Suksesnya trip spesial Natal 2011 untuk Mancing mania Trans|7 ini, dan selesainya tulisan ini, tak ada kata lain yang bisa saya ucapkan selain Deo Gratias (Terimakasih Tuhan).
Tulisan ini bisa jadi akan menjadi sangat personal. Pulau Sumba, NTT adalah salah satu popping ground terbaik di Indonesia, dan bahkan dunia. Hampir tidak ada pemancing popping yang sengaja melewatkan Pulau Sumba dalam riwayat dan rencana trip popping mereka. Jika ada pemancing popping yang belum menginjak tanah Sumba, itu hanya masalah waktu, meski berat dan susah, mereka pasti akan terus mencoba menembus perairan Sumba untuk melemparkan popper terbaik mereka dan mengeluarkan tackle terbaik mereka di sini. Sumba adalah surga popping yang menyediakan pertarungan terbaik bagi siapa saja yang berkesempatan popping di pulau para umbu ini. Menurut saya, di Indonesia ada tiga pulau yang bersaing ketat sebagai yang terbaik sebagai destinasi popping di Indonesia; Alor, Lembata, dan Sumba. Semuanya di propinsi Nusa Tenggara Timur. Tetapi pamor Alor sebagai popping ground tampaknya tidak berumur panjang. Pulau ini kondisi drop off nya terlalu dalam tampaknya lebih menjanjikan sebagai jigging ground, meski di beberapa titik merupakan spot popping yang baik. Dan nyatanya memang kebanyakan trip kesini main technique yang diaplikasikan adalah jigging dan bukannya popping. Saya mencatat, salah satu popping trip paling sukses ke pulau ini dilakukan oleh Tim Mancing Mania Trans7 bersama sekelompok pemancing Jakarta – Jepang sekitar pertengahan 2010.
Lembata, pernah membuktikan diri sebagai “markas”-nya GT monster di Indonesia. Pulau tempat orang-orang Lamalera tinggal dan menangkap paus dengan tombak ini boleh berbangga karena hampir tidak memiliki ikan GT berukuran kecil. Akan tetapi kharisma Lembata sebagai sarangnya GT monster ini saat ini mulai meredup. Lembata meraih kepopuleran sebagai popping ground terbaik diam-diam. Tidak banyak pemancing yang tahu dan mampu menembus ‘kekerasan’ alam di pulau ini. Namun pulau tandus yang dipopulerkan oleh dokumenter handal Indonesia, Mas Dudit Widodo ini akhir-akhir ini begitu bising oleh trip-trip mancing berskala besar dari pemancing-pemancing popping papan atas Indonesia dan bahkan para pemancing Jepang (yang masuk lewat Alor). Ada khabar, bahwa konon kini GT monster telah susah didapatkan di Lembata. Padahal dulu, setiap strike ikan GT di Lembata, setidaknya pasti beratnya up 25 kg! Trip terakhir saya ke pulau ini bersama Mas Dudit Widodo dan Rudi Hadikesuma, kalau tidak salah November 2010, kami mendapatkan banyak ikan GT dengan ukuran antara 25 hingga GT 42 kg! Lembata adalah pulau paling mempesona di Indonesia bagi siapa saja yang ingin mendapatkan GT monster yang bisa memecahkan rekor nasional, rekor dunia sekalipun. Tak heran pulau tandus ini banyak diincar para pemancing popping. Tak banyak yang bisa menembus “ketebalan” benteng pulau ini. Akan tetapi beberapa pemancing top Indonesia dan Jepang, telah melontarkan popper-poppernya di sini. Sehingga meski di forum-forum, atau website sportfishing dunia pulau ini tampak sepi-sepi saja dan diacuhkan, sebenarnya kenyataannya tidak demikian. Karena kebanyakan datang ke sini secara diam-diam dan sengaja tidak mempublikasikannya.
Kembali ke Sumba. Dibandingkan dengan Lembata dan Alor, Pulau Sumba lebih terbuka. Semua orang bisa masuk lewat “pintu” manapun. Sumba yang meski panas, memiliki keterbukaan hati yang khas untuk menerima siapapun datang. Tentunya laku dan kesantunan tertentu diperlukan agar kita bisa mengakses spot-spot popping terbaik di pulau ini. Satu hal yang pasti meski menurut saya Sumba lebih cosmopolitan (terbuka) dibandingkan Alor dan Lembata, Sumba ternyata memiliki ketangguhan yang lebih. Jadi meskipun sudah tak terhitung banyaknya popping trip ke sini, baik itu trip kecil maupun trip-trip berskala besar dari dalam dan para pemancing luar negeri, Sumba tetap gagah hingga hari ini. Sekali lagi, hingga hari ini. Pertanyaannya. Mampukah kita sebagai pemancing, demi kesuksesan trip kita, mampu menyesuaikan diri dengan kekhasan Sumba. Maksud saya begini. Ya, Sumba bisa Anda akses langsung dari sisi laut yang manapun. Ibarat kata, Anda datang tanpa ba bi bu, cukup dengan fishing fleet yang mendukung, Anda sudah akan bisa mengeksplorasi Sumba. Tetapi menurut saya itu bukan yang terbaik. Kecuali Anda adalah orangorang soliter yang memang tidak bisa hidup di antara banyak orang. Salah satu “kunci” terbaik mengakses Sumba adalah, Anda diterima menjadi sahabat para “raja laut” Sumba. Yang meski tampak keras itu, sebenarnya adalah pemancing-pemancing yang berpengalaman dan selalu mau untuk berbagi. Selain cara yang khas yang dilakukan orang-orang Sumba dalam menjaga spotnya seperti ilustrasi di atas, tak dapat dipungkiri Sumba memang memiliki potensi sportfishing yang luar biasa mengaggumkan. Sisi selatan Sumba adalah popping ground yang dahsyat. Dari perbatasan Sumba Barat hingga ke Waingapu. Ratusan kilometer tebing terjal, batu mandi, dan drop off membentang. Sisi utara Sumba lain lagi, disini adalah jigging spot yang hingga hari ini masih menyimpan potensi yang disegani. Kondisi geografis yang menantang, dan musim angin telah menjaga Sumba tetap gagah hingga hari ini dan meneguhkan dirinya sebagai sportfhsing ground paling dahsyat di Indonesia. Saya memiliki ilustrasi pribadi yang kebenarannya boleh Anda bantah. Jika Lembata memiliki GT monster paling hebat di Indonesia, tetapi populasinya tidak banyak. Pun jumlah spot di Lembata tidak berapa banyak. Alor juga demikian. Tetapi Sumba sangat lengkap dan luas! Jadi, jika ingin merasa lengkap sebagai pemancing popping dan jigging, jangan pernah abaikan Sumba.
Sumba Selatan: Santa Claus & Debut Batanta Popper di Sumba
Saya baru tiga kali ke Sumba. Di akhir 2009 bersama Bayu Noer. Akhir 2010 bersama Mas Dudit Widodo, Rudi Hadikesuma dan Cepy Yanwar. Dan terbaru adalah 24-29 November 2011 lalu dalam rangka pembuatan episode Mancing Mania special Natal 2011. Trip terbaru ini saya hanya datang berdua dengan Cepy Yanwar. Dan Sumba sekali lagi membuktikan dirinya sebagai popping ground terbaik yang dahsyat. Dalam trip terbaru ini kami disambut hangat oleh Om William, Om Sem, dan Fandy. Om William adalah pemancing senior Sumba (tepatnya Sumba barat) yang tinggal di Bali yang berjuluk “Raja Laut”-nya Sumba. Kisah ini dimulai di Jakarta. Suatu sore di Mampang saya mencetuskan ide kepada bos saya di kantor. Kenapa tidak kita mengunjungi Om Santa Claus Sumba untuk ditayankan di Mancing Mania pada Minggu, 25 Desember 2011? Dan ternyata langsung acc. Setelah memastikan Om William siap bergabung, kami pun langsung menyiapkan trip ke Sumba. Biasanya kami pergi bertiga, tetapi kali ini karena kondisinya mendesak dan jumlah kru yang berada di Jakarta terbatas, hanya saya dan Cepy Yanwar saja yang berangkat. Padahal posisi saya sebenarnya adalah reporter dan bukannya kameraman. Tetapi siapa takut? Toh hal seperti ini bukan sekali dua kali saya lakoni. Malah memperkaya diri kita dengan ilmu baru yang bermanfaat. Meski konsekuaensinya pasti akan super repot karena harusnya kami berangkat bertiga. Malah bagus untuk menempa diri. Sumba yang panas, keras, dan tugas yang harus dipikul sebaik mungkin. Tak banyak yang bisa menuntaskannya dengan baik.
