Banyaknya praktik kultural masyarakat Suku Wana (Tau Taa Wana) di Sulawesi Tengah yang terwujud dalam sejumlah acara ritual, masih menganggap hutan memiliki ‘kekuatan gaib’. Praktik budaya lokal ini berdampak positif terhadap konservasi hutan yang dilakukan masyarakat Suku Wana dari dahulu hingga sekarang. Ada 14 bentuk praktik ritual kearifan lokal yang dijalankan masyarakat Wana dalam melestarikan hutan dan lingkungan sekitarnya ini. Beberapa di antaranya ialah ritual Manziman Tana (mohon izin), Monguyu sua (ritual penanaman pertama), Mpopondoa Sua (memberikan kekuatan hidup pada pohon), Palampa Tuvu (menolak bahaya), Nunju (mengusir roh jahat), Ranja (mengusir wabah), dan Polobian (pengobatan). Deskripsi ini saya copy dari: 7 Suku Pejuang HutanIndonesia. Situs ini termasuk menjadi salah satu referensi awal saya dahulu ketika hendak masuk ke masyarakat Suku Wana. Kepada rekan-rekan yang menyarikan kearifan lokal Suku Wana berkaitan dengan hutan dan lingkungan sekitarnya ini di situs tersebut saya mengucapkan terimakasih dan mohon ijin menyertakan di catatan kecil saya ini. Salam Petualang!
Acara buka ladang Suku Wana seperti pernah saya tuliskan di blog ini juga, selalu dilakukan bersama-sama. Biasanya oleh para anggota satu lipu (kampung) lama, utamanya mereka yang telah dianggap dewasa. Kenapa demikian, karena ladang yang nantinya akan dibuka ini biasanya akan menjadi lipu baru bagi mereka. Jadi kalau ada anggota lipu lama yang tidak ikut serta, dia tidak memiliki hak penuh untuk ikut mengelola ladang dan bahkan untuk tinggal bersama di lipu baru tersebut. Masalahnya, ladang baru biasanya selalu adalah lahan yang lebih subur daripada ladang lama di dekat lipu lama mereka (yang telah ditanami beberapa tahun terakhir). Tak heran memang jika acara buka ladang Suku Wana selalu meriah. Saya sempat meragukan keramaian buka ladang Suku Wana ini akan ramai, sebab ketika beberapa hari sebelumnya saya berbicara dengan kepala suku, tidak ada tanda-tanda bahwa dia sendiri yakin akan ramai. Mungkin memang begitu pembawaan orang Suku Wana dan memang saya yang kurang memahami pertanda yang dia sampaikan saat kami berbicara membahas persiapan dokumentasinya. Tetapi saat itu memang saya sangat terbantu dengan kehadiran Ibu Kepala Desa Taronggo yang ikut menjembatani pembahasan tentang acara buka ladang dan dokumentasi yang akan kami lakukan.
Ladang yang akan dibuka kembali saat itu berupa padang
ilalang di tepian hutan, luasnya kira-kira lima hektar lebih. Lokasi ini, lima
tahun lalu adalah lokasi ladang juga yang kemudian ditinggalkan seiring
menurunnya kesuburan tanah. Tetapi kemudian dipilih lagi untuk dijadikan ladang
baru. Suku Wana saat ini tidak lagi membabat hutan untuk ladang baru mereka,
sistem ladang berpindah yang mereka terapkan adalah dengan rotasi tetap ke
bekas-bekas ladang mereka dahulu. Jadi secara luas hutan, meski hampir semua
orang Suku Wana hidup nomaden, kawasan hutan di Morowali Utara saat ini kurang
lebih tetap. Upacara buka ladang dimulai dengan penancapan bendera putih dan pembacaan
doa-doa yang dilakukan oleh kepala suku. Saya tidak tahu ini istilahnya apa
dalam bahasa Ta’a, tetapi intinya tahap awal ini adalah untuk meminta ijin ke
roh-roh yang mendiami sekitar lokasi calon ladang baru, agar tidak mengganggu
kegiatan mereka. Saya melihat mereka menaruh kepercayaan tinggi terhadap
roh-roh. Baik itu roh jahat yang mereka anggap hantu, dan juga roh-roh yang
tidak jahat yang mereka anggap roh nenek moyang mereka. Permohonan ijin ini,
menurut penuturan kepala suku, karena mereka akan membuat gaduh kawasan sekitar
pada saat acara buka ladang tersebut.
