Menguak Kisah Kuno Misteri Penunggu Danau Begantung, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah (Bagian 2)
Akhirnya saya berhasil menyisihkan waktu sehingga dapat kembali lagi ke Danau Begantung, dengan rombongan kecil sehingga kami bisa mereduksi pergerakan yang lambat pada kesempatan pertama. Tim dapat bergerak dengan cepat dan kesunyian danau menjadi sangat maksimal karena semua yang ikut memiliki pemahaman wild fishing yang lebih dari cukup. Kami mengeksplorasi kelima danau di kawasan ini dengan semangat yang sangat tinggi. Segala kemampuan kami kerahkan dengan harapan mendapatkan hasil terbaik. Jujur saya memiliki obsesi, melihat banyaknya tenggakan ikan-ikan besar di permukaan danau, setidaknya kami mendapatkan minimal satu ekor saja ikan size monster yang bisa dikenang untuk waktu yang lama. Saya sebenarnya sangat fleksibel, bahwa setiap trip memancing sebenarnya lebih untuk menikmati alam, tanpa terlalu memikirkan hasil. Tetapi entah kenapa di Begantung ini obsesi itu menjadi kuat. Semacam ada rasa penasaran yang tinggi untuk berkenalan dengan ikan-ikan monster penunggu danau kuno ini.
Saya pernah mendengar kisah lama, dari idola senior
sekaligus ‘guru’ saya, ex boss saya di Mancing Mania Trans7, waktu itu ketika
mengeksplorasi danau ini, dia kabarnya sempat melihat seekor buaya besar
menyambar ikan di permukaan. Hal yang kemudian saat itu menghentikan
eksplorasinya di danau ini dengan perahu kecil (sampan) milik masyarakat. Dia
kemudian lebih banyak mengeksplorasi danau dari tepian sehingga lebih aman dari
kemungkinan resiko sampan yang dia naiki dihantam ‘gigi jarang, sebutan orang
Kalimantan untuk buaya. Keputusannya ini sangat masuk akal. Sebuah danau
terisolasi, yang memiliki ‘hubungan’ dengan Sungai Kahayan merupakan
perlindungan bagi banyak spesies. Baik itu ikan predator berbagai jenis dan
juga predator lainnya yang mengikuti kawanan ikan ini, ini adalah teori rantai
makanan sederhana. Namun karena sudah berpuluh tahun tidak ada kejadian
apa-apa, ada rasa aman yang terlalu tinggi dari warga sehingga kenyataan bahwa
Begantung bagaimanapun adalah ‘wild’ spot menjadi sedikit terlupakan.
Saya ditemani seorang rekan pemancing dari Pulang Pisau,
Guruh Dwi Saputra. Pemancing yang cukup kondang di kalangan pemancing negeri
ini karena cukup rajin melakukan trip, membuat report dan melakukan sosialisasi
dengan komunitas mancing di Indonesia. Di Begantung karena perahu tidak mungkin
memuat lebih dari dua orang, kami terpisah dalam dua sampan. Selama melakukan
eksplorasi ini kami sempat beberapa kali terpisah jauh. Maklum masing-masing
memiliki obsesi untuk mendapatkan sambaran dan sambaran. Di pertengahan hari,
saya dan tukang sampan kemudian memutuskan untuk menuju ke danau terkecil di
bagian ujung kompleks Begantung. Kira-kira luasnya hanya separo lapangan bola,
tetapi ini kabarnya adalah danau terdalam di kawasan ini. Struktur tepiannya
menjanjikan, banyak pohon-pohon besar tumbang membentuk perlindungan ikan yang
kokoh sekaligus menyeramkan. Ketika saya melemparkan umpan froggie pada salah
satu titik terlihat ada pergerakan ikan, dari gelombang yang diciptakan dalam
mengejar umpan cukup besar, bahkan menurut saya sangat besar. Namun sang ikan
seperti enggan keluar terlalu jauh dari sarangnya mungkin akibat panas yang
menggila. Dia kembali lagi ke sarangnya. Beberapa kali say amencoba
‘mengeluarkan’ penunggu sarang tersebut tetapi dia selalu kembali. Tukang
sampan saya suruh terus stay di tengah danau dan tenang supaya ikan tidak
spooky. Saya bergonta-ganti umpan untuk mencoba menggoda ikan yang dari tadi
seperti hendak menyambar tersebut.