Saya dan Cepy mendarat di Bandara Tambolaka, Sumba Barat sekitar pukul 12 siang. Panas yang luar biasa langsung membakar kami yang mengantuk (pesawat paling pagi dari Jakarta memaksa kami tidak tidur malam sebelum berangkat). Fandi, menantu Om William menjemput kami. Kami tiba di kediaman Om William di Waikabubak (ibukota Sumba Barat) 1.5 jam kemudian. Waikabubak adalah kota kecil yang panas, berdebu, dan sibuk. Benar-benar kota dengan cirri khas Sumba. Jika kita tak terbiasa dengan panas menyengat, pasti tidak akan nyaman. Apalagi bagi Anda yang tidak terbiasa dengan lalu-lalangnya orang-orang asli Sumba yang selalu membawa parang kemanapun mereka pergi. Tetapi kami telah terbiasa karena begitulah Sumba sebenarnya. Anda hanya harus menjadi diri sendiri dan tidak perlu mencampuri urusan orang lain maka semua akan baik-baik saja. Ada sesuatu yang genting sebenarnya saat kami tiba di Waikabubak. Saat kami hendak berangkat ke base camp di Teluk Aili, sekitar 3 jam ke arah selatan menggunakan, tiba-tiba semua toko di kota ini tutup. Ternyata ada pertarungan antara dua suku yang berseteru di dalam kota! Menurut Om William hal ini akan berlangsung panjang karena nyawa selalu akan dibalas nyawa. Tetapi Om William menenangkan kami dengan, mereka tidak akan menyentuh orang lain yang tidak ada urusan dengan masalah tersebut. Jadi ibaratnya meski kita melintas di antara mereka yang saling mengacungkan parang, karena kita bukan bagian dari dua kubu, maka kita akan baik-baik saja. Tetapi meski begitu saya tidak mau begitu. Karena saya jauh-jauh ke Sumba untuk ikan GT monster!
Kami akhirnya tiba di Teluk Aili sekitar pukul sembilan malam karena ada insiden di perjalanan. Untuk mencapai Teluk Aili kami menggunakan dua buah mobil yakni Daihatsu Rocky dan Toyota Hardtop. Hardtop berangkat di depan beberapa puluh menit dan baru Rocky. Medan menuju Teluk Aili memang berat. Satu jam terakhir kita benar-benarmelewati jalanan dalam hutan yang penuh turunan,tanjakan, dan kelokan tajam yang ekstrim. Nah ketika pas di tengah hutan ternyata ada t-rod nya Rocky yang lepas! Jadi kami terjebak ditengah hutan antara pukul 5 hingga 8 malam. Hardtop menjemput kami kembali sekitar pukul 7 malam karena khawatir dengan kami yang tidak sampai-sampai di basecamp. Namun kami tetap harus membetulkan dahulu t-rod Rocky yang istilah Jawa-nya mlese (meleset posisinya) itu baru kemudian beriringan menuju basecamp. Basecamp kami adalah sebuah rumah sederhana di tepi pantai. Beratap ilalang dan beralaskan papan. Tidak terlalu terawatt karena ini adalah “gubuk” yang dibangun Om William hanya untuk memancing. Di teluk besar ini hanya ada satu orang saja yang tinggal, yakni orang kepercayaan Om William bernama Eja. Eja mirip orang dari pedalaman benua Afrika yang panas itu. Tidak berbaju, tidak bersandal, kemana-mana membawa parang dan atau tombak. Jika melihatnya, kita seperti terlempar ke masa silam yang jauh. Yang pasti dia orang sederhana yang pemberani dan atau mungkin nekat. Hidup sendiri di teluk sunyi yang jauh dari peradaban ini. Hanya berteman anjing. Depan gubuknya lautan, belakang gubugnya adalah hutan. Dapat dihitung dengan jari tangan dalam setahun berapa orang yang mau bersusah-susah untuk mengunjunginya. Lokasi basecamp kami ini benar-benar di ujung dunia. Tidak ada apa-apa selain alam yang megah dan panas. Tidak ada sinyal hp, tidak ada tetangga, tidak ada toko makanan, dan sulit air tawar! Jadi selama 4 hari 3 malam kami disini, kami tidak mandi karena bekal air tawar yang kami bawa hanyalah air minum saja. Entah bagaimana Eja mandi. Mungkin dia berjalan beberapa kilometer ke dalam hutan, mungkin disana ada sumber air tawar. Bagi saya dilokasi seperti ini mandi menjadi tidak terlalu penting, jadi daripada berjalan kiloan meter demi mandi, lebih baik duduk menikmati pantai sambil merindukan pacar di Jakarta. Hehehe.
Pada akhir 2010 Tim Mancing Mania Trans|7 juga menjadikan teluk indah ini sebagai basecamp selama 4 hari. Inilah pertemuan kami untuk pertama kalinya konsep mancing bersama Santa Claus untuk ditayangkan setiap Natal datang berhasil diwujudkan. Sehingga untuk urusan tidak bisa mandi, nyamuk di waktu malam yang jumlahnya ribuan, panas yang “gila”, dan lain-lain di basecamp saya sudah terbiasa. Hanya saja pada trip ini tugas saya menjadi double karena selain menjadi reporter saya juga harus bertugas menjadi kameraman. Keesokan harinya kami bangun sepagi mungkin untuk kemudian naik ke kapal utama yang di jangkar agak di tengah. Kami harus naik sampan kecil dahulu. Pantai yang dangkal tidak mengijinkan kapal kayu kami merapat ke pantai. Kami lalu berangkat menuju spot-spot yang dulu pernah kami datangi dimana kami disambut “mesra” oleh ikan-ikan GT monster. Sumba Selatan menurut saya waktu itu sungguh luar biasa karena rate strike dan size GT yang kami dapatkan sungguh dahsyat. Akan tetapi pada trip kali ini kondisinya jauh berbeda. Kami tidak mendapatkan strike berarti dari ikan-ikan predator di sini. Selama dua hari popping dengan tiga pemancing, kami hanya menaikkan 5 ekor GT saja! Padahal di tahun 2010 tersebut, kami sampai malas lagi popping saking banyaknya sambaran. Memang, setahu saya usai trip pertama yang kemudian ditayangkan di Trans|7 tersebut tiba-tiba Sumba Selatan disorot oleh para pemancing popping dan membanjirlah popping ke tempat ini. Padahal dulunya perairan perbatasan Sumba Timur dan Sumba Barat ini tidak terlalu dilirik orang karena sulitnya medan. Jadi padatnya trip-trip popping tersebut, sedikit banyak mempengaruhi kondisi spot. Belum ditambah saat kami datang kemarin, laut terlalu flat dan arus bawah juga sangat lemah! Jadi klop sudah, boncoz sih tidak, tetapi hasilnya tidak seperti kami bayangkan sebelumnya.
