Save Teluk Saleh: Merenungkan Kembali Kegelisahan Perairan Indonesia diTepian Teluk Terluas di Kepulauan Nusa Tenggara
Mungkin saya terlalu mencintai Indonesia, negeri dengan
begitu banyak masalah perairan ini. Baik itu perairan umum (sungai dan danau) dan
juga laut. Sehingga kemanapun saya pergi selalu menyisihkan waktu setidaknya
bisa melakukan sesuatu yang berguna untuk perairan di sekitar tempat saya berada
saat itu. Ada yang mengartikan kecintaan saya terhadap perairan negeri ini yang
begitu banyak masalah ini, dengan “bahwa saya menjalani kepedulian ini dengan tidak
benar” karena di sela waktu-waktu bekerja di penjuru negeri ini, saya mencoba memanfaatkan
SELA waktu yang ada untuk melakukan kepedulian lingkungan. Saya seringkali
mendengar hal seperti ini dari burung-burung yang berkicau dan terbang kesana
kemari. Bahwa saya, Michael Risdianto, memanfaatkan pekerjaan saya sebagai kuli
keliling media untuk juga melakukan sesuatu hal lain, yang di negeri ini
seringkali diartikan dengan “tidak pada tempatnya”. Pada tanggal 8 Juni 2017
lalu hal yang awalnya hanya saya dengar melalui kawanan burung ini, rupanya
memang benar demikian adanya. Buktinya seseorang yang cukup penting kemudian
juga menanyakan tentang hal ini kepada saya. Jawaban saya adalah “Ya! Saya
menjalankan kepedulian lingkungan perairan dimanapun saya berada!” Apakah saya
melakukannya sembari bekerja, tentu tidak, karena saya tidak bisa di waktu
bersamaan melakukan dua hal besar dan berat sekaligus. Tetapi jika pertanyaan
apakah saya melakukannya di rentang waktu yang panjang itu (sekali trip ke luar
daerah bisa 15 hari lamanya), jawaban saya, iya! Saya melakukan kepedulian
lingkungan dimanapun saya berada. Baik itu di sela-sela waktu bekerja yang
selalu overtime dan overload itu (yang bahkan, ketika semua
orang masih terlelap kami sudah melaju ke sebuah lokasi, dan ketika semua orang
sudah kembali beranjak tidur kadang kami masih di jalanan demi kembali ke
tempat kami bisa beristirahat), ketika sedang nongkrong di warung kopi
dimanapun itu, ketika sekedar hanya sedang berada di perjalanan yang tidak ada
sangkut pautnya dengan pekerjaan, dan bahkan saya menjalani kepedulian
kegelisahan perairan ini sembari saya hendak beranjak tidur di kontrakan ‘mewah’
saya di sudut pengap Jakarta, ataupun bahkan ketika saya melewatkan waktu saya
bersama orang tercinta! Kepedulian ataupun kegelisahan saya atas kondisi
perairan di negeri ini saya lakukan dimanapun dan kapanpun! Jadi masalahnya
dimana? Bukannya lebih baik kita seperti ini daripada ngalay tidak karuan? Maksud saya melakukan sesuatu yang bermanfaat
untuk lingkungan dan juga masyarakat? Tanya saya. Jawabannya adalah, tidak ada,
tetapi kenapa kepedulian lingkungan yang baik ini tidak dibawa atau dimasukkan
saja demi citra baik kita semuanya saja? Kenapa sepertinya menjadi ambisi
ataupun cita-cita pribadi?! Lho?! Bukannya saya sampai mengemis pun tidak
pernah disetujui selama ini agar konsern lingkungan juga mewarnai ‘wajah kita’
ini?! Malahan yang menyedihkan ‘wajah kita’ ini bukannya semakin mengagungkan
kecantikan dan kegantengan yang kosong dan terkadang palsu?! Tanpa pernyataan
tegas keberpihakan kepada kondisi lingkungan dan masyarakat?! Jangan salahkan
saya jika kemudian saya menjalani kepedulian atas kondisi perairan di negeri
ini bersama para sahabat saya lainnya dan juga masyarakat yang memiliki kepedulian
yang sama?!
