Catatan ini pertama kali dipublikasikan di situs jaringan kepedulian perairan Wild Water Indonesia. Salam lestari! Bersama Julak Iswan dan Anang Tirta W. (WWI Region Kalimantan Timur) dan juga bersama Ignasius Rayung, Minggang lejau, Darius Dalung Lejau, Victorious Awang, dan sekitar 7 orang lainnya dari (WWI Region Mahakam Ulu dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Mahakam Ulu) pada tanggal 9-24 Oktober 2017 lalu kami melakukan sebuah perjalanan yang awalnya terkesan utopis, khayalan. Kenapa saya bilang “khayalan” karena memang apa yang kami lakukan sejatinya memerlukan biaya yang luar biasa banyak, usaha yang luar biasa besar, ketangguhan fisik dan mental yang di atas rata-rata, juga waktu perjalanan yang tidak bisa sebentar dan lain sebagainya. Ekspedisi Mata Air Sungai Mahakam 2017 awalnya adalah angan belaka ketika saya masih blusukan bersama para relawan WWI Region Malang Selatan. Waktu itu, akhir September hingga awal Oktober 2017 kami mulai melaksanakan program bermakna ganda bernama Jaga Mata Air di Malang Selatan, yang mana salah satu bentuk program ini adalah melakukan penebaran ikan sidat ke mata-mata air yang ada di pegunungan karts Malang Selatan dan menjalin silaturahmi dengan seluruh masyarakat lainnya dalam menguatkan kearifan lokal berkelanjutan terkait mata air, salah satunya dengan melakukan nyadran di berbagai titik mata air. Tentang update program Jaga Mata Air di Malang Selatan ini akan saya tuliskan kemudian karena hingga hari ini telah dilakukan penebaran ikan sidat sebanyak 13 titik, saya hanya mengikutinya sejak mulai melakukan relokasi ikan sidat dari Blitar menuju Malang Selatan, dan ketika melakukan penebaran hingga titik ke-7. Angan tentang Ekspedisi Mata Air Sungai Mahakam 2017 tersebut mewujud dalam diskusi jarak jauh dengan beberapa sahabat WWI Region Mahakam Ulu, dengan para relawan di WWI Fish Warrior utamanya Derry Setiawan dan Julak Iswan. Angan yang juga sempat terlontar ke luar jaringan yang ‘menghasilkan’ tim Mancing Liar MNC TV di Jakarta ikut bergabung dalam ekspedisi ini.
Bagi kami semua para relawan, sebuah ekspedisi besar (bahkan
bagi saya sendiri ini adalah ekspedisi terbesar di perairan tawar yang pernah saya
lakukan) sejatinya tidak semudah kelihatannya. Mungkin banyak para sahabat dan
masyarakat sudah melihat sebagian postingan kami di berbagai media sosial, dan
terlihat begitu wah? Tentu banyak dibaliknya yang terjadi dalam mewujudkan itu
semua. Catatan ini adalah untuk memberi gambaran di balik layar, behind the scene, Ekspedisi Mata Air Sungai Mahakam 2017 tersebut. Sekaligus dalam
rangka mengabadikan begitu banyak usaha, pemikiran, pengorbanan dan dinamika
lainnya yang memang tidak bisa terekam secara visual. Sekali lagi juga perlu
saya tekankan disini, bahwa semua relawan Wild Water Indonesia berangkat dan
kemudian berkegiatan selama 15 hari di Mahakam Ulu murni sebagai relawan. Yang
artinya ikhlas, tidak ada pamrih. Semata ingin menyebarkan pesan kegelisahan
perairan dan melakukan keteladanan kepedulian perairan yang mungkin kami
lakukan.
Perjalanan berliku sudah dimulai sejak saya meninggalkan
kota Malang pada tanggal 7 Oktober 2017 menuju Jakarta. Kota yang sudah
beberapa bulan saya tinggalkan tersebut rupanya masih dalam kondisi sama, macet
dan bising. Saya sempat melakukan silaturahmi dengan beberapa sahabat di kota
ini, termasuk dengan pihak Mancing Liar MNC TV (Agung Syakirul) untuk
memantapkan perjalanan ini. Tanggal 9 dini hari saya sudah di Bandara
Soekarno-Hatta bersama dua kru program tersebut; Indra Setyabudi dan Bobby
Mandela. Hari itu pertama kalinya saya berjumpa mereka, dua orang kru Mancing
Liar. Lucu memang kalau dipikir-pikir hidup ini, saya sendiri sebelumnya selama
hampir 7 tahun menjadi kru sebuah program yang konon kabarnya menjadi inspirasi
mereka membuat program tersebut. Bahkan salah satu program “mancing liar” yang
juga masih tayang di sebuah stasiun televisi besar di negeri ini, saya yang
membidani kelahirannya (walaupun ada beberapa orang tidak rela menyebutkan nama
saya saking ‘respect’-nya mereka kepada seorang pekerja biasa ini). Kini saya
hanyalah seorang relawan yang mengalir kemana-mana tidak tentu arah, mencoba
merawat perairan negeri ini melalui hal-hal sederhana. Apapun itu, momen pagi
hari di Bandara Soekarno-Hatta tersebut saya merasa Tuhan sedang bercanda!
