Happy Birthday & Welcome Aboard Lady "Pinky" Angler, May Your Adventure Full With Monster Fish and Fun!
Teriring ucapan terimakasih kepada seluruh sahabat pemancing yang membantu kami selama di Tanjung Selor, Kalimantan Utara dan Pangkalpinang, Pulau Bangka. Catatan kecil ini juga diniatkan sebagai bentuk salam kepada seluruh rekan kerja di Jejak Petualang, terutama yang ikut ‘gedubrakan’ pada produksi empat episode pertama ‘new’ Jejak Petualang Wild Fishing ini. You know who you are!
Juni 2014, kota Palangkaraya di Kalimantan Tengah terasa
membara saking panasnya. Matahari begitu dekat dengan bumi dan ‘membakar’ tanah
Borneo dengan garang. Hanya saja waktu itu kebetulan tidak terjadi kabut asap
akibat kebakaran hutan (sebenarnya sebagian besar terjadi karena pembukaan
lahan) seperti akhir-akhir ini sering terjadi saat kemarau tiba. Sehingga
meskipun cuaca begitu panas ‘menyengat’ kepala saya masih cukup nyaman dengan
keadaan yang ada dan bisa beraktifitas di luar ruang seperti biasa. Hanya
memang aktifitas masyarakat kota Palangkaraya waktu itu tergolong sepi karena
kebetulan sedang bulan puasa bagi umat muslim. Saat siang hari kota terasa
begitu lengang dan kurang aktifitas, hanya setelah senja hingga malam saja
suasana kota Palangkaraya begitu hidup. Bisa jadi sebenarnya keadaan seperti
ini terjadi karena saat siang hari banyak orangt tidak tahan untuk berkegiatan
lama-lama di luar rumah saking panasnya, sehingga memilih melakukan banyak hal
setelah matahari tenggelam.
Saya tiba di kota Palangkaraya setelah melakukan perjalanan panjang
selama lima jam dari Desa Paduran, Sebangau Kuala, Kabupaten Pulang Pisau. Desa
kecil di tepian Taman Nasional Sebangau, lokasi dimana selama hampir sepuluh
hari sebelumnya saya dan beberapa rekan kerja lainnya di Jejak Petualang
Trans|7 melakukan dokumentasi tentang rawa gambut. Ketika kemudian kaki
berhasil menjejak sebuah lobby hotel berbintang di Palangkaraya hati kemudian
terasa begitu dingin dan pikiran pun berangsur tenang. Seperti baru saja terlepas
dari ‘hukuman’ berat bernama cuaca yang mungkin saja ini semua akibat pemanasan
global yang entah di mana ujung pangkalnya. Pada situasi seperti inilah saya
bertemu untuk pertama kali dengan seorang gadis rupawan (masih kuliah) yang
juga menjadi seorang presenter televisi bernama Chintya Tengens. Hari-hari
berikutnya saat itu adalah bekerja melanjutkan tugas kami yang belum selesai di
derah Kalimantan Tengah, mendokumentasikan siasat kehidupan masyarakat di
pedalaman akibat kemarau yang merajalela. Melanjutkan tugas kami yang
sebelumnya kami kerjakan bersama dengan presenter Vika Fitriyana yang karena
suatu hal harus segera kembali ke Jakarta lebih dahulu.
Usai trip Kalimantan Tengah ini kami kembali ke Jakarta dan ‘tenggelam’
dalam kesibukan masing-masing. Saya harus kembali melakukan perjalanan ke
berbagai daerah dan belajar banyak di program baru bernama Jejak Petualang,
program yang berbeda dengan program saya bertugas sebelumnya; Jejak Si Gundul
& Mancing Mania. Dan sepengetahuan saya melalui berbagai media sosial, nona
Tengens ini tampaknya kembali sibuk di bangku kuliah yang konon karena ingin
menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu sehingga off untuk sementara waktu dari
dunia pertelevisian nasional. Waktu berlalu tanpa terasa, dan kami bisa kembali
bertemu dalam tugas pada bulan Mei 2015 di daerah Kalimantan Utara, atau
setelah dua belas bulan kemudian!
