Berdasarkan keterangan orang Wana dan juga orang-orang Desa Taronggo di Morowali Utara, dokumentasi audio visual yang kami lakukan di wilayah Suku Wana pada awal Maret 2015 lalu adalah dokumentasi audio visual pertama yang pernah dilakukan oleh sebuah stasiun televisi nasional. Oleh karenanya saya menganggap penting untuk juga menuliskan kesan personal saya di catatan berikut ini siapa tahu dapat menjadi sedikit tambahan referensi bagi rekan-rekan atau pihak manapun yang mungkin tertarik untuk juga bersilaturahmi dengan salah satu suku nomaden di Pulau Sulawesi ini. Satu hal yang begitu 'berat' mungkin selama bersama mereka adalah, mereka sangat apatis pasif dan sangat sulit diajak bicara sehingga dokumentasi yang dilakukan memang 'memakan' tenaga pikiran dan emosi yang terkadang sulit kami kendalikan. Catatan ini sekaligus ucapan salam dan terimakasih kepada siapapun yang membantu kami selama proses dokumentasi berlangsung; Kedua 'guide' sekaligus rekan kami Galank Kantata (Luwuk) dan saudara Bangau Asrul (Mapala Luwuk). Untuk foto-foto perjalanan ke Suku Wana di Pegunungan Tokala yang saya lakukan bersama tim Jejak Petualang Trans|7 dapat dilihat di link berikut ini: Behind The Scene Jejak Petualang Trans|7: Suku Wana.
Pria yang berumur mendekati tujuh puluhan tahun ini adalah Bapak (saya lupa namanya). Foto ini diambil di Sungai Salato, saat itu kami mengawali perjalanan kami menuju lipu Suku Wana terdekat yang dapat diakses di kawasan Pegunungan Tokala. Lipu adalah unit sosial terkecil (semacam kampung) masyarakat Suku Wana, terdiri dari beberapa keluarga yang biasanya semuanya memiliki hubungan darah. Menurut keterangan dari semua orang Wana dan juga warga Desa Taronggo (termasuk dari Ibu Kepala Desa Marlin Tabanci) beliau ini adalah Kepala Suku Wana yang sah saat ini. Berkat bantuan beliau meski kami juga merasa sulit mengkomunikasikan maksud dan tujuan kami selama di sana, dengan segala daya beliau telah mengerahkan kemampuan terbaiknya untuk membantu kami mendokumentasikan kehidupan sukunya yang selama ini tidak pernah dilirik media nasional. Semoga beliau sehat selalu dan mampu terus dapat menjadi ‘obor’ pemandu bagi sukunya melewati jaman yang terus berubah dan semakin kompleks ini. Amin!
Perjalanan menuju Pegunungan Tokala, Morowali Utara,
Sulawesi Tengah pada awal Maret 2015 menandai kali ketiga kedatangan saya
menjelajahi wilayah Sulawesi Tengah. Satu tahun sebelumnya, perjalanan pertama
ke wilayah ini saya tandai dengan ‘mengikat’ jalur pesisir Kabupaten Luwuk
mulai dari kota Luwuk – Lamala – Balantak hingga Taima dan lalu kembali lagi ke
Luwuk melalui Teluk Poh (dari ‘belakang’ Luwuk), waktu itu perjalanan
menghabiskan waktu hampir dua minggu lamanya (sambil bekerja di setiap desa
yang kami lalui). Tidak puas ‘mengikat’ jalur timur ini kemudian langsung saya
lanjutkan ke arah barat dari Luwuk hingga Batui dan kembali lagi ke Luwuk. Saat
itu saya tiba bersama rekan-rekan program Jejak Si Gundul Trans|7. Pada
perjalanan kedua bulan November 2014 saya kemudian lebih mengarahkan tujuan
lebih ke Pulau Peleng, di Kabupaten Kepulauan Banggai. Saat itu saya sudah
pindah program ke Jejak Petualang. Sebelum menjelajahi Pulau Peleng, kami
sempat napak tilas jalur Luwuk hingga Taima tetapi waat itu langsung memotong
melalui Teluk Poh.
