Lebih dari Apapun, Saya Tetap Memilih Untuk Lebih Peduli Pada Ekosistem Perairan Agar Dapat Diwariskan Kepada Generasi Selanjutnya
Kehadiran saya di sebuah desa pedalaman Kalimantan Barat beberapa waktu lalu sebenarnya adalah untuk ‘melihat’ dengan lebih dalam tentang bagaimana sebuah unit sosial yang berada jauh di pedalaman menjalani kehidupannya, berikut dalam menghadapi tantangan-tantangan yang ada saat ini. Masyarakat Dayak Beginci, ada juga yang menyebutnya Dayak Laman Peruya, adalah sebuah sub suku yang konon merupakan anak suku Ot-Danum di Kalimantan Tengah. Perjalanan sejarah juga politik pada masa lampau (pada jaman kerajaan-kerajaan) kemudian membuat sub suku ini terpaksa masuk dalam wilayah Kalimantan Barat. Baiknya saya tidak perlu membahas migrasi sekaligus ‘perpindahan’ unit sosial ini pada masa lampau karena kisahnya terlalu panjang dan juga pada beberapa bagian cukup sensitif. Kini (setelah migrasi panjang dan terus berpindah selama beberapa generasi) masyarakat ini mendiami sebuah noktah kecil di daerah aliran Sungai B***** K***, sekitar 10 jam dari kota Pontianak, Kalimantan Barat. Desa kecil mereka berada di ‘tengah’ hutan dan satu-satunya akses yang make sense ke wilayah mereka saat ini adalah melalui jalan logging milik sebuah perusahaan HPH dengan menggunakan kendaraan gardan ganda. Ada satu akses lagi sebenarnya melalui sungai, tetapi bisa jadi kita akan stuck di kedalaman hutan karena sungai di wilayah ini banyak 'wall' jeram monster! Jika dilihat di peta, desa mereka berada tidak jauh dari garis imajiner yang merupakan batas antara Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, yang awalnya memang dari sanalah mereka berasal.
Ternyata memang tidak mungkin memisahkan manusia, masyarakat
dimanapun mereka tinggal, dengan yang namanya air (ataupun perairan). Sehingga
apa yang kami rencanakan di Jakarta kemudian mengalami banyak pengembangan dan
beberapa di antaranya adalah tentang tata kelola, potensi, dan lain sebagainya
terkait perairan tawar yang ada di wilayah geografis masyarakat Dayak Beginci. Baiklah
saya singgung sedikit apa yang kami garap disana tentang hal ini. Pertama
adalah masalah jalur transportasi dalam konteks masyarakat pedalaman di Pulau
Kalimantan. Masyarakat Beginci, sama seperti dengan hampir semua masyarakat
Dayak lainnya, apalagi yang tinggal di pedalaman, juga menggunakan jalur sungai
untuk melakukan berbagai aktifitas mereka sehari-hari. Misalnya saja untuk
pergi ke kebun, berburu, dan ataupun memetik hasil hutan lainnya. Sungai masih
merupakan jalur transportasi paling mudah, murah dan paling efektif untuk dilewati
dibandingkan semua jalur lainnya. Perburuan pencarian sumber nutrisi hewani
juga selalu dilakukan dengan melintasi jalur sungai. Saat pergi berburu
misalnya, pemburu selalu akan menyisir kawasan hutan ke arah hulu atau hilir.
Dari jalur inilah titik-titik potensial perburuan di dalam hutan akan
didapatkan dengan bantuan anjing-anjing mereka yang terlatih.