Hahaha! Berikutnya adalah kantuk yang meraja sejak kami melakukan check in,
boarding, dan terbang ke Balikpapan, Kalimantan Timur.
Deklarasi WWI Region Macan Dahan Kutai Barat
Beberapa bulan sebelumnya perjalanan Balikpapan menuju ke
Sendawar di Kutai Barat dapat ditempuh dengan pesawat Kalstar. Tetapi entah
kenapa kini maskapai ini tidak lagi terbang kesana. Saya sebenarnya sudah
mengetahuinya karena sahabat di Mahakam Ulu sudah memberikan update beberapa hari sebelumnya, update yang membuat dengkul lemes.
Karena artinya kami harus menempuh perjalanan sekitar 10 jam menuju ke Kutai
Barat dengan kendaraan roda empat. Padahal dahulu dengan pesawat hanya satu jam
saja. Tetapi apa mau dikata? Inilah nyatanya. Inilah perjalanan sebenarnya.
Jadi kita sebagai pejalan harus banyak bersabar dan bukannya mencari sudut gelap
untuk melemparkan gundah yang juga tiada guna. Saya pernah menelusuri jalur
darat Balikpapan – Sendawar ini sebelumnya, akan tetapi malam hari, yang
menurut saya lebih cepat karena jalanan sepi. Kini harus melaluinya siang hari,
tentu akan berbeda dari segi waktu dan yang terasa di pantat dan pinggang kita.
Sepanjang perjalanan kemudian, satu-satunya hiburan adalah berharap ‘kejatuhan’
sinyal seluler, setidaknya setelah Kabupaten Kutai Kartanegara. Saya sempat
menghubungi beberapa sahabat di Sendawar antara lain Fernandus Lucky, Tanggo
Setiawan, dan Mohammad Wanda dengan harapan bisa berjumpa meski sebentar ketika
singgah di kota mereka. Dan rupanya mendapatkan respon positif terbukti ketika
sekitar pukul 10 malam tiba, berangkat dari Balikpapan sekitar pukul 10 pagi,
telah berkumpul empat komunitas mancing terbesar di Kutai Barat (Sendawar B-kox
Angler, KPK, Bentunk dan FFC). Tak kurang dari 40 orang berkumpul pada malam itu
di dangau-nya Bang Fernandus Lucky.
Sayangnya seorang sahabat yang selama ini cukup intens komunikasi jarak jauh,
Tanggo Setiawan, malahan tidak bisa hadir. Pertemuan yang awalnya sekedar ingin
ngopi bersama tersebut kemudian menjadi kenangan berkesan, kami semuanya
berikrar untuk mengibarkan satu bendera kepedulian perairan dengan
mendeklarasikan WWI Region Macan Dahan Kutai Barat. Saya akan selalu
mengingatnya! Maafkan saya sahabat semuanya saya tidak bisa melotot sampai pagi. Mata sudah kehabisan
‘baterai’, dan punggung pun terasa
menjadi tiang listrik. Semoga kita bisa berjumpa kembali dalam aksi-aksi
kepedulian perairan untuk Kutai Barat di masa mendatang! Saya percaya meski
kini jarak begitu jauh terbentang, dan juga kita masing-masing memiliki keterbatasan,
akan selalu ada jalan untuk kepedulian perairan ini. Terimakasih juga kepada
Bang Fernandus Lucky telah memberi saya dan kawan-kawan MNC TV tempat berteduh
malam itu.
Menuju Negeri Jeram Mahakam Ulu
Dermaga Tering menjadi titik tolak berikutnya pada tanggal
10 Oktober 2017. Saya terkadang merasa segan ke Bang Fernandus Lucky karena
selalu menemani saya ke dermaga ini setiap kali saya ke Mahakam Ulu (sudah tiga
kali dalam kurun 2016 – 2017 ini). Tetapi, belum pernah sekalipun saya
menggelar trip mancing ataupun aksi kepedulian bersama dengannya. Maafkan ya
bang?! Selalu banyak speedboat yang ‘kopdar’ di Tering dan kita tinggal memilih
yang mana akan berangkat menuju ke Ujoh Bilang. Pesan saya, naiklah selalu speed boat yang ada mesinnya. Karena itu
artinya lima jam kemudian kita sudah akan sampai di Ujoh Bilang, ibukota
Kabupaten Mahakam Ulu. Jika kita naik sebagai penumpang regular biayanya per
orang 300 ribu rupiah. Saya pernah sewa khusus, karena mengejar waktu, dan
harganya adalah 300 ribu x sekia, baiknya tidak saya sebutkan. Perjalanan speed boat Tering – Ujoh Bilang adalah
perjalanan yang monoton sebenarnya. Deru mesin, air Sungai Mahakam yang coklat,
dan angin yang menerpa tubuh kita beberapa jam. Berbahagialah jika dalam
perjalanan yang monoton ini penumpang lainnya senang bercerita karena kita bisa
melupakan waktu sejenak. Dan atau berbahagialah misalnya jika di depan atau di
samping kita ada seseorang yang begitu menyita perhatian. Seperti pagi itu saya
alami, seorang bocah usia sekitar tujuh tahun yang begitu lucu dan menjadi
‘penguasa’ speed boat. Hehehe!