Kedatangan ketiga saya bersama tim Jejak Petualang
Trans|7 pada bulan Maret tersebut, mungkin adalah perjalanan yang paling
ambisius yang pernah rancang di Sulawesi. Dua Minggu kami habiskan di wilayah
Suku Wana di Morowali Utara (desa terakhir yang berdekatan dengan wilayah Suku
Wana dapat kita tempuh dari Luwuk melalui jalan darat selama tujuh jam). Dan
dua minggu berikutnya kami lanjutkan dengan menjelajahi Pulau Bangkurung di
Kabupaten Banggai Laut (pulau kecil berjarak 9 jam perjalanan laut dari kota
Luwuk). Perjalanan yang melelahkan tetapi kini kemudian menjadi manis untuk
kembali dikenang dan dikisahkan kembali. Selain tugas yang berhasil kami
selesaikan dengan baik, kami mendengar bahwa dokumentasi yang kami lakukan di
Suku Wana kabarnya juga mendapatkan apresiasi yang luar biasa bukan hanya dari audience tetapi
juga dari orang-orang penting yang tidak dapat saya sebutkan disini, mengingat
dokumentasi tersebut adalah rekaman audio visual pertama yang dilakukan
televisi nasional dan berhasil menampilkan kisah nomaden Suku Wana yang selama
ini tersamar, tertutup oleh kemegahan abadi Pegunungan Tokala yang
menggetarkan.
Cuaca di Desa Taronggo pada bulan Maret terasa sangat sangat sangat panas. Saya dan tim bahkan tidak tahan berada di dalam rumah saat sore hari selama lebih dari setengah jam. Rumah Ibu Kepala Desa menjadi pilihan kami untuk dijadikan basecamp selama kami mendokumentasikan Suku Wana. Alasan utamanya justru bukan karena alasan birokrasi, tetapi karena Ibu Marlin Tabanci sendiri adalah keturunan orang Wana namun karena berbagai hal, kemudian memutuskan ‘keluar’ dari kehidupan asli sukunya dan menjalani kehidupan di dunia ramai sebagai orang Wana yang telah ‘jinak’. Jinak adalah istilah beliau untuk menyebut diri telah bergaul dengan masyarakat luar, berpendidikan dan juga membangun hidupnya dengan orang dari suku lainnya. Ibu Marlin Tabanci sendiri bersuamikan orang keturunan Manado. Pemandu kami mengatakan ketika masih berada di Luwuk, listrik di Taronggo menyala mulai dari sore hari pukul enam hingga esok hari pukul dua belas siang. Saat kami tiba pada tanggal 7 Maret tersebut, ternyata terjadi pemadaman aliran listrik dan kemudian berlanjut hingga tiga hari kemudian! Yang menarik dari Ibu Kepala Desa Taronggo menurut saya pribadi, selain bantuannya kepada kami tentunya, adalah beliau berani menyatakan kritiknya kepada sukunya sendiri secara jelas dan tanpa malu-malu.
Suku Wana sering disebut juga dengan Tau Taa Wana yang berarti "orang yang tinggal di hutan". Namun mereka juga suka menyebut diri sebagai Tau Taa, atau "orang Taa". Suku Wana berbicara dalam bahasa Taa. Dilihat dari bahasa yang digunakan oleh Suku Wana ini, mereka memiliki kemiripan bahasa dengan Suku Taa yang berada di Kabupaten Banggai dan Kabupaten Tojo Una-Una. Suku Wana atau suku To Wana ini termasuk suku tertua di Sulawesi, diduga termasuk salah satu suku pertama yang menghuni daratan Sulawesi, yang telah ada di Sulawesi sejak 8000 tahun yang lalu pada zaman Mezolithicum. Sebelum sekarang mendiami kawasan Pegunungan Tokala, nenek moyang orang Wana berasal dari sekitar Teluk Bone.