Di Sumba Selatan kemarin, GT paling besar didapatkan oleh Fandy, beratnya sekitar 25 kg saja! Dan yang menggembirakan saya dalah, semua ikan GT yang berhasil kami naikkan semuanya memakai popper Batanta 140 gram black buatan Hime Lure. Padahal dulu, “peluru” paling mematikan untuk dipakai popping di Sumba adalah popper Halco. Tetapi dalam trip ini, halco benar-benar tidak disambar sama sekali. Enak sih dilempar dan dimainkan. Ringan namun bisa dilempar jauh, splash-nya pun meski tanpa sentakan keras pun bisa memercik besar dan berbunyi keras. Tetapi saat kami memakai Halco ini, kami benar-benar nol strike dan baru strike saat para pemancing akhirnya mau mencoba popper hitam jelek yang say abawa dari Jakarta, yakni Batanta 140 gram black. Saya tidak arogan, ini adalah kesaksian. Di sebuah batu mandi, yang padahal telah satu setengah hari kami gempur dengan menggunakan Halco, sama sekali tidak ada sambaran, namun pada setengah hari terakhir, saat kami menggunakan popper Batanta 140 gram black, langsung 3 ekor GT landed! Mungkin teori bahwa ikan juga memiliki “ingatan” itu benar, itulah kenapa sebabnya popper Halco disini tak disambar sama sekali. Karena pada puluhan (atau ratusan?) trip oleh pemancing lain pada tahun-yahun sebelumnya, semuanya memakai popper-popper Halco karena (sorry) harganya ekonomis dan sangat bagus baik tampilan dan action-nya. Di spot berikutnya kami berhasil landed lagi dua ekor. Namun meski peruntungan kami pada sisa hari ketiga tersebut membaik, kami keburu patah arang dan memutuskan untuk kembali ke kota Waikabubak esok hari baru kemudian bergeser ke Sumba Timur pada hari kelima untuk menjajal sebuah spot yang konon baru ditemukan oleh salah satu pemancing yang merupakan keluarga Om William, yakni Om Sem.
Reef Sem: Berani lempar, Berani Bertanggung Jawab
Kami tiba di spot baru temuan Om Sem siang hari saat matahari Sumba sedang panas-panasnya. Kami menumpang di rumah warga kampung yang letaknya tak jauh dari spot. Laut persis di hadapan kami. Kapal Raja Laut 2 milik Om William sudah sampai sehari sebelumnya dan tampak ditambat dengan sangat kuat karena angin bertiup kencang. Bapak Hans yang merupakan “guide” dadakan yang akan ikut memandu kami menenangkan kami bahwa esok pagi angin akan reda, hanya sore hingga malam saja angin di spot ini bertiup kencang. Semoga batin saya. Karena jika ternyata esok angin juga meledak lagi, maka kami akan tamat, maksudnya kami akan tidak bisa melaut dan episode special Natal untuk Mancing Mania Trans|7 akan semakin berat untuk diselesaikan mengingat waktu yang terbatas. Kampung tempat kami bermalam adalah kampung nelayan yang tidak teratur tata letaknya. Rumah tersebar dimanapun di antara pepohonan dan jalan kampung yang ada sebenarnya adalah sela-sela pepohonan yang terbuka dan berpasir. Yang harus disyukuri adalah kampung ini memiliki air tawar dan juga ada sinyal hp! Jadi pacar di kota tak perlu sewot lagi karena kita bisa mengirim kabar. Meski terkadang sinyal juga hilang, terbang bersama angin. Namun udara tetap panas dan gerah! Sehingga kami sulit tidur, apalagi kepiting-kepiting pantai sebesar kepalan tangan orang dewasa suka nimbrung dengan kita. Masuk ke dalam rumah tanpa permisi dank arena kita tidur di lantai maka kondisi kita menjadi terancam. Sebenarnya hal itu bisa diatasi dengan menutup pintu. Tetapi jika pintu rumah ditutup, kita seperti tidur di dalam oven. Sosis bisa matang bung! Wkwkwkwk!
Pagi datang dengan cepat. Panas yang sangat menyengat kulit kami yang “lembut”. Kami sarapan dengan cepat dan langsung kabur ke laut menjemput nasib kami hari ini. Spot temuan Om Sem adalah reef-reef dangkal yang tidak jauh dari pantai. Mungkin jaraknya hanya 1 mil saja dari daratan. Dan konon saat ini, reef ini adalah yang terbaik di Sumba saking banyaknya ikan predator terutama GT. Tak banyak spot seperti ini; dekat dengan daratan, dekat dengan kampung nelayan, tetapi GT nya berlimpah. Tetapi kami masih harus membuktikannya hari ini apakah hal tersebut benar adanya. Raja Laut 2 yang didorong dengan mesin 50 pk x 2 dengan cepat mengantarkan kami tiba di lokasi. Piranti popping kelas PE 8 dan PE 10 kami juga telah siap di rod holder. Popper-popper kini semu adiganti dengan Batanta 140 gram Black. “Si hitam saja yang dipasang,” kata Om William. Meski sebenarnya popper 140 gram ini kurang cocok bagi Om William, Fandy dan Om Sem karena berat. Mereka biasanya hanya memakai popper 80 gram. Tetapi sebelum kami menyapa GT di spot ini kami harus berunding dahulu siapa yang melempar duluan dan siapa yang harus bersabar menjadi abk lebih dahulu. Kapal tidak mengijinkan empat orang popping bersamaan, hanya untuk dua angler popping saja, maksimal 3 popping berbarengan.
Cepy dan Fandy menjadi pemancing pertama yang melempar. Fandi di haluan dan Cepy di buritan. Batanta 140 gram pun langsung terbang jauh dan mendarat dengan gagah di kepala arus reef. Tak perlu waktu lama memainkan popper, sekali dua kali sentakan langsung “buuuuuum!”, double strike pula. Ini dia yang kami cari, sekali roll gambar semua bisa terekam. Sejak melempar, memainkan umpan, sambaran, dan fight! Tak lama kemudian dua ekor GT dengan berat antara 15-25 kg pun kami naikkan. Cepy masih belum puas. Dia kembali melempar karena strike pertama baginya belum begitu menguras tenaga. Kembali strike! “Yaaaah, kecil!” teriaknya karena tenaga ikan yang ringan, padahal sebenarnya karena GT sedang berenang ke arah kapal. Tepat saat ikan GT berbalik arah menjauhi kapal, maka baru terasa bahwa ini adalah ikan besar. Om Sem sampai ngakak melihat polah Cepy yang kemudian menjadi kewalahan meladeni perlawanan ikan. Sebagai pemancing muda tenaga Cepy sebenarnya sangat prima, namun dia gemar sekali memakai rod medium action dengan lifting power yang sedang, sehingga saat kena sambaran ikan besar, maka pertarungan menjadi lama. Ini akan berbeda misalnya saat itu dia memilih memakai joran popping kaku yang juga dia bawa. Meski ngos-ngos an, akhirnya GT ketiga kami naikkan. Size nya sangat menarik, up 25 kg. Kembali Batanta popper 140 gram black menunjukkan dirinya sebagai yang terbaik. Saya katakan seperti ini karena saat kemudian Fandy mengganti popper dengan halco, dia tidak juga disambar dan baru disambar lagi saat dia mengganti popper dengan Batanta black! Om Sem sampai terheran-heran. Padahal awalnya dia meragukan kemampuan popper ini. Saya yang senyum-senyum senang dibalik kamera karena “peluru” saya ini tidak memalukan sama sekali. Strike ke-4 giliran Om Sem yang tampil. Dia berdiri di haluan dan juga tampak kewalahan dengan perlawanan ikan. Maklum dia lebih banyak trolling dibandingkan popping. Makanya Om Sem, popping dong jangan trolling melulu. Hehehehe. GT ke-4 akhirnya berhasil dinaikkan oleh Om Sem.
