Gata-gata dan Masyarakat Pulau Tidore: Behind the Scene Jejak Petulalang Trans7 trip Maluku Utara (November – Desember, 2015)
Mengenang Nuku Muhammad Amiruddin/Sultan Nuku (1738-1805), dan orang-orang Tidore.
Hujan mengguyur Jakarta Selatan ketika diskusi pertama tentang rencana trip ke Maluku Utara digelar. Saat itu saya baru mendarat dari Sulawesi Tengah dan sedikit gagap dengan hiruk-pikuk kota yang semakin sulit dimengerti ini, bos-bos saya sudah menanti di sebuah sudut kompleks perkantoran di Jalan Tendean. Setiap tiba kembali di Jakarta hati seperti diteror, bukan hanya macetnya, tetapi bertahun-tahun di Jakarta, terutama ketika berada di jalanan, seperti tidak melihat perubahan sama sekali baik itu kemampuan jalan menampung kendaraan, attitude para pengendara di jalanan, dan lain sebagainya. Rasanya seperti baru mengalami ‘mimpi buruk’ kecil setiap kali usai melewati jalanan Jakarta. Konsep perjalanan ke Pulau Tidore di Maluku Utara adalah bagaimana mendokumentasikan sisi lain saudara Pulau Ternate ini, tetapi bukan dari sisi biasa yang banyak dilakukan orang sebelumnya. Yang paling banyak disorot oleh beberapa program ketika berada di Maluku Utara, terutama Pulau Tidore dan Ternate, selalu tentang cengkeh dan pala, yang memang telah menjadi ikon du apulau penting ini sejak jaman kuno. Saya tidak mau kalau hanya mengulang hal yang biasa dilakukan oleh orang lain. Oleh karenanya ada beberapa hal yang kemudian saya ajukan untuk perjalanan kali ini, semacam mencoba merangkum sisi lain Maluku Utara.Entah kenapa saya selalu bersemangat dengan setiap tawaran perjalanan (baca: tugas suting), sejauh apapun itu dan sepadat apapun jadwalnya itu, saya selalu bisa dan siap. Kemudian diputuskan bahwa perjalanan kali ini setidaknya berhasil mendokumentasikan tiga buah tayangan/episode, dan masing-masing episode terdiri dari tiga buah tema utama. Apa yang akan saya tuliskan dalam catatan pertama ini adalah kesan pribadi tentang episode pertama yang berhasil kami dokumentasikan selama berada di Maluku Utara (17/11-02/12/15), namun dari sudut pandang pribadi saya.
Waktu berlalu cepat dan suddenly
saya sudah mendarat di Pulau Ternate. Kawasan Indonesia bagian Timur selepas
Garis Wallacea sepertinya memang sangat bersahabat dengan saya (baca: sangat
panas!). Karena kulit saya sudah hitam doff
kalau kata kawan-kawan saya, saya tidak merasa harus khawatir. Haha! Masyarakat
Indonesia bagian Timur menurut saya mempunyai banyak kesamaan karakteristik;
kalau berbicara suaranya cukup keras dan sangat ramai, ada intonasi bahasa yang
kurang lebih sama, suka makanan-makanan yang bercita-rasa pedas, dan kalau
sudah berkumpul seperti terjadi diskusi tak berkesudahan tentang apapun itu
tetapi berapi-api. Berada di antara mereka mau tidak mau kita juga harus
menjadi berbicara keras (karena kalau tidak kita akan sulit mendapatkan
perhatian) dan lain sebagainya. Perjalanan ini adalah kali kedua saya
menjelajah Maluku Utara, pertama terjadi tahun 2009 selama 40 hari berkeliling
ke seluruh penjuru mencari ikan-ikan di laut dan sungai untuk keperluan
pemetaan perairan terutama di Pulau Halmahera. Kali ini tentunya berbeda karena
kita adalah para kuli media yang berkeliling untuk mendokumentasikan kegiatan
masyarakat dalam kemasan petualangan. Ya betul, kami (saya dan rekan-rekan satu
tim lainnya yakni Eko Priambodo dan Chintya Tengens) berkeliling untuk program
petualangan tertua yang on air di
layar kaca Indonesia, yaitu Jejak Petualang yang ‘dimiliki’ oleh Trans7.
Masyarakat Maluku Utara adalah orang-orang yang terbuka, mereka
penuh semangat dan sigap dalam bekerja, apapun itu profesi mereka. Ini membuat
kita menjadi terpacu dan bergerak cepat apapun itu kondisi yang ada saat itu
(hujan, panas, dan lain sebagainya). Mungkin karena keterbukaan masyarakat
inilah, sejak jaman kuno Maluku dan Maluku Utara begitu ‘gaul’ di kancah dunia.