Kata lipu adalah kosa kata yang sering muncul ketika saya mulai melakukan riset tentang Suku Wana. Lipu adalah unit sosial terkecil masyarakat di Suku Wana, yang biasanya terdiri dari beberapa keluarga, dan rata-rata semuanya memiliki hubungan darah (keturunan langsung). Banyak sekali lipu yang tersebar di Pegunungan Tokala dan bahkan sangat sulit mendapatkan jumlah yang pasti. Bahkan Ibu Kepala Desa Taronggo yang notabene keturunan Suku Wana pun sulit menjawab dengan pasti tentang hal ini. Sempat terbersit untuk mendatangi lipu yang jauh dan sangat terpencil, saya membayangkan sebuah desa kecil di celah pegunungan seperti di film-film kungfu, tetapi setelah melihat sulitnya medan kami memutuskan untuk lebih rasional. Lipu yang kami plot untuk kami datangi adalah lipu Taliabo di tepian aliran Sungai Salato. Jaraknya tidak terlalu jauh dari Taronggo, dapat ditempuh dengan ojek ditambah berjalan kaki yang mana total perjalanan tidak sampai dua jam dari Taronggo. Saya berdecak kagum saat menuju ke Taliabo ini, pemandangan alam yang terhampar sepanjang tepian Sungai Salato sungguh indah. Pegunungan Tokala begitu gagah dengan latar depan aliran sungai yang sangat jernih. Beberapa kawan menyebutnya mirip dengan landscape di New Zealand. Meski saya tidak paham New Zealand, kemudian kami sepakat bahwa landscapes mempesona ini sebenarnya tidak kami duga sebelumnya. Indahnya landscape ini sempat menyita perjalanan kami beberapa saat selama menyusuri tepian Sungai Salato, ditambah beberapa kawan rupanya terkena 'demam' batu sehingga beberapa kali perjalanan terhenti lagi karena ada kawan-kawan yang toki-toki batu mencari batu akik! Hahahaha!
Banyak sumber di internet yang menulis tentang Tau Taa
Wana ini. Kebanyakan membahas hal-hal yang umum dan di ‘permukaan’ saja, tetapi
memang sumber-sumber ini penting untuk menjadi referensi awal tentang
keberadaan masyarakat nomaden Tau Taa Wana di jaman modern seperti ini. Untuk
referensi seperti ini Anda dapat mencarinya dengan bertanya ke Mbah Google,
beberapa lembaga swadaya masyarakat dengan konsern tertentu banyak yang menulis
tentang kegiatan mereka di Suku Wana. Apa yang akan saya tuliskan pada
baris-baris berikut ini lebih pada kesan pribadi saya setelah beberapa hari
berjibaku di Pegunungan Tokala dan mencoba mendokumentasikan kehidupan mereka
dalam bentuk audio visual. Kembali lagi ke lipu
Taliabo, di kampung ini saat itu kami mendokumentasikan proses panen padi gogo (padi ladang atau padi lahan
dataran tinggi), pembuatan makanan lumpi khas
Wana, rekonstruksi ulang pengiriman padi melalui Sungai Salato, dan juga
pengobatan yang dilakukan para petugas kesehatan dari Polindes Taronggo.
Sistem berladang Suku Wana masih menganut sistem ladang
berpindah, namun dengan rotasi tertentu dalam kurun sekian tahun, pada rotasi
tersebut akan terbentuk semacam pola kembali lagi ke titik yang pernah dibuka
sebelumnya, sehingga praktis saat ini hampir tidak ada lagi pembukaan ladang
baru dengan membabat hutan. Ladang di Taliabo memiliki pemandangan yang
menakjubkan, berada di lembahan besar dengan diapit dua punggungan besar
memanjang. Ada puluhan ladang milik puluhan keluarga Taliabo di lokasi
tersebut, kami hanya sempat ikut panen di satu ladang saja tetapi menurut kami
telah mampu mewakili semuanya. Hasil panenan melimpah dan kualitas panenan yang
dihasilkan juga sangat bagus. Uniknya, bulir-bulir padi yang berisi bagus akan
dipisahkan saat itu juga ketika berada di kebun dengan diikat langsung,
sementara bulir yang kurang bagus akan masuk keranjang. Bulir-bulir padi bagus
ini akan disimpan bersama padi dengan kualitas sama kemudian disimpan di dalam
lumbung untuk cadangan pangan jangka panjang, sementara yang bulir kurang bagus
akan segera dikonsumsi. Saya tertarik dengan tempat penjemuran padi yang mereka
buat (sampe padi namanya), semacam
tiang-tiang yang dibentuk sedemikian rupa dan dibuat di lokasi ladang. Panas
matahari akan ‘membakar’ tempat penjemuran ini, padi akan diangkat ketika sudah
benar-benar kering. Ada semacam pantangan bahwa padi yang sudah naik tempat
penjemuran tidak boleh lagi diturunkan kecuali sudah waktunya (sudah kering).
