Sayangnya foto-foto yang saya rekam berkaitan dengan
melimpahnya bahan pangan dan perlakuan mereka menjadi kuliner khas Dayak Berusu
kurang lengkap. Tetapi akan saya coba sarikan, setidaknya berkaitan dengan cara
memasak bahan dan juga bumbu-bumbu dari hutan yang mereka pakai untuk memasak
sesuatu selama berada di dalam hutan menemani kami. Pertama adalah perlakuan
terhadap bahan pangan berupa ikan-ikan air tawar yang diambil dari sungai. Habitat
hulu sungai warga Berusu memang masih sangat terjaga, ikan upper river sangat
mudah ditemukan dan size-nya pun besar-besar. Spesies yang menjadi favorit
adalah ikan sapan/pelian/mahseer, ini adalah ikan bergengsi sungai pegunungan
berarus deras. Di kalangan pemancing banyak dicari karena memiliki prestise
yang tinggi. Di kalangan penikmat kuliner dicari karena memiliki rasa daging
yang sangat manis! Bukan hanya itu saja ada banyak ikan lainnya seperti
barop/hampala. Klawor/kalui, mendalom/baung, dan lain-lain. Cara masaknya
sangat mendasar, dan dilakukan lebih karena tidak mau kehilangan rasa asli daging
ikannya, yakni hanya dengan cara dibakar langsung di api (dengan cara ditusuk
atau dijepit/ditagar) atau di dimasukkan ke dalam bambu. Ikan
sapan/pelian/mahseer menjadi rebutan seluruh rombongan karena memang rasa
dagingnya super nikmat. Kami menikmatinya dengan gratis sembari saya teringat
di restoran-restoran Singapura ikan ini per kilogram dihargai tiga juta rupiah
lebih! Rupanya para tengkulak Singapura dan Malaysia ada yang pernah memasuki
wilayah ini untuk mencari ‘dagangan’ ikan sapan ini, hebatnya warga menolak.
Lebih baik kami makan sendiri daripada kami kirimkan ke negara lain, begitu
penuturan beberapa warga saat itu. Salut!
Berikutnya tentang bumbu-bumbu masakan yang berasal dari
hutan. Layaknya kita yang tinggal di dunia ramai (anggaplah daerah perkotaan
ataupun pedesaan yang sudah mapan), masyarakat Dayak Berusu juga sudah
menggunakan bumbu-bumbu umum untuk masak memasak; garam, cabe rawit, dan apapun
itu bumbu lainnya. Desa mereka saat ini sudah berada di tepian jalur utama
antara Tanjung Selor – Malinau (Dayak Berusu direlokasi dari hutan pedalaman
tahun 1970), lalu lintas dan distribusi barang sudah cukup mapan meski secara
volume masih terbatas. Namun ketika kami masuk hutan, memang kemudian ada
kerinduan pada warisan leluhur mereka terkait kuliner ini. Bumbu buah lempasu
menjadi pilihan utama ketika mereka ingin memasak ikan dengan cara masak kuah.
Buah lempasu ini bentuknya bulat putih kalau sudah tua, dan hijau serta ungu
saat masih muda. Rasanya asam, bisa dikonsumsi langsung saat sudah tua meski
kalau kebanyakan kita akan sakit perut. Buah ini jika disandingkan dengan ikan
akan menghasilkan kuliner sejenis kuah asam, tetapi memang rasa asam-nya sangat
khas. Daging buahnya sendiri bisa sekaligus menjadi sayuran dengan rasa yang
menyerupai labu tetapi teksturnya mirip dengan tekstur ubi jalar yang tua. Rasa
olahan ikan kuah asam dengan buah lempasu ini menurut saya, enak! Hahaha!
Terakhir adalah ketika kami kemudian membuat dokumentasi
masak dengan cara bakar di dalam bambu. Ikan yang diambil dari sungai tetap menjadi
bahan utama, dengan cara dipotong kecil-kecil dan kemudian juga dibumbui dengan
garam dan bumbu dapur lainnya. Yang unik adalah bumbu utama yaitu daun muda
serta bunga tekalo (kecombrang/honje). Bunga dan daun muda tekalo ini akan
diiris kecil-kecil, kemudian dicampur dengan bahan masakan lainnya, sebagian
lagi daun tekalo akan dijadikan sebagai penutup bambu. Semua bahan kemudian
dibakar di atas api yang dinyalakan sedang agar bambunya tidak hangus. Rasa
olahannya, ada semacam pedas dan asam yang menjadi satu, meresap ke dalam semua
bahan yang dibakar di dalam bambu. Secara umum rasa olahan dengan dibakar di
dalam bambu muda ini menurut saya lagi-lagi, juga enak! Hahaha! Pada akhirnya,
makanan memang mampu menyatukan masyarakat dengan beragam latar belakang yang
berbeda. Selain warga keturunan Dayak Berusu, kami juga ditemani warga dari
keturunan Dayak Punan. Di tim JPWF sendiri ada yang Ambon, Jawa dan Sunda.
Tetapi kalau sudah menyangkut kuliner, semua duduk manis sambil khusyuk mengisi
perut dengan ‘desis’ nikmat lupa kiri kanan!
* Pictures taken on May 2015 by me. No watermark on the
pictures, but please don't use or reproduce (especially for commercial
purposes) without my permission. Don't make money with my pictures without
respect!!!
Comments