Setelah doa-doa, dilanjutkan dengan pengukuran kesuburan
tanah. Caranya sederhana tetapi sekaligus unik. Sepucuk tongkat ditancapkan ke
dalam tanah dan kemudian diputar beberapa saat. Jumlah tanah yang menempel di
tongkat itulah yang menjadi ukuran apakah tanah di lokasi tersebut layak
dijadikan ladang baru atau tidak. Jika yang menempel banyak, berarti bisa
karena dianggap tanah cukup lembab (banyak kandungan air) dan juga mengandung unsur
hara yang cukup banyak. Jika yang menempel sedikit, berarti tanah belum kembali
subur sehingga buka ladang akan dibatalkan. Pengukuran tanah ini dilakukan oleh
tokoh atau siapapun yang dianggap kredibel melakukan ini, bisa kepala adat
ataupun orang-orang tua lainnya yang ‘berani’. Karena hasil pengukuran ini
memang tidak boleh keliru, sebab nasb
seluruh lipu akan tergantung dengan
hasil pengukuran yang dilakukan. Misalnya saja sampai salah membaca kesuburan
tanah,ketika kemudian nantinya ditanami, bisa jadi hasilnya kurang baik karena
memang sejak awal telah salah dalam membaca kesuburan tanahnya.
Setelah diputuskan bahwa tanah dianggap subur dan layak
dijadikan lokasi ladang baru, tongkat pengukur kesuburan tanah akan ditancapkan
ke dalam tanah dan dibiarkan begitu saja. Tongkat ini di bagian atasnya semacam
ada pegangan melingkar dari ranting pohon yang dibengkokkan. Ternyata ini juga
sekaligus menjadi tanda klaim atas tanah dimaksud. Yang menyatakan bahwa kini
tidak ada lagi yang bisa mengklaim tanah yang telah ditancapi tongkat ini. Unik
memang, orang Suku Wana berarti bisa mengambil tanah manapun yang dikehendaki
di wilayah Pegunungan Tokala, selama tanah tersebut tidak ada yang
mengelolanya. Jadi kalau ada lahan kosong yang tidak digarap, dan mereka rasa
cukup subur, cukup di klaim dengan cara ini dan mereka kemudian dapat
‘memiliki’-nya sesukanya. Tetapi jarang ada yang akan tinggal atau mengelola
tanah dalam waktu lama. Selalu, seiring menurunnya kesuburan tanah, maka akan
ditinggalkan lagi.
Gaduh memang kemudian ‘meledak’ di padang ilalang
tersebut. Dimulai dengan pukulan gong dan nyanyian dalam bahasa Ta’a yang tidak
saya mengerti artinya. Tetapi menurut penuturan beberapa orang yang menjelaskan
kepada saya, intinya adalah ini ungkapan semangat dan kegembiraan saja saja
sebelum acara ‘paras-paras’ dimulai. Entah mengapa, saya merasakan musik gong
yang mereka tabuh saat itu begitu merdu dan enak didengar, apakah mungkin
karena saya sudah ikut terkena mantra-mantra yang diucapkan kepala suku? Ataukah
karena saya terlalu gembira karena pada akhirnya kami akan berhasil merekam
gambar acara buka ladang orang Wana ini. Mungkin karena yang terakhir
penyebabnya. Saya dan seluruh tim memang pantas bergembira, sebab hingga saat
itu, hanya kami yang pernah mendokumentasikan dalam bentuk audio visual untuk
televisi nasional kegiatan buka ladang orang Wana ini! Musik dihentikan setelah
berlangsung kurang lebih seperempat jam, dan semua orang baik perempuan maupun
laki-laki kemudian menyebar dengan golok terhunus, membabat semua ilalang di
hadapan mereka dengan arah pergerakan yang serasi. Mereka menyebutnya
‘paras-paras, atau ‘baparas’, artinya memotong, menebas, atau mebabat tanaman.