Kita harus ingat pelajaran SD, bahwa binatang apapun pasti akan selalu mencari air, sehingga ketika sebuah aliran sungai menyatukan seluruh satwa penghuni hutan, maka pemburu kemudian cukup menyisir aliran sungai dan mencari jejak-jejak kehadiran binatang buruannya. Selebihnya akan ‘diselesaikan’ oleh anjing-anjing pemburu mereka. Selain itu, sungai ulayat Dayak Beginci juga memiliki potensi berkilau bernama emas (yang uniknya masih dieksploitasi dengan cara yang sangat ramah lingkungan yakni mendulang tradisional). Sungai ulayat masyarakat Dayak Beginci merupakan habitat dari beragam jenis spesies ikan air tawar yang beberapa di antaranya terbilang sangat prestisius. Misalnya saja spesies ikan marga Tor spp yakni ikan semah (atau juga disebut pelian, sapan, atuk ong, dan lain-lain) dan juga masih terdapat spesies ikan tekat atau ikan Bagarius yarelli, jenis ikan purba yang banyak terdapat di sungai pegunungan yang memiliki ekosistem sehat. Setiap masyarakat pada akhirnya memang akan selalu mengalami perubahan. Tak terkecuali dengan masyarakat Dayak Beginci, yang meskipun secara geografis tempat tinggal mereka berada jauh di pedalaman. Arus perubahan juga ‘menyerbu’ masyarakat yang bersahaja ini dan mengakibatkan beberapa perubahan yang patut dicermati secara seksama.
Kita harus ingat pelajaran SD, bahwa binatang apapun pasti akan selalu mencari air, sehingga ketika sebuah aliran sungai menyatukan seluruh satwa penghuni hutan, maka pemburu kemudian cukup menyisir aliran sungai dan mencari jejak-jejak kehadiran binatang buruannya. Selebihnya akan ‘diselesaikan’ oleh anjing-anjing pemburu mereka. Selain itu, sungai ulayat Dayak Beginci juga memiliki potensi berkilau bernama emas (yang uniknya masih dieksploitasi dengan cara yang sangat ramah lingkungan yakni mendulang tradisional). Sungai ulayat masyarakat Dayak Beginci merupakan habitat dari beragam jenis spesies ikan air tawar yang beberapa di antaranya terbilang sangat prestisius. Misalnya saja spesies ikan marga Tor spp yakni ikan semah (atau juga disebut pelian, sapan, atuk ong, dan lain-lain) dan juga masih terdapat spesies ikan tekat atau ikan Bagarius yarelli, jenis ikan purba yang banyak terdapat di sungai pegunungan yang memiliki ekosistem sehat. Setiap masyarakat pada akhirnya memang akan selalu mengalami perubahan. Tak terkecuali dengan masyarakat Dayak Beginci, yang meskipun secara geografis tempat tinggal mereka berada jauh di pedalaman. Arus perubahan juga ‘menyerbu’ masyarakat yang bersahaja ini dan mengakibatkan beberapa perubahan yang patut dicermati secara seksama.
Berbahagialah rekan-rekan semuanya yang memiliki begitu
banyak waktu memancing, yang daerahnya memiliki banyak spot memancing yang
masih cukup potensial, juga peralatan yang sesuai, atau mungkin rekan-rekan
satu hobi yang selalu bisa berkumpul dan melakukan perjalanan bersama. Saya
lebih sering sendirian, dan atau hanya berdua atau bertiga saja, meskipun jujur
saja saya juga tdak menyesali dan meratapinya. Hehehe! Waktu yang ada dalam
kehidupan saya tidak lagi sepenuhnya milik saya sendiri, tetapi milik banyak orang,
banyak pihak. Kita kembali lagi ke B***** K***, sebuah sungai arus deras khas
pegunungan milik masyarakat Dayak Beginci. Banyak kisah yang dituturkan oleh
tokoh masyarakat bahwa dahulunya sungai mereka adalah ‘surga’ yang dipenuhi
beragam spesies ikan dengan ukuran yang juga menakjubkan. Namun kini apa yang
dikisahkan dengan begitu bersemangat tersebut sudah sangat sulit untuk kita
temukan, kecuali pada musim tertentu saja, dan sangat mungkin memang telah mulai menghilang ditelan perubahan. Perubahan
populasi, perubahan habitat, pola konsumsi yang menekan lingkungan, dan juga
cara pemanfaatan yang tidak lagi memperhatikan keberlangsungan regenerasi
spesies. Namun saya melihat bahwa sungai ulayat tersebut masih memiliki harapan
untuk dapat dibanggakan kepada generasi penerus, karena sejauh saya
mendengarkan penuturan dari masyarakat, cara-cara kejam dalam memanfaatkan
perairan tawar mereka hampir tidak ada sama sekali. Semoga kearifan lokal yang
ada di masyarakat ini dapat terus berlangsung hingga nanti sehingga alam di
sekitar mereka tidak mengalami degradasi yang signifikan.