Situasi pesta strike ini terus berlangsung dan semua angler ikut kebagian merasakan fight. Om William sang Santa Claus pun ikut popping dan strike. Paling banyak strike adalah Cepy karena dia adalah “seleb” yang memang harus banyak-banyak strike. Oleh karena spot ini ditemukan oleh Om Sem, maka kami kemudian menamainya dengan Serra Sem (Reef Sem) untuk mengabadikan namanya. Akan tetapi meski semua angler telah pesta strike dari ikan-ikan GT dengan size yang lumayan, jujur, tidak ada yang berukuran monster hingga up 30 kg sehingga kami belum benar-benar terpuaskan. Masalahnya tenaga para pemancing telah terkuras akibat memakai popper besar dan terus fight. Ditambah dengan matahari Sumba yang jumlahnya ada lima, maka situasinya menjadi tidak mudah. Hanya ada satu pemancing tersisa yang belum strike, yakni saya yang berhari-hari setia di belakang kamera namun dengan jelas muka telah begitu memelas ingin strike meski hanya satu ekor GT saja. Saya sebenarnya lebih senang semua pemancing yang ikut strike sebanyak mungkin sehingga gambar cukup dan syukur-syukur ada yang monster untuk closing nantinya. Tetapi ada saat dimana saat itu kami harus makan siang di atas kapal sehingga kamera tidak perlu on. Saya permisi untuk popping di depan sendirian sambil menunggu para angler selesai mengisi “bensin” masing-masing. Saya percaya bahwa spot ini tidak mungkin tidak dihuni oleh GT monster.
Pada lemparan pertama saya menggunakan rod Ripple Fisher Fanta Stick yang dipasangi dengan Batanta 120 gram pink. Tetapi memang rod kaku ini tidak nyaman untuk saya (atau memang rod ini lebih cocok untuk bule-bule berbadan besar itu?), terlalu kaku, maka saya kembali menaruhnya dan berganti dengan rod lain yang lebih lentur. Nah di rod yang berikut ini sejak tadi telah dipasangi dengan Batanta 140 gram black. One cast berikutnya saya arahnya ke depan kapal. Namun tidak ada respon. Ketiga kalinya saya melemparkan ke kiri jauh sambil berucap Deo Gratias. Deo Gratias adalah bahasa Latin yang artinya Terimakasih Tuhan, maksudnya saya berterimakasih karena trip ini akhirnya sukses dan meski misalnya saya juga tidak dikasih strike, saya tetap berterimakasih kepada Tuhan karena episode Mancing Mania Trans|7 untuk spesial Natal 2011 materinya telah lebih dari cukup untuk dibawa pulang ke Jakarta. Selain itu karena saya sedang mengingat seseorang tercinta yang memiliki tattoo tulisan latin ini. Orang terbaik yang selalu memberi saya semangat dan teladan untuk terus tersenyum menghadapi jalan hidup yang berliku. Jika pada lemparan ketiga ini tidak ada sambaran, bisa jadi kredibilita saya sebagai pemancing popping mungkin akan diragukan, setidaknya pasti dicengin oleh pemancing lain dan saya bisa jadi menjadi keki dan akhirnya benar-benar tidak akan strike. Tetapi dalam hati saya tidak percaya jika disini tidak ada GT monsternya. Maka sambil sedikit melamun, popper terus saya sentak dengan sentakan keras sehingga splash yang keluar begitu besar dan suara popper pun keras!
Tampaknya tidak akan ada sambaran. Satu sentakan terakhir sebelum popper saya naikkan kembali untuk dilempar saya tetap setia megawasi dan memainkan popper dengan yakin. Saya sangat terkejut saat popper hendak saya angkat ke kapal tiba-tiba dari bawah muncul sesosok GT besar yang tanpa senyum dan permisi langsung menghantam popper dan kembali berenang dengan cepat ke dalam air. Posisi popper saat itu sekitar dua meter saja dari sisi kapal. Ini situasi strike yang tidak saya harapkan karena strike di dekat kapal pinggang kita langsung “kena”. Berbeda sekali dengan strike di kejauhan dimana kita memiliki kesampatan memainkan ikan lebih lama sehingga kita tidak terlalu tersiksa dengan beban ikan. GT terus menukik ke dalam dan membawa lari tali dengan perkasa. Rod medium action dari merk kelas menangah ini sampai lurus rus! Tidak bisa diungkit sama sekali. Benar-benar menyiksa dan menjadi bahan lelucon yang meriah di buritan. Saya tidak melihat, tetapi Om Sem jelas sekali ngakak saking senangnya melihat saya melongo dan tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi pemberontakan ikan. Setelah sekitar 3 menit, GT tampaknya mulai mengendurkan larinya. Dengan hati-hati butt rod saya taruh di gimbal dan mulai untuk fight. Masalah berikut adalah lifting power rod yang sialan. Memang, jika bermain di sarang monster tidak boleh main-main dengan rod gak jelas! Lifting power yang parah membuat kita sangat tersiksa karena sulit memompa joran dan meunggulung tali. Dia melengkung indah memang, tetapi ya terus begitu saja sehingga hanya mau bergerak jika badan kita ikut mengayun agar rod bisa dipompa. Masalahnya adalah, pinggang kita tidak bsia bertahan selama itu. Jadi ada beberapa momen saya melepas rod dari gimpal dan hanya menjepitnya saja di sikut saya. Ada sekitar 20 menit hal ini terjadi sebelum akhirnya GT monster Reef Sem ini bisa diakhiri perlawanannya. Pertarungan paling melelahkan dengan ikan GT yang pernah saya hadapi! Kami tidak membawa timbangan untuk mengukur berat ikan ini, tetapi kami menaksir up 35 kg tetapi tidak sampai 40 kg! Menurut Om William ini adalah ikan rekor paling besar di Reef Sem dan belum terpecahkan hingga saat tulisan ini dibuat.
GT monster yang saya tarik itulah yang kemudian menjadi penutup trip. Cepy yang harusnya menjadi host sejak awal strike terpaksa merekam seluruh gambar karena tak bisa dipungkiri ini adalah ikan GT monster yang memang kami cari-cari dan emmang harus direkam. Kami semua tersenyum karena ini akan menjadi episode yang sangat sensasional. Om William, Om Sem, Fandy, Cepy saya lihat tampak gembira. Pukul tiga sore saat angin mulai berhembus kencang kami memutuskan untuk pulang ke kampung. Awan tebal tampak berkumpul di langit namun matahari senja terlihat berusaha keras menembus kepekatannya. Terlihat sangat indah namun mematikan jika sudah “meledak” menjadi hujan nanti. Dalam hati saya berucap “Deo Gratias” lagi dan segera memasukkan kamera ke dalam dry bag agar aman dari cipratan air laut. Salam strike! God bless you all!
* Foto courtesy of Michael Risdianto, Cepy Yanwar & Fandy. Don’t use or reproduce (especially for commercial purposes) without our permission. Especially if you are tackle shop, please don’t only make money from our pics without respect!!!
