima kali lipat dari tinggi ombak di Bangka ini. Jadi pikiran kami hanya lah tentang basecamp yang sudah menanti dan syukur pada hasil mancing hari ini yang lumayan.
Tetapi tiba-tiba semua buyar. Persis beberapa menit selepas menerjang badai tiba-tiba kapal seperti ‘mengerang’ dan sedikit oleng, untungnya kapal tidak terbalik. Lalu kapal diam tak melaju lagi, hanya bergerak diayun oleh ombak. Ternyata mesin kapal utama sudah jatuh ke laut dan mengakibatkan bagian belakang speed boat fiber ini pecah. Diam sesaat, semua masih tenang. Tetapi kapten kapal tiba-tiba panik,”Mesin jatuh! Kapal bocor, air masuk!”. Kapten kapal yang seharusnya paling tenang karena paling mengenal laut Bangka dan kapal malah sangat panik. Kami jadi ikut-ikutan panik apalagi petang sebentar lagi menjelang. Hanyut! Bermalam di laut! Adakah yang akan menolong kami? Tahu posisi kami? Adakah yang akan menemukan kami? Sementara kapal bocor dan mulai masuk air?
Panik langsung menyebar ke semua penumpang kapal seperti bensin yang tersulut api. Ribut dan gelisah. Semua penumpang kapal pindah ke bagian haluan untuk menjaga keseimbangan, karena kalau semua berdiri di belakang kapal, kapal menjadi berat belakang dan membuat ai semakin deras masuk. Hanya kapten dan abk saja yang berkutat di buritan menguras air dan mencoba membereskan bagian-bagian yang rusak. Pelan namun pasti, air mulai masuk ke bagian depan kapal. Aliran air ini tidak terlihat karena air masuk lewat ‘kolong’ kapal. Arfane, kameraman kami pun berinisiatif menguras air dengan ember dibantu Pak Ming. Cepy mulai mengibarkan bendera di serokan ikan mencari bantuan pada sebuah kapal nelayan yang jauhnya mungkin sekitar 2 mil dari kami. Sia-sia, kami tidak terlihat sedang mencari bantuan pasti oleh kapal nelayan ini. Panik, gelisah, dan ribut semakin menjadi. Emosi mulai ikut campur membuat suasana di atas kapal menjadi panas. Semua khawatir dan mulai mencari pelampung (lifevest).
Sialnya pelampung di kapal ini tidak cukup untuk semua orang. Hanya ada beberapa lifevest itupun entah pelampung dari jaman kapan. Pelampung kami (pelampung MMT7) sialnya kemarin ditahan tidak boleh masuk bagasi oleh sebuah maskapai (ini aneh dan baru sekali terjadi) di Terminal 1B Bandara Soetta. Jadi kami semakin gelisah. Ah! Ada-ada saja! Shiiiit! Teman-teman yang lain terus mengibarkan bendera yang diikatkan di serokan dan saya terus merekam gambar karena Arfane juga menguras air. Celaka!!!
Untungnya kami hanyut ke areal yang ada sinyal selular. Kapal nelayan yang paling dekat dengan kami juga akhirnya menyadari kondisi darurat kami dan mendekat ke kami. Lega. Kami semua langsung menelpon sana-sini mengabarkan keadaan darurat ini. Kami menelepon ke kantor di Jakarta agar disampaikan ke pihak-pihak terkait di Bangka dan Pak Sian menelepon ke Polda Bangka. Kru Pak Sian yang di darat juga berhasil dihubungi dan disuruh meluncur ke lokasi dengan speedboat yang standby di Sungai Liat. GPS sangat penting pada kondisi ini karena kami bisa segera mengabarkan koordinat kami ke pihak yang akan mencari kami. Tenang. Meski harus menunggu setidaknya kondisi yang kami alami sudah diketahui pihak lain di luar sana. Kami tinggal menunggu ‘jemputan’ datang sambil geleng-geleng kepala. Ada-ada saja… Huuuuuffffh hampir saja!