Singkat cerita, tibalah saat untuk menumpahkan segala hasrat memancing yang telah lama saya pendam. Dengan ditemani dua orang kawan kami kemudian mengambil start di wilayah hulu sungai, sekitar dua jam perjalanan ke arah hulu dengan mesin tempel kecil, hitungan kasar kami, kami akan memiliki waktu memancing berhanyut (drifting) efektif selama empat jam saja. Saya dan rekan-rekan saya bukan tipikal pemancing yang membabi buta ketika berada di spot mancing, sebaik apapun spot tersebut, jadi waktu makan siang sambil bersantai menikmati kemegahan alam pedalaman yang kira-kira 1-1,5 jam kami hitung sebagai pengurang waktu mancing kami. Kami selalu ingin mancing dengan sehat dan masuk akal, meski saat itu berada di spot mancing yang terbaik sekalipun. Kenapa prinsip seperti ini kami terapkan? Karena tidak baik terlalu menuruti hasrat kita yang pastinya akan menginginkan kepuasan maksimal apapun resikonya, dan bagaimanapun caranya, bagi kami hal seperti itu tidak baik untuk kesehatan batin. Hehehehe! Memancing di sungai arus deras menurut saya memiliki sisi dilematis yang cukup krusial yang memerlukan keputusan yang tepat. Kita sudah sama-sama memahami, bahwa teknik kasting di sungai arus deras selalu kita lakukan sambil berhanyut atau drifting dengan mesin perahu dimatikan. Juru batu dan juru mudi kemudian akan fokus mengarahkan perahu dengan bantuan dayung dan atau tongkat penopang yang cukup panjang dan mampu menjangkau dasar sungai. Sesekali di spot tertentu (biasanya ini terdapat di belokan sungai yang memiliki lubuk dalam dan luas), dan memiliki sedikit obstacles kita bisa berhenti sejenak untuk memaksimalkan spot dengan menghujaninya lemparan ke berbagai titik yang kita anggap potensial. Baru kemudian kita akan kembali berhanyut ke arah hilir lagi.
Singkat cerita, tibalah saat untuk menumpahkan segala hasrat memancing yang telah lama saya pendam. Dengan ditemani dua orang kawan kami kemudian mengambil start di wilayah hulu sungai, sekitar dua jam perjalanan ke arah hulu dengan mesin tempel kecil, hitungan kasar kami, kami akan memiliki waktu memancing berhanyut (drifting) efektif selama empat jam saja. Saya dan rekan-rekan saya bukan tipikal pemancing yang membabi buta ketika berada di spot mancing, sebaik apapun spot tersebut, jadi waktu makan siang sambil bersantai menikmati kemegahan alam pedalaman yang kira-kira 1-1,5 jam kami hitung sebagai pengurang waktu mancing kami. Kami selalu ingin mancing dengan sehat dan masuk akal, meski saat itu berada di spot mancing yang terbaik sekalipun. Kenapa prinsip seperti ini kami terapkan? Karena tidak baik terlalu menuruti hasrat kita yang pastinya akan menginginkan kepuasan maksimal apapun resikonya, dan bagaimanapun caranya, bagi kami hal seperti itu tidak baik untuk kesehatan batin. Hehehehe! Memancing di sungai arus deras menurut saya memiliki sisi dilematis yang cukup krusial yang memerlukan keputusan yang tepat. Kita sudah sama-sama memahami, bahwa teknik kasting di sungai arus deras selalu kita lakukan sambil berhanyut atau drifting dengan mesin perahu dimatikan. Juru batu dan juru mudi kemudian akan fokus mengarahkan perahu dengan bantuan dayung dan atau tongkat penopang yang cukup panjang dan mampu menjangkau dasar sungai. Sesekali di spot tertentu (biasanya ini terdapat di belokan sungai yang memiliki lubuk dalam dan luas), dan memiliki sedikit obstacles kita bisa berhenti sejenak untuk memaksimalkan spot dengan menghujaninya lemparan ke berbagai titik yang kita anggap potensial. Baru kemudian kita akan kembali berhanyut ke arah hilir lagi.
