Foto di cover Majalah Mancing edisi Februari 2008 ini saya jepret pertengahan Januari lalu di sebuah tambak bandeng (Chanos chanos atau milkfish) di daerah Kamal Muara, Jakarta Utara. Tambak bandeng yang letaknya tak jauh dari Stadion Kamal Muara, markas Persitara yang baru saja mengadakan syukuran karena akan berlaga di Liga Super musim depan.
Saat itu, di tambak tersebut (yang konon dimiliki oleh DKP dan juga sedang berada dalam sengketa itu) sedang dibuka untuk pemancing yang berniat memancing bandeng. Tambak-tambak bandeng biasanya dibuka untuk pemancing menjelang satu atau dua bulan menjelang Imlek. Semacam usaha mencari pemasukan awal sebelum bandeng dipanen untuk memenuhi permintaan pasar saat Imlek. Dan pemancing, baik pemancing jebluk ataupun sport angler, biasanya akan membanjiri tambak-tambak tersebut tiap sabtu dan minggu. Mereka tak peduli dengan harga per kg ikan berhasil dipancing yang bisa mencapai angka Rp. 25-40 ribu. Di sebuah pemancingan mewah di Tanjung Pasir, Tangerang malah bisa mencapai Rp. 80 ribu per kg.
Alasan kenapa pemancing membanjiri tambak-tambak bandeng adalah bahwa ikan ini daya tarungnya cukup tangguh. Kalau sudah terpancing dia akan lari kencang ke segala arah dan sesekali meloncat ke udara. Sebuah sensasi yang selalu dicari pemancing.
Kedua, terutama untuk para sport angler, mereka rela menurunkan standar arena bermainnya dengan mancing di tambak-tambak karena cuaca di laut yang buruk dan berbahaya. Daripada tangan gatel narikin bandeng pun tak masalah selama teknik yang dipakai tetap cara sport seperti casting ataupun fly fishing. “Asal jangan mancing jebluk pakai pelet aja,” kata mereka.
Nama anak di cover ini Azis. Dia adalah seorang caddy. "Kenek" pemancing menyebutnya. Tugasnya membantu pemancing menyiapkan umpan, melemparkan chumming (pemancing menyebutnya bom, yaitu sebuah metode mengumpulkan ikan dengan melemparkan ke air makanan yang bisa mengundang ikan), melepaskan hook dari mulut ikan, membelikan kopi, menyulutkan rokok, dll. Sekali menjadi "kenek" mereka dibayar antara 10 ribu hingga 25 ribu. Tergantung apakah saat itu pemancing yang dia layani senang atau tidak, dan hasil mancingnya bagus atau tidak.
Banyak sekali anak-anak yang berprofesi seperti Azis ini. Mereka dengan mudah dapat kita jumpai di berbagai areal tambak di Jakarta Utara ataupun di Tanjung Burung dan Tanjung Pasir di wilayah Tangerang. Ada yang menjadikan profesi caddy itu sebagai pekerjaan tetap. Ada juga yang iseng, mencari uang jajan sepulang sekolah.
Mereka tinggal tidak lebih 2 jam dari pusat Jakarta. Tempat segala sesuatu di Indonesia ini “berpusat”. Tetapi jika ditelusuri lebih mendalam keadaan anak-anak seperti Azis ini membuat hati jadi tidak gembira. Para orang tua mereka adalah orang-orang kecil dengan penghasilan sangat pas pasan. Ada pedagang keliling juga nelayan atau penjala ikan yang penghasilannya tak seberapa. Yang menyedihkan, meski mereka tinggal di dekat tambak-tambak bandeng yang konon protein ikan ini sangat baik untuk nutrisi otak, mereka jarang mengkonsumsi ikan-ikan ini.
Ah, selalu cerita sedih. Berkali-kali sudah saya bolak-balik melintasi daerah Kamal, Tanjung Burung dan sekitarnya sejak bertemu Azis itu. Rasanya segera ingin kembali ke sana. Mampir sebentar ke rumahnya atau menemuinya di “pos” caddy di dekat stadion. Saya pengen ajak dia menemani saya casting (mancing dengan light tackle dengan artificial lure macam popper, minnow atau stickbait) dan semua tangkapannya nantinya akan saya kasih ke dia. Lalu di akhir acara mancing saya akan beri dia "hadiah". Satu eksemplar majalah yang memuat foto dirinya itu dengan disertai kata-kata pemberi semangat. Agar senyum itu terus berkembang sejalan dengan usianya. Karena aku yakin jika "senyum" tidak hilang dari dirinya, areal tambak luas yang kini jadi sengketa itu suatu saat bisa dia ambil alih menjadi miliknya sendiri.