* Keterangan foto: Kata Om William sang “Raja Laut” Sumba GT monster ini beratnya antara 35-40 kg // Saya sebenarnya bertugas sebagai kameraman dan reporter // Pas difoto dengan ikan besar eh malah mata merem // Sapi-sapi Sumba menghalangi perjalanan. Permisi Om, kami numpang lewat. :D :D :D // Hardtop & Rocky, soulmate sejati selama di Sumba // The long and winding road // Sunset saat menuju Teluk Aili // GR kecil di Sumba Selatan. Heran padahal Sumba Selatan harusnya spot “gila” // Sunses saat hendak kembali ke basecamp di Teluk Aili // ABK pun memakai topi Santa Claus // Bersama Om William aka Santa Claus Pulau Sumba // Cepy hooked up GT pertama di Sumba Selatan // Fandy dengan GT monster di Serra Sem // Om William juga hooked up GT monster di Serra Sem // Hooked on Batanta 140 gram black // The Team! Saya, Cepy, Om William dan Om Sem. Photo by Fandy // Cepy dan Batanta 140 gram black // Badai siap meledak di Serra Sem // Popper-popper buatan Hime Lure yang telah dihantam GT berkali-kali // Cepy dengan GT hitam di Serra Sem // Saya fight // Cepy dan GT lain di Serra Sem // Saya menggigit joran dan terus diketawain oleh Om Sem //
Tulisan ini bisa jadi akan menjadi sangat personal. Pulau Sumba, NTT adalah salah satu popping ground terbaik di Indonesia, dan bahkan dunia. Hampir tidak ada pemancing popping yang sengaja melewatkan Pulau Sumba dalam riwayat dan rencana trip popping mereka. Jika ada pemancing popping yang belum menginjak tanah Sumba, itu hanya masalah waktu, meski berat dan susah, mereka pasti akan terus mencoba menembus perairan Sumba untuk melemparkan popper terbaik mereka dan mengeluarkan tackle terbaik mereka di sini. Sumba adalah surga popping yang menyediakan pertarungan terbaik bagi siapa saja yang berkesempatan popping di pulau para umbu ini. Menurut saya, di Indonesia ada tiga pulau yang bersaing ketat sebagai yang terbaik sebagai destinasi popping di Indonesia; Alor, Lembata, dan Sumba. Semuanya di propinsi Nusa Tenggara Timur. Tetapi pamor Alor sebagai popping ground tampaknya tidak berumur panjang. Pulau ini kondisi drop off nya terlalu dalam tampaknya lebih menjanjikan sebagai jigging ground, meski di beberapa titik merupakan spot popping yang baik. Dan nyatanya memang kebanyakan trip kesini main technique yang diaplikasikan adalah jigging dan bukannya popping. Saya mencatat, salah satu popping trip paling sukses ke pulau ini dilakukan oleh Tim Mancing Mania Trans7 bersama sekelompok pemancing Jakarta – Jepang sekitar pertengahan 2010.
Lembata, pernah membuktikan diri sebagai “markas”-nya GT monster di Indonesia. Pulau tempat orang-orang Lamalera tinggal dan menangkap paus dengan tombak ini boleh berbangga karena hampir tidak memiliki ikan GT berukuran kecil. Akan tetapi kharisma Lembata sebagai sarangnya GT monster ini saat ini mulai meredup. Lembata meraih kepopuleran sebagai popping ground terbaik diam-diam. Tidak banyak pemancing yang tahu dan mampu menembus ‘kekerasan’ alam di pulau ini. Namun pulau tandus yang dipopulerkan oleh dokumenter handal Indonesia, Mas Dudit Widodo ini akhir-akhir ini begitu bising oleh trip-trip mancing berskala besar dari pemancing-pemancing popping papan atas Indonesia dan bahkan para pemancing Jepang (yang masuk lewat Alor). Ada khabar, bahwa konon kini GT monster telah susah didapatkan di Lembata. Padahal dulu, setiap strike ikan GT di Lembata, setidaknya pasti beratnya up 25 kg! Trip terakhir saya ke pulau ini bersama Mas Dudit Widodo dan Rudi Hadikesuma, kalau tidak salah November 2010, kami mendapatkan banyak ikan GT dengan ukuran antara 25 hingga GT 42 kg! Lembata adalah pulau paling mempesona di Indonesia bagi siapa saja yang ingin mendapatkan GT monster yang bisa memecahkan rekor nasional, rekor dunia sekalipun. Tak heran pulau tandus ini banyak diincar para pemancing popping. Tak banyak yang bisa menembus “ketebalan” benteng pulau ini. Akan tetapi beberapa pemancing top Indonesia dan Jepang, telah melontarkan popper-poppernya di sini. Sehingga meski di forum-forum, atau website sportfishing dunia pulau ini tampak sepi-sepi saja dan diacuhkan, sebenarnya kenyataannya tidak demikian. Karena kebanyakan datang ke sini secara diam-diam dan sengaja tidak mempublikasikannya.
Kembali ke Sumba. Dibandingkan dengan Lembata dan Alor, Pulau Sumba lebih terbuka. Semua orang bisa masuk lewat “pintu” manapun. Sumba yang meski panas, memiliki keterbukaan hati yang khas untuk menerima siapapun datang. Tentunya laku dan kesantunan tertentu diperlukan agar kita bisa mengakses spot-spot popping terbaik di pulau ini. Satu hal yang pasti meski menurut saya Sumba lebih cosmopolitan (terbuka) dibandingkan Alor dan Lembata, Sumba ternyata memiliki ketangguhan yang lebih. Jadi meskipun sudah tak terhitung banyaknya popping trip ke sini, baik itu trip kecil maupun trip-trip berskala besar dari dalam dan para pemancing luar negeri, Sumba tetap gagah hingga hari ini. Sekali lagi, hingga hari ini. Pertanyaannya. Mampukah kita sebagai pemancing, demi kesuksesan trip kita, mampu menyesuaikan diri dengan kekhasan Sumba. Maksud saya begini. Ya, Sumba bisa Anda akses langsung dari sisi laut yang manapun. Ibarat kata, Anda datang tanpa ba bi bu, cukup dengan fishing fleet yang mendukung, Anda sudah akan bisa mengeksplorasi Sumba. Tetapi menurut saya itu bukan yang terbaik. Kecuali Anda adalah orangorang soliter yang memang tidak bisa hidup di antara banyak orang. Salah satu “kunci” terbaik mengakses Sumba adalah, Anda diterima menjadi sahabat para “raja laut” Sumba. Yang meski tampak keras itu, sebenarnya adalah pemancing-pemancing yang berpengalaman dan selalu mau untuk berbagi. Selain cara yang khas yang dilakukan orang-orang Sumba dalam menjaga spotnya seperti ilustrasi di atas, tak dapat dipungkiri Sumba memang memiliki potensi sportfishing yang luar biasa mengaggumkan. Sisi selatan Sumba adalah popping ground yang dahsyat. Dari perbatasan Sumba Barat hingga ke Waingapu. Ratusan kilometer tebing terjal, batu mandi, dan drop off membentang. Sisi utara Sumba lain lagi, disini adalah jigging spot yang hingga hari ini masih menyimpan potensi yang disegani. Kondisi geografis yang menantang, dan musim angin telah menjaga Sumba tetap gagah hingga hari ini dan meneguhkan dirinya sebagai sportfhsing ground paling dahsyat di Indonesia. Saya memiliki ilustrasi pribadi yang kebenarannya boleh Anda bantah. Jika Lembata memiliki GT monster paling hebat di Indonesia, tetapi populasinya tidak banyak. Pun jumlah spot di Lembata tidak berapa banyak. Alor juga demikian. Tetapi Sumba sangat lengkap dan luas! Jadi, jika ingin merasa lengkap sebagai pemancing popping dan jigging, jangan pernah abaikan Sumba.
Sumba Selatan: Santa Claus & Debut Batanta Popper di Sumba
Saya baru tiga kali ke Sumba. Di akhir 2009 bersama Bayu Noer. Akhir 2010 bersama Mas Dudit Widodo, Rudi Hadikesuma dan Cepy Yanwar. Dan terbaru adalah 24-29 November 2011 lalu dalam rangka pembuatan episode Mancing Mania special Natal 2011. Trip terbaru ini saya hanya datang berdua dengan Cepy Yanwar. Dan Sumba sekali lagi membuktikan dirinya sebagai popping ground terbaik yang dahsyat. Dalam trip terbaru ini kami disambut hangat oleh Om William, Om Sem, dan Fandy. Om William adalah pemancing senior Sumba (tepatnya Sumba barat) yang tinggal di Bali yang berjuluk “Raja Laut”-nya Sumba. Kisah ini dimulai di Jakarta. Suatu sore di Mampang saya mencetuskan ide kepada bos saya di kantor. Kenapa tidak kita mengunjungi Om Santa Claus Sumba untuk ditayankan di Mancing Mania pada Minggu, 25 Desember 2011? Dan ternyata langsung acc. Setelah memastikan Om William siap bergabung, kami pun langsung menyiapkan trip ke Sumba. Biasanya kami pergi bertiga, tetapi kali ini karena kondisinya mendesak dan jumlah kru yang berada di Jakarta terbatas, hanya saya dan Cepy Yanwar saja yang berangkat. Padahal posisi saya sebenarnya adalah reporter dan bukannya kameraman. Tetapi siapa takut? Toh hal seperti ini bukan sekali dua kali saya lakoni. Malah memperkaya diri kita dengan ilmu baru yang bermanfaat. Meski konsekuaensinya pasti akan super repot karena harusnya kami berangkat bertiga. Malah bagus untuk menempa diri. Sumba yang panas, keras, dan tugas yang harus dipikul sebaik mungkin. Tak banyak yang bisa menuntaskannya dengan baik.
