17 Juni hingga 20 Juni 2013 lalu saya berada di Eropa, tujuan utama adalah kota Paris, kami masuk melalui Amsterdam, dalam rangka meliput gelaran PARIS AIR SHOW 2013, pameran dirgantara yang konon terbesar di benua biru Eropa. Pameran berlangsung di Le Bourget, Paris, dan tahun ini adalah kali ke-50 PARIS AIR SHOW (Salon International de L’Aeronautique et de I’Espace) digelar. Sebagai wong ndeso, banyak yang ingin saya tumpahkan melalui blog iseng saya ini. Kesimpulan saya sederhana, surga di bumi itu adalah Indonesia!Memasuki kamar sendirian di lantai enam Hotel Pullman, yang lokasinya tidak jauh dari Eiffel Tower bukan ide yang bagus. Saya tidak tahu tarif hotel ini, tetapi pastinya mahal mengingat lokasinya. Entah bintang berapa, tetapi melihat bahwa hotel ini ada dalam group ACCOR HOTELS & RESORT, sudah semestinya bukan hotel sembarangan. Saya mungkinjurnalis dengan tentengan paling banyak dan berat. Sesampai di kamar semuany atiba-tiba menjadi berserakan. Saya bongkar semuanya untuk memilah mana yang paling penting untuk saya bawa esok hari. Mata sudah semakin panas. Jika dihitung-hitung, sudah hampir empat puluh jam berlalu sejak saya meninggalkan Jakarta. Melintasi beragam zona waktu yang berbeda, dan hanya tidur kurang lebih enam jam di antara rentang waktu tersebut. Semua gadget saya hidupkan, berharap sinyal kuat gratisan dari wifi yang disediakan hotel. Pesan yang masuk bukannya membuat tenang hati malah memperkeruhnya. Tantangan orang bekerja di ‘rantau’ ternyata bukanlah orang-orang baru yang kita hadapi di jalan, melainkan orang terdekat kita yang menganggap semuanya lancar. Dan jika kita missed menjadi seperti biasanya, maka berarti kita menyembunyikan sesuatu?
listrik yang tidak cocok dengan beberapa kabel yang saya bawa menjadi halangan tersendiri dalam mengisi semu abaterai gadget, dan baterai untuk suting. Jadi harus di cas bergiliran karena sekali nge-cas saya hanya bisa memanfaatkan tiga colokan yang bisa diajak kompromi dengan kabel-kabel saya. Biasanya hal seperti ini tidak terjadi, tetapi entah kenapa kali ini saya seperti menjadi orang yang baru sekali bepergian jauh. Mungkin karena saat di Jakarta tidak bisa konsentrasi penuh mempersiapkan semuanya. Ada dua botol minuman gratis di meja sebelah tempat tidur. Satu botol air mineral (still water) 600 ml, langsung saya tenggak habis setengah, sisanya saya masak di water jar untuk membuat kopi. Salahnya saya, seharusnya saya menyelipkan barang sepuluh bungkus kopi susu kesukaan saya di dalam tas bagasi. Kopi yang ada adalah kopi merk tertentu yang memang familiar ada di setiap hotel di belahan bumi manapun. Saya tidak bisa dengan kopi tersebut karena berdasarkan pengalaman saya selalu sakit perut setelahnya. Oleh karena itu saya memilih teh Lipton yang ada, sambil menyesali diri kenapa tidak membawa kopi sachet seperti biasanya kalau bepergian. Ketakutan kopi akan digeledah di bea cukai yang memaksa saya tidak membawanya ke kota mode dunia ini. Sisa air mineral yang ada adalah satu botol sparkling water, air mineral tetapi seperti ada sodanya. Saya kurang cocok dengan air mineral ini, aneh di mulut. Sehingga saya menenggaknya sedikit saja saat hendak tidur. Sekedar sugesti supaya tubuh tidak kekurangan cairan. Padahal jelas-jelas memang sangat haus. Di mini bar memang ada air mineral still water lainnya, tetapi harganya tidak masuk akal bagi saya. Satu botol still water 600 ml harganya 6 euro!!! Setara dengan dua karton air mineral 600 ml di Indonesia! Gosh!