‘Jemputan’ akhirnya datang. Tidak tanggung-tanggung, dua buah speedboat dan satu helicopter dari Polda Bangka. Pihak AL urung mengirimkan kapal pencari karena sudah diberi tahu bahwa keadaan kami sudah terkendali. Kami lalu pindah kapal dan kapal kami yang pecah ditarik oleh kapal lain. Helikopter Polda Bangka kembali ke darat. Kami lalu melaju ke Sungai Liat dengan speedboat ‘jemputan’ milik Pak Sian. Di marina sudah banyak yang menunggu. Danlantamal Bangka beserta staff, teman-teman Paradiso Trans7 yang kebetulan sedang liputan di Bangka, dan lain-lain. Kami bersyukur bisa kembali pulang. Tetapi jujur saja sebenarnya malu karena mengalami kejadian ini dan apalagi merepotkan banyak pihak. Twitter dan Facebook sudah ribut dengan kejadian yang kami alami. Dan esok harinya Koran-koran Bangka memuat kejadian ini di headline. Alamaaaak!
Tetapi siapa yang bisa menolak bencana jika itu sudah kehendak-Nya? Hikmah nya lah yang harus diambil, direnungkan dan dicamkan agar jangan sampai terulang lagi. Terimakasih kepada semua pihak yang telah begitu cepat merespon keadaan darurat yang kami kirimkan; Polda Bangka, Lantamal Bangka, dan lain-lain. Terimakasih kepada semua bos di kantor, rekan kerja, dan begitu banyak sahabat yang langsung merespon SOS dari kami. Semoga hal seperti ini tidak terjadi lagi di masa mendatang baik kepada kami atau kepada semua sahabat Mancing Mania yang lain! Salam strike!
**Setelah insiden hari pertama di Bangka ini kami masih turun lagi sebanyak tiga kali ke perairan Bangka untuk menyelesaikan pengambilan gambar. Episode perairan Bangka akhirnya ditayangkan di Mancing Mania Trans|7 pada tanggal 15 Mei 2011. Salam!**
* Most pictures by me. Don’t use or reproduce (especially for commercial purposes) without our permission. Especially if you are tackle shop, please don’t only make money from our pics without respect!!!
* Keterangan foto (berurutan dari atas ke bawah): 1). Sempat bertemu kawan lama jaman kuliah di Bandung dulu. Sorry guys hanya singgah sebentar. 2). Marina Batavia Bangka Beach Resort. 3). Menu dinner pertama yang menggugah selera. 4). Liza dan Gagah, kru program Paradiso Trans 7 yang nimbrung mancing di hari ketiga. 5). Bugi dan Arfane, kameraman MMT7 dan kameraman Paradiso. 6-8). Lady angler Liza in action. 9). Kakap merah jumbo rumpon berjarak 23 mil dari Sungai Liat. 10). Cepy dan kakap merah jumbo nya. 11). Cepy dan Pak Sian, pemancing yang mengajak kami mancing ke Bangka. 12-14). Badai, mencari bantuan setelah insiden, lalu chopper Polda Bangka pun datang. 15). Di darat kembali disambut oleh kawan-kawan Paradiso dan Dan Lantamal Bangka. 16). Headline Bangka Pos tanggal 19 April 2011
Comments
Buktikan nyali anda,IKUTILAH Lomba memancing...
silahkan berkunjung di blog saya @
Get A New Articles Lomba Memancing
makasih...^^
lebih cepaat dari unit reaksi cepat
kami akan selalu menjadi pelindung pengayom dan pelayan
Salam BangkaTour.COM : Menawarkan Paket wisata mancing di Bangka
Setau saya hampir seluruh laut yg ada di pulau Bangka itu onya misteri tersendiri.
Mungkin org luar kepulauan Bangka berpikiran itu hanya lah sebuah "MITOS" semata.. akan ttpi kepulauan Bangka itu sendiri memiliki arti dan masih kental dengan adatnya..
Itu mah blm sberpa sebenarnya bang.hehe ada yg kbh mengejutkan lagi yg mungkin buat kita sulit percaya penangkapan buaya siluman yang menyambar nelayan di aliran sungai baturusa yang skrg ini bertanya lagi heboh2nya bang.
Kalau kesimpulan saya hal apapun yg ganjal itu sulit dipercaya bisa saja terjadi di pulau Bangka, pantangan2n nya pun banyak... Bersiul di laut lepas Bangka jga gk boleh.. karena prcya atau nggknya bakal terjadi badai yg spontan membuat org heran kok bisa ada badai padahal sblmnya cerah..
Itu semua adlh rahasianya tk terungkapkan di pulau Bangka.hehee