Kondisi dilematis yang saya maksud adalah tentang prioritas
pada ikan target. Maksud saya begini. Sungai upper river selalu memiliki kombinasi dalam dan dangkal yang selang
seling tidak teratur, juga kondisi arus air yang selalu unik. Saat kita sedang
berhanyut, kehadiran dua lokasi dengan kedalaman dan arus berbeda ini menjadi
seperti tiba-tiba, saking kita fokus memancing. Padahal di kondisi kedalaman
dan struktur tepian yang berbeda ini sepengetahuan saya hidup dua spesies
dominan yang berbeda pula, berbeda juga karakter predatory-nya, dan tentunya memerlukan dua ‘peluru’ yang berbeda.
Ini jika kita ingin menerapkan cara metode paling ‘benar’ untuk menggaet ikan
target yang berada di badan sungai yang berbeda karakter tersebut. Beberapa
pemancing mengakalinya dengan menyiapkan dua tackle set yang diletakkan
sedemikian rupa di dekatnya, dengan peruntukan berbeda (yang tentunya telah
dipasang dengan lure yang sesuai). Saat sungai yang dilewati cukup dangkal dan
deras, akan menggunakan tackle yang telah dipasangi lure jenis shallow. Lure jenis ini akan aman karena
tidak meyelam dalam sehingga terhindar dari sangkutan dan meskipun arusnya sangat deras, tetap bisa bergoyang dengan cantik (tangan kita juga tidak terlalu pegal karena lidah umpan yang kecil). Target utama lure shallow
seperti ini, seringnya adalah spesies yang memang suka ngumpet di perairan dangkal di atau dekat struktur perlindungan yang ada
di badan sungai seperti ini, contoh paling klasik adalah ikan hampala (adungan). Tetapi jika tiba-tiba setelah
badan sungai yang dangkal ini terlewati dan spot di depan adalah lubuk yang
luas dan dalam, dan berarus tenang, dia akan langsung switch dengan tackle yang telah dipasangi lure deep diving yang diproyeksikan mencari ikan-ikan yang memang suka
di spot seperti itu, misalnya saja adalah ikan jenis Tor spp. Menghadapi kondisi dilematis seperti ini, beberapa
pemancing mencoba mem-push kemampuan
dan kecepatannya sehingga dapat bermain dengan maksimal. Pun misalnya dia tidak
memiliki dua tackle set, akan mem-push kecepatannya dalam mengganti umpan yang
sesuai. Beberapa pemancing lain menghindari tantangan upper river ini
dengan,”Ah semua tergantung rejeki kita masing-masing!” Ada memang yang
memancing dengan cara yang benar juga aksi yang cantik, tetapi ada juga yang
“terserah gue deh”, emang elo siapa ngajarin gue?! Ada yang belajar terus
menerus dan membangun tekniknya saat berada di lokasi, ada yang memang tipikal
membanggakan ‘kehebatan’ tekniknya dan enggan belajar lebih jauh, padahal spesies yang dia peroleh di waktu lalu sebenarnya karena kebetulan saja!