Ketika sudah berada di dalam lapangan, yang terpikir cuma kerja, kerja dan kerja. Waktu yang ada untuk mengambil gambar bagi saya dan juga semua jurnalis Indonesia lainnya cuma satu hari itu saja (efektif tujuh jam saja). Jadi masing-masing semburat sesuai keinginan masing-masing untuk mengamankan tugas masing-masing. Saya lupa minum, lupa makan dan lupa memberi kabar ke Indonesia. Hal yang tidak saya sesali karena saya yakin orang yang saya cintai maklum akan hal ini. Saya tidak bisa membahas materi liputan saya di PARIS AIR SHOW 2013 ini, jadi untuk apa yang saya liput, Anda dapat melihatnya di layar kaca perusahaan saya bekerja, Trans 7. Satu hal yang pasti, saya sebagai orang Indonesia ikut bangga. Maskapai pelat merah kita Garuda Indonesia berhasil mendapatkan dua award kelas dunia pada ajang ini. Lembaga pemeringkat independen Skytrax (London – Inggris) menganugerahkan dua award sebagai “Best Economy Airline Seat 2013” dan yang fenomenal adalah award “Worlds Best Economy Airlines 2013” mengalahkan sepuluh maskapai kelas dunia lainnya seperi Singapore Airlines, dan Etihad sekalipun!
Tantangan meliput acara sebesar PARIS AIR SHOW 2013 adalah luasnya areal pameran, dan kedua adalah akses yang terbatas. Akses tidak terbatas kita adalah melihat segala jenis pesawat yang dipajang di lapangan. Kalau untuk ini kita mau mengambil gambar sampai kamera pecah juga dipersilahkan. Tetapi semua pesawat itu tersebar di areal yang sangat luas dan juga panas! Suhu udara sekitar 33 derajat selsius, musim panas yang gila di Perancis! Meski panasnya udara Le Bourget ini lebih banyak dipengaruhi karena kita berada di atas lapangan udara. Perpindahan dari satu titik ke titik lainnya adalah ‘PR’ tersendiri untuk jurnalis yang menenteng peralatan yang cukup berat. Memang ada mobil-mobil kecil seperti di lapangan golf yang bisa mengangkut kita, tetapi itu tergantung siapa kita. Misalnya mobil kecil itu (namanya apa ya mobil seperti di tempat golf ini?) ditempeli stiker Boeing, jika kita hendak menumpang, sopirnya akan bertanya, mana kartu undangan dari Boeing-nya. Jika kita tidak bisa menunjukkan, maka dia akan langsung kabur dan tidak peduli apapun yang kita ucapkan. Rata-rata sopir mobil tersebut, adalah orang berkulit hitam. Sepertinya para imigran Afrika. Begitu juga petugas bersih-bersih dan juga ‘seksi sibuk’ di lapangan terbang lainnya berkulit gelap semuanya.Kesulitan kedua adalah mengambil gambar di chalet/booth milih maskapai ataupun produsen pesawat. Chalet/booth tersebut didesain seperti sebuah bangunan mall kecil yang bagus. Pengamanannya ketat. Security di depan chalet tersebut tidak mengenal kompromi. Apalagi jika booth/chalet tersebut adalah chalet/booth yang diproyeksikan untuk deal bisnis. Booth/chalet yang diperuntukkan untuk display produk mereka saja, jika kita tidak memiliki kartu yang dikeluarkan oleh perusahaan mereka, kita tidak bisa masuk. Invitation only! Mau kita bule perlente, artis sexy, orang berseragam militer, jurnalis yang dikirim alien sekalipun tidak akan diijinkan masuk apapun alasannya. Jadi semisal saya, hanya memiliki dua kartu akses dari Airbus dan Bombardier, hanya boleh masuk ke dua ruang pamer dari dua pabrik pesawat tersebut. Itupun hanya di ruang pamernya saja, kita tidak bisa masuk ke booth lain yang mereka proyeksikan untuk menampung undangan khusus mereka (padahal masih dalam satu bangunan yang sama). Di ruang pamer tersebut hanya ada miniatur pesawat, tumpukan merchandise, katalog-katalog, dan yang dominan lainnya adalah kerumunan orang berjas entah dari belahan bumi mana saja.