Saya seringkali membaca di media sosial, dan juga dari
pesan-pesan yang dikirimkan para sahabat kepada saya. Bahwa ternyata di negeri
yang ‘indah’ ini, orang yang mencoba peduli pada sesuatu berskala luas itu
nasibnya seringkali naas. Kurang lebih sama nasibnya dengan para aktifis
lingkungan lainnya yang mencoba melakukan suatu kebaikan untuk masyarakat luas,
tokoh-tokoh publik ataupun juga pejabat publik yang menjalankan wewenangnya
dengan benar, malah dikucilkan dan terkadang sampai dipenjarakan! Apa yang saya
alami kurang lebih sama hanya saja tingkat kerumitan dan skala konsekuensinya
berbeda, hanya saja saya dahulu tidak mempercayainya. Karena orang-orang yang
mengatakan hal tersebut kepada saya terkait kepedulian perairan yang saya
jalani ini, justru adalah ‘simpul’ penting yang bisa menentukan warna, pesan
dan arah dari sebuah ‘kotak kaca’?! Akhir kisah, saya kemudian memilih
menjalani kepedulian perairan ini dengan segala resikonya dibandingkan menjadi
bagian sebuah kekuatan besar yang mampu menyihir mata dan pikiran jutaan orang,
tetapi tidak berani menyatakan dengan tegas keberpihakan atas kondisi
lingkungan dan juga masyarakat di negeri ini. Bayangkan, laut dimana-mana di
negeri ini diterjang bom ikan, terumbu karang rusak parah di berbagai penjuru
negeri, pencurian ikan dilakukan kapal-kapal asing setiap hari, masih dikatakan
“laut kita begitu indah dan kaya raya”! Ikan-ikan di perairan umum (sungai dan
danau) telah merosot ke kondisi yang mengkhawatirkan akibat racun ikan dan juga
setrum ikan, masih disebutkan “di lokasi ini saya sangat mudah mendapatkan ikan?!”
Sampah bertebaran di mana-mana, dan bahkan negeri ini sebenarnya darurat
sampah, masih selalu disebutkan “betapa indahnya tanah air kita Indonesia”.
Selalu begitu! Dan lain sebagainya! Pendidikan bangsa macam apa ini?! That’s why, saya kemudian memilih dengan
sadar, dengan segala resikonya, untuk kemudian menepi.
Saya paham, sangat penting menjadi pekerja yang baik (good employee) dengan menjalani
kepatuhan-kepatuhan yang ada, dan selama tujuh tahun saya telah menjalaninya
dengan penuh dedikasi dengan segala suka dukanya. Bisa dibuka semua ‘catatan’
saya terkait dedikasi ini. Akan tetapi lebih baik lagi jika kita juga selalu
berusaha menjadi manusia yang baik (good
human). Meskipun resikonya kita kemudian harus menepi dari hiruk-pikuk
sesuatu yang eksploitatif semata tanpa keberpihakan yang jelas kepada
lingkungan dan masyarakat. Meski resikonya adalah kita harus terkucilkan, dan
terkadang sengaja ‘ditepikan’. Memang resikonya adalah saya harus kembali
‘merangkak’ dari titik nol. Tetapi seperti dikatakan oleh seseorang, bahwa hambatan manusia untuk perubahan (bisa
juga dibaca dengan “maju” ataupun perubahan yang lebih baik) adalah ketakutan
mereka sendiri atas tembok ketakutan yang dibangun juga oleh mereka sendiri.
Tembok ketakutan ini bisa jadi memiliki bentuk fisik, tetapi kebanyakan
imaginer! Terimakasih Giu telah mengingatkan saya untuk berani menghadapi
tembok ketakutan tersebut! Paragraf pertama di atas sebenarnya tidak berkaitan
dengan Teluk Saleh yang ingin saya tuliskan. Betul, teluk terluas di seluruh
Kepulauan Nusa Tenggara ini, yakni seluas 1,459 km persegi, memang menjadi
bagian dari kegelisahan saya selama ini. Anggap saja paragraf pertama tertulis
di atas adalah update terbaru dari
saya bagi kawan-kawan terdekat saya dimanapun berada. I am free now, so lets we continuing the small things again together!
Saya bisa berada dimanapun kini tanpa kekhawatiran-kekhawatiran!