Yang tidak berhasil saya lihat di Suku Wana adalah lumbung padi milik
masyarakat, berbagai upaya saya lakukan agar saya diberi tahu bentuk lumbung
mereka, tetapi tidak berhasil. Usut punya usut, rupanya mereka memang sangat
takut bahwa cadangan pangan mereka hilang karena diambil orang atau dicuri jika
sampai ada yang tahu lokasi lumbung mereka. Namun mereka tidak mengatakan
dengan jelas keengganan menunjukkan lumbung padi mereka, mereka hanya selalu
mengucapkan, jauuuuuh ada di gunung perlu waktu dua hingga tiga hari menuju ke
lumbung. Saya menyerah dan memuaskan diri dengan melihat tempat penjemuran padi
yang menurut saya juga sudah cukup gagah tersebut.
Masalah kesehatan menjadi perhatian penting kami, karena
pemahaman sederhana kami, suku-suku pedalaman itu selalu memiliki kondisi
kesehatan yang sangat khas atau berbeda dengan kita yang sudah tinggal secara
modern ini. Saya sebenarnya tidak ingin mengatakan kesehatan mereka buruk,
tetapi memang ada beberapa hal yang menjadi catatan penting kami. Orang Wana
meskipun hidup sehat (ini kalau dilihat dari pola makan dan supan nutrisi
mereka), mungkin adalah orang yang sangat rendah kepeduliannya terhadap kesehatan
mereka sendiri. Misalnya saja di rumah-rumah mereka yang sederhana tersebut di lipu tidak ada jamban atau apapun itu
namanya untuk keperluan be a be,
rumah-rumah mereka pun juga banyak sampah dan sisa makanan yang otomatis
mengundang lalat dan lain sebagainya. Keperluan cuci, mandi, dan air bersih dilakukan
di aliran sungai yang juga menjadi tempat buang air besar mereka. Padahal saya iri
sekali dengan bentang alam mempesona yang mereka miliki, sangat indah!
Sayangnya lagi, jika terjadi ada yang sakit, mereka juga cenderung apatis.
Pengobatan dilakukan dengan menggunakan jasa dukun tradisional, yang menurut
saya penyembuhan yang dilakukan lebih menggunakan cara magis dan bukannya
pengobatan tradisional yang lebih masuk akal. Yang menyedihkan, jika kemudian
sakit ini tidak tertolong atau sakitnya berkepanjangan, kabarnya orang tersebut
akan dikucilkan di dalam hutan jauh dari lipu
karena dianggap akan membawa penyakit ke seluruh anggota lipu.
Tingkat kelahiran orang Wana juga luar biasa tinggi! Ibu
muda yang bahkan belum berumur tiga puluh tahun, bisa memiliki lima hingga
tujuh anak! God!!!! Sudah begitu mereka juga seperti tidak peduli dengan
anak-anak mereka ini, ini jika saya ‘benturkan’ dengan pertanyaan-pertanyaan
sederhana kami. Siapa nama anak-anak mereka, sebagian besar tidak atau belum
memiliki nama. Terus pertanyaan kapan mereka lahir, karena kami ingin tahu umur
anak-anak mereka, mereka hanya menjawabnya “saat panen”. Tuhan! Ini
menyedihkan, karena begini menurut pemahaman sederhana saya, buat apa bikin
anak banyak-banyak kalau bahkan nama dan juga usia mereka pun kita tidak bisa
tahu. Lalu bagaimana mereka bisa merawat dengan ideal segala keperluan
bocah-bocah bayi itu? Ada ibu muda yang bahkan memiliki anak terakhir masih berusia
dua atau tiga bulan dan tentunya masih menyusui, tetap kakak dari bayi merah
ini pun juga masih menyusui dan mungkin juga belum genap dua tahun usia
kakaknya ini?! Ketika kami melakukan Puskesmas Keliling tak heran jika kemudian
kami mendapatkan antrian panjang orang sakit! Baik tua, muda ataupun bocah!
