Awal bulan Juni udara di daerah di Paya Benua, Bangka Induk
terasa sangat menyengat. Waktu menunjuk angka delapan pagi, berarti satu jam
penuh waktu yang kami perlukan untuk sampai di lokasi ini sebab kami berangkat
dari Pangkalpinang pukul tujuh pagi. Saya dan tim Jejak Petualang Wild Fishing Trans7 ditemani oleh rekan-rekan pemancing Bangka, salah satunya karib saya Thomas Mayase. Paya Benua adalah sebutan warga desa
terhadap kawasan rawa perairan tawar yang ada di sekitar desa mereka. Perairan
rawa yang cukup luas namun kanan-kiri kawasan sudah berubah menjadi kebun sawit
dan atau kebun karet. Paya Benua ini adalah salah satu ‘ladang’ penghidupan
masyarakat nelayan di daerah ini namun letaknya memang jauh sekali dari
perkampungan, sekitar lima kilometer dari rumah paling ujung desa. Suasananya
berbeda sekali dengan danau ataupun kawasan rawa yang menjadi lahan perburuan
nelayan di daerah lain karena sepanjang mata memandang saya tidak menemukan
perahu nelayan berukuran besar, melainkan hanya sampan-sampan kecil (paling
banyak dapat memuat doa orang saja).
Hamparan tanaman air tampak rapat di seluruh penjuru kawasan
bagian tepian, di bagian tengah kawasan adalah sungai utama yang berair tenang
dengan aksen tanaman rasau (pandan air), di kejauhan terlihat samar seperti
sebuah punggungan bukit memanjang yang rendah. Langit kelabu tetapi tidak mampu
juga mengusir ‘kemarahan’ matahari yang membakar udara di kawasan ini. Bahkan beberapa
rekan pemancing dari Bangka yang menemani kami, sepertinya juga tidak kuat
berlama-lama di bawah paparan sinar matahari di Paya Benua ini. Kabarnya sejak
sekitar rawa berubah menjadi kebun sawit, udara di daerah ini menjadi lebih
panas tidak seperti dahulu lagi. Entahlah, yang pasti saya takut lama-lama
berada di bawah sinar matahari langsung, takut kulit hitam saya berubah menjadi
putih!
Beranjak pukul sembilan pagi rombongan warga yang kami nanti
pun tiba, ada tiga ibu-ibu dan dua bapak-bapak. Saya sempat terpikir mereka
akan datang dengan pickup mengingat harus membawa banyak barang mulai dari alat
masak dan lain sebagainya. Tetapi dugaan saya salah, mereka datang dengan
kendaraan yang super cool yaitu Jeep
Willys kuno yang menurut saya tetap gagah. Jeep yang entah bagaimana caranya
bisa nyasar ka Paya Benua di Bangka
ini. Tetapi apapun itulah, yang pasti saya pribadi begitu bersemangat hari itu
dengan rencana kami apalagi warga juga sangat antusias dan persiapan yang
dilakukan baik oleh mereka ataupun kami sangat rapi. Jadi meskipun kawasan Paya
Benua hari itu begitu panas, kami bisa menyelesaikan tugas kami hari itu dengan
lancar dan kenyang. Kenapa saya bilang kenyang, karena kebetulan hari itu
adalah suting masak memasak ala warga desa Paya Benua. Hehehehe!
Yang kami masak hari itu adalah ikan kepalau, begitu warga Paya Benua menyebutnya. Jenis ikan air tawar
yang memiliki warna sisik yang sangat indah. Dengan kombinasi warga coklat, titik-titik,
garis terang horisontal dan beragam warna lainnya. Ikan jenis barb ini baru
pertama kali saya lihat di alam liar dengan jumlah yang cukup banyak. Di
berbagai literatur ikan kepalau ini
disebut cherry barb, hampir mirip
dengan red line barb yang banyak di
perairan tawar India. Populasinya di Paya Benua sangat melimpah, meskipun
demikian ekploitasi nelayan terhadap ikan ini sangat rendah karena sulit dijual
sebab durinya banyak. Selain itu ikan kepalau juga cepat mati kalau terkena
jaring sehingga jarang ditangkap dalam jumlah besar untuk alasan ekonomi.
Penangkapan yang dilakukan warga lebih untuk konsumsi sehari-hari saja.
Olahan yang kami buat sebenarnya sederhana, yakni pepes atau pais. Di seluruh penjuru bumi hingga planet Mars, kalau yang
namanya olahan pais atau pepes ini ya kurang lebih dama saja cara
membuatnya. Bahan bisa berupa ikan, jamur, tawon atau apapun itu akan dicampur
dengan beragam bumbu-bumbu, sambal, parutan kelapa, dan kemudian dibungkus
dengan daun tertentu, baru kemudian dikukus atau dibakar. Di Paya Benua ada perlakuan
yang cukup berbeda dalam membuat olahan kuno ini. Bumbu yang dipakai banyak
didominasi dengan cabe rawit dan kunyit, tanpa parutan kelapa, dan kemudian
dibungkus dengan daun kunyit juga, baru paling luar dibungkus lagi dengan daun
pisang untuk pengaman bungkus daun kunyitnya. Ini adalah warisan kuliner kuno
di Paya Benua, menurut mereka perpaduan antara ikan sungai dengan daun kencur
akan menciptakan sensasi pais yang
sangat berbeda dengan pais yang dicampur dengan parutan kelapa semata.
Dan memang setelah menyantapnya, rasa pais khas Paya benua ini memang luar biasa. Saya belum pernah
merasakan kenikmatan seperti ini saat memakan pais ikan. Baru di Paya Benua ini
pais ikan menurut saya selain menjadi
begitu kuat rasa bumbu dan pedasnya, berubah menjadi olahan yang seperti
berbeda. Atau mungkin karena yang di-pais
adalah ikan kepalau? Kalau
begitu nanti saya akan ke Paya Benua lagi untuk mencari tahu rahasia dibalik pais kepalau ini, baru kemudian
melanjutkan lagi catatan iseng ini! Tetapi kalau sampai Paya benua saya ternyata asyik memancing ikan tomman, anggap saja catatan iseng ini telah selesai sampai di sini. Hehehehe! Salam?!
* Pictures taken on June 2015 by me, others by my crew. No watermark on
the pictures, but please don't use or reproduce (especially for commercial
purposes) without my permission. Don't make money with my pictures without
respect!!!
Comments