Saya juga masih belajar untuk menjadi mumpuni seperti apa
yang saya tuliskan di paragraf di atas. Sayangnya saat itu kondisi air di
B***** K*** tidak cukup jernih karena rupanya masih sering turun hujan di
daerah hulu, tetapi dengan kondisi curah hujan Kalimantan Barat yang cukup
tinggi, saya masih merasa sangat beruntung karena tingkat kejernihan air masih
cukup mendukung untuk aplikasi teknik kasting dengan umpan buatan. Tentunya
fokus saya saat itu adalah mengejar ikan-ikan yang suka berburu di perairan
dangkal dan atau suka menyambar di dekat permukaan air saja, ikan hampala. Saya
mencoba legawa untuk tidak memaksakan
diri mencari spesies prestisius lainnya yang cenderung berada di kedalaman
yakni ikan jenis Tor spp yang menjadi
idaman banyak pemancing air tawar. Karena menurut saya akan membuang waktu saja
kita memaksakan diri menuruti ego mengejar ikan prestisius, padahal kondisi
tidak mendukung. Saya harus menerapkan dengan bertanggung jawab prinsip
memancing dengan sehat dan make sense
yang saya pegang. Dan bukannya menurut hasrat semata tetapi kemudian kita tidak
belajar apa-apa dan malahan menjadi semakin ‘bodoh’ dan ’buta’.
Sangat jarang dalam perjalanan memancing saya, begitu banyak
lure yang ada dalam tackle box saya. Maksud saya begini, betul saya memiliki
banyak sekali lure untuk teknik dan ikan target yang berbeda. Tetapi saya bukan
tipikal pemancing yang akan membawa seluruh isi ‘lemari’ saya ke spot manapun,
saya hanya akan membawa yang paling cocok saja di lokasi tersebut. Namun kali
ini, meski saya hanya membawa lure yang cocok dengan kondisi upper river, umpan
saya yang sesuai dengan kondisi tersebut menjadi lebih banyak lagi dari
biasanya. Semua ini berkat kebaikan seorang kawan dekat di Tegal (Kaje Squad) yang kini
‘bermain’ umpan dan kebaikan seseorang yang jujur saja belum pernah saya kenal
secara langsung (Dharma Bakti Samudera). Thanks to both of you! Para sportfisher dewasa ini memang
sangat beruntung, karena memiliki begitu banyak pilihan lure, berbeda dengan
para pioneer dunia sportfishing di manapun di dunia yang memiliki pilihan umpan
yang terbatas. Apa yang kita alami sekarang bisa jadi sebuah kelebihan
sekaligus kekurangan (jika kita tidak bisa melihatnya dengan baik). Karena
harus kita akui dengan jujur, sebagian besar di antara lure-lure yang
menyilaukan mata tersebut tidak selalu cocok kita pakai di perairan tawar dan
laut kita yang tropis. Tetapi di ranah media sosial, saya melihat bahwa minnow
air tawar Sparrow Widow Maker yang
berjubelan di tackle box saya saat itu dapat kita masukkan ke dalam kelompok
yang patut diperhitungkan. Karena banyak sekali rekan-rekan pemancing lain yang
telah lebih dahulu memakai lure ‘baru’ ini kemudian mendapatkan pengalaman
memancing yang menarik. Saya juga berharap mendapatkan pencerahan melalui cara
saya sendiri terkait lure ini sehingga dapat mengatakan based on pengalaman saya sendiri. Prinsip match the hatch, kemudian membawa jemari tangan saya memilih dua
lure utama saja. Yakni yang berwarna putih transparan dengan punggung agak
gelap dan satunya adalah yang berwarna hijau kekuningan. Saya tidak tahu apa nama
tepatnya kedua warna ini, rekan-rekan dapat melihatnya di album para seller
lure ini yang mudah kita jumpai di media sosial.
