Mungkin kami tidak membawa suatu hasil yang luar biasa setelah selama seminggu penuh menjelajahi sungai-sungai di tiga propinsi di Sumatra (Sumatra Barat, Jambi dan Riau), namun kami masih bisa sedikit tersenyum karena kami adalah orang-orang yang bersemangat, dan tetap mencoba rasional, bahwa alam dan Tuhan ada diluar kuasa kita. Kitalah yang berada dalam kuasa-Nya. Berusaha dengan sekuat tenaga dan sebaik mungkin adalah penghiburan dan oleh-oleh yang kami bawa. Meski terkadang tidak banyak yang mengerti dan memperhitungkan hal ini sebagai sesuatu yang harusnya juga layak untuk dinilai. Kalau sudah berhadapan dengan alam dan Tuhan memang siapa yang mampu? Kita yang harus menyesuaikan dan sadar diri, siapapun kita. Tetapi kami maklum banyak yang khilaf dengan mencoba mengesampingkan hal ini dan melulu melihat pada hasil saja. Ya, saya bilang khilaf, jika seseorang itu hanya menilai pada hasil akhir saja tanpa menghitung juga bagaimana proses. Siapa yang ingin gagal dalam sebuah fishing trip? Hanya mereka yang pamit pergi memancing dengan tujuan ‘lain’ yang ingin gagal dalam sebuah fishing trip.
Ikan Bagarius yarelli tiba-tiba menjadi bahan pembicaraan di banyak negara karena berita di berbagai media yang menyatakan bahwa ini adalah ikan aneh, purba, langka dan merupakan ikan pemakan daging manusia. Berduyun-duyun mereka yang tertarik dengan ikan-ikan langka pun pergi menjelajah ke India, Pakistan dan negara-negara lainnya untuk mencari keberadaan ikan langka berwajah aneh ini. Berita di berbagai media yang menyatakan bahwa ini adalah ikan pemakan manusia memang membuat publik menjadi sangat penasaran. Praktis akibat berita yang memang seringnya di ‘set’ heboh seperti itu, maka harga ikan ini di pasaran ikan hias melonjak drastis. Ikan yang di habitat aslinya bahkan tidak ada yang meliriknya. Menurut pengamatan saya, beberapa bulan, atau sekitar satu tahun terakhir ini saya melihat dan membaca banyak berita aneh tentang ikan. “Ikan aneh ditemukan di bla bla bla….”, padahal kalau pembuat beritanya mau jalan-jalan di Google sebentar saja, maka akan ketahuan itu adalah ikan apa. Bagarius yarelli, kepopulerannya berawal dari India, di negeri ini masih ada tradisi menghanyutkan jenasah di sungai, dan karena di sana sungainya besar-besar dan mengalir panjang melintasi berbagai habitat ikan, ada kalanya jenasah orang yang meninggal tersebut akhirnya menjadi sasaran ikan-ikan predator. Dan salah satunya yang rajin melahap jenasah-jenasah tersebut adalah Bagarius yarelli. Dan entah karena ketagihan atau bagaimana, intinya akhirnya ikan-ikan tersebut menjadi terbiasa dengan daging manusia, terkadang ada orang atau anak kecil yang bernasil sial, mereka yang bermain di air ada kalanya mendapat sial akibat serangan ikan-ikan predator yang telah ‘sakau’ daging manusia ini.
Niatnya adalah membuat sebuah tayangan berkualitas untuk MMT7, seperti biasanya, tentang ikan yang saat ini sedang ramai menjadi pembicaraan publik ini. Biar terang, apa sebenarnya ikan ini, bagaimana habitatnya, bagaimana memancingnya, dan lain sebagainya. Indonesia adalah salah satu habitat ikan Bagarius yarelli. Indonesia memiliki banyak sekali sungai-sungai dataran tinggi berarus deras dengan palung-palung dalam. Kalimantan, Sumatra dan bahkan Jawa memilikinya. Di upper river Kalimantan, akhir 2009, di camp kami orang-orang suku Dayak Punan bahkan iseng menangkap ikan ini dengan tangan kosong dan menunjukkannya kepada kami untuk membuktikan bahwa di sungai tersebut masuh banyak ikan besar. Tetapi saat itu, kami sedang tidak tertarik dengan ikan Bagarius yarelli karena kami sedang memburu spesies yang lebih prestisius lagi. Hanya di Jawa saja yang telah hampir kehilangan ikan ini di habitat aslinya. Sumatra dan Kalimantan masih memiliki potensi yang menjanjikan. Di Jawa, ikan Bagarius yarelli paling banyak ditemukan (dulu tapi) di Jawa Barat, dimana ikan ini disebut dengan nama lika.
Kami tiba di Padang pada tanggal 19 Agustus siang hari. Bandara Minangkabau ternyata adalah bandara yang cukup besar dan berkelas internasional, ini kali pertama saya mendarat di Padang, namun menurut saya hari itu suasana bandara cukup sepi. Panas yang menyengat membuat saya agak shock, ditambah lagi saat itu adalah bulan Ramadhan. Saya tidak puasa, pun mayoritas peserta trip ini juga tidak puasa, tetapi masalahnya kami berada di wilayah yang sangat terkenal dengan ketaatannya beragama, maka kami pun ikut puasa juga. Meski akhirnya saat sudah dalam perjalanan menuju kota Sawahlunto (3 jam dari Padang) kami sesekali merokok. Sebenarnya kami sepanjang perjalanan sambil lirak-lirik kiri kanan mencari warung atau restoran makanan yang buka, tetapi tida ada sama sekali. Jadilah kami semua puasa hingga sore menjelang di Sawahlunto. Kota sawahlunto adalah kota yang kecil, terletak di sebuah lembah yang dikelilingi bukit terjal. Kota tambang yang menurut saya mulai surut. Dulu sekali, kota ini adalah pusatnya batubara di Indonesia. Namun kini tampaknya tinggal sisa-sisanya saja meski disana-sini bangunan-bangunan perusahaan tambang masih berdiri namun sepi aktivitas. Batubara yang tersisa sudah tidak lagi signifikan dan kebanyakan berada sedikit di luar kota. Tetapi kota Sawahlunto adalah kota yang cantik. Sepi, bersih, tampak sekali terawatt, dan terlihat sangat kokoh. Saya ingat, jaman saya SD, ada pertanyaan ujian dimanakah penghasil batubara terbesar di Indonesia dan jawabannya adalah Ombilin di Sawahlunto. Tetapi yang paling saya ingat adalah satu pendiri negara kita, Mohammad Hatta. Dia berasal dari kota mungil yang cantik ini.
Kami menginap di satu-satunya hotel berbintang di kota ini, Parai Garden Hotel. Tampaknya ini masih satu perusahaan dengan Parai Resort di Bangka. Dan coba tebak, hari itu, dan hingga kepulangan kami ke Padang pada tanggal 25, kami adalah satu-satunya rombongan paling setia yang meninap di hotel ini. Ada beberapa orang yang kami lihat juga menginap di hari pertama, tetapi setelah itu gonee….. Sepi. Tinggal tersisa kami. Jadi kami serasa menginap di villa pribadi tetapi super besar ukurannya. Hotelnya bagus. Kombinasi bangunan lama di depan dengan penambahan bangunan baru di belakang. View ke arah bawah dari hotel ini juga cukup menghibur, landscape kota dan tebing-tebing yang mengelilinginya. Usai rehat sejenak kami sempat jalan-jalan ke pinggir kota untuk melihat-lihat spot air tawar yang ada. Dan kami menjadi optimis bahwa esok, acara memancing kami akan menyenangkan. Bagaimana tidak, di pinggiran kota saja sungainya bagus-bagus, juga danau-danaunya. Bahkan di sebuah sungai, kami melihat frenzy ikan hampala (sebarau), padahal lokasinya di dekat kota. Bagaimana nanti dengan spot kami nanti yang jauh di luar kota? Mantab pasti!
