Spesies Ikan Purba Bagarius Yarelli Dalam Kepercayaan Orang Dayak Long Glaat, Mahakam Ulu, Kalimantan Timur
Teriring salam untuk seluruh 'keluarga' Dayak saya di Lung Tuyoq & Liuq Mulang, Mahakam Ulu, Kalimantan Timur. Catatan kecil ini dibuat di sela-sela waktu suting, di sebuah desa terpencil di Bungku Utara, Sulawesi Tengah.
Setelah ‘menggeluti’ dunia yang cenderung amis ini (baca: mancing), saya memang bermimpi bahwa setidaknya sekali dalam hidup saya, bisa mendokumentasikan spesies ikan purba yang disebut ikan Bagarius yarelli (Goonch fish). Ikan yang konon tidak pernah ber-evolusi selama ribuan tahun (4000 tahun lebih katanya), dan jika kita amati bagian wajah ikan Bagarius yarelli ini kita seperti melihat seorang renta tetapi kharismatis dan bukan berasal dari dunia yang kita huni sekarang ini. Dia seperti mewakili sebuah dunia lain yang tidak kita kenal, entah dimana. Mimpi itu ternyata terwujud begitu saja, seperti memang telah direncanakan oleh-Nya. Saya pertama kali melihat ikan purba ini di hulu Sungai Kelai, Kalimantan Timur. Di sebuah desa terpencil milik masyarakat Dayak Punan, Long Sului namanya, sekitar 3 hari ‘naik’ sungai jeram dari Tanjung Redeb. Orang Dayak Punan di Long Sului menyebutnya “ikan pesawat” karena memang jika diamati dari atas, ikan ini menyerupai bentuk sebuah pesawat terbang. Mimpi itu ternyata terus berlanjut dan semakin menarik. Pada tahun 2011 waktu itu bisa menjelajah salah satu sungai di wilayah Riau dan kemudian naik ke bagian hulu, sayangnya eksplorasi ini menghadapi tantangan berat dari berubahnya ekosistem sungainya.
Sungai Batang Kuantan saat itu di bagian hulu telah menjelma
menjadi semacam arena ‘perang’ antar ‘transformer’, yakni dipenuhi alat-alat
penyedot emas yang jumlahnya ratusan dan beroperasi hampir sepanjang hari
dengan suara yang sangat bising itu. Hulu sungai berarus deras itu juga menjadi
gempita layaknya ada robot monster yang mengerang dengan pita suara yang rusak,
juga air sungai berubah menjadi seperti warna kopi susu entah telah berapa
tahun lamanya. Sangat disayangkan karena waktu itu kami tiba tanpa informasi
yang matang tentang perubahan ekosistem yang ada di Batang Kuantan.
Satu-satunya informasi yang kami pegang adalah bahwa di sungai ini masyarakat kabarnya
sering mendapatkan ikan purba ini dan bahkan ada yang beratnya lebih dari 30
kilogram (ada bukti fotonya di sebuah ponsel milik seorang kawan di Sumatra
Barat), karena ‘racun’ itulah kami kemudian tiba di Batang Kuantan (melalui
jalan darat dari Padang) dan kemudian menjelajah ke hulu yang kami duga sepi
dari aktifitas sehari-hari manusia. Misi tidak sepenuhnya gagal, tetapi jika
diukur berdasarkan skala, mungkin hanya 10 % saja prosentase keberhasilannya.
Kami saat itu setelah melakukan berbagai usaha mancing ekstra keras, berhasil
mendapatkan ikan Bagarius yarelli seberat 3 kilogram, satu ekor! Hehehehe!
Cukup sudah curcol-nya.
Awal tahun 2016 adalah masa-masa yang sangat sibuk, entah kenapa, dan memang
sepertinya selalu seperti itu. Tetapi di antara kesibukan ‘mensyukuri’ tahun
baru tersebut secara tidak direncanakan saya melihat peta Kalimantan Timur, dan
mata saya tertuju pada sebuah alur sungai paling penting di Kalimantan Timur,
yakni Sungai Mahakam. Saya ingin ‘naik’ ke hulu sungai ini, batin saya. Kontak
pertama saya adalah seorang kawan yang tinggal di Tenggarong, kawan lama yang
selama ini hanya saya kenal melalui media sosial. Kawan ini kemudian
menghubungkan saya dengan orang-orang yang bisa membuka akses ke daerah-daerah
terpencil di hulu Sungai Mahakam. Dari situlah juga saya kemudian tahu bahwa
ternyata belum lama ini telah terbentuk kabupaten baru bernama Mahakam Ulu
dengan ibukota Ujoh Bilang, kabupaten yang masih sangat belia, baru berusia
tiga tahun, pemekaran dari Kabupaten Kutai Barat. Dan secepat kilat, rejeki
anak sholeh sepertinya, tiba-tiba saja saya kemudian memiliki banyak sahabat
yang siap untuk menemani dan juga menhubungkan dengan pihak-pihak terkait di
Mahakam Ulu (baik itu masyarakat adat, juga pemerintah setempat). Pada suatu
hari yang seperti biasa terjadi di Jakarta, yakni macet dan lain sebagainya,
datanglah lima orang perwakilan dari masyarakat Mahakam Ulu yang menyatakan
niatnya bahwa saya dan tim telah diterima dengan senang hati di Mahakam Ulu.