Mencoba keluar dari lokasi pameran pada pukul lima sore,
adalah perjuangan tersendiri. Karena semua tutup berbarengan, baik booth/chalet
dan juga lokasi pameran pesawat di lapangan, semua kendaraan dan orang ‘mengalir’
ke arah yang sama yakni pintu keluar. Memang pintu keluar ada banyak, tetapi
tetap saja dengan kendaraan sebanyak itu, dan juga orang sebanyak itu, perlu
waktu yang tidak sebentar untuk sampai di gerbang pintu keluar. Van kami harus
berjalan pelan karena banyaknya kendaraan sore itu. Yang saya salut adalah
bagaimana orang-orang di Paris jalan kaki, dan tampaknya ini juga berlaku di
kota-kota lain di Eropa (saking bersahabatnya pedestrian untuk pejalan kaki? Saking
mahalnya taksi? Dan atau karena stasiun subway yang jaraknya tidak seberapa
jauh?) saat van kami sampai sudah di areal kira-kira dua kilometer dari Le
Bourget, kami masih menemui rombongan orang berjas rapi yang menenteng-nenteng
pernak-pernik dari pameran (mereka adalah para pekerja di booth/chalet)
maskapai tertentu. Banyak juga perempuan berpakaian rapi di antara mereka. Hal
seperti ini tidak akan ada di Indonesia, apalagi kalau untuk perempuan. Ojek,
taksi, dan atau minta dijemput dengan apapun biasanya. Itulah kenapa dari hal
sepele seperti ini (ini salah satunya saja), konsumsi bbm di negara kita
berkali lipat banyaknya dibandingkan dengan di negara maju seperti di Perancis
ini misalnya. Mungkin kita sendiri pernah melakukannya, mau belanja atau
membeli sesuatu di gang sebelah, naik motor. Mau ke suatu tempat yang kira-kira
jaraknya 3 kiloan meter, naik ojek. Atau menggunakan kendaraan pribadi
masing-masing. Di Paris, orang-orang yang kinyis-kinyis itu jalan kaki
setidaknya lima kilometer per hari!!! Apakah mereka tidak memiliki kendaraan???
Mereka melakukannya karena lebih hemat dan sehat. Untuk jarak yangs angat jauh
saja memakai bus, kereta, dan kendaraan pribadi (kendaraan pribadi hanya untuk
urusan penting dan jarak jauh saja).
Pukul 17.00 sore hari, yang mana panasnya masih seperti pukul 14.00 wib, kami sudah berada dalam antrian panjang semua mobil yang mengarah ke pintu keluar untuk pulang. Macet tak dapat dihindari. Yang unik, ini sungguh-sungguh baru bagi saya, tidak ada bunyi klakson sekalipun saya dengar! Tidak juga di jalanan kota Paris, tidak sekalipun saya mendengar klakson kendaraan. Kalaupun ada bunyi kendaraan yang pernah saya dengar (bukan bunyi mesinnya lho ya) adalah bunyi sirene mobil polisi dan sirene mobil pemadam kebakaran saja. Hari itu kami sampai di Hotel Pullman pukul 23.30 waktu setempat, setelah sempat berkeliling kota sebentar mencari tempat makan yang ada nasi-nya (meski kemudian juga tidak ketemu). Namun bagi saya ada penghiburan tak ternilai harganya, saya berhasil memaksa rombongan untuk pergi sebentar ke 23 rue de Sevigne, lokasi Carnavalet Musee, dimana pada gerbangnya ada COAT OF ARM kota Paris. Pada coat of arm kota Paris tersebut ada tulisan Latin yang sudah saya idam-idamkan untuk saya potret selama 15 belas atau 20 tahun terakhir ini. FLUCTUAT NEC MERGITUR! Meski memotret tidak bisa maksimal karena sudah malam dan posisi coat of arm yang tinggi di atas pagar (foto disamping diambil oleh rekan saya Arief S/Jakarta Post yang memiliki kamera lebih mumpuni). But still I said THANKS GOD for priceless moment! (Bersambung).* Foto tidak berurutan, sengaja supaya tidak mengulang apa yang sudah diceritakan pada paragraf bersangkutan. Semua foto diabadikan antara tanggal 16-21 Juni 2013, antara Abu Dhabi, Amsterdam, Paris. No watermark in the pictures, but please don’t use or reproduce, (especially for commercial purposes) without my permission. Please don’t only make money from my pics without respect!!!


Comments