Tetapi alam dan kehendak-Nya memang sungguh misterius. Baru saja kami menginjakkan kaki di hotel untuk beristirahat karena waktu berbuka puasa hampir tiba, tiba-tiba awan gelap entah darimana menyelimuti seluruh penjuru kota. Dan hujan kemudian mengguyur Sawahlunto dengan lebatnya ditingkahi petir disana-sini. Sendi-sendi kaki kami langsung lemas, dan kami rebahan di kamar hotel masing-masing dengan galau seperti habis diputusin pacar. Hebatnya, hujan ini bahkan baru reda hingga subuh hampir menjelang. Bayangkan, semalam suntuk hujan! Jadi bisa dibayangkan bagaimana keruhnya air sungai yang akan kami pancingi esok hari. Pagi hari kami langsung telepon ke penduduk desa yang sudah standby di lokasi dan kabar yang kami terima adalah “keruh seperti susu coklat”. Alamaaaaaaak! Untuk teknik kasting yang akan kami terapkan, mau sebanyak apapun populasi ikan target di lokasi (target kami di sungai tersebut adalah ikan mahseer/gariang dan hampala/sebarau), sudah dapat dipastikan kami akan sia-sia jika tetap memaksa memancing di spot tersebut. Saya pernah mengalami kejadian seperti ini saat ‘naik’ ke pedalaman Kabupaten Berau di Kaltim pada tahun 2009. Sudah berbulan-bulan tidak hujan, dan memang masih musim kemarau. Air sungai sangat bening saat kami baru tiba dan bahkan kami bisa melihat ikan-ikan lalu lalang di bawah perahu kami. Tetapi tiba-tiba saat sore menjelang, hujan seperti ditumpahkan dari langit. Sungai meluap dan banjir besar melanda. Perlu waktu tiga hari saat itu untuk sekedar menunggu warna air sungai menjadi kehijau-hijauan. Di Sawahlunto kami tidak memiliki waktu hingga tiga hari untuk menunggu “air susu coklat” menjadi “air teh hijau”. Kami memikirkan alternatif lain untuk menggantikan trip mahseer dan hampala.
Karena sungai semuanya keruh. Kami memikirkan perairan tawar yang kira-kira tidak terkena imbas akibat hujan semalam yang mengguyur. Semuanya mengerucut pada rawa-rawa atau danau kecil yang konon banyak terdapat di daerah Sumatra Barat arah perbatasan Jambi. Kawan kami yang asli Sawahlunto, Surya K, membantu kami mengontak kawan-kawannya yang dekat dengan lokasi-lokasi potensial. Dari hasil kontak tersebut kami memutuskan untuk mengarah ke Propinsi Jambi sambil ‘mlipir’ sepanjang jalan dengan target utama ikan tomman (Channa micropeltes). Kami kembali bersemangat karena dari pengamatan sekilas sepanjang perjalanan, daerah arah ke Propinsi Jambi ini tampaknya tidak diguyur hujan sederas Sawahlunto dan sekitarnya. Kami berhenti di beberapa spot yang menurut pengakuan Surya K cukup potensial, tetapi sayang tomman yang kami cari-cari tidak dapat juga. Kami tidak menyerah, perjalanan kami semakin mendekati Propinsi Jambi. Di sebuah daerah yang sudah saya lupa namanya, sekitar 4 jam dari Sawahlunto kami berhenti di rawa-rawa dekat sebuah pabrik karet. Kami sempat singgah di rumah seorang penduduk yang memelihara tomman besar di belakang rumahnya. Gila! Ikan tomman itu sekitar 6 kg bobotnya dan tampak sangat menyeramkan. Matanya sangat awas memperhatikan kita terus menerus dan wajahnya yang bengis seakan berkata “Elo mau apa liat-liat gue? Mau gw hajar tangan elo?” Saya tahu potensi bahaya dari ikan tomman ini, maka saya pun mengambil gambar jauh-jauh dari jangkauan sang top predator freshwater ini.
Kami lalu kembali lagi ke rawa-rawa dekat pabrik karet . Beberapa kali melempar umpan jenis froggie Andre dan Joe akhirnya berhasil menggaet ikan gabus biasa berukuran sedang. Tomman tidak juga menyambar umpan padahal jelas banget tadi waktu datang ada beberapa tomman yang sedang jalan-jalan di tengah rawa dekats ebuah tonggak besar dan tampak sangat jelas dengan mata telanjang kami di tepi rawa. Ukurannya dari kejauhan tidak kurang dari 5 kg. Spot juga tampak sangat menjanjikan sebenarnya. Banyak teratai disana-sini, banyak rumput yang tumbuh menyembul dari dalam air, dan lain sebagainya. Satu-satunya yang ‘kurang bagus’ adalah kenyataan bahwa rawa-rawa ini letaknya persis di samping jalan Trans Sumatra. Jadi sangat mudah diakses orang. Pastinya traffic memancing di rawa ini yang dilakukan oleh penduduk lokal sangat padat.
Joe tidak putus harapan, dia terus melempar. Rajin pangkal strike. Tak dinyana saat kodok-kodokannya baru jatuh di air di sebuahtitik yang sulit dijangkau, BOOOOOOOM!!! Sekor tomman berukuran besar tampak langsung menghajar umpan itu. Terkejut karena ternyata itu adalah ‘kodok sialan’ tomman kembali meloncat di udara dan tampak sebesar paha orang dewasa. Belum pernah saya melihat ikan tomman di wild spot yang besarnya sebesar itu. Joe bereaksi cepat menggulung tali namun usahanya terhalang oleh lebatnya rerumputan air. Talinya tersangkut di kejauhan tetapi tomman terus memberontak. Beberapa warga yang menonton kami sejak kedatangan kami berusaha memberi saran dan menyuruh Joe menunggu sebentar, mereka hendak mencari karung lalu terjun ke air untuk ‘menjemput’ sang tomman. Tetapi tomman terus memberontak dan Joe juga mulai gugup. Dia sedikit menggulung untuk mengencangkan tali. Malang tidak bisa ditolak. Taaaaaas!!!! Tali pun putus. Tomman menghilang, kami semua lemas. Kamera tidak saya matikan dan terus merekam. Senja yang semakin temaram tidak mampu menyembunyikan raut muka Joe yang tampak gusar. “Sorry bro,” ucapnya ke arah kamera saya.
Gara-gara tomman perkasa di rawa tepi pabrik karet inilah, kami urung mengarahkan mobil-mobil kami kembali ke Sawahlunto dan malah ‘ngacir’ masuk ke wilayah Provinsi Jambi. Karena berdasarkan informasi dari Surya K, ada sebuah danau yang merupakan sarangnya tomman di dekat kota Muara Bungo. Kami tiba di kota ini pukul 22.00 wib setelah menempuh perjalanan yang mendebarkan sepanjang Trans Sumatra (ini kali pertama di Trans Sumatra say amembuktikan sendiri betapa gilanya bus-bus antar propinsi di sini). Untungnya kami sempat dihibur oleh para penjual duren saat masuk kota Muara Bungo sehingga pikiran tidak terlalu penat. Mereka tampaknya tahu kami semua ngidam duren. Terbukti dari wajah-wajah kami yang begitu cerah saat melahap duren-duren miliknya. Haha. Muara Bungo adalah kota perbatasan yang tampak cukup sibuk. Jalanan sedikit crowded dan kami harus semakin ekstra waspada dengan bis-bis antar propinsi yang melaju seenaknya itu. Kesulitan lain berkendara di jalan Trans Sumatra adalah rombongan truk-truk karet dan batubara, mereka bisa berkonvoi dalam 10an truk per rombongan (konon untuk menghindari pembajakan di jalan). Bayangkan kesulitan kami untuk menyalipnya. Malam itu juga kami mampir ke danau yang akan kami pancingi esok dan menggedor salahs atu rumah pemilik perahu untuk esok pagi. “Perahu ada dan siap besok saya antar Pak!” kata sang empunya perahu. Beres. Kami kembali ke hotel kecil kami untuk mendengkur saking lelahnya. Usai mandi dan rehat sejanak di lobby hotel yang pengap itu, blaaaar!, hujan deras mengguyur kota sejadi-jadinya. WTF!!!!!! Apakah hujan-hujan ini memasang GPS di mobil-mobil kami sehingga terus mengikuti kami kemanapun kami pergi?!