Warna putih transparan menurut saya cocok dengan karakter bentuk dan warna baitfish (ikan-ikan umpan) yang banyak terdapat di upper river. Misalnya saja ikan seluang, salap, dan lain sebagainya. Sedangkan yang berwarna kehijauan mewakili beberapa buah tertentu yang juga kadang dikonsumsi ikan predator upper river. Warna kehijauan ini juga menyerupai warna binatang-binatang kecil yang banyak hidup di tepian air semisal katak pohon yang memiliki kamuflase dengan warna serupa. Berat kedua lure ini masing-masing 14,5 gram dengan panjang 10 cm dengan tipe minnow jerkbait dengan karakter slow floating. Maafkan saya jika salah menerjemahkannya, tipe minnow jerkbait maksudnya adalah bahwa minoow ini bisa juga beraksi cantik ketika rod kita sentak-sentak sembari menggulung reel. Jadi ada dua pilihan aksi dominan antara bergoyang gemulai ketika slow retrieve dan atau pecicilan, persis seperti polah ikan-ikan kecil yang berenang gesit kesana kemari. Daya selamnya sangat ideal yakni 1-1,5 meter.
Warna putih transparan menurut saya cocok dengan karakter bentuk dan warna baitfish (ikan-ikan umpan) yang banyak terdapat di upper river. Misalnya saja ikan seluang, salap, dan lain sebagainya. Sedangkan yang berwarna kehijauan mewakili beberapa buah tertentu yang juga kadang dikonsumsi ikan predator upper river. Warna kehijauan ini juga menyerupai warna binatang-binatang kecil yang banyak hidup di tepian air semisal katak pohon yang memiliki kamuflase dengan warna serupa. Berat kedua lure ini masing-masing 14,5 gram dengan panjang 10 cm dengan tipe minnow jerkbait dengan karakter slow floating. Maafkan saya jika salah menerjemahkannya, tipe minnow jerkbait maksudnya adalah bahwa minoow ini bisa juga beraksi cantik ketika rod kita sentak-sentak sembari menggulung reel. Jadi ada dua pilihan aksi dominan antara bergoyang gemulai ketika slow retrieve dan atau pecicilan, persis seperti polah ikan-ikan kecil yang berenang gesit kesana kemari. Daya selamnya sangat ideal yakni 1-1,5 meter.
Begitulah, selanjutnya saya bersama dua orang rekan (yang
satu adalah pemancing pro Kalimantan Barat dan satunya sedang kami racuni agar gila mancing) kemudian
berhanyut mengikuti arus sungai menuju ke hilir, menikmati kemewahan hidup
bernama wild fishing. Hehehe. Tingkat kejernihan air yang ada masih tetap
rendah, tetapi kami tetap menikmatinya. Apalagi masyarakat yang memandu kami
juga begitu bersemangat dalam menunjukkan ‘surga’ perairan tawar yang mereka
miliki. Hasilnya selama kurang lebih empat jam berhanyut tersebut? Berpuluh
sambaran predator upper river kami dapatka. Saya sendiri kemudian berhasil landed 17 ekor tetapi semuanya adalah
ikan jenis hampala dengan size kecil.
Beberapa big strike yang saya dapatkan gagal landed karena berbagai hal. Juga big strike yang didapatkan oleh rekan pro angler saya Wijayadi. Rupanya saya masih harus banyak belajar
banyak tentang konsentrasi. Saya tidak menyesali tidak naiknya monster di
sungai tersebut, lain waktu bisa didatangi lagi, karena apapun hasilnya sudah
suatu kebahagiaan bagi pekerja keliling seperti saya bisa menikmati waktu
sambil nge-wild fishing. Banyaknya
sambaran yang kami dapatkan menjadi indikasi kuat bahwa ekosistem perairan
tawar milik masyarakat Dayak Beginci ini masih cukup sehat! Padahal ya itu
tadi, tingkat kejernihan air saat itu sangat rendah. Bayangkan andai
saat itu tingkat kejernihan air sungai B***** K*** sangat tinggi alias
benar-benar clearwater? Hmmmmmm (saya
kembali ngelamun sambil mulai mengatur jadwal kapan bisa kesana lagi). Kawan
dekat saya di Pontianak yang menjadi kunci akses ke wilayah ini bahkan sudah
menjawab rencana saya dengan “siaaaap!” Cilaka dah! Hehehe!