Buka ladang tidak bisa selesai dalam satu atau dua hari,
setidaknya satu minggu penuh, mengingat luasnya padang ilalang yang ada.
Ditambah lagi memang Pegunungan Tokala pada bulan Maret begitu teriknya. Tengah
hari kesibukan membabat ilalang dihentikan dan kemudian diisi dengan sesi
‘curhat’ dan ‘ngelawak’. Dilakukan di tengah padang ilalang itu juga. Saya
merasakan kepala mau pecah saja dibakar matahari, tetapi mereka tampaknya tidak
terpengaruh. Mereka tetap tertawa dan bercerita segala macam antar sesama
mereka. Yang menarik perhatian saya ketika sesi curhat orang Wana ini adalah,
tiba-tiba kemudian telah muncul dua orang pemuda dengan potongan bambu di
tangan berisi air tawar yang diambil dari sungai terdekat. Air yang dibawa
kemudian dibagi sama rata (dalam gelas-gelas bambu). Saya melihat persatuan
dengan alam yang luar biasa pada diri orang-orang ini. Dan saya baru menyadari,
bahwa memang mereka juga tidak membawa bekal apapun termasuk air putih untuk
minum mereka pada acara ini. Tampaknya mereka begitu yakin, bahwa alam akan
menyediakan segala kebutuhan mereka. Kalau berkaitan dengan air memang saya
mengerti karena banyak sungai-sungai kecil di kawasan ini, orang tidak perlu
repot membawa bekal air saat beraktifitas. Tetapi anehnya saya juga melihat
mereka tidak membawa bekal makanan juga. Saya melihat mereka memang kuat-kuat,
meskipun secara postur badan tidak seberapa kekar ataupun besar.
Usai sesi curhat ini dilanjutkan dengan membakar ilalang
yang telah dibabat tadi. Seluruh proses buk aladang ini akan diulang lagi
keeseokan harinya (minus doa dan pengukuran tanah), baru kemudian nanti di
ujung rangkaian acara, akan dilakukan pengolahan tanah dan cocok tanam. Proses
membakar ilalang yang telah dibabat ini juga menarik. Saat api mulai menyala
mereka kemudian menghunuskan lagi golok-golok mereka dan berteriak-berteriak seperti
kesurupan, saya sendiri kaget melihatnya karena ini tidak terduga. Usut punya
usut rupanya mereka ‘menyuruh’ agar apinya menyala besar dan segera membakar
semua ilalang yang telah dibabat. Hebatnya api ini akan ditunggui sampai semua
ilalang yang telah dibabat terbakar. Mereka akan membawa dahan-dahan pohon,
untuk mematikan api jika dirasa membakar ke areal yang belum dibabat. Terutama
sekali, mereka menjaga api ini terutama untuk mencegah api menjalar ke kawasan
hutan yang tidak termasuk calon ladang
baru. Saya melihat ada tanggung jawab yang sangat tinggi dalam menjaga api ini.
Jauh berbeda dengan banyak pihak yang banyak membuka ladang atau kawasan
perkebunan skala nasional dengan cara membakar hutan, kemudian membiarkan
begitu saja hingga kemudian menjadi bencana nasional kebakaran hutan dan kabut
asap seperti sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia saat musim kemarau.
Demikian kisah buka ladang Suku Wana ini, jika dirasa menimbulkan penasaran,
silahkan berkunjung ke Pegunungan Tokala sendiri. Hehehehe! Salam!!!
* Pictures taken on March 2015 by me. No watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with my pictures without respect!!!
* Pictures taken on March 2015 by me. No watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with my pictures without respect!!!
Comments