Padahal saya baru dalam tahap perencanaan, tetapi antusiasme masyarakat Mahakam
Ulu ternyata sangat luar biasa. Dengan letak geografis jauuuh di pegunungan
Kalimantan Timur, mereka bisa tiba-tiba nongol di Jakarta, sekedar untuk
menyampaikan bahwa mereka gembira dengan niat saya (juga kami) dan siap
membantu semaksimal mungkin. Saya (dan kami sebagai program) tidak minta
apa-apa bapak, ibu, juga abang. Cukup bantu kami riset tema-tema petualangan
yang menarik, dan temani kami selama berpetualang di Mahakam Ulu, begitu
jawaban saya kepada para tamu terhormat dari Mahakam Ulu tersebut. Dan baru
pada bulan Maret, petualangan kami ke Mahakam Ulu akhirnya terwujud dengan
segudang kisah yang terjadi di dalamnya, juga segudang kesan setelahnya, tetapi
baiknya kita kembali lagi ke masalah ikan kuyur
dahulu alias the mighty Bagarius
yarelli. Kisah-kisah Mahakam Ulu yang lain akan saya tuliskan di catatan
berikutnya.
Yang pasti singkat cerita, suatu hari yang sangat panas,
dengan diambut kehangatan yang khas masyarakat Dayak pedalaman dengan gelang
manik gong dan lain sebagainya, saya dan juga tim Jejak Petualang Wild Fishing
yang dikawal dengan satu ‘kompi’ rekan-rekan dari Samarinda, juga Ujoh Bilang,
akhirnya merapat di sebuah dermaga kayu yang berada persis di depan ‘gerbang’
Kampung lung Tuyoq, kampungnya orang Dayak Long Glaat, salah satu sub suku
Dayak Bahau (ada juga yang bilang salah satu sub suku Dayak Modang). Saya jujur
saja bahkan belum melakukan dokumentasi apapun ketika diberi tahu banyak hal
oleh masyarakat tentang kaitan ikan Bagarius yarelli dengan masyarakat Lung
Tuyoq. Sangat mungkin karena kalau menyangkut dunia ikan, saya selalu sangat
antusias dalam ‘mengulik’-nya melalui berbagai cara; ngopi bareng, saat di long
boat, dan lain sebagainya. Sehingga apapun yang diketahui oleh orang lain
tentang ikan, kemudian dibagi kepada saya begitu saja. Informasi keterkaitan
ikan yang dalam bahasa Long Glaat disebut kuyur
dengan kepercayaan masyarakat Dayak Long Glaat bahkan sejatinya telah saya
terima sedikit dari hasil ngobrol dengan perwakilan masyarakat yang pada awal
tahun sempat nongol ke Jakarta. Informasi awal tersebut memang sangat sederhana
tetapi sangat ‘matang’. Bahwa di Mahakam Ulu masih banyak terdapat ikan Bagarius
yarelli berukuran monster dan oleh masyarakat dijaga secara adat. Ada spesies
purba yang dijaga secara adat? Di pedalaman? Ini menarik dan saya harus ke
tempat tersebut? Demi apa dijaga secara adat? Dan lain sebagainya. Begitu
banyak pertanyaan yang kemudian berkembang.
Berikut ini akan saya sarikan semua hal tersebut. Adalah
seorang tokoh pemuda bernama Dalung Lejau, yang merupakan keturunan bangsawan Long
Glaat yang pertama kali membagi kisah tentang ikan kuyur dan keterkaitannya dengan masyarakat Lung Tuyoq.
Pengetahuannya tentang ikan kuyur tersebut dia dapat secara lisan dari para
nenek moyangnya. Alkisah di masa yang entah di wilayah geografis yang juga
entah dimana di Kalimantan Timur, (kampung Lung Tuyoq saat ini adalah settlement paling mapan Dayak Long Glaat
saat ini usai migrasi besar dari sekitar aliran Sungai Modang entah tahun
berapa), hiduplah seorang perempuan Long Gelat yang masih merupakan keturunan
keluarga raja ataupun bangsawan ataupun orang penting lainnya dalam masyarakat.