Okelah jika memang banyak anak adalah banyak rejeki atau banyak pekerja di masa
mendatang bagi keluarga mereka, tetapi apakah harus seperti itu, sejak kecil
hidup terlantar di ‘surga’ bernama Pegunungan Tokala yang begitu subur dan
indah tersebut? Usai melakukan Puskesmas Keliling, seluruh obat yang kami bawa
dari Jakarta kami tinggalkan di Petugas Polindes Desa Taronggo agar dapat
digunakan bersama-sama di waktu mendatang, ada ratusan jenis obat untuk segala
penyakit dan harapan kami semoga bisa berguna membantu kesehatan saudara kita
di Suku Wana. Meskipun ya itu tadi, sedihnya mereka sendiri sepertinya juga
tidak atau kurang peduli!
Pasar barter antara orang Wana dengan masyarakat luar terjadi setiap Jum’at di sebuah desa bernama Uemasi di sebelah Desa Taronggo, sekitar setengah jam perjalanan menggunakan motor. Pasar barter ini telah berlangsung sejak jaman kuno, hanya titik pasarnya saja yang kadang berpindah-pindah tidak menentu. Paling sering katanya berlangsung di tepian aliran Sungai Salato, namun sejak sungai ini menjadi dangkal akibat longsor besar tahun 2007 lalu, sehingga sulit dilalui perahu-perahu besar dari arah hilir, pasar barter kemudian digelar di pusat Desa Uemasi, sebuah perempatan jalan desa tepatnya. Suasananya cukup ramai, namun tidak seramai pasar barter di daerah lain yang pernah saya lihat, misalnya saja pasar barter antara Suku Sea-sea dengan masyarakat lain di Pulau Peleng, Sulawesi Tengah misalnya. Pasar barter Uemasi ini psertanya didominasi dua masyarakat saja yakni Wana dan Bajo. Jika orang Wana banyak membawa hasil-hasil kebun dan hutan (kecuali padi tidak ada yang dibarter di pasar ini), orang Bajo sellau membawa hasil laut berupa ikan, dan rata-rata ikan asin. Barter terjadi dari pukul enam pagi hingga sekitar pukul sepuluhan pagi. Orang Wana yang datang ke pasar ini ada yang berasal dari lipu dengan jarak tempuh jalan kaki dua hari perjalanan. Padahal secara nilai barang yang di abawa kadang tidak seberapa, misalnya saja hanya beberapa tandan pisang dan atau satu karung ubi kayu. Yang ‘menggelitik’ saya adalah cara menentukan nilai barang yang dilakukan. Saya melihatnya terkadang agak timpang, berapapun barang yang dibawa oleh orang Wana, mau satu pikul atau satu karung ubi kayu misalnya, hanya ditukar dengan dua atau tiga ikan asin saja (kira-kira ukuran ikan asinnya setelapak tangan orang dewasa). Saya bertanya ke beberapa orang Wana kenapa tidak meminta lebih, mereka tidak bisa menjawab hanya senyum-senyum saja. Saya tanya ke orang Bajo kenapa timpang sekali nilainya, jawabannya juga tidak saya mengerti. Tetapi sudahlah, toh keduanya sama-sama rela kenapa saya harus pusing?! Saya hanya melihat sedikit ketidakadilan dalam penentuan nilai tukar barang ini dan sanubari saya refleks terganggu.