Kembali ke Teluk Saleh, momen perenungan kembali kepedulian
perairan yang saya jalani bersama seluruh sahabat WWI di penjuru negeri ini,
saya merasa penting untuk kembali mengumandangkan tentang konsern saya terhadap
teluk ini. Jauh hari sebelumnya, bersama beberapa masyarakat di tepian Teluk
Saleh dan juga beserta beberapa sahabat dari Adventurous Sumbawa (AS) kami
memang telah mencoba untuk mencoba mengingatkan publik atas kondisi terkini
Teluk Saleh. Betul, Teluk Saleh masih memiliki keindahan ataupun potensinya
yang luar biasa di berbagai sudut, tetapi tidak boleh dilupakan adalah
banyaknya perubahan yang mengkhawatirkan yang terjadi akibat cara tangkap ikan
yang destruktif. Perenungan Satu WWI tanggal 30 April 2017, bagi yang belum
tahu, Satu WWI adalah ulang tahun pertama jaringan kepedulian perairan Wild
Water Indonesia, saya kira dapat menjadi tonggak penting untuk mengumandangkan
kembali konsern saya terhadap Teluk Saleh! Maka terjadilah, sore hari pada
tanggal 30 April 2017 saya meluncur sendirian menuju ke sebuah desa kecil,
Aipaya namanya, untuk sekedar berkumpul bersama masyarakat, diskusi dan
merenungkan kembali kepedulian perairan yang saya jalani. Bayangan saya adalah
semoga semuanya berlangsung dalam kesederhanaan yang apa adanya. Tidak
dibuat-buat oleh siapapun itu yang akan hadir disana, hanya sekedar berkumpul.
Berbagi kisah dan kegelisahan, sembari meneguk kopi hitam dan memandang kembali
Teluk Saleh dengan lebih seksama. Sembari bertukar cerita apa adanya
berdasarkan pengalaman masing-masing!
Pada akhirnya bagi saya pribadi semuanya ternyata menjadi
tidak sesederhana itu. Keinginan untuk sekedar meluangkan senja bersama di
tepian Teluk saleh, yang juga saya cintai, berubah menjadi sebuah momen yang
melibatkan banyak sekali masyarakat dari berbagai latar belakang, yang juga
diisi dengan banyak sekali ‘acara’. Semuanya berasal dari Kecamatan Tarano. Ada
kelompok ibu-ibu yang begitu bersemangat mempersiapkan acara nimung rame, yakni mengolah makanan dari
beras ketan dalam bambu dalam jumlah yang begitu banyak. Ada kawan-kawan AS
yang juga datang jauh-jauh dari Sumbawa Besar. Ada kelompok pejabat lokal dari
Kecamatan Tarano yang dikomandani oleh Bapak Camat Tarano. Ada ibu-ibu pengajar
PAUD dari Kecamatan Empang, Sumbawa. Bahkan ada abang-abang jagoan membakar
makanan nimung rame yang datang dari
daerah pegunungan di Kecamatan Tarano yang datang demi membantu agar olahan nimung rame yang dipersiapkan oleh
ibu-ibu dapat dimasak dengan sempurna dalam bamboo. Dan lain sebagainya! Saya
sampai bingung menuliskannya kembali disini karena dari sekitar 50-an orang
yang datang sore itu, sebagian besar baru pertama kali saya kenal. Tidak sampai
sepuluh orang yang telah saya kenal baik sebelumnya, konsekuensi logis akibat
saya telah delapan kali bolak-balik ke pulau ini demi menjalankan tugas. Begitu
banyak diskusi dan pemikiran tentang Teluk Saleh, dan bagi saya ini sesuatu
yang membahagiakan. Karena ternyata banyak sekali masyarakat dari latar
belakang yang berbeda masih memiliki kepedulian atas teluk terluas di seluruh
Kepulauan Nusa Tenggara ini. Teluk megah yang pada tahun 1990an pernah begitu masif
diterjang bom ikan. Teluk indah yang akhir-akhir ini juga terus didera oleh
terjangan sampah non organik dari manusia di sekitarnya. Tentang terjangan bom
ikan di kawasan ini, seorang eks ketua Pokmaswas di daerah ini menyatakan,
sebenarnya dahulu banyak sekali usaha ‘melawan’ yang dilakukan oleh masyarakat,
untuk mengingatkan saudara-saudara mereka sendiri agar tidak melakukan cara
tangkap ikan yang merusak tersebut. Namun akibat minimnya upaya penegakan
hukum, masyarakat yang peduli malahan mendapatkan tekanan yang luar biasa
serius dan terkadang membahayakan dari para pelaku illegal fishing. Bahkan saking beratnya tekanan yang diterima
oleh kelompok yang peduli tersebut, ada tokoh-tokoh Pokmaswas yang sampai
mengundurkan diri dari kepedulian tersebut. Saya masih sempat melihat sebuah
piagam penghargaan kepada tokoh Pokmaswas tersebut di sebuah rumah, yang
membuat saya kaget adalah di rumah seorang bernama Pak Gading, yang sudah saya
kenal beberapa tahun terakhir ini, berangka tahun 2000an. Yang rupanya diterima
oleh seseorang yang selama beberapa tahun terakhir ini menjadi ABK saya setiap
kali saya datang ke kawasan ini. Saya baru menyadarinya bahwa dia adalah
seorang tokoh masyarakat yang pernah begitu berat mengalami tekanan terkait
kepeduliannya atas kondisi di Teluk Saleh. Kini beliau kembali bangkit, dan
saya merasa sangat berbahagia dia kembali bangkit di samping saya. Seorang kuli
keliling yang kerjanya menumpang dan merepotkan banyak orang disana-sini!