Saya kemudian memutuskan mengganti umpan dengan umpan paling
berisik yang ada, jum frog dengan tambahan propeler berukuran besar. Berharap
ikan marah dan kemudian menghantam umpan saya. Sungguh saya sudah sangat rindu
mendapatkan big strike! Saya semakin bersemangat karena tampaknya respon dari
penunggu sarang tampaknya juga semakin meriah, ada gelombang-gelombang yang
tercipta tetapi anehnya tidak ada sambaran. Saya berfikir bahwa sebentar lagi
pasti ada big strike yang terjadi di tempat ini dan semua usaha saya akan
terbayar lunas sehingga saya semakin semangat melempar umpan dan memainkannya.
Jantung saya tiba-tiba seperti mau copot karena tiba-tiba tukang sampan saya
berteriak histeris seperti orang kesurupan (padahal tengah hari bolong) dengan
mata melotot kepada saya, dia berteriak-teriak dengan gugup dan takut, meminta
saya melihat ke bawah sampan. Posisi saya saat itu berdiri, namun karena fokus
saya di tepian danau ke sarang ikan-ikan di tepian saya lambat merespon
teriakan tukang sampan ini. Saya ketinggalan momen . Yang terlihat oleh mata
saya di bawah sampan kami saat itu, sampan kami kira-kira panjangnya empat
meter dengan lebar satu meteran, hanyalah gelombang besar dengan bentuk memutar
seperti sebuah pusaran air. Melihat ini saya langsung sigap dan kemudian duduk
untuk antisipasi ada kejadian aneh menimpa sampan kami. Saya meminta tukang
sampan tenang dan jangan berteriak-teriak lagi, saya menyuruh dia menghentikan
pergerakan dayung supaya tidak ada kecipak dayung yang mengundang rasa ingin
tahu dari apapun itu yang ada di bawah sampan kami. Mata dia masih melotot
seperti kesurupan dan saya menjadi semakin waswas. Entah kenapa saat itu saya
tidak begitu takut dengan apa yang ada di bawah sampan kami, tetapi say alebih
takut melihat tukang sampan saya yang seperti kesurupan. Saya kemudian
mengambil alih dayung dan dengan cepat mengayuhnya ke tepian, jarak ke tepian
paling hanya lima belasan meter, tetapi rasanya saat itu saya seperti sedang
mendayung satu kilometer jauhnya.
Saya tidak menanyakan apa-apa ke tukang sampan yang masih
histeris ini, dan kemudian memintanya mendayung sampan meninggalkan danau kecil
ini untuk merapat di sebuah ‘pulau’ yang selalu menjadi titik peristirahatan
setiap pemancing yang datang ke kawasan ini. Tempatnya cukup teduh dan nyaman
untuk beristirahat, setidaknya kita berada di daratan yang benar-benar daratan.