Kita tengok sebentar lembaran sejarah yang dimiliki kepulauan Nusantara ini.
Misalnya saja utusan Portugis bernama Francisco
Serrao berhasil mendarat di Pulau Hitu, utara Ambon pada tahun 1512. Pada
tahun 1522 utusan Portugis ini kemudian sudah menjalin persekutuan dagang
dengan Kesultanan Ternate untuk kemudian memonopoli perdagangan rempah-rempah terutama
cengkeh di kawasan ini (tanaman cengkeh di dunia ini berasal dari Ternate).
Kita harus ingat, bahwa baik itu Portugis, Spanyol, Belanda, dan bahkan Inggris
awal mula tertarik dengan Nusantara adalah karena rempah-rempahnya yang
semuanya ada di daerah Maluku dan Maluku Utara ini. Rempah-rempah saat itu
sangat dibutuhkan masyarakat Eropa yang memang notabene hidup di daerah sub
tropis dan membutuhkan penghangat badan. Nusantara kita memiliki semua apa yang
dibutuhkan oleh masyarakat Eropa tersebut dan datanglah ‘utusan-utusan’ mereka
semua ke Nusantara, saling menjalin persekutuan dengan kerajaan-kerajaan di
Nusantara, dan kemudian juga saling berperang. Ujung pahit dari perjalanan
mencari rempah-rempah ke Nusantara ini bagi kita adalah ‘jatuhnya’ Nusantara
dalam belenggu kolonialisme untuk waktu yang sangat lama. Belanda menjadi
penguasa paling superior kemudian dalam era ini setelah berhasil menyingkirkan
semua rival-rivalnya dari Eropa dan kita menjadi semakin sengsara karena
rupanya Belanda ini saat itu di Eropa adalah kerajaan yang tidak terlalu
diperhitungkan sehingga ‘ngotot’ untuk memiliki daerah jajahan (agar dapat
menjadi lumbung yang menyokong kehidupan kerajaan Belanda di Eropa) apapun itu
‘harga’ yang harus dibayar. Sialnya
selama Belanda berada di Nusantara paling sering ‘membayarnya’ dengan politik devide et impera (politik adu domba)
yang murah tetapi hasilnya maksimal. Saat itu Nusantara terdiri dari entah
berapa berpuluh kerajaan dan kita memang
celaka karena begitu mudah di adu domba utusan-utusan VOC sehingga jatuh dalam
‘kubangan’ kolonialisme yang sama. Sudahlah ini melambung terlalu jauh, kita
kembali lagi ke perjalanan kami mendokumentasikan sisi lain Maluku Utara dalam
kemasan petualangan bersama masyarakat.
Gata-gata adalah alat rumah tangga sederhana tetapi pemakaiannya dalam masyarakat sangat luas. Gata-gata konon kata seorang rekan di Tidore yang cukup well educated asal muasalnya dari Teluk Galela di Halmahera Utara tetapi kemudian menyebar luas di seluruh penjuru Maluku Utara dan seluruh Maluku. Intinya gata-gata ini adalah jepitan seperti jepitan besi yang banyak dijual di Jawa untuk menjepit sesuatu yang panas (gorengan dan lain-lain). Tetapi di Pulau Tidore gata-gata dan seluruh Maluku Utara gata-gata ini terbuat dari bambu dan pegangannya diberi anyaman bisa dari pandan, bambu, dan lain sebagainya. Dengan berpijak dari alat sederhana inilah saya dan tim mencoba untuk memotret sisi lain masyarakat Tidore. Dengan pijakan yang sederhana dan sempit, namun kokoh, kami mencoba mendapatkan gambaran yang luas dan kompleks dari sebuah masyarakat yang telah berevolusi ratusan tahun! Tidak biasa dan pastinya akan tidak mudah untuk mewujudkannya tetapi inilah tantangannya. Di sisi lain kita bisa jadi malah akan mendapatkan banyak mendapatkan ‘bonus’ tidak terduga dan ini yang akan membuat semua hasil dokumentasi menjadi menarik. Banyak orang inginnya berjalan mulus melalui jalan umum karena berbagai alasan, tetapi kalau saya pribadi lebih suka mencari jalan yang berbeda sesuai dengan konsep dokumentasi yang spesifik untuk mendapatkan hasil yang tidak biasa. Ini penting karena pengulangan adalah membosankan dan tidak akan membuat kita bisa berbangga! Menawarkan apa yang telah ratusan kali ditawarkan orang adalah mainstream, tetapi menawarkan ‘produk’ khas kita sendiri adalah “sesuanu”! Hehehehe!