Tengah hari yang panas ketika speed boat akhirnya merapat di Dermaga Ujoh Bilang. Beberapa relawan lain sudah menanti. Bang Julak Iswan dan Anang Tirta (WWI Region Kaltim) yang telah lebih dahulu tiba, Minggang Lejau, Victorius Awang dan lain-lain. Bang Ignasius Rayung masih sibuk bekerja di kantornya. Masih ada rasa tidak percaya bahwa diskusi-diskusi entah berapa banyak malam itu mewujud dengan berkumpulnya kami semua untuk sesuatu yang tidak biasa di hari-hari berikutnya. Jika ada yang kurang sempurna dalam perjalanan ini adalah karena tidak ada seseorang yang bernama Derry Setiawan, salah satu “fish warrior”-nya Wild Water Indonesia. Ada helikopter TNI terbang di atas kami menuju ke perbatasan, seakan berkata “cepatlah kalian naik ke mata air itu jangan terlalu banyak bicara”. Tidak ada kegiatan berarti selama di Ujoh Bilang ini, hanya pemantapan logistik, mencoba mencari sinyal 3G yang kondisinya seperti ingus, dan koordinasi-koordinasi kecil lainnya untuk sebuah ekspedisi besar esok hari. Meski demikian kami sempat bertamu ke Polsek Long Bagun untuk diskusi tentang illegal fishing dengan Bapak Kasiono S.H. (Kapolsek) dan melaporkan kehadiran kami di Mahakam Ulu ini. Kapolsek berkata bahwa dirinya juga memiliki semangat yang sama dalam penegakan humum terkait destruktif dan illegal fishing (setrum dan racun ikan) namun pihaknya berharap ada perda terkait larangan illegal fishing di Kabupaten Mahakam Ulu, sehingga aparat kepolisian juga lebih memiliki kekuatan dan keleluasaan dalam menindak pelaku. Memang di Mahakam Ulu kasus pelanggaran UU No. 31/2005 jo UU No. 45/2009 Tentang Perikanan ini masih sangat jarang, tetapi terkadang ada saja orang yang merusak perairan dengan cara tangkap tidak ramah lingkungan tersebut, setrum dan racun ikan, akan tetapi itupun hanya terjadi di sekitar Ujoh Bilang saja dan bukan di bagian hulu Sungai Mahakam yang akan kami tuju dalam ekspedisi ini. Hulu yang dimaksud Bapak Kapolsek ini jaraknya tiga hari perjalanan menentang jeram-jeram ‘monster’ Sungai Mahakam menggunakan long boat selama satu hari, kemudian disambung dengan kelotok selama dua hari! Untuk masa depan perairan Indonesia yang lebih baik. Salam lestari!
Epilog: Deskripsi Program Jaga Mata Air
Program Jaga Mata Air adalah program jangka
panjang lintas region jaringan kepedulian perairan Wild Water Indonesia yang
memiliki beragam makna. Pertama, adalah sebagai tekad
jaringan untuk terus mengingatkan para relawan di seluruh negeri tentang
pentingnya menjaga kemurnian keikhlasan dan kesukarelaan dalam menjalani
kepedulian perairan ini demi mewariskan ‘mata air’ untuk Indonesia dan bukan
air mata. Kedua, adalah untuk mendorong semangat jaringan Wild Water
Indonesia melalui para relawan untuk melakukan perjalanan-perjalanan skala
besar ke pedalaman di seluruh negeri untuk menjalin silaturahmi kepedulian
dengan masyarakat setempat. Menjadi bagian penting perubahan positif tata
kelola dan pemanfaatan potensi perairan secara berkelanjutan yang ada di
wilayah tersebut agar potensi alam dapat diwariskan kepada generasi berikutnya
dalam keadaan yang layak. Ketiga, adalah sebagai penanda bahwa
jaringan kepedulian perairan Wild Water Indonesia juga menjalankan konsern
kepedulian merawat (menjaga) mata air yang merupakan elemen vital kehidupan
manusia dan makhluk hidup lainnya (salah satunya dengan penebaran ikan-ikan
sidat dan menciptakan kawasan hutan lindung melalui kesepakatan adat), sembari
dengan tetap menjalankan main concern jaringan
berupa kampanye penghentian aktifitas destruktif dan illegal fishing (setrum,
racun, dan bom ikan) serta penghentian budaya nyampah sembarangan. Pun juga dengan tidak ‘meninggalkan’ konsern
yang telah dijalankan hampir dua tahun terakhir ini salah satunya adalah
pelestarian ikan-ikan lokal (native fish)
di Indonesia. Salam lestari! (Bersambung)
Comments