Saya dan Cepy mendarat di Bandara Tambolaka, Sumba Barat sekitar pukul 12 siang. Panas yang luar biasa langsung membakar kami yang mengantuk (pesawat paling pagi dari Jakarta memaksa kami tidak tidur malam sebelum berangkat). Fandi, menantu Om William menjemput kami. Kami tiba di kediaman Om William di Waikabubak (ibukota Sumba Barat) 1.5 jam kemudian. Waikabubak adalah kota kecil yang panas, berdebu, dan sibuk. Benar-benar kota dengan cirri khas Sumba. Jika kita tak terbiasa dengan panas menyengat, pasti tidak akan nyaman. Apalagi bagi Anda yang tidak terbiasa dengan lalu-lalangnya orang-orang asli Sumba yang selalu membawa parang kemanapun mereka pergi. Tetapi kami telah terbiasa karena begitulah Sumba sebenarnya. Anda hanya harus menjadi diri sendiri dan tidak perlu mencampuri urusan orang lain maka semua akan baik-baik saja. Ada sesuatu yang genting sebenarnya saat kami tiba di Waikabubak. Saat kami hendak berangkat ke base camp di Teluk Aili, sekitar 3 jam ke arah selatan menggunakan, tiba-tiba semua toko di kota ini tutup. Ternyata ada pertarungan antara dua suku yang berseteru di dalam kota! Menurut Om William hal ini akan berlangsung panjang karena nyawa selalu akan dibalas nyawa. Tetapi Om William menenangkan kami dengan, mereka tidak akan menyentuh orang lain yang tidak ada urusan dengan masalah tersebut. Jadi ibaratnya meski kita melintas di antara mereka yang saling mengacungkan parang, karena kita bukan bagian dari dua kubu, maka kita akan baik-baik saja. Tetapi meski begitu saya tidak mau begitu. Karena saya jauh-jauh ke Sumba untuk ikan GT monster!
Kami akhirnya tiba di Teluk Aili sekitar pukul sembilan malam karena ada insiden di perjalanan. Untuk mencapai Teluk Aili kami menggunakan dua buah mobil yakni Daihatsu Rocky dan Toyota Hardtop. Hardtop berangkat di depan beberapa puluh menit dan baru Rocky. Medan menuju Teluk Aili memang berat. Satu jam terakhir kita benar-benarmelewati jalanan dalam hutan yang penuh turunan,tanjakan, dan kelokan tajam yang ekstrim. Nah ketika pas di tengah hutan ternyata ada t-rod nya Rocky yang lepas! Jadi kami terjebak ditengah hutan antara pukul 5 hingga 8 malam. Hardtop menjemput kami kembali sekitar pukul 7 malam karena khawatir dengan kami yang tidak sampai-sampai di basecamp. Namun kami tetap harus membetulkan dahulu t-rod Rocky yang istilah Jawa-nya mlese (meleset posisinya) itu baru kemudian beriringan menuju basecamp. Basecamp kami adalah sebuah rumah sederhana di tepi pantai. Beratap ilalang dan beralaskan papan. Tidak terlalu terawatt karena ini adalah “gubuk” yang dibangun Om William hanya untuk memancing. Di teluk besar ini hanya ada satu orang saja yang tinggal, yakni orang kepercayaan Om William bernama Eja. Eja mirip orang dari pedalaman benua Afrika yang panas itu. Tidak berbaju, tidak bersandal, kemana-mana membawa parang dan atau tombak. Jika melihatnya, kita seperti terlempar ke masa silam yang jauh. Yang pasti dia orang sederhana yang pemberani dan atau mungkin nekat. Hidup sendiri di teluk sunyi yang jauh dari peradaban ini. Hanya berteman anjing. Depan gubuknya lautan, belakang gubugnya adalah hutan. Dapat dihitung dengan jari tangan dalam setahun berapa orang yang mau bersusah-susah untuk mengunjunginya. Lokasi basecamp kami ini benar-benar di ujung dunia. Tidak ada apa-apa selain alam yang megah dan panas. Tidak ada sinyal hp, tidak ada tetangga, tidak ada toko makanan, dan sulit air tawar! Jadi selama 4 hari 3 malam kami disini, kami tidak mandi karena bekal air tawar yang kami bawa hanyalah air minum saja. Entah bagaimana Eja mandi. Mungkin dia berjalan beberapa kilometer ke dalam hutan, mungkin disana ada sumber air tawar. Bagi saya dilokasi seperti ini mandi menjadi tidak terlalu penting, jadi daripada berjalan kiloan meter demi mandi, lebih baik duduk menikmati pantai sambil merindukan pacar di Jakarta. Hehehe.
Pada akhir 2010 Tim Mancing Mania Trans|7 juga menjadikan teluk indah ini sebagai basecamp selama 4 hari. Inilah pertemuan kami untuk pertama kalinya konsep mancing bersama Santa Claus untuk ditayangkan setiap Natal datang berhasil diwujudkan. Sehingga untuk urusan tidak bisa mandi, nyamuk di waktu malam yang jumlahnya ribuan, panas yang “gila”, dan lain-lain di basecamp saya sudah terbiasa. Hanya saja pada trip ini tugas saya menjadi double karena selain menjadi reporter saya juga harus bertugas menjadi kameraman. Keesokan harinya kami bangun sepagi mungkin untuk kemudian naik ke kapal utama yang di jangkar agak di tengah. Kami harus naik sampan kecil dahulu. Pantai yang dangkal tidak mengijinkan kapal kayu kami merapat ke pantai. Kami lalu berangkat menuju spot-spot yang dulu pernah kami datangi dimana kami disambut “mesra” oleh ikan-ikan GT monster. Sumba Selatan menurut saya waktu itu sungguh luar biasa karena rate strike dan size GT yang kami dapatkan sungguh dahsyat. Akan tetapi pada trip kali ini kondisinya jauh berbeda. Kami tidak mendapatkan strike berarti dari ikan-ikan predator di sini. Selama dua hari popping dengan tiga pemancing, kami hanya menaikkan 5 ekor GT saja! Padahal di tahun 2010 tersebut, kami sampai malas lagi popping saking banyaknya sambaran. Memang, setahu saya usai trip pertama yang kemudian ditayangkan di Trans|7 tersebut tiba-tiba Sumba Selatan disorot oleh para pemancing popping dan membanjirlah popping ke tempat ini. Padahal dulunya perairan perbatasan Sumba Timur dan Sumba Barat ini tidak terlalu dilirik orang karena sulitnya medan. Jadi padatnya trip-trip popping tersebut, sedikit banyak mempengaruhi kondisi spot. Belum ditambah saat kami datang kemarin, laut terlalu flat dan arus bawah juga sangat lemah! Jadi klop sudah, boncoz sih tidak, tetapi hasilnya tidak seperti kami bayangkan sebelumnya.