Gata-gata adalah alat rumah tangga sederhana tetapi pemakaiannya dalam masyarakat sangat luas. Gata-gata konon kata seorang rekan di Tidore yang cukup well educated asal muasalnya dari Teluk Galela di Halmahera Utara tetapi kemudian menyebar luas di seluruh penjuru Maluku Utara dan seluruh Maluku. Intinya gata-gata ini adalah jepitan seperti jepitan besi yang banyak dijual di Jawa untuk menjepit sesuatu yang panas (gorengan dan lain-lain). Tetapi di Pulau Tidore gata-gata dan seluruh Maluku Utara gata-gata ini terbuat dari bambu dan pegangannya diberi anyaman bisa dari pandan, bambu, dan lain sebagainya. Dengan berpijak dari alat sederhana inilah saya dan tim mencoba untuk memotret sisi lain masyarakat Tidore. Dengan pijakan yang sederhana dan sempit, namun kokoh, kami mencoba mendapatkan gambaran yang luas dan kompleks dari sebuah masyarakat yang telah berevolusi ratusan tahun! Tidak biasa dan pastinya akan tidak mudah untuk mewujudkannya tetapi inilah tantangannya. Di sisi lain kita bisa jadi malah akan mendapatkan banyak mendapatkan ‘bonus’ tidak terduga dan ini yang akan membuat semua hasil dokumentasi menjadi menarik. Banyak orang inginnya berjalan mulus melalui jalan umum karena berbagai alasan, tetapi kalau saya pribadi lebih suka mencari jalan yang berbeda sesuai dengan konsep dokumentasi yang spesifik untuk mendapatkan hasil yang tidak biasa. Ini penting karena pengulangan adalah membosankan dan tidak akan membuat kita bisa berbangga! Menawarkan apa yang telah ratusan kali ditawarkan orang adalah mainstream, tetapi menawarkan ‘produk’ khas kita sendiri adalah “sesuanu”! Hehehehe!
Kondisi transportasi wilayah kepulauan menggelitik perhatian
saya karena wilayah ini terdiri dari ratusan pulau baik besar dan kecil. Sudah
sejak jaman kuno hubungan masyarakat dan lalu lintas barang dan komoditas di
Maluku Utara dilakukan melalui laut. Baru-baru ini saja ada transportasi udara
itupun menurut saya tidak mampu mengkover sampai 10 % dari semua kebutuhan
masyarakat dan apalagi barang yang berlangsung di kawasan ini. Cobalah nongkrong di Pelabuhan Ternate atau
Tidore misalnya betapa sibuknya mobilitas manusia dan barang di daerah ini.
Memang sudah ada kapal-kapal peri besar yang diusahakan oleh pemerintah, tetapi
ini juga sangat jauh dari mencukupi kebutuhan masyarakat. Apalagi jadwalnya
juga sangat terbatas. Yang terus mampu memenuhi semua kebutuhan masyarakat di
kepulauan ini adalah pengangkutan yang diusahakan oleh masyarakat itu sendiri
(ada speed boat antar pulau dengan ratusan jurusan/trayek, ada kapal-kapal kayu
untuk barang dan lain sebagainya). Pengangkutan oleh masyarakat ini paling
cocok dengan karakteristik kepulauan ini karena merekalah yang paling tahu
seperti apa transportasi itu semestinya dijalankan di Maluku Utara. Mangiri Star (sebenarnya ini hanyalah
istilah saja) yang diusahakan oleh kaluarga Mangiri di Pulau Tidore, hanyalah
satu dari ratusan atau ribuan kapal kayu yang diusahakan oleh orang lain di
kepulauan ini. Mangiri Star melayani trayek antara Tidore ke Sofifi di
Halmahera. Waktu tempuhnya kira-kira satu setengah jam, dalam sehari berangkat
sekali PP. Jadi dari Tidore sekali, dan dari Sofifi sekali. Jadwalnya
disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Setiap pagi jam tujuh sudah berlayar
sehingga para penumpang dari Tidore dapat mengejar jam masuk kantor dan atau
pasar di Sofifi (banyak penumpang adalah PNS yang hendak ngantor di Sofifi,
ibukota Propinsi Maluku Utara). Siang jam sebelas sudah bertolak dari Sofifi,
biasanya kalau dari Sofifi kapal akan dipenuhi dengan hasil kebun dan para
pedagang yang esok harinya akan berjualan di pasar-pasar pagi di Pulau Tidore.