Sebelum kami memasuki daerah pegunungan di Kalimantan Utara
tersebut, memang kami sudah sempat bertemu beberapa kali di kantor Trans|7 di
Jakarta. Yaitu dalam rangka mempersiapkan beberapa hal dan tentunya membangun
kesepahaman bersama mengenai perjalanan dengan corak baru yang akan kami tempuh
bersama di waktu mendatang. Selama ini
kegiatan alam bebas memang telah menyatu dengan kehidupan nona Ambon manise
ini. Utamanya kegiatan naik gunung dan tentunya secara otomatis dia telah
begitu dikenal di kalangan pegiat alam bebas Indonesia. Tentunya wajar jika
pada beberapa pertemuan kami (yang juga disertai produser program) kami perlu
untuk mengikrarkan niat bersama dalam rencana tugas yang akan kami jalani ini,
sebab apa yang menunggu di depan jauh berbeda dengan dunia petualangan yang
identik dengan naik gunung. Melainkan dunia petualangan sportfishing yang dekat dengan perairan baik itu perairan tawar
(freshwater) dan juga laut (saltwater). Belum lagi ditambah dengan bahwa kita
harus menguasai teknik dan pemahaman sportfishing
yang mumpuni agar bisa luwes menjalaninya.
Perbedaan playground ini
tentunya akan memerlukan efforts lebih
dari kru yang terlibat yang selama ini mungkin belum sering bersentuhan dengan
perairan. Saya tentu tidak memiliki masalah dengan perairan baik itu tawar
maupun laut, karena sudah sangat sering bersinggungan baik dalam pekerjaan
ataupun melalui hobi sportfishing
yang saya tekuni selama ini. Tetapi bagi Chintya Tengens ini adalah wilayah yang
sangat berbeda baik itu sebagai hobi dan pekerjaan. Yang menggembirakan, saat
itu dengan disaksikan dengan kelamnya langit Jakarta (karena memang kami
bertemu di kantor saat malam hari, hehehe...), dia bersedia terlibat menjadi
presenter program Jejak Petualang Wild Fishing. Melanjutkan peran presenter
yang sebelumnya dipegang oleh seorang pemancing terkenal Indonesia bernama Joe
Michael. Padahal nona Ambon ini sebelumnya sama sekali tidak pernah bersentuhan
dengan dunia mancing memancing ikan, kecuali mungkin seperti sering dia ucapkan
yakni “memancing keributan”. Paham gw Ngens! Hahahaha! Kami yang berkepentingan dengan program ini pun
merasa lega dengan antusiasme yang dia tunjukkan dan dalam hati ikut tersenyum,
karena negeri ini sebentar lagi akan memiliki lady angler jelita yang akan “mengguncang” dunia sportfishing nasional!
Sungai pegunungan di wilayah Kalimantan Utara yang kami
datangi Mei lalu sebenarnya adalah fishing
ground yang sangat ideal untuk petualangan wild fishing. Sayangnya saat itu kondisi sungai relatif keruh
akibat aktifitas pembukaan lahan kelapa sawit di wilayah hulu. Jadi meski di
kawasan yang kami jelajahi tidak hujan misalnya, seluruh badan sungai hingga
hilir akan sangat keruh jika di wilayah pembukaan lahan kelapa sawit tersebut
turun hujan. Kondisi ini (menurut masyarakat Dayak Berusu yang menemani kami)
katanya tidak seperti dahulu yang meskipun hujan besar sekalipun sungai akan
cepat kembali jernih. Selama hampir sepuluh hari di pedalaman, kami tinggal di
hutan tepi sungai yang menjadi hak ulayat Dayak Berusu. Di bagian hulu sungai
tersebut, perjalanan dua hari dengan ketinting ‘mendaki’ ke arah hulu, kami
tinggal di rumah panjang milik nenek moyang mereka yang kini telah ditinggalkan
(Dayak Berusu direlokasi pada tahun 1970 ke arah hilir dekat dengan jalan raya
antara Tanjung Selor - Malinau).
Sungai tersebut seharusnya adalah ‘surga’ wild fishing untuk
spesies ikan pelian (mashseer), barop (hampala), klawor (kaloi), dan bahkan juga ikan tembaring (black bass). Saya pernah melihat di Biak Papua, bahwa
spesies black bass rupanya juga suka naik ke sungai arus deras di bagian hulu.