‘Kesusahan’ kami masih berlanjur esok paginya. Sesampai di tepi danau kami sudah disambut oleh sang pemilik perahu. Lumayan bagus perahunya, panjang dan lebar dan bahkan 6 orang bisa kasting sekaligus. Tetapi dimana mesinnya? Oh tenang ada dayung, berarti sang empunya perahu akan mendayungnya. Kuat juga dia pikir saya karena ukuran perahu ini tak kurang dari 12 kali 2.5 meter. “Mari Pak silahkan kalau mau dipakai perahunya, saya ada acara keluarga,” katanya datar. Haaaaaaa???? Jadi siapa yang akan mendayung perahu sebesar ini mengelilingi danau???? Waduuuuuuh! Jadi kami harus mendayung perahu ini sendiri. Hahahahaha. Jadi pelajaran buat semua pembaca blog ini, lain kali kalau mau sewa perahu atau kapal di daerah yang tidak kita kenal, baiknya ditanya sekalian di depan apakah perahu/kapal disewakan sekaligus mesinnya dan juga siapa yang akan membawa perahu/kapal tersebut. Jadi bisa dibayangkan hasil dari trip di danau ini. Sudah dua hari sebelumnya boncos, sekarang disuruh mendayung sendiri perahu sebesar ini mengelilingi danau. Hasilnya sudah bisa ditebak. Seperempat perjalanan galah penopang sudah patah dan tinggal tersisa dua dayung saja. Sungguh, setengah mati rasanya mendayung mengelilingi danau seluas 20 kali lapangan bola itu. Puasa-puasa pula. Dalam perjalanan kembali ke Sawahlunto, kami sempat mampir ke desa Jambu Lipo di Sijunjung. Kami mencoba mancing di lubuk larangan di desa ini karena pengurus desa memberi ijin kami berkat bantuan kawan yang tinggal di Jakarta (Edwin), tetapi sayang hasilnya kurang memuaskan. Spotnya luar biasa potensial. Ikan mahseer dan hampala berukuran monster banyak sekali. Tetapi ternyata sangat sulit mendapatkan ikan dengan umpan tiruan sementara bertahun-tahun ikan-ikan ini hidup damai dari makanan yang ditebar warga desa dari atas jembatan. Hanya dua ekor kami dapatkan itupun size kecil. Tengah malam, kami pun tiba kembali di Sawahlunto seperti regu penyerbu kecil yang kalah perang. Lemah, letih, lesu.
Tanggal 22 Agustus pagi hari kami kembali bersiap untuk memburu target utama kami yakni ikan Bagarius yarelli atau yang dalam bahasa setempat disebut ngangai. Untuk ini kami harus berkendara ke arah perbatasan Propinsi Riau (jadi ke arah atas atau belakang Sumatra Barat) selama sekitar 4 jam. Jalanannya lebih buruk dibanding Trans Sumatra yang ke arah Jambi tetapi relatif lebih sepi. Namun perjalanan tak juga bisa dikebut karena kondisi jalan yang cukup berkelok dan mobil juga sedikit batuk-batuk karena terus dipakai berkelana sejak tanggal 19 September dari pagi hingga malam. Panas! Sepanjang perjalanan yang terasa cuma panas dan pengap. Sama dengan kondisi udara di daerah Jambi yang pengap. Pelan namun pati akhirnya kami tiba di tepis ungai Batang Kuantan, Riau untuk kemudian ‘naik’ kea rah hulu kembali masuk ke wilayah Provinsi Sumatra Barat melalui sungai. Jadi lokasi mancing ikan Bagarius yarelli ini sebenarnya memang ada di wilayah Sumatra Barat tetapi tidak bisa ditembus melalui darat jadi kami terpaksa ‘melambung’ lewat jalan belakang. Perahu terpaksa kami tambah satu lagi karena satu perahu yang disiapkan oleh kawan kami Surya K terlalu kecil untuk menampung kami semua yang jumlahnya 8 orang (11 orang jadinya dengan tukang perahu).
Batang Kuantan airnya keruh sekali akibat erosi di bagian hulu, namun sebenarnya keruhnya sungai akibat erosi ini sebenarnya tidak terlalu parah apalagi juga hujan tidak turun terlalu lebat disini kemarin-kemarin. Sebab utama keruhnya air sungai ini adalah akibat aktifitas penambangan emas tradisional yang dilakukan oleh masyarakat di sini. Jadi di Batang Kuantan ini banyak sekali ponton tambang emas yang berisik itu yang beroperasi sepanjang hari (kecuali malam) dan jumlahnya mungkin ribuan. Sebab sepanjang kami naik ke hulu dimana-mana selalu kami temui ponton tambang emas tradisional ini. Mereka menyedot lumpur dari dasar sungai dengan mesin diesel yang telah dimodifikasi lalu menyaringnya di atas untuk memisahkan antara konsentrat emas dan lumpur dan lalu memuntahkan kembali lumpur itu ke dalam sungai. Jumlahnya ribuan ponton jadi tak heran jika sungai indah ini begitu keruh dan berisik. Di hulu yang jauh dari mana-mana saja jika siang hari serasa berada di kawasan pabrik di daerah pinggiran Jakarta berisiknya. Jadi sebenarnya ada sedikit missed informasi tentang keberadaan penambang emas ini. Dulu kata narasumber kami jumlahnya sedikit dan malah telah dilarang, tetapi ternyata kini malah semakin banyak dan berisik. Jadi sebenarnya kami menjadi semakin khawatir dengan potensi populasi ikan di sungai ini karena ekosistem mereka jelas sangat terganggu oleh keruhnya air dan berisiknya sungai. Ikan-ikan pasti cenderung naik ke tempat yang sepi. Masalahnya kami tidak bisa terus naik ke hulu ke daerah yang tidak kami kenal, jadi kami kemudian menghentikkan ‘pendakian’ kami di daerah Batu X untuk kemudian mendirikan tenda kami di situ. Kebetulan lokasinya mendukung untuk tenda besar kami dan juga ada air terjun kecil di belakang camp. Posisi camp kami ini sangat indah jika dipandang.
Malam menjelang persis usai kami mendirikan tenda kami. Raga yang lelah dan penat belum juga hilang sementara tugas berikutnya sudah menanti, mancing, mencari gambar, melanjutkan tugas kami di sini. Jadi dalam gulita yang hanya dibantu oleh cahaya senter-senter yang kami bawa, kami kemudian menyebar sepanjang tepi sungai yang mungkin untuk dipancingi dengan harapan dapat menggaet ikan-ikan Bagarius yang mulai bergerak mencari mangsa. Peralatan pancing kami jejer sepanjang tepi sungai di sekitar tenda, di ujungnya adalah umpan udang hidup kecil-kecil yang kami tusukkan ke mata pancing. Di setiap ujung joran selalu kami pasang ‘klintingan’ sehingga jika ada sambaran akan berbunyi ‘klintiiiiiiiiiing’. Anda tahu pemain kuda lumping? Nah seperti itulah klintingannya. Tetapi kami cukup satu klintingan untuk tiap joran, bukan direneng banyak seperti pemain kuda lumping.
Namun meski mengerahkan semua semua kemampuan dan ketahanan begadang yang kami miliki di malam yang lelah itu, kami hanya menaikkan satu ekor ikan Bagarius, itupun size kecil dan satu ekor ikan baung, pun ukurannya juga mungil. Bagariusnya ukuran sekiloan lebih sedikit dan ikan baungnya sekitar 8 ons saja beratnya. Joe, Andry dan Pak Djoko yang sempat kembali turun ke bawah dengan perahu di malam gulita itupun tidak menaikkan apa-apa. Padahal kami sempat optimis karena baru beberapa saat menurunkan umpan kami langsung strike bagarius kecil tersebut. Umpan pertama saya juga langsung mendapatkan sambaran tetapi hook out. Tetapi setelah itu hanya sunyi dan gulita yang menemani kami. Alam memang sedang sangat tidak bersahabat. Cahaya lampu dari tenda di kejauhan yang tampak sangat nyaman jika dilihat dari kejauhan semakin membuat kami keki dan menutup malam itu menjelang pukul 2 pagi untuk kemudian rebahan di dalam tenda beralas tikar dan matras. Rasanya luar biasa tidur di dalam tenda yang dipayungi oleh keagungan semesta itu. Hanya saja sayangnya karena tepian sungai Kuantan ini semuanya batu. Jadi ‘spring bed’ kami saat itu jujur saja rasanya sangat aduhai. Hehehe.