Foto pertama di artikel ini merupakan snapshot dari footage yang diambil oleh kameraman kami Eko Priambodo, saat itu kami melakukan rekonstruksi pengiriman padi menggunakan rakit menyusuri Sungai Salato. Pengiriman padi ke lipu lain yang dilakukan oleh orang Wana adalah tradisi kuno, saat hasil panen antar lipu tidak selalu sama. Pengiriman padi ini adalah bentuk solidaritas pangan dengan saudara yang mungkin saja di saat panen, hasilnya kurang banyak. Sehingga bagi orang Wana yang panennya melimpah merasa berkewajiban untuk berbagi bahan pangan. Saya bilang rekonstruksi karena hal ini sekarang juga mulai jarang dilakukan oleh orang Wana. Saya hanya ingin menggali lebih dalam mengenai solidaritas pangan ini seperti dahulu mereka lakukan. Apalagi Sungai Salato sendiri mengalami perubahan karakter, dari upper river berarus sangat kuat dan dalam, sejak tahun 2007 berubah menjadi upper river yang nanggung, sebab terjadi pendangkalan luar biasa hebat di sepanjang badan sungai hingga ke arah hilir, alirannya pun kini tidak seberapa kuat dibandingkan dahulu sebelum bencana longsor yang terjadi di bagian hulu sungai. Yang menarik dari solidaritas pangan ini bagi saya adalah perlakuan mereka terhadap bahan pangan yang dikirimkan. Mereka lebih penting mengamankan bahan pangan yang dikirimkan dibandingkan diri mereka sendiri. Padi selama pengiriman dijaga tetap kering ditaruh diatas rakit, sementara mereka memilih basah-basahan berenang ataupun terantuk bebatuan Sungai Salato. Dan semua ini murni tanpa rekayasa. Sempat terjadi beberapa scene padi hampir jatuh akibat pergerakan rakit yang liar akibat terkena arus, mereka secara refleks beramai-ramai berjibaku mengamankan padinya agar jangan sampai basah, dan semuanya berlangsung natural tanpa arahan apapun! Satu tangkai saj apadi sampai jatuh ke air, mereka akan mengejarnya seperti mengejar emas yang jatuh. Begitu bersemangat dan juga gugup. Saya menjadi malu karena selam aini sering membuang bahan atauoun tidak menghabiskan makanan yang dianugerahkan Tuhan kepada saya sehari-hari.
Sebenarnya masih ada satu hal lagi yang ingin saya sampaikan berkaitan dengan orang Wana ini, yaitu upacara buka ladang baru. Namun mengingat bahwa prosesi buka ladang ini sangat khusus dan sayang jika dituliskan sekilas, akan saya ‘pecah’ di artikel lain sesempatnya saya menulis. Kiranya demikian saudara-saudara, terimakasih telah bersedia membaca catatan iseng ini. Salam petualang dari torang! =))
* Reporter: Me. Camera person: Eko Priambodo. Host: Vika Fitriyana. Pictures taken on March 2015. Mostly taken by me. No watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with my pictures without respect!!!
Pasar barter antara orang Wana dengan masyarakat luar terjadi setiap Jum’at di sebuah desa bernama Uemasi di sebelah Desa Taronggo, sekitar setengah jam perjalanan menggunakan motor. Pasar barter ini telah berlangsung sejak jaman kuno, hanya titik pasarnya saja yang kadang berpindah-pindah tidak menentu. Paling sering katanya berlangsung di tepian aliran Sungai Salato, namun sejak sungai ini menjadi dangkal akibat longsor besar tahun 2007 lalu, sehingga sulit dilalui perahu-perahu besar dari arah hilir, pasar barter kemudian digelar di pusat Desa Uemasi, sebuah perempatan jalan desa tepatnya. Suasananya cukup ramai, namun tidak seramai pasar barter di daerah lain yang pernah saya lihat, misalnya saja pasar barter antara Suku Sea-sea dengan masyarakat lain di Pulau Peleng, Sulawesi Tengah misalnya. Pasar barter Uemasi ini psertanya didominasi dua masyarakat saja yakni Wana dan Bajo. Jika orang Wana banyak membawa hasil-hasil kebun dan hutan (kecuali padi tidak ada yang dibarter di pasar ini), orang Bajo sellau membawa hasil laut berupa ikan, dan rata-rata ikan asin. Barter terjadi dari pukul enam pagi hingga sekitar pukul sepuluhan pagi. Orang Wana yang datang ke pasar ini ada yang berasal dari lipu dengan jarak tempuh jalan kaki dua hari perjalanan. Padahal secara nilai barang yang di abawa kadang tidak seberapa, misalnya saja hanya beberapa tandan pisang dan atau satu karung ubi kayu. Yang ‘menggelitik’ saya adalah cara menentukan nilai barang yang dilakukan. Saya melihatnya terkadang agak timpang, berapapun barang yang dibawa oleh orang Wana, mau satu pikul atau satu karung ubi kayu misalnya, hanya ditukar dengan dua atau tiga ikan asin saja (kira-kira ukuran ikan asinnya setelapak tangan orang dewasa). Saya bertanya ke beberapa orang Wana kenapa tidak meminta lebih, mereka tidak bisa menjawab hanya senyum-senyum saja. Saya tanya ke orang Bajo kenapa timpang sekali nilainya, jawabannya juga tidak saya mengerti. Tetapi sudahlah, toh keduanya sama-sama rela kenapa saya harus pusing?! Saya hanya melihat sedikit ketidakadilan dalam penentuan nilai tukar barang ini dan sanubari saya refleks terganggu.