Rupanya di Kalimantan juga ada fenomena tersebut dan ini membuat saya semakin
bersemangat. Nyatanya, sungai milik Dayak Berusu tersebut memang ‘surga’
memancing air tawar. Meski kami tertekan dengan situasi banjir yang terus
datang dari arah hulu, kami berhasil menggaet hampir semua spesies ikan
bergengsi yang kami harapkan. Untuk pemancing pemula, sungai pegunungan
memiliki tantangan yang tidak mudah. Untuk urusan melakukan casting (melemparkan umpan) saja
misalnya, kita dituntut mampu mengatasi rintangan berupa banyaknya sangkutan
dahan pohon, sempitnya badan sungai, derasnya arus, dan itupun harus diimbangi
dengan akurasi yang tinggi. Saya tidak menyangka seorang pemula seperti nona
Tengens mampu mengatasi semuanya itu dengan cepat, padahal waktu di Jakarta
waktu belajar yang ada juga tidak banyak. Tetapi kalau berkaitan kehidupan
sehari-hari di pedalaman memang saya tidak ragu sama sekali dengan dia. Mandi
di sungai, tidur beralaskan papan kayu, makan dengan menu seperti layaknya
orang pedalaman, semua dilakoni dengan biasa saja dan malah saya melihat dia
begitu menikmatinya. Kalau saya tidak salah mengingat, berat badan nona Ambon
ini saat itu ‘membengkak’ beberapa kilogram, ditandai dengan semakin bulatnya
pipi! Hahaha! Pekerjaan rumah memang masih ada, yaitu bagaimana caranya
meningkatkan skill sportfishing, sehingga dia semakin luwes bermain dan
mendapatkan semakin banyak sambaran dari hasil dia sendiri ‘membaca’ lokasi
bermain yang ada di hadapannya. Tetapi wajar jika ini memerlukan waktu,
mengingat dunia mancing sama sekali baru bagi dirinya. Melihat dia begitu
bersemangat saja, sudah menenangkan bahwa apapun nantinya akan bisa teratasi
seiring berjalannya waktu.
Pulau Bangka menjadi fishing
ground kedua yang kami tuju dalam rangka dokumentasi ‘new’ wild fishing
ini. Lokasi pertama adalah rawa-rawa Paya Benua di Bangka Induk. Ini adalah
habitat ikan dalam keluarga snakehead (gabus
dan tomman) yang sangat potensial. Namun Paya Benua ini memang sangat kompleks,
dahulunya konon hanya berupa satu aliran sungai saja, tetapi dalam
perkembangannya kemudian tercipta tepian rawa yang sangat luas, menjadikan
sungai utama berada jauh di tengah ‘dikurung’ rawa air tawar yang lebat dengan
tanaman air yang menguasai seluruh penjuru perairan. Memancing dengan teknik sportfishing di lokasi seperti, bahkan
bagi pro angler sekalipun, memerlukan usaha yang ekstra keras. Baik dalam
perpindahan atau mobilitas kita, kemampuan dan jarak casting dan juga menghadapi tantangan alam lainnya akibat karakter
perairan yang sangat khas dan kompleks. Terendam air sepanjang hari bukanlah
perkara mudah, apalagi kita dituntut terus beraktifitas dan mendapatan sambaran
dari ikan target. Belum lagi ditambah dengan panas dan hujan yang datang silih
berganti, kegiatan memancing menjadi sangat menguras tenaga dan sekaligus
menguji mental kita. Sebenarnya ada terdapat sampan-sampan nelayan, tetapi
ukurannya sangat kecil dan idealnya hanya untuk satu orang saja. Praktis hampir
semua kegiatan kami di lokasi ini dilakukan dengan berendam di air rawa yang
lebat dengan tanaman air tersebut. Rupanya ini juga bukan suatu masalah bagi new lady angler kita. Saya tetap melihat
semangat yang sangat tinggi dalam melakukan kegiatan memancing dan lebih jauh lagi
dalam menunaikan pekerjaan. Beberapa ikan tomman
yang kami dapatkan pada akhirnya hanyalah penanda yang tidak seberapa jika
dibandingkan dengan kobaran semangat dan komitmennya kepada program.
Hari ini, 14 Juli, nona Ambon ini merayakan ulang tahunnya
yang ke-22 kalau saya tidak salah ingat. Happy birthday nona...!!! Daaaan, pada
tanggal 23 Juli 2015 nanti, salah satu episode hasil dokumentasi kami di sungai
pegunungan (upper river) Kalimantan
Utara bersama masyarakat Dayak Berusu bulan Mei lalu rencananya akan mulai ditayangkan
di Trans|7. Ada senyum kelegaan dan kepingan memori yang kembali menyeruak di
sanubari, mengingat banyaknya suka duka yang kami hadapi bersama dalam menunaikan
tugas tersebut. Hati kecil berharap, semoga niatan seorang gadis pendaki gunung
menjadi lady angler semakin kuat, dan
niatan program mendokumentasikan kearifan lokal dan kekayaan perairan Indonesia
dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. Untuk nona Tengens, beta mengucapkan welcome aboard, may your adventure full with
monster fish and fun! Tightlines!!!
* Pictures taken between May & June 2015. No watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with my pictures without respect!!!
Comments