Meski langit sedikit berawan, pagi menjelang luar biasa indah di tepi Batang Kuantan. Sinar matahari seakan berjuang keras menerobos awan dan celah sungai untuk menyapa kami yang malas bangun. Air sungai masih juga keruh namun suasana sekitar masih sunyi dan tenang karena suara pontoon-pontoon penambang emas belum berbunyi. Jika mereka semua sudah berbunyi, hancur sudah suasana di sini, seperti pasar tumpah saja suasananya. Segelas kopi saya bawa ke tepi sungai untuk menemani syukur saya pada Tuhan sambil duduk-duduk di atas batu. Kamera SLR Canon milik Andry menjadi teman yang baik pagi itu. Beberapa jepret saya tembakkan untuk mengabadikan sungai indah yang gelisah karena penambangan emas ini. Kami belum mendapatkan apa-apa. Usai semua kru mandi dan sarapan, kami kembali bersiap melanjutkan usaha kami mencari sang Bagarius yarelli di sungai ini. Strategi pun dirancang. Kami akan tersebar dalam dua perahu dengan arah mancing yang berbeda. Satu ke hilir, satunya lagi ke hulu. Kami berharap ini dapat mengkover areal yang luas sehingga kemungkinan strikenya makin tinggi. Joe cs memilih ke arah hilir, saya dan kru MMT7 ke arah hulu. Tetapi sayang, strategi ini pun tidak memberi kami hasil yang wah padahal segala daya upaya telah kami kerahkan. Mancing sudah tidak lagi fun karena jujur saja sebenarnya lokasi di ‘ujung dunia’ ini begitu keruh dan berisik oleh suara mesin diesel dari pontoon-pontoon emas itu. Hasil akhir hingga sore menjelang hanya seekor hampala by Andry, satu Bagarius size sedang by Joe dan satu ikan juaro (patin sungai) oleh Yanwar, salah satu driver kami. Pun malam harinya kami masih tidak putus asa. Kami kembali mencoba dan hasilnya juga tidak menggembirakan. Kami semakin galau dan memutuskan kembali ke Sawahlunto keesokan paginya. Untungnya pelampiasan gundah kami tidak neko-neko (aneh-aneh), selama perjalanan dari daerah batang Kuantan hingga kota Sawahlunto kami hanya melampiaskan boncoz (hasil mancing yang buruk) kami kepada para pedagang duren.
Kami mendapatkan sedikit hiburan saat dalam perjalanan kembali ke Sawahlunto ini. Warga desa Jambu Lipo mengijinkan kami untuk memancing di lubuk larangan desa mereka, padahal belum saatnya buka lubuk sebenarnya, ini berkat bantuan kawan kami Edwin di Jakarta yang berasal dari desa ini. Kondisi lubuk sebenarnya sangat ideal. Air jernih dan ikan-ikan mahseer (gariang) dan hampala (sebarau) tampak sangat banyak berenang di dalam sungai. Bahkan banyak sekali yang sizenya monster. Tetapi lagi-lagi kami memang tidak beruntung lagi. Ini tidak lepas dari kebiasaan hidup ikan-ikan ini sebenarnya. Di lubuk larangan ikan-ikan selalu dikasih makan oleh warga dari atas jembatan dengan jajanan dari warung. Ada pilus dan lain sebagainya. Jadi ikan-ikan tersebut terbiasa dengan makanan seperti itu, dan untuk yang sizenya monster, itu artinya dia telah hidup dengan cara seperti itu bertahun-tahun. Nah kami ini pemancing sport, kalau kasting di sungai ya memakai umpan tiruan macam pencil, minnow dan popper kecil. Jadi ya sangat sulit untuk mendapatkan sambaran dari ikan-ikan predator yang telah berubah karakter tersebut. Jadi selama di lubuk larangan yang ikannya luar biasa tersebut, hanya dua strike yang dapat kami shoot, itupun yang mendapatkan strikenya adalah warga desa yang memancing menggunakan umpan minyak sawit.
Sore ketika para resepsionis hotel menyapa kami saat itu jam telah menunjuk angka 17.30 wib dengan tanggal 24 Agustus, tersisa dua hari bagi kami disini. Esok kami harus geser ke Padang dan lusa pagi terbang ke Jakarta. Kami tidak terima sebenarnya gagal di sawahlunto, tetapi jadwal tidak mungkin diperpanjang karena kami semua harus kembali ke Jakarta untuk berlebaran. Tanggal 25 Agustus pagi kami pun check out dari Parai Garden dan melaju ke Padang lewat jalur yang melintas tepi Danau Singkarak. Kami sempat mencoba kasting di salah satu tepian danau yang indah ini, namun lagi-lagi ini hanya menambah panjang daftar boncoz kami. Haha. Tepat saat berbuka puasa kami tiba di kota Padang. Menginap di sebuah hotel kecil namun bagus, semua hotel besar penuh, malam harinya makan malam di sebuah resto yang cukup terkenal (saya lupa namanya, yang pasti saya makan sangat lahap) dan keeseokan harinya kembali ke Jakarta. Secara pribadi saya kecewa dengan hasil trip ini. Kenapa kenapa dan kenapa bisa begini hasilnya. Tetapi kita tidak bisa menentang kehendak-Nya bukan. Jadi hanya doa yang saya bisa panjatkan, semoga nasib berubah di perjalanan berikutnya. Hanya itu yang terpikirkan saat kaki kembali menginjak Jakarta pada tengah hari tanggal 26 Agustus. Maaf, batin saya berucap untuk kawan-kawan saya Joe, Andry dan Pak Joko.
Bagarius Yarelli aka Goonch Catfish aka Man Eater
Bagarius adalah ikan langka dalam keluarga catfish dari family Sisoridae dan terbagi dalam empat genus dominan; Bagarius yarelli, bagarius gigas, Bagarius rutilus, Bagarius suchus. Tersebar di beberapa negara Asia, terutama Asia bagian Selatan seperti India dan Pakistan, termasuk juga dapat dijumpai di Indonesia. Ada banyak jenis ikan Bagarius tetapi yang saat ini paling ngetop adalah Bagarius Yarelli karena di India, ikan inilah yang dituduh paling gemar makan daging manusia (jenasah yang dihanyutkan, dan terkadang orang sial yang sedang bermain di sungai). Bukti kepopuleran lainnya adalah jika kita menengok harga ikan ini di pasaran ikan hias. Di Indonesia saja, ikan bagarius seukuran 15an cm bisa dihargai hingga 7 digit rupiah. Padahal di daerah dimana ikan ini hidup, ikan ini termasuk ikan yang paling tidak ada harganya karena tidak diminati dagingnya. Penampilannya yang menyeramkan namun sebenarnya cukup jinak dan mudah dipelihara, membuat ikan ini banyak diburu untuk diperjual belikkan. Di Sumatra ikan ini populer disebut ngangai. Di Jawa Barat disebut lika. Ada isitilah sebenarnya untuk ini sebagai “ikan bodoh” karena jika dia bersembunyi, dia hanya akan memasukkan kepalanya saja di sela-sela batu sementara badan dan ekornya tetap nongol di luar lubang persembunyiannya.
* Most pictures by me. Don’t use or reproduce (especially for commercial purposes) without our permission. Especially if you are tackle shop, please don’t only make money from our pics without respect!!!
* Katerangan foto: #0 Joe hooked up Bagarius in black t-shirt. #1 Joe hooked up ikan Bagarius berukuran sedang. #2 bagarius yarelli upper river Berau, Kaltim tahun 2009. #3 #4 Suasana pagi di Parai Garden Hotel saat hujan mendera. #4 Tomman Jambi peliharaan seorang warga. #5 Foto ikan bagarius yarelli yang membuat kami terbang ke Sumatra Barat ini dijepret oleh kawan kami Surya K. #6 #7 Perahu yang kami bawa berpetualang di Batang Kuantan. #8 Kopi pagi selalu ‘nendang’ meski boncoz. #9 Tenda kami di tepi Batang Kuantan tampak sangat mewah. #10 Sunset terlihat dari atas perahu saat hendak merapat ke basecamp. #11 #12 Ikan Bagarius kecil perolehan saya dan kondisi spot sekitar basecamp. #13 #14 Joe dan Pak Joko saat perjalanan dengan perahu. Dan Edi, kawan baik Joe juga mejeng dengan Bagarius. #15 Posisi Joe saat hooked up ikan Bagarius berada di sebuah tebing rendah di ujung basecamp. #16 Ikan terbesar air tawar yang say aperoleh. Hehe. Foto by Surya K. #17 Profil ikan Bagarius diambil dari Wikipedia. #18 Arfane, kameraman MMT7.