Kenapa saya bilang demikian, karena hampir semua tepian danau ini sebenarnya
adalah rawa. Sekilas memang terlihat seperti daratan kering ditutupi rumput
tetapi sebenarnya bukan karena lumpurnya sangat lembek dan jika kita berdiri di
atasnya bisa langsung terjebak. Sampan saya minta didayung dengan menyisir
tepian danau, semacam pergerakan antisipasi jika ada sesuatu yang mungkin
memang mengincar kami, setidaknya kami memiliki kesempatan lebih baik untuk
selamat karena dekat dengan ‘daratan’ dan juga batang-batang kayu besar yang
bisa menjadi solusi keadaan darurat. Ketika tiba di ‘pulau’ sampan rekan saya
Guruh juga sudah merapat. Tukang sampan kemudian tidak mampu lagi menahan
hasrat untuk menumpahkan segala cerita karena bertemu dengan rekan satu
desanya, dan tumpahlah semua yang dia lihat ke rekan satu desanya itu dalam
bahasa Dayak Ngaju. Intinya, bahwa dia melihat buaya super besar yang bahkan
lebih besar dari sampan kami, berada persis di bawah sampan kami. Sudah puluhan
tahun dia hidup mengais rejeki di danau ini, tetapi baru kali ini dia melihat
dengan mata kepala sendiri bahwa memang ada ‘penunggu’ danau yang pernah dikisahkan oleh ayahnya dulu ketika dia masih kecil.
Tukang sampan saya kini telah berusia lebih dari tiga puluh tahun. Saya menjadi
merinding dan bersyukur bahwa kami masih selamat karena sang penunggu danau
tidak ingin berkenalan lebih jauh dengan kami hari itu.
Apapun itu, usai makan siang, rasanya tidak worthed jika kami kemudian kembali lagi
ke danau kecil tersebut. Saya meminta seluruh rombongan bergerak ke arah
berlawanan dari lokasi danau kecil ini. Okelah, jika memang itu buaya besar
penunggu Begantung, biarkan dia tenang di danau kecil itu, kami akan
mengindarinya demi segala resiko yang mungkin terjadi. Ajaibnya, kami hingga
pukul 15.15 wib hari itu belum mendapatkan sambaran dari satu ekor ikan pun! Di
danau terbesar di kawasan ini ada secercah harapan, ikan-ikan besar menggila
dengan menyambar ikan-ikan kecil yang frenzy
di permukaan. Kami kemudian mengepung schooling
ini berharap ada keberuntungan. Tetapi memang bagaimanapun umpan tiruan tidak
bisa mengalahkan umpan asli (ikan-ikan kecil yang schooling tersebut). Umpan kami tidak ada yang mencolek sama
sekali! Lalu muncullah suara-suara itu, seperti ghok ghok ghok ghok, di dekat sampan saya. Saya tidak
menghiraukannya. Begitu juga dengan tukang sampan saya yang biar bagaimanapun
berharap saya mendapatkan sambaran. Tetapi tukang sampan satunya meneriaki
kami, itu suara ular besar, berada di tepian berjarak sekitar sepuluhan meter
dari sampan saya, di dekat rumput-rumput katanya. Anehnya saya tidak
melihatnya, begitu juga tukang sampan saya. Tukang sampan saya malah berkata
kepada saya, bahwa di tepian yang lain ada banyak orang sedang mencari ikan,
sambil menunjuk salah satu tepian danau. Anehnya saya tidak melihat apa-apa.
Mata saya belum minus ataupun plus. Jadi saya simpulkan something wrong happening! Saya langsung berkata ke tukang sampan
saya, kita pulang. Begitu juga say abilang ke rekan saya Guruh. Kami mendayung
sampan dengan cepat menuju tepian danau yang ada jalan setapak menuju Desa
Pusaka. Setiba di tepian, sepuluh menit kemudian, kami pun kemudian bergegas
berjalan meninggalkan danau menembus hutan tanpa berkata-kata. Semuanya seperti
sedang kalut dengan pikirannya sendiri-sendiri menyikapi kejadian hari ini dan
yang pasti kami ingin segera keluar dari danau yang ‘mengapung’ ini, Danau Begantung.
Danau yang konon terus hidup dan bergerak tidak menentu, karena konon berada di
punggung kura-kura besar yang tidak pernah orang tahu seperti apa bentuknya!
Salam ‘misteri’ wild fishing!
* Kru: Me (reporter), Eko Priambodho (cameraman), Madhina Suryadi (host). Pictures taken on August 2015 by me & Eko Priambodho. No watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with my pictures without respect!!!
Comments