Tingginya rate strike yang kami dapatkan sekaligus menjadi bukti nyata, bahwa memang benar cara tangkap ramah lingkungan masih dipegang oleh masyarakat setempat. Masa depan perairan tawar di wilayah ini masih cukup cerah dan menurut saya masih sangat layak untuk diwariskan kepada generasi penerus nantinya. Jika ekosistem yang ada telah rusak, pasti rate strike yang kami dapatkan tidak akan sebanyak itu, apalagi kondisi air yang ada juga kurang ideal. Hasil yang menggembirakan ini juga sekaligus jawaban bahwa ‘peluru’ yang saya bawa (Sparrow Widow Maker) memang cocok diterapkan di perairan tawar tropis utamanya di sungai pegunungan (upper river). Dan yang berwarna putih transparan menurut saya masuk dalam kategori “killer!”. Ampuh banget! Ini tentunya tanpa bermaksud menafikkan bahwa juga banyak lure lain yang dengan tipe dan karekter sama dari pabrikan lain, yang banyak tersedia di pasar mancing Indonesia saat ini, yang memiliki predikat yang sama. Personally, saya berharap selalu dapat membawa Sparrow di setiap perjalanan mancing kasting upper river saya di waktu yang akan datang bersama dengan lure jenis lainnya juga tentunya.
Tetapi lebih dari apapun, seperti telah saya tuliskan pada judul, saya tetap akan fokus memilih tercipta dan terjaganya sebuah ekosistem yang sehat dibandingkan tumpukan lure, lusinan tackle dan atau merk apapun. Maksud saya, kita bisa tetap menekuni hobi memancing sembari membangun kesadaran dan mengkampanyekan sustainable fishing method ini ke khalayak yang lebih luas (bukan hanya having fun dan kemudian narsis seperti kultur yang mendominasi dunia mancing Indonseia saat ini). Demikian dan salam wild fishing untuk semuanya, terimakasih telah bersedia mampir ke blog iseng ini! Tight lines!
Tingginya rate strike yang kami dapatkan sekaligus menjadi bukti nyata, bahwa memang benar cara tangkap ramah lingkungan masih dipegang oleh masyarakat setempat. Masa depan perairan tawar di wilayah ini masih cukup cerah dan menurut saya masih sangat layak untuk diwariskan kepada generasi penerus nantinya. Jika ekosistem yang ada telah rusak, pasti rate strike yang kami dapatkan tidak akan sebanyak itu, apalagi kondisi air yang ada juga kurang ideal. Hasil yang menggembirakan ini juga sekaligus jawaban bahwa ‘peluru’ yang saya bawa (Sparrow Widow Maker) memang cocok diterapkan di perairan tawar tropis utamanya di sungai pegunungan (upper river). Dan yang berwarna putih transparan menurut saya masuk dalam kategori “killer!”. Ampuh banget! Ini tentunya tanpa bermaksud menafikkan bahwa juga banyak lure lain yang dengan tipe dan karekter sama dari pabrikan lain, yang banyak tersedia di pasar mancing Indonesia saat ini, yang memiliki predikat yang sama. Personally, saya berharap selalu dapat membawa Sparrow di setiap perjalanan mancing kasting upper river saya di waktu yang akan datang bersama dengan lure jenis lainnya juga tentunya.
Tetapi lebih dari apapun, seperti telah saya tuliskan pada judul, saya tetap akan fokus memilih tercipta dan terjaganya sebuah ekosistem yang sehat dibandingkan tumpukan lure, lusinan tackle dan atau merk apapun. Maksud saya, kita bisa tetap menekuni hobi memancing sembari membangun kesadaran dan mengkampanyekan sustainable fishing method ini ke khalayak yang lebih luas (bukan hanya having fun dan kemudian narsis seperti kultur yang mendominasi dunia mancing Indonseia saat ini). Demikian dan salam wild fishing untuk semuanya, terimakasih telah bersedia mampir ke blog iseng ini! Tight lines!
* Pictures mostly by Wijayadi. Some shots by Patricia
& Me. Please don't use or reproduce (especially for commercial purposes)
without my permission. Don't make money with my pictures without respect!!!
Comments