Ikan Bagarius yarelli tiba-tiba menjadi bahan pembicaraan di banyak negara karena berita di berbagai media yang menyatakan bahwa ini adalah ikan aneh, purba, langka dan merupakan ikan pemakan daging manusia. Berduyun-duyun mereka yang tertarik dengan ikan-ikan langka pun pergi menjelajah ke India, Pakistan dan negara-negara lainnya untuk mencari keberadaan ikan langka berwajah aneh ini. Berita di berbagai media yang menyatakan bahwa ini adalah ikan pemakan manusia memang membuat publik menjadi sangat penasaran. Praktis akibat berita yang memang seringnya di ‘set’ heboh seperti itu, maka harga ikan ini di pasaran ikan hias melonjak drastis. Ikan yang di habitat aslinya bahkan tidak ada yang meliriknya. Menurut pengamatan saya, beberapa bulan, atau sekitar satu tahun terakhir ini saya melihat dan membaca banyak berita aneh tentang ikan. “Ikan aneh ditemukan di bla bla bla….”, padahal kalau pembuat beritanya mau jalan-jalan di Google sebentar saja, maka akan ketahuan itu adalah ikan apa. Bagarius yarelli, kepopulerannya berawal dari India, di negeri ini masih ada tradisi menghanyutkan jenasah di sungai, dan karena di sana sungainya besar-besar dan mengalir panjang melintasi berbagai habitat ikan, ada kalanya jenasah orang yang meninggal tersebut akhirnya menjadi sasaran ikan-ikan predator. Dan salah satunya yang rajin melahap jenasah-jenasah tersebut adalah Bagarius yarelli. Dan entah karena ketagihan atau bagaimana, intinya akhirnya ikan-ikan tersebut menjadi terbiasa dengan daging manusia, terkadang ada orang atau anak kecil yang bernasil sial, mereka yang bermain di air ada kalanya mendapat sial akibat serangan ikan-ikan predator yang telah ‘sakau’ daging manusia ini.
Niatnya adalah membuat sebuah tayangan berkualitas untuk MMT7, seperti biasanya, tentang ikan yang saat ini sedang ramai menjadi pembicaraan publik ini. Biar terang, apa sebenarnya ikan ini, bagaimana habitatnya, bagaimana memancingnya, dan lain sebagainya. Indonesia adalah salah satu habitat ikan Bagarius yarelli. Indonesia memiliki banyak sekali sungai-sungai dataran tinggi berarus deras dengan palung-palung dalam. Kalimantan, Sumatra dan bahkan Jawa memilikinya. Di upper river Kalimantan, akhir 2009, di camp kami orang-orang suku Dayak Punan bahkan iseng menangkap ikan ini dengan tangan kosong dan menunjukkannya kepada kami untuk membuktikan bahwa di sungai tersebut masuh banyak ikan besar. Tetapi saat itu, kami sedang tidak tertarik dengan ikan Bagarius yarelli karena kami sedang memburu spesies yang lebih prestisius lagi. Hanya di Jawa saja yang telah hampir kehilangan ikan ini di habitat aslinya. Sumatra dan Kalimantan masih memiliki potensi yang menjanjikan. Di Jawa, ikan Bagarius yarelli paling banyak ditemukan (dulu tapi) di Jawa Barat, dimana ikan ini disebut dengan nama lika.
Kami tiba di Padang pada tanggal 19 Agustus siang hari. Bandara Minangkabau ternyata adalah bandara yang cukup besar dan berkelas internasional, ini kali pertama saya mendarat di Padang, namun menurut saya hari itu suasana bandara cukup sepi. Panas yang menyengat membuat saya agak shock, ditambah lagi saat itu adalah bulan Ramadhan. Saya tidak puasa, pun mayoritas peserta trip ini juga tidak puasa, tetapi masalahnya kami berada di wilayah yang sangat terkenal dengan ketaatannya beragama, maka kami pun ikut puasa juga. Meski akhirnya saat sudah dalam perjalanan menuju kota Sawahlunto (3 jam dari Padang) kami sesekali merokok. Sebenarnya kami sepanjang perjalanan sambil lirak-lirik kiri kanan mencari warung atau restoran makanan yang buka, tetapi tida ada sama sekali. Jadilah kami semua puasa hingga sore menjelang di Sawahlunto. Kota sawahlunto adalah kota yang kecil, terletak di sebuah lembah yang dikelilingi bukit terjal. Kota tambang yang menurut saya mulai surut. Dulu sekali, kota ini adalah pusatnya batubara di Indonesia. Namun kini tampaknya tinggal sisa-sisanya saja meski disana-sini bangunan-bangunan perusahaan tambang masih berdiri namun sepi aktivitas. Batubara yang tersisa sudah tidak lagi signifikan dan kebanyakan berada sedikit di luar kota. Tetapi kota Sawahlunto adalah kota yang cantik. Sepi, bersih, tampak sekali terawatt, dan terlihat sangat kokoh. Saya ingat, jaman saya SD, ada pertanyaan ujian dimanakah penghasil batubara terbesar di Indonesia dan jawabannya adalah Ombilin di Sawahlunto. Tetapi yang paling saya ingat adalah satu pendiri negara kita, Mohammad Hatta. Dia berasal dari kota mungil yang cantik ini.
Kami menginap di satu-satunya hotel berbintang di kota ini, Parai Garden Hotel. Tampaknya ini masih satu perusahaan dengan Parai Resort di Bangka. Dan coba tebak, hari itu, dan hingga kepulangan kami ke Padang pada tanggal 25, kami adalah satu-satunya rombongan paling setia yang meninap di hotel ini. Ada beberapa orang yang kami lihat juga menginap di hari pertama, tetapi setelah itu gonee….. Sepi. Tinggal tersisa kami. Jadi kami serasa menginap di villa pribadi tetapi super besar ukurannya. Hotelnya bagus. Kombinasi bangunan lama di depan dengan penambahan bangunan baru di belakang. View ke arah bawah dari hotel ini juga cukup menghibur, landscape kota dan tebing-tebing yang mengelilinginya. Usai rehat sejenak kami sempat jalan-jalan ke pinggir kota untuk melihat-lihat spot air tawar yang ada. Dan kami menjadi optimis bahwa esok, acara memancing kami akan menyenangkan. Bagaimana tidak, di pinggiran kota saja sungainya bagus-bagus, juga danau-danaunya. Bahkan di sebuah sungai, kami melihat frenzy ikan hampala (sebarau), padahal lokasinya di dekat kota. Bagaimana nanti dengan spot kami nanti yang jauh di luar kota? Mantab pasti!
Tetapi alam dan kehendak-Nya memang sungguh misterius. Baru saja kami menginjakkan kaki di hotel untuk beristirahat karena waktu berbuka puasa hampir tiba, tiba-tiba awan gelap entah darimana menyelimuti seluruh penjuru kota. Dan hujan kemudian mengguyur Sawahlunto dengan lebatnya ditingkahi petir disana-sini. Sendi-sendi kaki kami langsung lemas, dan kami rebahan di kamar hotel masing-masing dengan galau seperti habis diputusin pacar. Hebatnya, hujan ini bahkan baru reda hingga subuh hampir menjelang. Bayangkan, semalam suntuk hujan! Jadi bisa dibayangkan bagaimana keruhnya air sungai yang akan kami pancingi esok hari. Pagi hari kami langsung telepon ke penduduk desa yang sudah standby di lokasi dan kabar yang kami terima adalah “keruh seperti susu coklat”. Alamaaaaaaak! Untuk teknik kasting yang akan kami terapkan, mau sebanyak apapun populasi ikan target di lokasi (target kami di sungai tersebut adalah ikan mahseer/gariang dan hampala/sebarau), sudah dapat dipastikan kami akan sia-sia jika tetap memaksa memancing di spot tersebut. Saya pernah mengalami kejadian seperti ini saat ‘naik’ ke pedalaman Kabupaten Berau di Kaltim pada tahun 2009. Sudah berbulan-bulan tidak hujan, dan memang masih musim kemarau. Air sungai sangat bening saat kami baru tiba dan bahkan kami bisa melihat ikan-ikan lalu lalang di bawah perahu kami. Tetapi tiba-tiba saat sore menjelang, hujan seperti ditumpahkan dari langit. Sungai meluap dan banjir besar melanda. Perlu waktu tiga hari saat itu untuk sekedar menunggu warna air sungai menjadi kehijau-hijauan. Di Sawahlunto kami tidak memiliki waktu hingga tiga hari untuk menunggu “air susu coklat” menjadi “air teh hijau”. Kami memikirkan alternatif lain untuk menggantikan trip mahseer dan hampala.