Lalu apa hubungannya trasportasi laut dengan gata-gata? Begini, Mangiri Star dikelola oleh keluarga Mangiri sejak jaman entah. Sejak awal mula mereka beroperasi ada kehangatan khas timur yang mewarnai hiruk-pikuk angkutan laut ini. Saban pagi di Tidore pengelola kapal ini selalu menjamu para penumpangnya dengan minuman air goraka dan nasi jaha khas Tidore. Air goraka ini minuman tradisional yang terbuat dari kopi dengan campuran jahe, nikmat banget. Dan kalau nasi jaha adalah sejenis lemang yang dimasak dalam bambu. Jadi sebelum naik kapal ada suasana hangat di dermaga dan semuanya disajikan free oleh sang empunya kapal sendiri! Ini luar biasa! Di jaman modern ketika banyak orang melakukan perhitungan dengan sangat detail, keluarga Mangiri menampilkan kehangatan yang khas Timur tanpa dibuat-buat. Memang kalau kita pikir lebih dalam ini sebenarnya strategi pemasaran yang sangat halus untuk mengikat para penumpangnya agar setia. Tetapi apapun itu nasi jaha ini dibuat dengan cara tradisional dan salah satu pirtanti membuat nasi jaha ini adalah gata-gata panjang berukuran satu meteran, jadi masih ada ‘keterkaitan’ antara transportasi tradisional dengan gata-gata. Tetapi sekali lagi ini bukan pembahasan tentang gata-gata sebagai sebuah alat rumah tangga, tetapi tentang masyarakat melalui gata-gata. Pokoknya begitu lah!
Desa Fobaharu menjadi tujuan kami berikutnya. Letaknya
berada di jalur shortcut yang
menghubungkan daerah Rum di sisi pulau yang menghadap Ternate dengan Soasio di
sisi Tidore yang berhadapan dengan Pulau Halmahera. Jalur tembus ini adalah
jalur pegunungan yang membelah Tidore pada bagian tengah. Namun karena tanjakan-tanjakan
aduhai yang terdapat di Desa Jaya dan Desa Gurabunga, sangat jarang kendaraan
yang melintas di jalur ini. Kendaraan penumpang biasa yang sehat sekalipun
enggan melewati jalur sempit ini, apalagi kendaraan besar yang sarat beban. Jadi
di Pulau Tidore ini jalur yang padat adalah jalan raya yang mengelilingi pesisir
di pulau ini, namun ya itu tadi, sepadat-padatnya jalan raya Tidore kadang
belum tentu setengah jam kita papasan dengan kendaraan lain! Di Fobaharu saya
melihat ada semangat luar biasa yang ditunjukkan oleh kaum perempuan di desa
kecil ini (rumah di desa ini bagus-bagus, dan rata-rata di Tidore semua rumah
bagus-bagus ya...?). Oh ya Pulau Tidore menurut saya juga sangat rapi dan
bersih! Kalau ada kejuaraan kebersihan antar pulau di Indonesia (pulau dengan
pemukiman yang padat tentunya), saya yakin Tidore adalah juaranya! Sembari
menunggu musim panen cengkeh dan pala, dan juga panenan lainnya, kaum perempuan
Fobaharu berkumpul dalam usaha bersama membuat kerajinan dari bambu, daun pandan,
dan pelepah pisang. Ada juga pembuatan gata-gata
di desa ini untuk diperjualbelikan di pasar-pasar tradisional. Sejujurnya
gata-gata ini bisa dibuat oleh semua orang, saya juga bisa membuatnya, wong hanya dari sepotong bilah bambu
yang ditekuk begitu saja. Tetapi masyarakat Fobaharu menaruh elemen estetika
dari anyaman pelepah pisang dengan warna warni yang indah. Ini menarik menurut
saya untuk menampilkan sisi lain Tidore karena ada keterbaruan dalam kegiatan
masyarakat berkaitan dengan alam di sekitarnya. Ada inovasi dan inspirasi dalam
pemanfaatan pelepah pisang yang dikeringkan oleh mereka. Setahu saya selama ini
di berbagai daerah di Indonesia, pemanfaatan pelepah pisang yang dilakukan
masyarakat antara lain diambil seratnya, dijadikan wadah olahan basah yang
panas, dan paling banyak dibusukkan begitu saja usai ditebang. Inspirasi dari
Fobaharu ini penting bagi masyarakat daerah lain di Indonesia dengan potensi
tanaman pisang. Dengan sedikit effort,
pelepah pisang yang secara bahan baku tergolong sangat murah, ternyata bisa
disulap menjadi sesuatu yang memiliki nilai jual cukup tinggi.