Di Sumba Selatan kemarin, GT paling besar didapatkan oleh Fandy, beratnya sekitar 25 kg saja! Dan yang menggembirakan saya dalah, semua ikan GT yang berhasil kami naikkan semuanya memakai popper Batanta 140 gram black buatan Hime Lure. Padahal dulu, “peluru” paling mematikan untuk dipakai popping di Sumba adalah popper Halco. Tetapi dalam trip ini, halco benar-benar tidak disambar sama sekali. Enak sih dilempar dan dimainkan. Ringan namun bisa dilempar jauh, splash-nya pun meski tanpa sentakan keras pun bisa memercik besar dan berbunyi keras. Tetapi saat kami memakai Halco ini, kami benar-benar nol strike dan baru strike saat para pemancing akhirnya mau mencoba popper hitam jelek yang say abawa dari Jakarta, yakni Batanta 140 gram black. Saya tidak arogan, ini adalah kesaksian. Di sebuah batu mandi, yang padahal telah satu setengah hari kami gempur dengan menggunakan Halco, sama sekali tidak ada sambaran, namun pada setengah hari terakhir, saat kami menggunakan popper Batanta 140 gram black, langsung 3 ekor GT landed! Mungkin teori bahwa ikan juga memiliki “ingatan” itu benar, itulah kenapa sebabnya popper Halco disini tak disambar sama sekali. Karena pada puluhan (atau ratusan?) trip oleh pemancing lain pada tahun-yahun sebelumnya, semuanya memakai popper-popper Halco karena (sorry) harganya ekonomis dan sangat bagus baik tampilan dan action-nya. Di spot berikutnya kami berhasil landed lagi dua ekor. Namun meski peruntungan kami pada sisa hari ketiga tersebut membaik, kami keburu patah arang dan memutuskan untuk kembali ke kota Waikabubak esok hari baru kemudian bergeser ke Sumba Timur pada hari kelima untuk menjajal sebuah spot yang konon baru ditemukan oleh salah satu pemancing yang merupakan keluarga Om William, yakni Om Sem.
Reef Sem: Berani lempar, Berani Bertanggung Jawab
Kami tiba di spot baru temuan Om Sem siang hari saat matahari Sumba sedang panas-panasnya. Kami menumpang di rumah warga kampung yang letaknya tak jauh dari spot. Laut persis di hadapan kami. Kapal Raja Laut 2 milik Om William sudah sampai sehari sebelumnya dan tampak ditambat dengan sangat kuat karena angin bertiup kencang. Bapak Hans yang merupakan “guide” dadakan yang akan ikut memandu kami menenangkan kami bahwa esok pagi angin akan reda, hanya sore hingga malam saja angin di spot ini bertiup kencang. Semoga batin saya. Karena jika ternyata esok angin juga meledak lagi, maka kami akan tamat, maksudnya kami akan tidak bisa melaut dan episode special Natal untuk Mancing Mania Trans|7 akan semakin berat untuk diselesaikan mengingat waktu yang terbatas. Kampung tempat kami bermalam adalah kampung nelayan yang tidak teratur tata letaknya. Rumah tersebar dimanapun di antara pepohonan dan jalan kampung yang ada sebenarnya adalah sela-sela pepohonan yang terbuka dan berpasir. Yang harus disyukuri adalah kampung ini memiliki air tawar dan juga ada sinyal hp! Jadi pacar di kota tak perlu sewot lagi karena kita bisa mengirim kabar. Meski terkadang sinyal juga hilang, terbang bersama angin. Namun udara tetap panas dan gerah! Sehingga kami sulit tidur, apalagi kepiting-kepiting pantai sebesar kepalan tangan orang dewasa suka nimbrung dengan kita. Masuk ke dalam rumah tanpa permisi dank arena kita tidur di lantai maka kondisi kita menjadi terancam. Sebenarnya hal itu bisa diatasi dengan menutup pintu. Tetapi jika pintu rumah ditutup, kita seperti tidur di dalam oven. Sosis bisa matang bung! Wkwkwkwk!
Pagi datang dengan cepat. Panas yang sangat menyengat kulit kami yang “lembut”. Kami sarapan dengan cepat dan langsung kabur ke laut menjemput nasib kami hari ini. Spot temuan Om Sem adalah reef-reef dangkal yang tidak jauh dari pantai. Mungkin jaraknya hanya 1 mil saja dari daratan. Dan konon saat ini, reef ini adalah yang terbaik di Sumba saking banyaknya ikan predator terutama GT. Tak banyak spot seperti ini; dekat dengan daratan, dekat dengan kampung nelayan, tetapi GT nya berlimpah. Tetapi kami masih harus membuktikannya hari ini apakah hal tersebut benar adanya. Raja Laut 2 yang didorong dengan mesin 50 pk x 2 dengan cepat mengantarkan kami tiba di lokasi. Piranti popping kelas PE 8 dan PE 10 kami juga telah siap di rod holder. Popper-popper kini semu adiganti dengan Batanta 140 gram Black. “Si hitam saja yang dipasang,” kata Om William. Meski sebenarnya popper 140 gram ini kurang cocok bagi Om William, Fandy dan Om Sem karena berat. Mereka biasanya hanya memakai popper 80 gram. Tetapi sebelum kami menyapa GT di spot ini kami harus berunding dahulu siapa yang melempar duluan dan siapa yang harus bersabar menjadi abk lebih dahulu. Kapal tidak mengijinkan empat orang popping bersamaan, hanya untuk dua angler popping saja, maksimal 3 popping berbarengan.
Cepy dan Fandy menjadi pemancing pertama yang melempar. Fandi di haluan dan Cepy di buritan. Batanta 140 gram pun langsung terbang jauh dan mendarat dengan gagah di kepala arus reef. Tak perlu waktu lama memainkan popper, sekali dua kali sentakan langsung “buuuuuum!”, double strike pula. Ini dia yang kami cari, sekali roll gambar semua bisa terekam. Sejak melempar, memainkan umpan, sambaran, dan fight! Tak lama kemudian dua ekor GT dengan berat antara 15-25 kg pun kami naikkan. Cepy masih belum puas. Dia kembali melempar karena strike pertama baginya belum begitu menguras tenaga. Kembali strike! “Yaaaah, kecil!” teriaknya karena tenaga ikan yang ringan, padahal sebenarnya karena GT sedang berenang ke arah kapal. Tepat saat ikan GT berbalik arah menjauhi kapal, maka baru terasa bahwa ini adalah ikan besar. Om Sem sampai ngakak melihat polah Cepy yang kemudian menjadi kewalahan meladeni perlawanan ikan. Sebagai pemancing muda tenaga Cepy sebenarnya sangat prima, namun dia gemar sekali memakai rod medium action dengan lifting power yang sedang, sehingga saat kena sambaran ikan besar, maka pertarungan menjadi lama. Ini akan berbeda misalnya saat itu dia memilih memakai joran popping kaku yang juga dia bawa. Meski ngos-ngos an, akhirnya GT ketiga kami naikkan. Size nya sangat menarik, up 25 kg. Kembali Batanta popper 140 gram black menunjukkan dirinya sebagai yang terbaik. Saya katakan seperti ini karena saat kemudian Fandy mengganti popper dengan halco, dia tidak juga disambar dan baru disambar lagi saat dia mengganti popper dengan Batanta black! Om Sem sampai terheran-heran. Padahal awalnya dia meragukan kemampuan popper ini. Saya yang senyum-senyum senang dibalik kamera karena “peluru” saya ini tidak memalukan sama sekali. Strike ke-4 giliran Om Sem yang tampil. Dia berdiri di haluan dan juga tampak kewalahan dengan perlawanan ikan. Maklum dia lebih banyak trolling dibandingkan popping. Makanya Om Sem, popping dong jangan trolling melulu. Hehehehe. GT ke-4 akhirnya berhasil dinaikkan oleh Om Sem.