Karena sungai semuanya keruh. Kami memikirkan perairan tawar yang kira-kira tidak terkena imbas akibat hujan semalam yang mengguyur. Semuanya mengerucut pada rawa-rawa atau danau kecil yang konon banyak terdapat di daerah Sumatra Barat arah perbatasan Jambi. Kawan kami yang asli Sawahlunto, Surya K, membantu kami mengontak kawan-kawannya yang dekat dengan lokasi-lokasi potensial. Dari hasil kontak tersebut kami memutuskan untuk mengarah ke Propinsi Jambi sambil ‘mlipir’ sepanjang jalan dengan target utama ikan tomman (Channa micropeltes). Kami kembali bersemangat karena dari pengamatan sekilas sepanjang perjalanan, daerah arah ke Propinsi Jambi ini tampaknya tidak diguyur hujan sederas Sawahlunto dan sekitarnya. Kami berhenti di beberapa spot yang menurut pengakuan Surya K cukup potensial, tetapi sayang tomman yang kami cari-cari tidak dapat juga. Kami tidak menyerah, perjalanan kami semakin mendekati Propinsi Jambi. Di sebuah daerah yang sudah saya lupa namanya, sekitar 4 jam dari Sawahlunto kami berhenti di rawa-rawa dekat sebuah pabrik karet. Kami sempat singgah di rumah seorang penduduk yang memelihara tomman besar di belakang rumahnya. Gila! Ikan tomman itu sekitar 6 kg bobotnya dan tampak sangat menyeramkan. Matanya sangat awas memperhatikan kita terus menerus dan wajahnya yang bengis seakan berkata “Elo mau apa liat-liat gue? Mau gw hajar tangan elo?” Saya tahu potensi bahaya dari ikan tomman ini, maka saya pun mengambil gambar jauh-jauh dari jangkauan sang top predator freshwater ini.
Kami lalu kembali lagi ke rawa-rawa dekat pabrik karet . Beberapa kali melempar umpan jenis froggie Andre dan Joe akhirnya berhasil menggaet ikan gabus biasa berukuran sedang. Tomman tidak juga menyambar umpan padahal jelas banget tadi waktu datang ada beberapa tomman yang sedang jalan-jalan di tengah rawa dekats ebuah tonggak besar dan tampak sangat jelas dengan mata telanjang kami di tepi rawa. Ukurannya dari kejauhan tidak kurang dari 5 kg. Spot juga tampak sangat menjanjikan sebenarnya. Banyak teratai disana-sini, banyak rumput yang tumbuh menyembul dari dalam air, dan lain sebagainya. Satu-satunya yang ‘kurang bagus’ adalah kenyataan bahwa rawa-rawa ini letaknya persis di samping jalan Trans Sumatra. Jadi sangat mudah diakses orang. Pastinya traffic memancing di rawa ini yang dilakukan oleh penduduk lokal sangat padat.
Joe tidak putus harapan, dia terus melempar. Rajin pangkal strike. Tak dinyana saat kodok-kodokannya baru jatuh di air di sebuahtitik yang sulit dijangkau, BOOOOOOOM!!! Sekor tomman berukuran besar tampak langsung menghajar umpan itu. Terkejut karena ternyata itu adalah ‘kodok sialan’ tomman kembali meloncat di udara dan tampak sebesar paha orang dewasa. Belum pernah saya melihat ikan tomman di wild spot yang besarnya sebesar itu. Joe bereaksi cepat menggulung tali namun usahanya terhalang oleh lebatnya rerumputan air. Talinya tersangkut di kejauhan tetapi tomman terus memberontak. Beberapa warga yang menonton kami sejak kedatangan kami berusaha memberi saran dan menyuruh Joe menunggu sebentar, mereka hendak mencari karung lalu terjun ke air untuk ‘menjemput’ sang tomman. Tetapi tomman terus memberontak dan Joe juga mulai gugup. Dia sedikit menggulung untuk mengencangkan tali. Malang tidak bisa ditolak. Taaaaaas!!!! Tali pun putus. Tomman menghilang, kami semua lemas. Kamera tidak saya matikan dan terus merekam. Senja yang semakin temaram tidak mampu menyembunyikan raut muka Joe yang tampak gusar. “Sorry bro,” ucapnya ke arah kamera saya.
Gara-gara tomman perkasa di rawa tepi pabrik karet inilah, kami urung mengarahkan mobil-mobil kami kembali ke Sawahlunto dan malah ‘ngacir’ masuk ke wilayah Provinsi Jambi. Karena berdasarkan informasi dari Surya K, ada sebuah danau yang merupakan sarangnya tomman di dekat kota Muara Bungo. Kami tiba di kota ini pukul 22.00 wib setelah menempuh perjalanan yang mendebarkan sepanjang Trans Sumatra (ini kali pertama di Trans Sumatra say amembuktikan sendiri betapa gilanya bus-bus antar propinsi di sini). Untungnya kami sempat dihibur oleh para penjual duren saat masuk kota Muara Bungo sehingga pikiran tidak terlalu penat. Mereka tampaknya tahu kami semua ngidam duren. Terbukti dari wajah-wajah kami yang begitu cerah saat melahap duren-duren miliknya. Haha. Muara Bungo adalah kota perbatasan yang tampak cukup sibuk. Jalanan sedikit crowded dan kami harus semakin ekstra waspada dengan bis-bis antar propinsi yang melaju seenaknya itu. Kesulitan lain berkendara di jalan Trans Sumatra adalah rombongan truk-truk karet dan batubara, mereka bisa berkonvoi dalam 10an truk per rombongan (konon untuk menghindari pembajakan di jalan). Bayangkan kesulitan kami untuk menyalipnya. Malam itu juga kami mampir ke danau yang akan kami pancingi esok dan menggedor salahs atu rumah pemilik perahu untuk esok pagi. “Perahu ada dan siap besok saya antar Pak!” kata sang empunya perahu. Beres. Kami kembali ke hotel kecil kami untuk mendengkur saking lelahnya. Usai mandi dan rehat sejanak di lobby hotel yang pengap itu, blaaaar!, hujan deras mengguyur kota sejadi-jadinya. WTF!!!!!! Apakah hujan-hujan ini memasang GPS di mobil-mobil kami sehingga terus mengikuti kami kemanapun kami pergi?!
‘Kesusahan’ kami masih berlanjur esok paginya. Sesampai di tepi danau kami sudah disambut oleh sang pemilik perahu. Lumayan bagus perahunya, panjang dan lebar dan bahkan 6 orang bisa kasting sekaligus. Tetapi dimana mesinnya? Oh tenang ada dayung, berarti sang empunya perahu akan mendayungnya. Kuat juga dia pikir saya karena ukuran perahu ini tak kurang dari 12 kali 2.5 meter. “Mari Pak silahkan kalau mau dipakai perahunya, saya ada acara keluarga,” katanya datar. Haaaaaaa???? Jadi siapa yang akan mendayung perahu sebesar ini mengelilingi danau???? Waduuuuuuh! Jadi kami harus mendayung perahu ini sendiri. Hahahahaha. Jadi pelajaran buat semua pembaca blog ini, lain kali kalau mau sewa perahu atau kapal di daerah yang tidak kita kenal, baiknya ditanya sekalian di depan apakah perahu/kapal disewakan sekaligus mesinnya dan juga siapa yang akan membawa perahu/kapal tersebut. Jadi bisa dibayangkan hasil dari trip di danau ini. Sudah dua hari sebelumnya boncos, sekarang disuruh mendayung sendiri perahu sebesar ini mengelilingi danau. Hasilnya sudah bisa ditebak. Seperempat perjalanan galah penopang sudah patah dan tinggal tersisa dua dayung saja. Sungguh, setengah mati rasanya mendayung mengelilingi danau seluas 20 kali lapangan bola itu. Puasa-puasa pula. Dalam perjalanan kembali ke Sawahlunto, kami sempat mampir ke desa Jambu Lipo di Sijunjung. Kami mencoba mancing di lubuk larangan di desa ini karena pengurus desa memberi ijin kami berkat bantuan kawan yang tinggal di Jakarta (Edwin), tetapi sayang hasilnya kurang memuaskan. Spotnya luar biasa potensial. Ikan mahseer dan hampala berukuran monster banyak sekali. Tetapi ternyata sangat sulit mendapatkan ikan dengan umpan tiruan sementara bertahun-tahun ikan-ikan ini hidup damai dari makanan yang ditebar warga desa dari atas jembatan. Hanya dua ekor kami dapatkan itupun size kecil. Tengah malam, kami pun tiba kembali di Sawahlunto seperti regu penyerbu kecil yang kalah perang. Lemah, letih, lesu.