* Foto: Kover Majalah Mancing, Februari 2008. Photo cover by Me.
Saat itu, di tambak tersebut (yang konon dimiliki oleh DKP dan juga sedang berada dalam sengketa itu) sedang dibuka untuk pemancing yang berniat memancing bandeng. Tambak-tambak bandeng biasanya dibuka untuk pemancing menjelang satu atau dua bulan menjelang Imlek. Semacam usaha mencari pemasukan awal sebelum bandeng dipanen untuk memenuhi permintaan pasar saat Imlek. Dan pemancing, baik pemancing jebluk ataupun sport angler, biasanya akan membanjiri tambak-tambak tersebut tiap sabtu dan minggu. Mereka tak peduli dengan harga per kg ikan berhasil dipancing yang bisa mencapai angka Rp. 25-40 ribu. Di sebuah pemancingan mewah di Tanjung Pasir, Tangerang malah bisa mencapai Rp. 80 ribu per kg.
Alasan kenapa pemancing membanjiri tambak-tambak bandeng adalah bahwa ikan ini daya tarungnya cukup tangguh. Kalau sudah terpancing dia akan lari kencang ke segala arah dan sesekali meloncat ke udara. Sebuah sensasi yang selalu dicari pemancing.
Kedua, terutama untuk para sport angler, mereka rela menurunkan standar arena bermainnya dengan mancing di tambak-tambak karena cuaca di laut yang buruk dan berbahaya. Daripada tangan gatel narikin bandeng pun tak masalah selama teknik yang dipakai tetap cara sport seperti casting ataupun fly fishing. “Asal jangan mancing jebluk pakai pelet aja,” kata mereka.
Nama anak di cover ini Azis. Dia adalah seorang caddy. "Kenek" pemancing menyebutnya. Tugasnya membantu pemancing menyiapkan umpan, melemparkan chumming (pemancing menyebutnya bom, yaitu sebuah metode mengumpulkan ikan dengan melemparkan ke air makanan yang bisa mengundang ikan), melepaskan hook dari mulut ikan, membelikan kopi, menyulutkan rokok, dll. Sekali menjadi "kenek" mereka dibayar antara 10 ribu hingga 25 ribu. Tergantung apakah saat itu pemancing yang dia layani senang atau tidak, dan hasil mancingnya bagus atau tidak.
Banyak sekali anak-anak yang berprofesi seperti Azis ini. Mereka dengan mudah dapat kita jumpai di berbagai areal tambak di Jakarta Utara ataupun di Tanjung Burung dan Tanjung Pasir di wilayah Tangerang. Ada yang menjadikan profesi caddy itu sebagai pekerjaan tetap. Ada juga yang iseng, mencari uang jajan sepulang sekolah.
Mereka tinggal tidak lebih 2 jam dari pusat Jakarta. Tempat segala sesuatu di Indonesia ini “berpusat”. Tetapi jika ditelusuri lebih mendalam keadaan anak-anak seperti Azis ini membuat hati jadi tidak gembira. Para orang tua mereka adalah orang-orang kecil dengan penghasilan sangat pas pasan. Ada pedagang keliling juga nelayan atau penjala ikan yang penghasilannya tak seberapa. Yang menyedihkan, meski mereka tinggal di dekat tambak-tambak bandeng yang konon protein ikan ini sangat baik untuk nutrisi otak, mereka jarang mengkonsumsi ikan-ikan ini.
Ah, selalu cerita sedih. Berkali-kali sudah saya bolak-balik melintasi daerah Kamal, Tanjung Burung dan sekitarnya sejak bertemu Azis itu. Rasanya segera ingin kembali ke sana. Mampir sebentar ke rumahnya atau menemuinya di “pos” caddy di dekat stadion. Saya pengen ajak dia menemani saya casting (mancing dengan light tackle dengan artificial lure macam popper, minnow atau stickbait) dan semua tangkapannya nantinya akan saya kasih ke dia. Lalu di akhir acara mancing
* Foto: Kover Majalah Mancing, Februari 2008. Photo cover by Me.
Comments
blognya oke dan informasinya pas banget buat angler seperti kita.
keep blogging and fishing
Mohammad
Senang membaca gambaran soal "kenek" pemancing. Tak sangka ada lokasi macam ini dekat Jakarta. Jadi, ingin datang kesana. Thanks.
ricky(fly)
Nice Pict, melihat cover majalah itu (kebetulan aku dapet gratis selama 1 tahun....khan menang turnamen bandeng) aku pikir itu salah seaorang putra dari angler kita, weleh gak taunya "kedi" toh...Ganteng, polos,dan lugu. Apakah masa depannya akan seganteng orangnya ya....mudah-mudahan YA.
Salam
Abror
Salam
Abror
http//abror494.multiply.com