Foto pertama di artikel ini merupakan snapshot dari footage yang diambil oleh kameraman kami Eko Priambodo, saat itu kami melakukan rekonstruksi pengiriman padi menggunakan rakit menyusuri Sungai Salato. Pengiriman padi ke lipu lain yang dilakukan oleh orang Wana adalah tradisi kuno, saat hasil panen antar lipu tidak selalu sama. Pengiriman padi ini adalah bentuk solidaritas pangan dengan saudara yang mungkin saja di saat panen, hasilnya kurang banyak. Sehingga bagi orang Wana yang panennya melimpah merasa berkewajiban untuk berbagi bahan pangan. Saya bilang rekonstruksi karena hal ini sekarang juga mulai jarang dilakukan oleh orang Wana. Saya hanya ingin menggali lebih dalam mengenai solidaritas pangan ini seperti dahulu mereka lakukan. Apalagi Sungai Salato sendiri mengalami perubahan karakter, dari upper river berarus sangat kuat dan dalam, sejak tahun 2007 berubah menjadi upper river yang nanggung, sebab terjadi pendangkalan luar biasa hebat di sepanjang badan sungai hingga ke arah hilir, alirannya pun kini tidak seberapa kuat dibandingkan dahulu sebelum bencana longsor yang terjadi di bagian hulu sungai. Yang menarik dari solidaritas pangan ini bagi saya adalah perlakuan mereka terhadap bahan pangan yang dikirimkan. Mereka lebih penting mengamankan bahan pangan yang dikirimkan dibandingkan diri mereka sendiri. Padi selama pengiriman dijaga tetap kering ditaruh diatas rakit, sementara mereka memilih basah-basahan berenang ataupun terantuk bebatuan Sungai Salato. Dan semua ini murni tanpa rekayasa. Sempat terjadi beberapa scene padi hampir jatuh akibat pergerakan rakit yang liar akibat terkena arus, mereka secara refleks beramai-ramai berjibaku mengamankan padinya agar jangan sampai basah, dan semuanya berlangsung natural tanpa arahan apapun! Satu tangkai saj apadi sampai jatuh ke air, mereka akan mengejarnya seperti mengejar emas yang jatuh. Begitu bersemangat dan juga gugup. Saya menjadi malu karena selam aini sering membuang bahan atauoun tidak menghabiskan makanan yang dianugerahkan Tuhan kepada saya sehari-hari.
Sebenarnya masih ada satu hal lagi yang ingin saya sampaikan berkaitan dengan orang Wana ini, yaitu upacara buka ladang baru. Namun mengingat bahwa prosesi buka ladang ini sangat khusus dan sayang jika dituliskan sekilas, akan saya ‘pecah’ di artikel lain sesempatnya saya menulis. Kiranya demikian saudara-saudara, terimakasih telah bersedia membaca catatan iseng ini. Salam petualang dari torang! =))
* Reporter: Me. Camera person: Eko Priambodo. Host: Vika Fitriyana. Pictures taken on March 2015. Mostly taken by me. No watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with my pictures without respect!!!
Comments