Dia hidup dalam kearifan pekerti, berikut juga menjunjung tinggi adat istiadat
dan juga hidup dengan membaktikan diri untuk keluarga dan masyarakatnya sebaik
mungkin. Nenek moyang ini (disebut boq),
hidup sangat lama dan bahkan konon tidak mati-mati. Saking tuanya masa hidup boq ini kedua kaki boq ini kemudian hampir menyatu satu sama lainnya, munculah
kemudian semacam keinginan penting (semacam baru mendapatkan wahyu), bahwa dia
ingin melanjutkan hidupnya di Sungai Mahakam. Diijinkanlah kemudian boq ini ke dalam Sungai Mahakam, tetapi
kemudian terus berenang dan tidak mau lagi naik ke darat. Lokasi tempat
turunnya boq ini ke Sungai Mahakam
kemudian sering muncul ikan aneh berukuran besar, ikan inilah yang kemudian
hari ini oleh orang Long Glaat disebut dengan nama kuyur. Thats why, dalam masyarakat Long Glaat hingga hari ini,
terutama di kalangan bangsawan dan ataupun masyarakat lainnya yang memahaminya,
tidak ada yang mau memakan daging ikan kuyur
ini sebab dianggap sebagai titisan dari nenek moyang mereka pada jaman dahulu. Bahkan
ada semacam ‘kelebihan’ yang dimiliki oleh orang Long Glaat, meskipun daging
ikan kuyur tersebut disajikan sudah dalam keadaan matang (digoreng misalnya)
dan yang disuguh tidak tahu sejak proses awal ikan apa, bisa tahu bahwa ikan
tersebut kuyur. Semoga saya tidak
salah dalam menuliskan ulang tentang kisah ikan kuyur yang merupakan perwujudan boq
orang Long Glaat ini, tetapi kurang lebih begitulah kisahnya, jika ada
koreksi saya sangat menghargainya.
Berikutnya adalah penjelasan dari seorang nenek renta yang
tetap cantik, bernama Ping. Yang ketika saya main ke rumahnya dia begitu
antusias mengomentari semua tattoo saya kekecilan, bikin yang besar! Hahahaha! Nayaq (nenek) Ping mengatakan kepada
saya kenapa tattoo yang dia miliki hanya terdapat di tangan dan pergelangan
kaki saja, apa makna dibalik tattoo ini? Pertama tattoo dalam masyarakat Long
Glaat paling banyak memang dimiliki oleh kaum perempuan saja, kaum lelaki juga
memiliki tattoo tetapi tidak sebanyak kaum perempuan dan juga motif yang
dimiliki kaum lelaki tidak seperti kaum perempuan. Kaum lelaki bisa membuat
tattoo apa saja sesukanya, meskipun kebanyakan tentang motif Long Glaat yang
menggambarkan aso (anjing), dan juga nangberang (makhluk mistis yang paling kuat).
Tattoo kaum perempuannya cenderung seragam, berupa garis-garis yang hampi
rmenghimpit di pergelangan kaki, dan juga motif nge-block di telapak tangan bagian luar. Tujuan tattoo pada kaum
perempuan Long Glaat konon untuk mempercantik diri, itu saja. Nggak cantik kalau nggak punya
tattoo. Kata nayaq Ping yang juga
bertelinga panjang tersebut. Kenapa motifnya seragam, tanya saya. Karena ini
melambangkan boq kami, jawabnya.
Yakni boq yang menjelma menjadi ikan kuyur di Sungai Mahakam. Motif kulit
ikan Bagarius yarelli memang memiliki
dua ‘bagian’ dengan warna yang lebih gelap dari warna bagian tubuh lainnya,
yakni di dekat ekor dan di dekat leher. Jadi itulah jawabnya, tattoo kaum perempuan
Long Gelat bukan hanya sekedar tentang menjadi keren, tetapi juga demi mengingat
leluhur mereka. By the way, yang membuat tattoo pada kaum perempuan Long Glaat
juga tukang tattoo yang perempuan. Dibuat tentunya dengan teknik tattoo paling
keren itu, hand tapping dengan jarum
duri jeruk dan pewarna diambil dari jelaga hitam hasil pembakaran serabut
khusus untuk tattoo.
Informasi terakhir tentang ikan Bagarius yarelli di Long
Glaat adalah bahwa kepala ikan kuyur adalah salah satu persembahan untuk dewa-dewa
mereka pada waktu digelar upacara adat tertentu, salah satunya upacara adat nemlai (inisiasi pendewasaan/akil balik
untuk anak-anak lelaki keturunan Long Glaat). Bagaimana cara penghidangannya?