Semoga orang tua yang sudah menjadi seperti ayah sendiri ini tidak kembali
‘patah arang’ akibat banyaknya tekanan atas kepedulian lingkungan yang dia lakukan.
Saya mencoba mengindari untuk menulis berkepanjangan di blog
remeh-temeh ini. Intinya adalah bahwa
Teluk Saleh masih memiliki harapan karena masih banyak manusia yang peduli
dengannya. Dominasi eksploitasi dan yang diantaranya dilakukan dengan cara merusak
masih memiliki ‘lawan’ bernama kepedulian. Beberapa hari sebelum merenungkan
Satu WWI di Desa Aipaya ini saya menyalurkan donasi dari para sahabat WWI di
seluruh sahabat WWI kepada salah satu pegiat transplantasi terumbu karang dari
AS. Semoga bisa menjadi penyemangat dan juga membantu kepedulian dari para
sahabat peduli lingkungan utamanya terumbu karang dari komunitas AS. Jumlah
yang menurut saya pribadi lumayan signifikan, hasil dari jualan kaos WWI 2017
bulan Februari lalu. Saya tidak bisa menyebutkan jumlahnya disini dan juga
dimanapun. Biarlah itu menjadi rahasia saja. Tidak baik menuliskan nilai-nilai
yang kita berikan. Karena seluruh jaringan WWI telah berikrar untuk ikhlas! Di
Desa Aipaya senja itu kami juga menyatakan kembali ikrar kami untuk lebih
peduli dengan Teluk Saleh. Melalui berbagai cara yang bisa dilakukan oleh
orang-orang yang hadir saat itu. Pejabat pemerintahan lokal, terutama
dinyatakan oleh Bapak Camat Tarano, akan mencoba menyebarkan konsern lingkungan
ini melalui program-program yang akan dirancang dalam tahun ini. Dan sebisa
mungkin akan menyebarkannya ke jaringan mereka di pemerintahan di seluruh
Sumabwa. Para sahabat AS akan kembali melanjutkan kepeduliannya terhadap Teluk
Saleh dengan membuat kegiatan-kegiatan yang lebih hijau. Para pengajar PAUD
akan melanjutkan mengedukasi anak didik dengan bahasa sederhana yang lebih
dimengerti oleh anak didik usia dini, dan lain sebagainya. Semuanya kami
sepakati dan ikrarkan dalam pesan #SaveTelukSaleh! Semoga pesan kegelisahan
perairan #SaveTelukSaleh ini dapat terus kami jalani dan juga diikuti oleh
masyarakat luas lainnya!
Saya bukan siapa-sapa terkait Teluk Saleh. Hanya pejalan
keliling, bukan juga putra daerah. Saya hanya terlalu mencintai perairan Indonesia,
termasuk di dalamnya adalah Teluk Saleh. Akan tetapi melihat ‘sambutan’
masyarakat Tarano atas ajakan saya untuk memikirkan sejenak Teluk Saleh ini, di
suatu senja sembari menyantap olahan nimung
rame, upaya “Abang’ saya bernama Bang Yamin yang begitu bersemangat, entah
kenapa saya berkaca-kaca. Menjalankan kepedulian lingkungan, tidak harus
menunggu kita menjadi siapa-siapa. Cukup menjadi diri kita sendiri apa adanya. Teriring
rindu dan terimakasih kepada seluruh masyarakat Kecamatan Tarano, para sahabat
Adventurous Sumbawa (AS). Small things
make a big difference! Salam Lestari! Salam Wild Water Indonesia!
* Pictures captured by various person Pulau Sumbawa, West Nusa Tenggara. Please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my/our permission. Don't make money with my/our pictures without respect!!!
Comments