Sagu lempeng adalah makanan sehari-hari masyarakat di Maluku Utara, popularitas makanan ini seperti kita kalau di Jawa makan nasi putih, atau orang Jawa pedesaan juga masih suka mengkonsumsi nasi tiwul dari singkong dan nasi jagung, atau kalau di Papua orang senangnya mengkonsumsi tepung sagu dan talas. Rasanya sangat sulit jika kita berada di Maluku Utara akan berjumpa orang yang tidak pernah makan sagu lempeng. Sekilas sagu lempeng ini bentuknya mirip roti tawar pabrikan yang banyak dijual di pasaran, namun sagu lempeng ini terbuat dari tepung sagu dan atau singkong dan lebih keras, dan tentunya hanya dibuat oleh masyarakat Indonesia bagian Timur. Jadi menurut saya ada identitas masyarakat dalam bentuk makanan sagu lempeng ini. Di Pulau Tidore, desa yang menjadi sentra sagu lempeng adalah Desa Jaya, letaknya ada di sebelah Desa Fobaharu, persis di bawah kaki gunung Kie Matubu. Saya selalu tertarik dengan bentuk-bentuk olahan dari singkong (Manihot esculenta), yang menurut saya adalah umbi paling populer di dunia! Sekedar info, singkong atau ketela pohon pertama kali dikenal dalam peradaban penduduk asli Amerika Selatan dan dikembangkan pada masa pra sejarah oleh orang-orang Brasil dan Paraguay sepuluh ribu tahun lalu. Yang membawa ke Indonesia adalah orang-orang Portugis pada abad ke-16. Nah berbeda dengan kebanyakan dengan daerah lain di Indonesia yang mana namanya sagu lempeng itu selalu dibuat dari tepung sagu, masyarakat Desa Jaya membuatnya dari tepung singkong dan sudah sejak jaman entah memang mereka hanya membuatnya dari tepung singkong ini. Pohon sagu memang sudah sangat jarang ada di Pulau Tidore, solusinya makanan sagu lempeng harus dibuat dari bahan yang berbeda untuk mencukupi kebutuhan pasar. Maka tak heran kebun singkong di Desa Jaya ini luar biasa luas, pemandangan yang aneh di pulau yang kesohor di dunia dengan tanaman cengkeh dan pala-nya. Dan uniknya lagi masyarakat Tidore juga tidak keberatan dan tetap lahap mengkonsumsi sagu lempeng yang terbuat dari singkong ini terbukti di semua pasar tradisional banyak sekali dijual dan selalu habis! Karena pada intinya kandungan dominan pada tepung sagu dan tepung singkong memang kurang lebih sama saja, yakni karbohidrat. Sagu lempeng dicetak dengan tembikar yang dinamakan vorno. Cetakan bernama vorno ini akan dipanaskan dahulu dengan dibakar di atas api beberapa menit, saat sudah panas kemudian diangkat dengan gata-gata, baru kemudian tepung singkong yang sudah disiapkan dimasukkan ke dalam vorno (vorno memiliki sela-sela berongga beberapa ruang). Ditunggu beberapa saat dan kita sudah bisa mengambil sagu lempeng dari dalam sela-sela cetakan tersebut! Jika timing dan lama mencetak benar, hasil mencetak sagu lempeng ini akan menghasilkan bentuk kotak sempurna persis seperti roti tawar. Terlihat sangat mudah proses membuatnya tetapi sebenarnya sulit bagi yang tidak terbiasa dengan panas dan menghitung waktu mencetak sagu. Gata-gata adalah alat sederhana yang membuat semua proses membuat sagu lempeng ini aman dan mudah, dan sagu lempeng dapat terus ada dan dinikmati oleh masyarakat Tidore. Well... Tampaknya tugas sudah memanggil saya, tulisan ini harus diakhiri, tetapi saya yakin Anda dapat memahami apa yang saya maksudkan dengan mendokumentasikan masyarakat melalu alat sederhana bernama gata-gata ini. Salam petualang!
* Foto-foto merupakan kumpulan behind the scenes dokumentasi Jejak Petualang Trans7. Kru: me (reporter and angler), Eko Priambodo (cameraman), Chintya Tengens (host). No watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with my pictures without respect!!!
Comments