Digantungkan di rumah adat ketika upacara nemlai
digelar, dan akan terus digantung sepanjang
tahun sampai didapatkan ikan Bagarius yarelli dengan ukuran kepala yang lebih
besar lagi. Sayangnya waktu itu, titik gantung kepala ikan Bagarius yarelli ini
di lamin adat mereka terlalu tinggi di langit-langit, saya tidak dapat
memotretnya dengan jelas dengan kamera ponsel yang saya miliki. Yang memberi informasi
saya tentang hal ini, termasuk juga menunjukkan tempat menggantungnya di
langit-langit lamin adat, adalah salah satu pemimpin religius Long Glaat yang
memiliki wewenang memimpin upacara adat penting sekelas nemlai (orang ini juga seorang perempuan dan telah sangat renta).
Saya lupa nama beliau, nanti akan saya tambahkan nama beliau di catatan ini.
Saya tidak menemukan jawaban kenapa jika memang Bagarius yarelli begitu
dihormati karena merupakan penjelmaan boq,
tetapi kemudian dikorbankan untuk dewa-dewa ketika upacara adat nemlai? Konsep korban/pengorbanan ini
sebenarnya umum dikenal di masyarakat kita yang masih kuat animismenya.
Misalnya saja di masyarakat tertentu dengan mengorbankan kepala kerbau, dan
lain sebagainya.
Tak mengherankan jika di sungai-sungai sekitar Lung Tuyoq,
memiliki populasi ikan Bagarius yarelli yang sangat tinggi. Sebagai gambaran,
selama tujuh hari di sana kemarin, saya melihat ikan klasik ini sebanyak tujuh
ekor dengan berat yang beragam (paling kecil 3 kilogram dan paling besar 10
kilogram). Segini saja saya sudah senang bukan kepalang, tetapi masyarakat
malah mengatakan bahwa kalau mau lihat yang ukurannya sebesar manusia dan bisa
lebih besar lagi, saya dipersilahkan datang kembali pada musim kemarau, kami
jamin bisa lihat monster Bagarius yarelli, kata mereka. Menarik, hal ihwal
keterkaitan ikan kuyur dengan Dayak
Long Glaat telah saya singgung semuanya. Saya mencoba melihat efek kearifan
lokal dan kepercayaan masyarakat itu dari sisi yang berbeda. Pertama, sangat
jelas bahwa populasi ikan purba ini sangat terjaga hingga hari ini. Dari sisi
lingkungan ini sangat luar biasa mengingat makin rusaknya habitat ikan unik ini
di berbagai perairan tawar lainnya di Indonesia. Ada efek lingkungan dan
keterkaitan konservasi yang sangat positif dari kepercayaan orang-orang Long
Glaat tersebut. Belum lagi potensi wisata dan akademik dari spesies ikan purba
yang bisa digarap di jaman modern ini. Kenapa saya bilang potensi wisata? Ya
itu tadi, pertama ikan kuyur adalah
spesies purba yang tidak pernah ber-evolusi selama ribuan tahun. Ini menarik
untuk menjadai bahan studi peneliti-peneliti dan berbagai pihak lainnya. Yang
artinya hanya karena satu spesies unik, Lung Tuyoq bisa menjadi destinasi
wisata penting di Kalimantan Timur. Satu kedatangan seorang peneliti, banyak
sektor kehidupan di kampung akan bergerak (sewa perahu, homestay, kru lokal,
porter, toko sembako, dan lain sebagainya). Jika sepuluh? Jika seratus
peneliti? Kedua, dengan sehatnya populasi ikan purba ini, masyarakat bisa menggarap
wisata petualangan dan lingkungan yang sangat unik, dengan target peminat
adalah pecinta ikan unik, pemancing yang sudah bosan dengan ikan-ikan yang mainstream, dan lain sebagainya. Paket
wisatanya semacam menjelajah sungai jeram dengan bonus pengamatan ikan Bagarius
yarelli di rumah aslinya di alam liar misalnya. Dan masih banyak hal lagi
lainnya yang bisa digerakkan di Lung Tuyoq hanya gara-gara ikan kuyur yang telah mereka jaga selama
entah berapa ratus atau ribu tahun tersebut. Yang pasti semua hal yang saya
pahami dalam konteks keterkaitan ikan kuyur
dengan orang Dayak Long Glaat, menurut saya sangat keren sekali! Demikian
dan salam wild fishing!
* Pictures of Bagarius yarelli by Me. Me and Nayaq Ping captured by Manurung Prima Uli. No watermark on the pictures, but please don't use or reproduce
(especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money
with my pictures without respect!!!
Comments