Situasi pesta strike ini terus berlangsung dan semua angler ikut kebagian merasakan fight. Om William sang Santa Claus pun ikut popping dan strike. Paling banyak strike adalah Cepy karena dia adalah “seleb” yang memang harus banyak-banyak strike. Oleh karena spot ini ditemukan oleh Om Sem, maka kami kemudian menamainya dengan Serra Sem (Reef Sem) untuk mengabadikan namanya. Akan tetapi meski semua angler telah pesta strike dari ikan-ikan GT dengan size yang lumayan, jujur, tidak ada yang berukuran monster hingga up 30 kg sehingga kami belum benar-benar terpuaskan. Masalahnya tenaga para pemancing telah terkuras akibat memakai popper besar dan terus fight. Ditambah dengan matahari Sumba yang jumlahnya ada lima, maka situasinya menjadi tidak mudah. Hanya ada satu pemancing tersisa yang belum strike, yakni saya yang berhari-hari setia di belakang kamera namun dengan jelas muka telah begitu memelas ingin strike meski hanya satu ekor GT saja. Saya sebenarnya lebih senang semua pemancing yang ikut strike sebanyak mungkin sehingga gambar cukup dan syukur-syukur ada yang monster untuk closing nantinya. Tetapi ada saat dimana saat itu kami harus makan siang di atas kapal sehingga kamera tidak perlu on. Saya permisi untuk popping di depan sendirian sambil menunggu para angler selesai mengisi “bensin” masing-masing. Saya percaya bahwa spot ini tidak mungkin tidak dihuni oleh GT monster.
Pada lemparan pertama saya menggunakan rod Ripple Fisher Fanta Stick yang dipasangi dengan Batanta 120 gram pink. Tetapi memang rod kaku ini tidak nyaman untuk saya (atau memang rod ini lebih cocok untuk bule-bule berbadan besar itu?), terlalu kaku, maka saya kembali menaruhnya dan berganti dengan rod lain yang lebih lentur. Nah di rod yang berikut ini sejak tadi telah dipasangi dengan Batanta 140 gram black. One cast berikutnya saya arahnya ke depan kapal. Namun tidak ada respon. Ketiga kalinya saya melemparkan ke kiri jauh sambil berucap Deo Gratias. Deo Gratias adalah bahasa Latin yang artinya Terimakasih Tuhan, maksudnya saya berterimakasih karena trip ini akhirnya sukses dan meski misalnya saya juga tidak dikasih strike, saya tetap berterimakasih kepada Tuhan karena episode Mancing Mania Trans|7 untuk spesial Natal 2011 materinya telah lebih dari cukup untuk dibawa pulang ke Jakarta. Selain itu karena saya sedang mengingat seseorang tercinta yang memiliki tattoo tulisan latin ini. Orang terbaik yang selalu memberi saya semangat dan teladan untuk terus tersenyum menghadapi jalan hidup yang berliku. Jika pada lemparan ketiga ini tidak ada sambaran, bisa jadi kredibilita saya sebagai pemancing popping mungkin akan diragukan, setidaknya pasti dicengin oleh pemancing lain dan saya bisa jadi menjadi keki dan akhirnya benar-benar tidak akan strike. Tetapi dalam hati saya tidak percaya jika disini tidak ada GT monsternya. Maka sambil sedikit melamun, popper terus saya sentak dengan sentakan keras sehingga splash yang keluar begitu besar dan suara popper pun keras!
Tampaknya tidak akan ada sambaran. Satu sentakan terakhir sebelum popper saya naikkan kembali untuk dilempar saya tetap setia megawasi dan memainkan popper dengan yakin. Saya sangat terkejut saat popper hendak saya angkat ke kapal tiba-tiba dari bawah muncul sesosok GT besar yang tanpa senyum dan permisi langsung menghantam popper dan kembali berenang dengan cepat ke dalam air. Posisi popper saat itu sekitar dua meter saja dari sisi kapal. Ini situasi strike yang tidak saya harapkan karena strike di dekat kapal pinggang kita langsung “kena”. Berbeda sekali dengan strike di kejauhan dimana kita memiliki kesampatan memainkan ikan lebih lama sehingga kita tidak terlalu tersiksa dengan beban ikan. GT terus menukik ke dalam dan membawa lari tali dengan perkasa. Rod medium action dari merk kelas menangah ini sampai lurus rus! Tidak bisa diungkit sama sekali. Benar-benar menyiksa dan menjadi bahan lelucon yang meriah di buritan. Saya tidak melihat, tetapi Om Sem jelas sekali ngakak saking senangnya melihat saya melongo dan tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi pemberontakan ikan. Setelah sekitar 3 menit, GT tampaknya mulai mengendurkan larinya. Dengan hati-hati butt rod saya taruh di gimbal dan mulai untuk fight. Masalah berikut adalah lifting power rod yang sialan. Memang, jika bermain di sarang monster tidak boleh main-main dengan rod gak jelas! Lifting power yang parah membuat kita sangat tersiksa karena sulit memompa joran dan meunggulung tali. Dia melengkung indah memang, tetapi ya terus begitu saja sehingga hanya mau bergerak jika badan kita ikut mengayun agar rod bisa dipompa. Masalahnya adalah, pinggang kita tidak bsia bertahan selama itu. Jadi ada beberapa momen saya melepas rod dari gimpal dan hanya menjepitnya saja di sikut saya. Ada sekitar 20 menit hal ini terjadi sebelum akhirnya GT monster Reef Sem ini bisa diakhiri perlawanannya. Pertarungan paling melelahkan dengan ikan GT yang pernah saya hadapi! Kami tidak membawa timbangan untuk mengukur berat ikan ini, tetapi kami menaksir up 35 kg tetapi tidak sampai 40 kg! Menurut Om William ini adalah ikan rekor paling besar di Reef Sem dan belum terpecahkan hingga saat tulisan ini dibuat.
GT monster yang saya tarik itulah yang kemudian menjadi penutup trip. Cepy yang harusnya menjadi host sejak awal strike terpaksa merekam seluruh gambar karena tak bisa dipungkiri ini adalah ikan GT monster yang memang kami cari-cari dan emmang harus direkam. Kami semua tersenyum karena ini akan menjadi episode yang sangat sensasional. Om William, Om Sem, Fandy, Cepy saya lihat tampak gembira. Pukul tiga sore saat angin mulai berhembus kencang kami memutuskan untuk pulang ke kampung. Awan tebal tampak berkumpul di langit namun matahari senja terlihat berusaha keras menembus kepekatannya. Terlihat sangat indah namun mematikan jika sudah “meledak” menjadi hujan nanti. Dalam hati saya berucap “Deo Gratias” lagi dan segera memasukkan kamera ke dalam dry bag agar aman dari cipratan air laut. Salam strike! God bless you all!
* Foto courtesy of Michael Risdianto, Cepy Yanwar & Fandy. Don’t use or reproduce (especially for commercial purposes) without our permission. Especially if you are tackle shop, please don’t only make money from our pics without respect!!!
* Keterangan foto: Kata Om William sang “Raja Laut” Sumba GT monster ini beratnya antara 35-40 kg // Saya sebenarnya bertugas sebagai kameraman dan reporter // Pas difoto dengan ikan besar eh malah mata merem // Sapi-sapi Sumba menghalangi perjalanan. Permisi Om, kami numpang lewat. :D :D :D // Hardtop & Rocky, soulmate sejati selama di Sumba // The long and winding road // Sunset saat menuju Teluk Aili // GR kecil di Sumba Selatan. Heran padahal Sumba Selatan harusnya spot “gila” // Sunses saat hendak kembali ke basecamp di Teluk Aili // ABK pun memakai topi Santa Claus // Bersama Om William aka Santa Claus Pulau Sumba // Cepy hooked up GT pertama di Sumba Selatan // Fandy dengan GT monster di Serra Sem // Om William juga hooked up GT monster di Serra Sem // Hooked on Batanta 140 gram black // The Team! Saya, Cepy, Om William dan Om Sem. Photo by Fandy // Cepy dan Batanta 140 gram black // Badai siap meledak di Serra Sem // Popper-popper buatan Hime Lure yang telah dihantam GT berkali-kali // Cepy dengan GT hitam di Serra Sem // Saya fight // Cepy dan GT lain di Serra Sem // Saya menggigit joran dan terus diketawain oleh Om Sem //
Comments