Tanggal 22 Agustus pagi hari kami kembali bersiap untuk memburu target utama kami yakni ikan Bagarius yarelli atau yang dalam bahasa setempat disebut ngangai. Untuk ini kami harus berkendara ke arah perbatasan Propinsi Riau (jadi ke arah atas atau belakang Sumatra Barat) selama sekitar 4 jam. Jalanannya lebih buruk dibanding Trans Sumatra yang ke arah Jambi tetapi relatif lebih sepi. Namun perjalanan tak juga bisa dikebut karena kondisi jalan yang cukup berkelok dan mobil juga sedikit batuk-batuk karena terus dipakai berkelana sejak tanggal 19 September dari pagi hingga malam. Panas! Sepanjang perjalanan yang terasa cuma panas dan pengap. Sama dengan kondisi udara di daerah Jambi yang pengap. Pelan namun pati akhirnya kami tiba di tepis ungai Batang Kuantan, Riau untuk kemudian ‘naik’ kea rah hulu kembali masuk ke wilayah Provinsi Sumatra Barat melalui sungai. Jadi lokasi mancing ikan Bagarius yarelli ini sebenarnya memang ada di wilayah Sumatra Barat tetapi tidak bisa ditembus melalui darat jadi kami terpaksa ‘melambung’ lewat jalan belakang. Perahu terpaksa kami tambah satu lagi karena satu perahu yang disiapkan oleh kawan kami Surya K terlalu kecil untuk menampung kami semua yang jumlahnya 8 orang (11 orang jadinya dengan tukang perahu).
Batang Kuantan airnya keruh sekali akibat erosi di bagian hulu, namun sebenarnya keruhnya sungai akibat erosi ini sebenarnya tidak terlalu parah apalagi juga hujan tidak turun terlalu lebat disini kemarin-kemarin. Sebab utama keruhnya air sungai ini adalah akibat aktifitas penambangan emas tradisional yang dilakukan oleh masyarakat di sini. Jadi di Batang Kuantan ini banyak sekali ponton tambang emas yang berisik itu yang beroperasi sepanjang hari (kecuali malam) dan jumlahnya mungkin ribuan. Sebab sepanjang kami naik ke hulu dimana-mana selalu kami temui ponton tambang emas tradisional ini. Mereka menyedot lumpur dari dasar sungai dengan mesin diesel yang telah dimodifikasi lalu menyaringnya di atas untuk memisahkan antara konsentrat emas dan lumpur dan lalu memuntahkan kembali lumpur itu ke dalam sungai. Jumlahnya ribuan ponton jadi tak heran jika sungai indah ini begitu keruh dan berisik. Di hulu yang jauh dari mana-mana saja jika siang hari serasa berada di kawasan pabrik di daerah pinggiran Jakarta berisiknya. Jadi sebenarnya ada sedikit missed informasi tentang keberadaan penambang emas ini. Dulu kata narasumber kami jumlahnya sedikit dan malah telah dilarang, tetapi ternyata kini malah semakin banyak dan berisik. Jadi sebenarnya kami menjadi semakin khawatir dengan potensi populasi ikan di sungai ini karena ekosistem mereka jelas sangat terganggu oleh keruhnya air dan berisiknya sungai. Ikan-ikan pasti cenderung naik ke tempat yang sepi. Masalahnya kami tidak bisa terus naik ke hulu ke daerah yang tidak kami kenal, jadi kami kemudian menghentikkan ‘pendakian’ kami di daerah Batu X untuk kemudian mendirikan tenda kami di situ. Kebetulan lokasinya mendukung untuk tenda besar kami dan juga ada air terjun kecil di belakang camp. Posisi camp kami ini sangat indah jika dipandang.
Malam menjelang persis usai kami mendirikan tenda kami. Raga yang lelah dan penat belum juga hilang sementara tugas berikutnya sudah menanti, mancing, mencari gambar, melanjutkan tugas kami di sini. Jadi dalam gulita yang hanya dibantu oleh cahaya senter-senter yang kami bawa, kami kemudian menyebar sepanjang tepi sungai yang mungkin untuk dipancingi dengan harapan dapat menggaet ikan-ikan Bagarius yang mulai bergerak mencari mangsa. Peralatan pancing kami jejer sepanjang tepi sungai di sekitar tenda, di ujungnya adalah umpan udang hidup kecil-kecil yang kami tusukkan ke mata pancing. Di setiap ujung joran selalu kami pasang ‘klintingan’ sehingga jika ada sambaran akan berbunyi ‘klintiiiiiiiiiing’. Anda tahu pemain kuda lumping? Nah seperti itulah klintingannya. Tetapi kami cukup satu klintingan untuk tiap joran, bukan direneng banyak seperti pemain kuda lumping.
Namun meski mengerahkan semua semua kemampuan dan ketahanan begadang yang kami miliki di malam yang lelah itu, kami hanya menaikkan satu ekor ikan Bagarius, itupun size kecil dan satu ekor ikan baung, pun ukurannya juga mungil. Bagariusnya ukuran sekiloan lebih sedikit dan ikan baungnya sekitar 8 ons saja beratnya. Joe, Andry dan Pak Djoko yang sempat kembali turun ke bawah dengan perahu di malam gulita itupun tidak menaikkan apa-apa. Padahal kami sempat optimis karena baru beberapa saat menurunkan umpan kami langsung strike bagarius kecil tersebut. Umpan pertama saya juga langsung mendapatkan sambaran tetapi hook out. Tetapi setelah itu hanya sunyi dan gulita yang menemani kami. Alam memang sedang sangat tidak bersahabat. Cahaya lampu dari tenda di kejauhan yang tampak sangat nyaman jika dilihat dari kejauhan semakin membuat kami keki dan menutup malam itu menjelang pukul 2 pagi untuk kemudian rebahan di dalam tenda beralas tikar dan matras. Rasanya luar biasa tidur di dalam tenda yang dipayungi oleh keagungan semesta itu. Hanya saja sayangnya karena tepian sungai Kuantan ini semuanya batu. Jadi ‘spring bed’ kami saat itu jujur saja rasanya sangat aduhai. Hehehe.
Meski langit sedikit berawan, pagi menjelang luar biasa indah di tepi Batang Kuantan. Sinar matahari seakan berjuang keras menerobos awan dan celah sungai untuk menyapa kami yang malas bangun. Air sungai masih juga keruh namun suasana sekitar masih sunyi dan tenang karena suara pontoon-pontoon penambang emas belum berbunyi. Jika mereka semua sudah berbunyi, hancur sudah suasana di sini, seperti pasar tumpah saja suasananya. Segelas kopi saya bawa ke tepi sungai untuk menemani syukur saya pada Tuhan sambil duduk-duduk di atas batu. Kamera SLR Canon milik Andry menjadi teman yang baik pagi itu. Beberapa jepret saya tembakkan untuk mengabadikan sungai indah yang gelisah karena penambangan emas ini. Kami belum mendapatkan apa-apa. Usai semua kru mandi dan sarapan, kami kembali bersiap melanjutkan usaha kami mencari sang Bagarius yarelli di sungai ini. Strategi pun dirancang. Kami akan tersebar dalam dua perahu dengan arah mancing yang berbeda. Satu ke hilir, satunya lagi ke hulu. Kami berharap ini dapat mengkover areal yang luas sehingga kemungkinan strikenya makin tinggi. Joe cs memilih ke arah hilir, saya dan kru MMT7 ke arah hulu. Tetapi sayang, strategi ini pun tidak memberi kami hasil yang wah padahal segala daya upaya telah kami kerahkan. Mancing sudah tidak lagi fun karena jujur saja sebenarnya lokasi di ‘ujung dunia’ ini begitu keruh dan berisik oleh suara mesin diesel dari pontoon-pontoon emas itu. Hasil akhir hingga sore menjelang hanya seekor hampala by Andry, satu Bagarius size sedang by Joe dan satu ikan juaro (patin sungai) oleh Yanwar, salah satu driver kami. Pun malam harinya kami masih tidak putus asa. Kami kembali mencoba dan hasilnya juga tidak menggembirakan. Kami semakin galau dan memutuskan kembali ke Sawahlunto keesokan paginya. Untungnya pelampiasan gundah kami tidak neko-neko (aneh-aneh), selama perjalanan dari daerah batang Kuantan hingga kota Sawahlunto kami hanya melampiaskan boncoz (hasil mancing yang buruk) kami kepada para pedagang duren.
Kami mendapatkan sedikit hiburan saat dalam perjalanan kembali ke Sawahlunto ini. Warga desa Jambu Lipo mengijinkan kami untuk memancing di lubuk larangan desa mereka, padahal belum saatnya buka lubuk sebenarnya, ini berkat bantuan kawan kami Edwin di Jakarta yang berasal dari desa ini. Kondisi lubuk sebenarnya sangat ideal. Air jernih dan ikan-ikan mahseer (gariang) dan hampala (sebarau) tampak sangat banyak berenang di dalam sungai. Bahkan banyak sekali yang sizenya monster. Tetapi lagi-lagi kami memang tidak beruntung lagi. Ini tidak lepas dari kebiasaan hidup ikan-ikan ini sebenarnya. Di lubuk larangan ikan-ikan selalu dikasih makan oleh warga dari atas jembatan dengan jajanan dari warung. Ada pilus dan lain sebagainya. Jadi ikan-ikan tersebut terbiasa dengan makanan seperti itu, dan untuk yang sizenya monster, itu artinya dia telah hidup dengan cara seperti itu bertahun-tahun. Nah kami ini pemancing sport, kalau kasting di sungai ya memakai umpan tiruan macam pencil, minnow dan popper kecil. Jadi ya sangat sulit untuk mendapatkan sambaran dari ikan-ikan predator yang telah berubah karakter tersebut. Jadi selama di lubuk larangan yang ikannya luar biasa tersebut, hanya dua strike yang dapat kami shoot, itupun yang mendapatkan strikenya adalah warga desa yang memancing menggunakan umpan minyak sawit.
Sore ketika para resepsionis hotel menyapa kami saat itu jam telah menunjuk angka 17.30 wib dengan tanggal 24 Agustus, tersisa dua hari bagi kami disini. Esok kami harus geser ke Padang dan lusa pagi terbang ke Jakarta. Kami tidak terima sebenarnya gagal di sawahlunto, tetapi jadwal tidak mungkin diperpanjang karena kami semua harus kembali ke Jakarta untuk berlebaran. Tanggal 25 Agustus pagi kami pun check out dari Parai Garden dan melaju ke Padang lewat jalur yang melintas tepi Danau Singkarak. Kami sempat mencoba kasting di salah satu tepian danau yang indah ini, namun lagi-lagi ini hanya menambah panjang daftar boncoz kami. Haha. Tepat saat berbuka puasa kami tiba di kota Padang. Menginap di sebuah hotel kecil namun bagus, semua hotel besar penuh, malam harinya makan malam di sebuah resto yang cukup terkenal (saya lupa namanya, yang pasti saya makan sangat lahap) dan keeseokan harinya kembali ke Jakarta. Secara pribadi saya kecewa dengan hasil trip ini. Kenapa kenapa dan kenapa bisa begini hasilnya. Tetapi kita tidak bisa menentang kehendak-Nya bukan. Jadi hanya doa yang saya bisa panjatkan, semoga nasib berubah di perjalanan berikutnya. Hanya itu yang terpikirkan saat kaki kembali menginjak Jakarta pada tengah hari tanggal 26 Agustus. Maaf, batin saya berucap untuk kawan-kawan saya Joe, Andry dan Pak Joko.
Bagarius Yarelli aka Goonch Catfish aka Man Eater
Bagarius adalah ikan langka dalam keluarga catfish dari family Sisoridae dan terbagi dalam empat genus dominan; Bagarius yarelli, bagarius gigas, Bagarius rutilus, Bagarius suchus. Tersebar di beberapa negara Asia, terutama Asia bagian Selatan seperti India dan Pakistan, termasuk juga dapat dijumpai di Indonesia. Ada banyak jenis ikan Bagarius tetapi yang saat ini paling ngetop adalah Bagarius Yarelli karena di India, ikan inilah yang dituduh paling gemar makan daging manusia (jenasah yang dihanyutkan, dan terkadang orang sial yang sedang bermain di sungai). Bukti kepopuleran lainnya adalah jika kita menengok harga ikan ini di pasaran ikan hias. Di Indonesia saja, ikan bagarius seukuran 15an cm bisa dihargai hingga 7 digit rupiah. Padahal di daerah dimana ikan ini hidup, ikan ini termasuk ikan yang paling tidak ada harganya karena tidak diminati dagingnya. Penampilannya yang menyeramkan namun sebenarnya cukup jinak dan mudah dipelihara, membuat ikan ini banyak diburu untuk diperjual belikkan. Di Sumatra ikan ini populer disebut ngangai. Di Jawa Barat disebut lika. Ada isitilah sebenarnya untuk ini sebagai “ikan bodoh” karena jika dia bersembunyi, dia hanya akan memasukkan kepalanya saja di sela-sela batu sementara badan dan ekornya tetap nongol di luar lubang persembunyiannya.
* Most pictures by me. Don’t use or reproduce (especially for commercial purposes) without our permission. Especially if you are tackle shop, please don’t only make money from our pics without respect!!!
* Katerangan foto: #0 Joe hooked up Bagarius in black t-shirt. #1 Joe hooked up ikan Bagarius berukuran sedang. #2 bagarius yarelli upper river Berau, Kaltim tahun 2009. #3 #4 Suasana pagi di Parai Garden Hotel saat hujan mendera. #4 Tomman Jambi peliharaan seorang warga. #5 Foto ikan bagarius yarelli yang membuat kami terbang ke Sumatra Barat ini dijepret oleh kawan kami Surya K. #6 #7 Perahu yang kami bawa berpetualang di Batang Kuantan. #8 Kopi pagi selalu ‘nendang’ meski boncoz. #9 Tenda kami di tepi Batang Kuantan tampak sangat mewah. #10 Sunset terlihat dari atas perahu saat hendak merapat ke basecamp. #11 #12 Ikan Bagarius kecil perolehan saya dan kondisi spot sekitar basecamp. #13 #14 Joe dan Pak Joko saat perjalanan dengan perahu. Dan Edi, kawan baik Joe juga mejeng dengan Bagarius. #15 Posisi Joe saat hooked up ikan Bagarius berada di sebuah tebing rendah di ujung basecamp. #16 Ikan terbesar air tawar yang say aperoleh. Hehe. Foto by Surya K. #17 Profil ikan Bagarius diambil dari Wikipedia. #18 Arfane, kameraman MMT7.
Comments
lihat liputannya di MMT7 sdh sip banget, eh ditambah baca kisahnya di blog ini, weleh2 mantaff bro. kadang sy coba menghayal kondisi yg ada saat satu baris tulisan sy baca,apalagi saat monster tomman seb paha lg hajar froggie sambil lompat (sempat keliput gak ya momen itu di MMT7 ?)
Memang miris,trip jauh2,capek, hasil tdk mendukung. But don't worry Mike, boncoz doesn't mean everything is ruined, it only means "we're not lucky this time". Instead boncoz leaves you with some unforgettable memories and one good thought that "we're only human, we've done our best but God sets up everything"
So,keep on fishing, Bro and also keep on writing!! Bravo Mike and MMT7!!